Anda di halaman 1dari 5

ANTROPOLOGI ARSITEKTUR

MASJID AGUNG SEMARANG (KAUMAN)

OLEH:

NUR ZAHIRAH

15.A1.0069

DOSEN :

B. Tyas Susanti, Dra., MA

FAKULTAS ARSITEKTUR DAN DESAIN

UNIKA SOEGIJAPRANATA

SEMARANG

2017
MASJID AGUNG SEMARANG ( KAUMAN )

SOSIAL

Berdirinya Masjid Agung Semarang Berkaitan dengan kegiatan dakwah islam di daerah yang akhirnya
menjadi kota semarang.

Berdasarkan catatan-catatan sejarah dan cerita-cerita tutur yang dapat dijadikan dasar rujukan,
masjid ini didirikan pertama kali pada pertengahan abad XVI masehi atau pada masa kesultanan
Demak.

Masjid ini didirikan oleh Sunan Pandan Arang atau dikenal juga dengan sebutan Ki Ageng Pandan
Arang. Bagi warga Semarang, mereka menyebutnya dengan nama Pandanaran. Ulama ini
merupakan seorang maulana dari negara Arab yang bernama asli Maulana Ibnu Abdul Salam.

Oleh Sunan Kalijaga lewat Sultan Hadiwijoyo (Pajang) Sunan Pandan Arang ditunjuk untuk
menggantikan kedudukan Syekh Siti Jenar. Sunan Pandan Arang ditugaskan untuk
menyampaikan syiar Islam di daerah sebelah barat Kasultanan Bintoro Demak. Yang
sekarang merupakan kota semarang.

Saat mengawali dakwah dan syiar Islam di tlatah (sekarang Semarang), Sunan Pandan Arang
mendirikan sebuah padepokan untuk pusat kegiatan dakwah Islam di kawasan bukit Mugas.
Padepokan inilah yang kelak menjadi cikal bakal Masjid Agung Semarang. Karena
pengaruhnya, ia pun diangkat sebagai Bupati Semarang I.

pusat kegiatan syiar yang ada di Mugas dipindahkan ke Bubakan dengan mendirikan masjid
yang pada perkembangannya berdekatan dengan kekuasaan VOC.

Pada masa pendudukan kolonial Belanda, pecahlah pemberontakan etnis Cina terhadap
Pemerintah Kolonial Belanda di Semarang. Masjid ini pun ikut terbakar habis

Kemudian, pada era pemerintahan bupati Raden Mas Tumenggung Mertoyudo yang bergelar
Kiai Tumenggung Adipati Surohadi Menggolo ke-II (1743- 1751), sebuah masjid dibangun
di sebelah barat Bubakan, tepatnya di alun-alun Semarang sekarang ini.
BUDAYA

Sejak jaman pemerintahan Bupati Kyai Raden Mas Tumenggung Purbaningrat (1881) dua
tahun sebelum terbakarnya Masjid akibat tersambar petir, telah terdapat tradisi khas untuk
menyambut datangnya bulan suci Ramadhan yang disebut “DUGDERAN” (ada juga yang
menyebut “megengan”).

Walikota Semarang menabuh bedug di prosesi Dugderan

Merujuk data sejarah, pengagas Dugderan adalah Bupati Semarang Raden Mas Tumenggung
Purboningrat (1860-1887). Pertama kali diadakan tahun 1881 dan dilatarbelakangi kebiasaan
masyarakat Semarang menggunakan rukyah dalam penetapan awal bulan Ramadhan. Seperti
diketahui, kondisi geografis Semarang yang terbagi dalam dua bagian (Semarang atas dan
Semarang bawah) sangat tepat untuk melakukan rukyah (melihat bulan sebagai tanda awal
bulan Ramadhan). Agar tidak terjadi perbedaan pendapat tentang hasil rukyah, Bupati
mengumpulkan Alim Ulama guna halaqoh (musyawarah) agar tercapai keputusan bersama.
Kemudian keputusan Alim Ulama tentang jatuhnya awal bulan Ramadhan ini diumumkan
oleh bupati kepada masyarakat yang telah berduyun-duyun dari pelosok daerah berkumpul di
Masjid Agung Semarang.

Berkumpulnya masyarakat juga membawa dampak ekonomi dan sosial. Dampak ekonomi
tercermin dengan kehadiran para penjual yang mremo di sekitar Aloon-aloon, sedangkan
dampak sosial adalah berbaurnya seluruh masyarakat dari berbagai etnis, baikpribumi (Jawa),
Arab dan Cina. Perbauran ketiga etnis digambarkan secara elok berupa hewan rekaan
bernama “Warak”. Hewan ini merupakan perpaduan antara kambing Jawa, unta dan naga.
“Warak” berasal dari bahasa Arab “Waro’a” yang berarti menjaga diri dari perbuatan yang
syubhat. Seorang yang mencapai derajat “Waro’a” akan membawa manfaat bagi agama dan
lingkungannya. Derajat “waro’a” disibolkan dengan “ngendhog”, maka jadilah “Warak
Ngendhog”.

Tradisi ini berkembang dengan datangnya para pedagang yang menjajakan bermacam-macam
mainan anak-anak sehingga menjadi pasar malam yang memberikan warna baru terhadap
tradisi dugderan. Tradisi ini pada masa pemerintahaan Orde Baru, tepatnya dimulai pada
tahun 1983, pada masa Walikota Semarang, Kol. H. Imam Soeparto Tjakrajoeda SH (1980-
1990), lebih disemarakkan dengan diadakannya pawai karnaval yang melibakan ribuan santri
dan siswa-siswa sekolah serta masyarakat dengan bermacam-macam atraksi keseniannya
masing-masing. Dimulai dari halaman Balaikota di Jalan Pemuda dan berakhir di halaman
Masjid Agung Semarang di Jalan Kauman.

Namun demikian, kalau pada mulanya dugderan ditandai dengan pembunyian bedug dan
meriam, kemudian meriamnya diganti dengan bom udara, maka sejak masa pemerintahan
walikota H. Imam Soeparto Tjakrajoeda SH bom udara itu tidak lagi digunakan. Di samping
karena adanya kebijakan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang melarang pembunyian bom
udara dalam acara dugderan untuk menandai datangnya bulan suci Ramadhan maupun untuk
tanda datangnya waktu maghrib dan imsak juga dirasa tidak efisien sekaligus mengandung
risiko yang sangat berbahaya.
Oleh karena itu, atas kebijakan walikota H. Imam Soeparto
Tjakrajoeda SH di halaman Masjid Agung Semarang didirikan
menara sirine dengan biaya sepenuhnya ditanggung oleh
Pemerintah daerah Kota Semarang. Menara sirine tadi selain
berfungsi untuk tanda waktu maghrib dan imsak pada bulan
Ramadhan, sekaligus digunakan untuk memasang loudspeaker
(pengeras suara) yang digunakan untuk sarana
mengumandangkan adzan (panggilan sholat) setiap waktu.

MATERIAL ARSITEKTUR

Pengaruh walisongo pada masa perkembangan Islam di tanah Jawa yang begitu kuat, memengaruhi
ciri arsitektur Masjid Agung Semarang. Ini semua bisa dilihat dari atap Masjid yang berbentuk tajuk
tumpang (tingkat) tiga. Arsitektur ini juga mirip dengan Masjid Agung Demak yang dibangun pada
masa kesultanan Demak. Atap tingkat tiga merupakan representasi dari makna filosofi Iman, Islam
dan Ikhsan. Berbeda dengan Masjid Agung Demak, Masjid Agung Semarang dibungkus dengan
bahan seng bergelombang, pada waktu itu merupaan bahan yang langka dan secara khusus harus
didatangkan dari Belanda.

Arsitektur Masjid Agung Semarang ini sering disebut dengan konsep tektonika. Sistem yang mirip
dengan struktur tumpang pada bangunan tumpang berpenyangga berpilar lima pada bangunan
bangunan pra Islam di tanah Jawa. Menurut Ir. Totok Roesmanto, diterapkannya sistem tektonik
dalam pembangunan Masjid Agung Semarang ini bukan menggunakan soko guru layaknya Masjid
Agung Demak, menunjukkan ketidakmampuan ahli bangunan Belanda pada masa itu mencerna
aplikasi sistem konstruksi brunjung empyak pada bangunan tajuk tradisional.
Penggunaan sistem tektonik ini mengarah kepada struktur bangunan yang rigid. Empat sokoguru
digantikan dengan pilar pilar bata penopang rangkaian pilar dan balok kayu di atasnya. Pada
rangkaian bangunan ini juga dikenal sistem dhingklik yang menopang pilar pilar balok kayu yang
lebih kecil di atasnya dan bntuk bangunan itu dan seterusnya.

Dari tahun pendirian Masjid Agung Semarang ini, menjadikan Masjid Kauman Semarang sebagai
masjid pertama di Jawa yang bercitra tradisional, namun menggunakan konstruksi modern.

Masjid Agung Semarang memiliki ciri arsitektur Jawa yang khas, dengan bentuk atapnya menyiratkan
bangunan gaya Majapahit. Bagian tajug paling bawah menaungi ruangan ibadah. Tajug kedua lebih
kecil, sedangkan tajug tertinggi berbentuk limasan. Semua tajug ditopang dengan balok-balok kayu
berstruktur modern. Yang membedakan lagi, bangunan utama Masjid Demak disangga empat soko
guru, sedang atap Masjid Agung Semarang ditopang 36 soko (pilar) yang kokoh. Bentuk atap limasan
yang diberi hiasan mustaka, sementara pintunya berbentuk rangkaian daun waru, melambangkan
arsitektur Persia atau Arab.

Masjid aslinya sendiri kini cukup sulit untuk dilihat karena sudah tertutup oleh bangunan masjid baru
dibagian depan masjid asli ditambah dengan himpitan gedung gedung disekitarnya.aslinya masjid ini
beratap seng, kini sudah diganti dengan genteng beton. Sebuah menara yang cukup tinggi juga
sudah menjadi pelengkap bagi Masjid Agung Semarang ini. Tampakan depan nya sudah jauh lebih
modern tanpa kehilangan keaslian bangunan aslinya.

Anda mungkin juga menyukai