PENDAHULUAN
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Antibiotika, yang pertama kali ditemukan oleh Paul Ehlrich pada 1910,
sampai saat ini masih menjadi obat andalan dalam penanganan kasus-kasus penyakit
infeksi(Akalin,2002).
Aktivitas (potensi) antibiotika dapat ditunjukkan pada kondisi yang sesuai
dengan efek daya hambatnya terhadap mikroba. Suatu penurunan aktivitas antimikroba
juga akan dapat menunjukkan perubahan kecil yang tidak dapat ditunjukkan oleh
metode kimia, sehingga pengujian secara mikrobiologi atau biologi biasanya merupakan
standar untuk mengatasi keraguan tentang kemungkinan hilangnya aktivitas (Ditjen
POM, 1995).
Metode difusi cakram adalah metode yang rutin dilakukan dalam mikrobiologi
klinik dan cara ini didasarkan semata-mata pada atau tidaknya zona hambatan. Dengan
kuman-kuman standar, dibuat korelasi antara diameter zona pada difusi cakram dengan
hasil konsentrasi hambatan minimal (minimal inhibition concentration). Dengan cara ini
ditentukan diameter zona terttentu termasuk dalam kategori sensitive, intermediate, atau
resisntance (Lesmana, 2006)
Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antimikroba yang menghambat
pertumbuhan mikroba dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik, dan ada yang bersifat
membunuh mikroba dikenal sebagai aktivitas bakterisid. Kadar hambat minimal (KHM)
antibakteri adalah kadar minimal dari antibakteri yang diperlukan untuk menghambat
pertumbuhan bakteri. Kadar bunuh minimal (KBM) antibakteri adalah kadar minimal
dari antibakteri yang diperlukan untuk membunuh bakteri. Antibakteri dapat meningkat
aktivitasnya dari bakteriostatik menjadui bakterisid, apabila kadar antibakteri tersebut
ditingkatkan lebih besar dari KHM (Rolanda, 2012). Uji kepekaan antibiotika dilakukan
terhadap setiap organisme yang menjadi penyebab atau berperan di dalam proses
peradangan dimana pengobatan dengan antibiotika merupakan suatu keharusan. Uji
kepekaan menjadi penting dimana ada indikasi bahwa organisme penyebab infeksi
merupakan bagian dari kelompok kuman yang resisten terhadap antibiotika yang umum
digunakan dalam pengobatan (Lesmana, 2006).
Salep memiliki berbagai jenis pengertian. Pengertian pertama yaitu Salep
merupakan sediaan setengah padat ditujukan untuk pemakaian topikal pada kulit atau
3
selaput lendir. Dasar salep yang digunakan sebagai pembawa dibagi menjadi 4
kelompok : dasar salep senyawa hidrokarbon, dasar salep serap, dasar salep yang dapat
dicuci dengan air dan dasar salep yang larut dalam air. Pemilihan dasar salep tergantung
pada beberapa faktor seperti khasiat yang diinginkan, sifat bahan obat yang
dicampurkan, ketersediaan hayati, stabilitas dan ketahanan sediaan jadi
(Widyapranata,2011).
Unguentum atau salep adalah sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan
digunakan sebagai obat luar. Bahan obat harus larut atau terdispersi homogeny dalam
dasar salep yang cocok untuk mencapai hasil yang dimaksud harus mempertahankan
peraturan-peraturan pembuatan salep. Seperti yang tertera dalam F.I.Ed.II
(Zubaidah,1994).
4
Dasar Salep : Kecuali dinyatakan lain,sebagai bahan dasar digunakan vaselin
putih, tergantung dari sifat bahan obat dan tujuan pemakaian
(Zubaidah,1994).
Penggolongan Salep:
A. Menurut konsistensinya, dibagi atas
1. Unguenta
2. Cream
3. Pasta
4. Cerata
5. Gelones Spumae (Jelly)
Bahan bahan obat yang dalam dasar salep tidak boleh dilarutkan ialah:
1. Phenol
2. Glysarobin
5
3. Oleum Iecoris Aselli
4. Zinci sulfas.
5. Antibiotik (Zubaidah,1994).
Salep adalah sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan digunakan sebagai obat
luar. Bahan obat harus larut atau terdispersi homogen dalam dasar salep yang cocok.
Pemerian salep tidak boleh berbau tengik. Dasar salep kecuali dinyatakan lain,
sebagai bahan dasar digunakan vaselin putih. Tergantung dari sifat bahan obat dan
tujuan pemakaian, dapat dipilih salah satu dari bahan dasar berikut : dasar salep
senyawa hidrokarbon vaselin putih, vaselin kuning atau campurannya dengan malam
putih atau dengan malam kuning atau dengan campuran senyawa hidrokarbon lain yang
cocok. Dasar salep yang dapat dicuci dengan air. Emulsi minyak dalam air. Dasar salep
yang larut dalam air polietilenglikol atau campurannya. Pada penandaan etiket harus
tertera “obat luar”. ( Ditjen POM, 1979 )
Antibiotik ( Latin,anti:lawan, bios:hidup) adalah zat zat kimia yang dihasilkan
mikroorganisme mikroorganisme hidup terutama fungi dan bakteri tanah, yang
memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhannya banyak bakteri dan
beberapa virus besar, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil
(Rahardja,1978).
Kegiatan antibiotika untuk pertama kalinya ditemukan oleh sarjana Inggris
dr.Alexander Fleming pada tahun 1928 (penisilin). Tetapi penemuan ini baru
diperkembangkan dan digunakan dalam terapi ditahun 1941 oleh dr.Florey (oxford).
Kemudian banyak zat lain dengan khasiat antibiotic di isolir oleh penyelidik penyelidik
di seluruh dunia, akan tetapi berhubung dengan sifat sifat toksisnya hanya beberapa saja
yang dapat digunakan sebagai obat. Yang terpenting diantaranya adalah streptomisin
(1944), kloramfenikol (1947), tetrasiklin dan derivate derivatnya (1948), erithromisin
(1952), dan akhirnya rifampisin (1960) (Rahardja,1978).
Pembuatan antibiotic lazimnya dilakukan dengan jalan mikrobiologi,pada mana
mikroorganisme di biak dalam ketel-ketel besar dengan zat-zat gizi khusus. kedalam
cairan pembiakan disalurkan oksigen atau udara steril guna mempercepat pertumbuhan
jamur sehingga produksi antibiotiknya di pertinggi. Setelah diisolasi dengan cairan
kultur,antibiotic dimurnikan dan ditetapkan aktivitasnya. Beberapa antibiotic tidak
dibuat lagi dengan jalan biosintesis ini, melainkan secara kimiawi sintesis, antara lain
kloramfenikol (Rahardja,1978).
6
Aktivitas antibiotic umumnya dinyatakan dalam satuan berat(mg), kecuali zat
yang belum sempurna pemurniannya dan terdiri dari beberapa campuran zat misalnya
polimiksim B dan basitrasin atau karna belum diketahui struktur kimianya, seeperti
nistatin. Penisilin G meskipun sudah terdapat murni, masih sering dinyatakan
aktivitasnya dengan kesatuan internasional (Rahardja,1978).
Beberapa antibiotic melakukan khasiatnya terhadap dinding sel, atau membrane
sel. Tetapi mekanisme yang terpenting adalah perintangan selektif metabolisme protein
bakteri, sehingga sintesis protein terhambat dan kuman musnah atau tidak berkembang
lagi. Terhadap kebanyakan virus kecil antibiotic tidak aktif, mungkin karna virus tidak
memiliki proses metabolic yang sesungguhnya malinkan bergantung seluruhnya dari
proses-proses tuan rumah. Virus dan bakteri yang kian lama ini semakin bersifat
revisien terhadapa anti biotic. (Rahardja,1978).
Diluar bidang terapi, antibiotic digunakan dibidang peternakan sebagaizat gizi
tambahan guna mempercepat pertumbuhan. Ternak dan unggas yang diberi penisilin,
tetrasiklin, erithromisin, dan basitrasin dalam jumlah kecil sekalai dalam makan sehari-
harinya, bertumbuh lebih pesat dan lebih besar dengan jumlah makanan lebih sedikit.
Untuk tetrasiklin lebih kurang 10mg setiap kg bahan makanan mencukupi. Khasiat
mempercepat pertumbuhan tersebut adalah tidak langsung, mungkin disebabkan karna
tertindasnya kuman-kuman yang tidak diinginkan, yang mengurangi nilai zat gizi dan
factor-faktor tumbuh dari ternak (Rahardja,1978).
Disemua Negara merata penggunaan antibiotic untuk maksud ini sudah dilarang
berhubung bahaya sensitasi untuk konsumen daging yang kemungkinan besar masih
mengandung sisa-sisa ringan antibiotic tersebut (Rahardja,1978).
Yang akan dibicarakan adalah antibitik kloramfenikol, semula antibiotic ini
diperoleh dari suatu jenis Streptomyces (1947), tetapi kini dibuat secara sintesis.
Antibiotik broad-spectrum ini aktif terhadap banyak kuman gram positif dan negative,
terkecuali pseudomonas, spectrum kerjanya mirip tetrasiklin.
Khasiatnya bakteriostatik dengan jalan perintangan sintesis protein bakteri.
Resorpsinya dari usus cepat dan agak lengkap, difusinya kedalam jaringan dan rongga
tubuh baik sekali, Efek samping yang sangat berbahaya adalah kerusakan pada sumsum
tulang dan terganggunya pembuatan eritromisin, sehingga dapat menjadi anemia
aplastis serta gangguan darah lainnya, Efek samping lain yang juga sangat jarang adalah
pada saraf penglihatan dan pada hati (Rahardja,1978).
7
Resistensi dapat timbul dengan agak lambat, resistensi ekstra kromosal melalui
plasmid juga sudah mulai disinyalir dimana-mana, antara lain terhadap salmonella
typhi. Kloramfenikol masih merupakan obat yang terunggul terhadap tifus perut dan
infeksi parah dengan H.influenza. Selama pengobatan lama dengan doosis tinggi,
sebagaimana halnya pada terapi tifus, hendaknya dilakukan pengawasan sel-sel darah.
Jika terjadi sakit leher atau gejala-gejala lainyang merupakan petunjuk untuk infeksi
lain, pengobatan harus segera dihentikan (Rahardja,1978).
Pemakaian local dalam salep dan tetes mata, jarang menyebabkan alergi,
meskipun pada tahun-tahun terakhir mulai dilaporkan sensitasi (Rahardja,1978).
Sterilisasi adalah suatu proses untuk membuat ruang/benda menjadi steril. Steril
adalah suatu keadaan dimana suatu zat bebas dari mikroba hidup,naik yang pathogen
ataupun yang apatogen, baik dalam bentuk vegetative maupun dalam bentuk spora.
Sediaan farmasi yang perlu disterilkan adalah obat suntik (injeksi), tablet implant,
hipodermik, dan sediaan untuk mata (Theresia, 2011).
Salep mata adalah salep steril yang digunakan pada mata. Pada pembuatannya
bahan obat ditambahkan sebagai larutan steril atau serbuk steril termikronisasi pada
dasar salep steril, hasil akhir dimasukan secara aseptic kedalam tube steril. Bahan obat
dan dasar salep disterilkan dengan cara yang cocok. Tube disterilkan dalam autoklaf
pada suhu 115º-116º C, selama tidak kurang dari 30 menit (Rahardja,1978).
Salep adalah sediaan setengah padat ditujukan untuk pemakaian topical pada
kulit atau selaput lendir. Salep tidak boleh berbau tengik menurut farmakope edisi
empat, dasar salep yang digunakan sebagai pembawa dibagi dalam 4 kelompok, yaitu
dasar salep senyawa hidrokarbon, dasar salep serap, dasar salep yang dapat dicuci
dengan air, dasar slaep larut dalam air.setiap salep obat menggunakan salah satu dasar
salep tersebut (Theresia,2010).
8
dapat diserap seluruhnya oleh basis salep dan jumlah air yang dipakai, dikurangi
dari basis salepnya.”
3. Peraturan salep ketiga
“ Bahan – bahan yang sukar atau sebagian larut dalam lemak dan air, harus
diserbukkan terlebih dahulu, kemudian diayak dengan pengayak No.60.”
4. Peraturan salep keempat
“Salep – salep yang dibuat dengan jalan mencairkan, campurannya harus digerus
sampai dingin, bahan – bahan yang ikut dilebur, penimbangannya harus
dilebihkan 10 – 20 % untuk mencegah kekurangan bobotnya.
Penggolongan salep :
1. Menurut konsistensinya salep dibagi menjadi :
a. Unguenta : salep yang memiliki konsistens seperti mentega ini, tidak men
cair pada suhu biasa, tetapi mudah dioleskan tanpa memakai tenaga.
b. Cream : salep yang banyak mengandung air, mudah diserap kulit, suatu
tipe yang daat dicuci dengan air.
c. Pasta : salep yang mengandung lebih dari 50% zat padat (serbuk), suatu
salep tebal karena merupakan penutup atau pelindung bagan kulit yang
diolesi.
d. Cerata : salep berlemak yang mengandung persentase lilin ( wax ) yang
tinggi sehingga konsistensinya lebih keras.
e. Gelones/spumae/jelly : salep yang lebih halus, umumnya cair dan sedikit
mengandung atau tanpa mukosa, sebagai pelicin atau basis, biasanya terdiri
atas campuran sederhana dari minyak dan lemak dengan titik lebur rendah.
Contoh : starch jellies ( 10% amilum dengan air mendidih ). ( Syamsuni,
2012 )
Pemilihan dasar salep tergantung pada beberapa factor yaitu kasiat yang
diinginkan, sifat bahan obat yang dicampurkan, ketersediaan hayati, stabilitas dan
ketahanan sediaan jadi. Dalam beberapa hal menggunakan dasar salep yang cepat
terhidrolisis, lebih stabil dalam dasar salep hidrokarbon daripada dasar salep yang
mengandung air, meskipun obta tersebut bekerja lebih efektif dalam dasar saleo yang
mengandung air (Theresia,2010).
9
Zat berkhasiat bentuk padat yang larut dalam dasar salep misalnya, champora
dilarutkan dalam dasar salep yang sudah dicairkan dalam pot salep tertutup bila dalam
resep terdapat minyak lemak maka kamfer dilarutkan dalam minyak lemak tersebut, bila
kamfer bersama menthol,maka kamfer dicampur dengan sesamanya supaya mencair
baru ditambah dasar salep. Jika tidak ada bahan-bahan sesuai seperti diatas maka
kamfer diberi etanol 95% atau eter, kemudian digerus dengan dasar salep
(Therisia,2010).
Zat berkhasiat bentuk padat yang larut dalam air misalnya protargol dilarutkan
dalam air dengan jalan menaburkan diatas air kemudian didiamkan selama 15 menit
ditempat gelap. Bila dalam resep terdapat gliserol, maka protargol digerus dengan
gliserin baru ditambahn air dan tidak perlu di tunggu 15 menit karna gliserol
mempercepat daya larut protargol dalam air. Sedangkan pada phenol, phenol mudah
larut dalam air, tetapi dalam salep tidak dilarutkan karena bekerjanya merangsang, juga
tidak dapat diganti dengan fenol liguefactum, jadi dikerjakan seperti pada kamfer dalam
salep (Theresia,2010).
Zat berkhasiat bentuk padat tak larut misalnya adalah yaitu belerang, umumnya
dibuat halus dengan cara bahan tersebut diayak atau menjadikannya serbuk halus
terlebih dahulu. Penambahan air pada bahan tersebut, misalnya aqua calcis dengan
minyak lemak akan terjadi penyabunan, untuk itu caranya dengan diberikan secara
sedikit demi sedikit. Kemudian dikocok dalam botol bersama minyak lemak, baru
dicampur dengan bahan lainnya (Theresia,2010)
Bahan yang ditambahkan terkhir pada suatu masa salep adalah ichtyol, sebab
jika ditambahkan pada masa salep yang panas atau digilas terlalu lama dapat terjadi
pemisahan. Balsem balsam dan minyak atsiri, balsam merupakan campuran dari
dammar dan minyak atsiri, jika digerus terlalu lama akan keluar damarnya sedangkan
minyak atsiri akan menguap air, berfungsi sebagai pendingin dan untuk mencegah
permukaan mortir menjdi licin (Theresia,2010).
Pemilihan dasar salep tergantung pada beberapa factor yaitu kasiat yang
diinginkan, sifat bahan obat yang dicampurkan, ketersediaan hayati, stabilitas dan
ketahanan sediaan jadi. Dalam beberapa hal menggunakan dasar salep yang cepat
terhidrolisis, lebih stabil dalam dasar salep hidrokarbon daripada dasar salep yang
mengandung air,meskipun obta tersebut bekerja lebih efektif dalam dasar salep yang
mengandung air (Theresia,2010).
10
Penambahan air, misalnya aqua calcis dengan minyak lemak akan terjadi
penyabunan, untuk itu caranya diberikan sedikit demi sedikit. Dikocok dalam botol
bersama minyak lemak, baru dicampur dengan bahan lainnya (Theresia,2010)
- Iodium
Jika kelarutannya tidak dilampaui, kerjakan seperti pada champorae
Larutkan dalam larutan pekat KI atau NaI
Ditetesi dengan ethanol 95% sampai larut, baru ditambahkan dasar salepnya.
11
Jika didalam resep terdapat gliserin, tambahkan gliserin tersebut, baru
ditambahkan air nya dan tidak perlu ditunggu ¼ jam lagi karena dengan adanya
gliserin protargol akan mudah larut.
- Colargol
Dikerjakan sama seperti protargol.
- Argentumnitrat
Walaupun larut dalam air, zat ini tidak boleh dilarutkan dalam air karena akan
meninggalkan bekas noda hitam pada kulit yang disebabkan oleh terbentuknya
Ag2O, kecuali pada resep obat wasir.
- Fenol
Sebenarnya fenol mudah larut dalam air, tetapi didalam salep tidak dilarutkan
karena akan menimbulakan rangsangan atau mengiritasi kulit dan juga tidak
boleh diganti dengan phenol liquifactum.
c. Bahan obat yang larut dalam air tetapi tidak boleh dilarutkan dalam air
Argentum nitrat
Fenol
Zinc sulfat
Antibiotik
Chrysarobin
Hydrargyri bichloridum
Ol. Iocoris aselli
Stibii et kalii tartras
Gliserin
12
Harus ditambahkan kedalam dasar salep yang dingin, karena tidak bisa
bercampur dengan bahan apabila dalam keadan sedang mencair, dan harus
ditambahkan sedikit demi sedikit karena tidak mudah diserap oleh dasar salep.
Air
Ditambahkan terakhir karena berfungsi sebagai pendingin; disamping itu, untuk
mencegah permukaan mortir menjadi licin.
Marmer album
Dimasukkan terakhir karena dibutuhkan dalam bentuk kasar, yang akan
memberikan pengaruh percobaan pada kulit.5)
13
99BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
3.1 Formulasi
Salep kloramfenikol (Formularium Nasional Hal 66)
R/ Chloramphenikol 200 mg
Propilen glikol 1
Adeps lanae 1
Vaselin Album ad 10
---- # ----
Pro: Liana
14
= 15,6 gram.
3.4 Prosedur
- Diambil chloramfenikol, ditimbang sebanyak 200 mg di kertas perkamen.
- Disetarakan kaca arloji, diambil propilen glikol, ditimbang 1 gram di dalam kaca
arloji.
- Diambil adeps lanae, ditimbang 1 gram di kertas perkamen.
- Diambil Vaselin album ditimbang 7,8 gram di kertas minyak.
- Dimasukan kedalam lumpang chloramfenicol, digerus hingga halus
- Ditambahkan propilen glikol kedalam lumpang, digerus homogen
- Ditambahkan setengah bagian dari vaselin, digerus dan dihomogenkan
- Ditambahkan adeps lanae dan sisa dari vaselin album, digerus hingga semua
bahan homogen.
- Dimasukkan kedalam tube.
- Ditutup lipatan belakang tube hingga ketat.
- Dibungkus tube dengan tissue untuk menguji kebocoran dari salep tersebut.
- Dimasukan dalam oven selama lebih kurang 30 menit pada suhu 80ºC.
- Dikeluarkan salep dari dalam oven.
- Dibuka bungkusan tissue, dibersihkan minyak yang melekat pada tube
- Diberi etiket.
3.5 Prosedur Evaluasi.
Prosedur uji homogenitas:
- Dioleskan salep pada object glass.
- Ditutup dengan object glass yang lain.
- Dilihat salep sudah homogen secara merata atau belum.
Prosedur uji kebocoran:
- Dibungkus dengan kertas perkamen.
- Diberi label penanda.
- Dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 80ºC selama 15 menit.
15
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Diperoleh :
- Terdapat noda minyak pada beberapa kertas perkamen yang membungkus tube
salep.
4.2 Pembahasan
Pada pengujian kebocoran tube diperoleh kertas saring yang bernoda minyak, itu
berarti, tube sediaan salep yang dibuat tidak mengalami kebocoran, mungkin
disebabkan oleh pelipatan yang ketat dan baik pada ujung tube.
Pada pengujian homogenitas bahan, diketahui bahwa salep benar benar
homogen secara merata. Hal itu diketahui dari pengamatan yang menunjukan tidak
adanya partikel-partikel dengan ukuran yang berbeda didalam campuran bahan obat
salep tersebut.
Pembuatan Formulasi salep harusnya menghasilkan sediaan salep yang
memenuhi uji homogenitas, uji kebocoran tube. Contohnya pada salep antibiotik ekstrak
bonggol pisang Ambon yang menggunakan basis salep vaselin album dan adeps lanae
menghasilkan sediaan yang dapat memberikan efek daya penyembuhan luka terbuka
dengan menggunakan media pengobatan yaitu pada kulit tikus putih jantan galur wistar.
Terdapat adanya sebagian noda minyak pada beberapa kertas perkamen yang
membungkus tube salep dikarenakan pada saat dilakukan pelipatan tube munkin tidak
ketat pada ujung tube yang menyebabkan pada saat uji kebocoran di oven beberapa tube
tersebut bocor dan membuat kertas perkamennya terdapat noda minyak.
16
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan.
- Jenis evaluasi salep :
1. Uji Homogenitas salep. Dilakukan dengan meletakkan sedikit salep yang
dianggap sudah homogen diatas sebuah objek glass, lalu ditutupi menggunakan
objek glass lain, jika homogen nantinya pada objek glass akan terbentuk bulatan
yang rata.
2. Uji Kebocoran tube. Dilakukan dengan cara : melipat ujung tube dengan ketat
dan baik agar tidak terjadinya kebocoran saat pengujian formulasi kebocoran.
- Syarat salep yang baik adalah : tidak berbau tengik, lunak, dasar salep yang
cocok dan terdistribusi merata.
- Bahan dasar salep yang baik digunakan ialah seperti vaselin album, vaselin
flavum atau campurannya dengan malam putih atau kuning dengan campuran
senyawa hidrokarbon lain yang cocok. Dasar salep yang dapat dicuci dengan air.
Emulsi minyak dalam air, dll.
5.2 Saran
- Sebaiknya, dicoba untuk menggunakan dasar salep yang lain, misalnya dengan
menggunakan cera alba atau lainnya.
- Sebaiknya, untuk percobaan selanjutnya digunakan bahan aktif obat jenis
antibiotic lainnya seperti tetrasiklin atau lainnya.
17
DAFTAR PUSTAKA
Theresia,dkk (2011). ILMU RESEP II. Jakarta : Bakti husada. Hal 45-47
18
Lampiran Gambar
a. Uji Homogenitas
19