Anda di halaman 1dari 40

Cikal bakal dan motivasi pembangunan masjid Agung Palembang bermula saat masjid yang

didirikan Ki Gedeh Ing Suro (Sultan Palembang) terbakar. Kabarnya masjid ini dihancurkan oleh
Mayor Van der Laen saat perang Palembang melawan Belanda pada tahun 1659. Saat itu, lokasi
masjid ini berada di Keraton Kuto Gawang. Kalau sekarang berada di Kompleks PT. Pusri.
Peletakan batu pertama pada pembangunan masjid Agung pada 1 Jumadil Akhir 1151 H (1738
M). Sedangkan peresmian pemakaiannya pada hari Senin tanggal 1 Jumadil Awal 1161 H atau
bertepatan dengan tanggal 20 Mei 1748 M. Masjid Agung didirikan di samping Keraton
Tengkuruk yang dikenal juga sebagai Kuto Kecik (sekarang gedung Museum Sultan Mahmud
Badarudin II) serta bergaya arsitektur Eropa. Menurut penelitian sejarawan Djohan Hanafiah,
awalnya masjid ini berbentuk bujursangkar. Namun diketahui pula bahwa bentuk bangunan
masjid ini persegi panjang. Hal ini dapat diketahui dari sketsa lukisan pada tahun 1821. Sedang
pada buku yang saya baca, tidak diketahui siapa pelukis sketsa ini. Sultan Mahmud Badarudin I
(SMB I) menentukan sendiri arsitektur bangunannya. Rancangannya adalah berundak dengan
limas di puncaknya/mustaka. Mustaka adalah kepala dari atap undak masjid Agung. Ia juga
memiliki jurai kelompok simbar. Simbar itu seperti tanduk kepala kambing sebanyak 13 buah di
tiap sisinya. Bentuk atapnya memiliki kesamaan dengan masjid di Hua Nan, Cina. Arsitektur
Cina pada masjid ini terasa kental pada bentuk mustaka yang terjurai juga melengkung ke atas
pada empat ujungnya. Hal ini disebabkan karena orang-orang Cina ikut andil dalam pembuatan
masjid Agung. Sedangkan mimbar masjid Agung mirip sekali dengan mimbar Rasulullah di
masjid Madinah. Ini menunjukkan pengaruh arsitektur Arab. Jadi ada tiga budaya dan bentuk
arsitektur pada masjid Agung ini, yaitu Arab, Cina dan tradisional. Hanya saya tidak tahu
bagaimana campur tangan Eropa sehingga membuat masjid ini juga terlihat gaya Eropanya.
Masjid Agung tampak depan Peran orang Cina pada masa kesultanan cukup menentukan.
Termasuklah sebagai tenaga ahli administrasi, perdagangan, dan syahbandar (pegawai yang
mengepalai urusan pelabuhan). Menurut kitab Ying-Lang Sheng Lan yang ditulis oleh Ma Huan
pada dinasti Ming, diceritakan daerah pelabuhan lama, Ku Kang/Kiu Kian (maksudnya kota
Palembang). Mayoritas penghuninya adalah orang-orang Cina yang berasal dari Kanton, Chang
Chou, dan Chuan Chou. Benteng Kuto Besak yang didirikan pada 1780 juga terdapat andil
orang-orang Cina. Waktu pembangunannya memakan waktu selama 17 tahun karena bahan
bangunannya harus didatangkan dari luar Palembang bahkan luar pulau Sumatera. Pada 1797
bangunan tersebut resmi digunakan. Walaupun demikian arsitek Benteng tidak diketahui dengan
pasti, tapi diperkirakan dari orang Eropa. Keterampilan mencetak bata orang-orang Cina di
Palembang diwariskan kepada keturunannya yang bermukim di perkampungan tua mereka.
Tepatnya berada di Sungai Ogan alias Sungai Buaya. Masyarakat Cina pada masa kesultanan
tinggal di rumah-rumah rakit di wilayah Seberang Ulu. Seperti juga komunitas Arab, Eropa dan
orang-orang yang dianggap bukan sebagai warga kesultanan Palembang. Bentuk Bangunan
Lama Masjid Agung Masjid Agung terletak di kel. 19 Ilir kec. Ilir Barat 1 Palembang. Masjid
Agung berada di persimpangan jalan Jend. Sudirman di sebelah timur. Sedangkan sebelah barat
berbatasan dengan jalan Guru-guru (berjarak kurang lebih 60 m). Jalan Guru-guru sekarang
sudah diganti namanya menjadi jalan Faqih Usman. Menurut Djohan Hanafiah, dulu jalan ini
sampai dinamakan jalan Guru-guru karena di sepanjang jalan ini bermukim guru-guru agama
Islam. Mereka mengajarkan mengaji Al-Quran, Fiqih dan ilmu agama lainnya yang berpusat di
Masjid Agung.

Masjid Agung Tempo Doeloe Masjid Agung Tempo Doeloe Masjid Agung Tempo Doeloe
Masjid Agung ini dulunya dikelilingi sungai. Bagian Ilir (timur) berbatasan dengan sungai
Tengkuruk. Darat (utara) berbaasan dengan sungai Kapuran. Ulu (barat) berbatasan dengan
sungai Sekanak. Dan laut (selatan) berbatasan dengan keraton Tengkuruk yang sekarang menjadi
museum SMB II. Mulanya tidak ada menara di masjid Agung. Saat masa pemerintahan Sultan
Najmudin I putra SMB I menara masjid baru dibangun. Namun pendirian menara ini bukan
tanpa rintangan. Pembangunan menara masjid bertepatan dengan perang dingin antara Kerajaan
Palembang melawan Belanda pada tahun 1821. Akibatnya atap menara masjid hancur dan baru
diganti jadi atap rumbia pada 1825. Berdasarkan laporan Mayor William Thorn (penguasa
Inggris di Palembang) pada 1811 menyebutkan bahwa denah masjid Agung berbentuk persegi
panjang berukuran 686x110 kaki. Pintu masuknya dari tiga jurusan yang ditandai bangunan
gapura bagian timur, selatan juga utara. Menara masjid setinggi 60 kaki/20 m ini berdenah
persegi enam. Menara ini awalnya dibangun agak jauh dari masjid karena kondisi tanahnya
berupa rawa. Diputuskan demikian karena jika tidak begitu maka akan mempengaruhi tekanan
pada tanah yang tidak padat. Jika ada tekanan maka kontur tanah berubah. Itu dapat
menyebabkan tanah tempat berdirinya masjid tidak kuat menahan bangunan masjid itu sendiri.
Ciri khas masjid Agung ini adalah Mustaka yang dimilikinya. Karena pada umumnya masjid di
pulau Sumatera berbentuk kubah. Masjid bermustaka adalah masjid yang mempunyai atap
bagian atas terpisah dari atap di bawahnya. Atap bawahnya ini ditopang oleh pilar-pilar di atas
tanah. Jika dilihat seksama maka kepalanya seperti terpisah dari leher tubuh masjid. Seiring
berjalannya waktu, masjid Agung telah banyak direnovasi sehingga beberapa bentuknya tak lagi
sama seperti yang dulu. Masjid ini juga telah mengalami beberapa kali perluasan oleh banyak
pihak. Termasuk oleh pemerintah Belanda waktu zaman kolonial. Yayasan Masjid Agung dan
Pertamina pun turut andil. Untuk masalah perluasan dan renovasi ini banyak simpang siur terkait
kapan dilakukannya hal tersebut. Terakhir masjid Agung Palembang diresmikan oleh Presiden
saat itu Megawati Soekarno Putri. Dan masjid ini didaulat menjadi salah satu masjid Nasional.
Bangunan Lama Masjid Agung Bangunan Lama Masjid Agung Bangunan Lama Masjid Agung
Ciri khas masjid ini masih dipertahankan. Seperti atap menara yang bergaya khas Cina dan
undak-undak pada atap masjidnya yang melengkung ke atas. Untuk sejarah masuknya Islam di
Palembang akan saya bahas di tulisan lain. Semoga informasi ini bermanfaat. Sumber: Buku
berjudul Masjid Agung Palembang; Penulis Bangun P.Lubis, dkk.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ardhani-reswari/sejarah-masjid-agung-
palembang_552e08336ea834b7238b45b4
Masjid Agung Palembang, Masjid Sultan Perpaduan Tiga
Kebudayaan
Pariwisata Sumatera Selatan

https://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/masjid-agung-palembang-masjid-sultan-
perpaduan-tiga-kebudayaan

Saat terjadi perang antara masyarakat Palembang dengan Belanda di tahun 1659 M, sebuah
masjid terbakar. Masjid tersebut merupakan masjid yang dibangun oleh Sultan Palembang kala
itu, Ki Gede Ing Suro, yang berlokasi di Keraton Kuto Gawang. Beberapa tahun kemudian,
tepatnya di tahun 1738 M, Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo membangun kembali
masjid tepat di lokasi berdirinya masjid yang terbakar.

Pembangunan masjid yang baru memakan waktu cukup lama, hingga pada 26 Mei 1748 atau
pada 28 Jumadil Awal 1151 tahun hijriah, masjid tersebut baru diresmikan berdiri. Di awal
pembangunannya, Masjid Agung Palembang disebut oleh masyarakat Palembang dengan nama
Masjid Sulton. Nama tersebut merujuk pada pembangunan masjid yang diketuai dan dikelola
secara langsung oleh Sultan Mahmud Badaruddin Jaya Wikramo.

Masjid Agung Palembang sebagai salah satu masjid tertua yang ada di nusantara sudah
mengalami berbagai renovasi. Salah satu renovasi terbesar terjadi pada tahun 1999. Renovasi
yang dilakukan oleh Gubernur Laksamana Muda Haji Rosihan Arsyad tidak hanya memperbaiki
bagian yang rusak, tetapi juga merestorasi bangunan masjid dengan menambahkan tiga bangunan
baru. Ketiga bangunan tersebut antara lain, bangunan di bagian selatan masjid, di bagian utara,
dan bagian timur. Pada renovasi dan restorasi ini, kubah masjid juga mengalami perbaikan di
berbagai sisinya.

Dilihat dari bentuknya, Masjid Agung Palembang mempunyai ciri khas perpaduan tiga
kebudayaan, yaitu kebudayaan Indonesia, Eropa, dan Tiongkok. Tiga ciri kebudayaan tersebut
merekat dalam setiap lekuk bangunan masjid. Pintu utama masjid misalnya, menunjukkan
adanya pengaruh kebudayaan Eropa. Pada bagian atap masjid, terlihat adanya pengaruh
Tiongkok, mengingat bentuk atap masjid yang menyerupai bentuk kelenteng.

Sementara pada menara terdapat ciri khas yang erat kaitannya dengan kebudayaan nusantara.
Ujung menara berbentuk kerucut seperti tumpeng. Tumpeng atau bentuk gunungan dalam
kebudayaan nusantara mempunyai makna yang menghubungkan manusia dengan Tuhannya,
manusia dengan alamnya, dan manusia dengan sesama manusia.

Mengingat Masjid Agung Palembang merupakan salah satu peninggalan sultan, maka
berdasarkan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia MA/233/2003 tertanggal 23 Juli
2003, masjid ini ditetapkan sebagai salah satu masjid nasional. Kemudian pada 2009,
berdasarkan UU No 5 tahun 1992 tentang bangunan cagar budaya,  serta Surat Peraturan Menteri
No PM19/UM.101/MKP/2009, Masjid Agung Palembang juga menjadi salah satu bangunan
cagar budaya yang dilindungi pemerintah.
 
Masjid Agung Palembang mempunyai berbagai kegiatan, mulai dari kegiatan rutin yang
dilakukan setiap hari hingga kegiatan bulanan dan tahunan. Kegiatan rutin yang dilaksanakan
setiap hari di Masjid Agung Palembang adalah shalat rawatib lima waktu dan dakwah masjid, hal
ini sejalan dengan tujuan utama pembangunan masjid, yaitu untuk mengingat Allah dan
memperkenalkan Islam. Sementara kegiatan rutin yang dilakukan setiap minggu adalah
pengajian kitab Kuning yang dipimpin langsung oleh ulama-ulama Kota Palembang.
Menariknya, tiap Ramadan tiba, masjid yang berlokasi di Jalan Jenderal Soedirman Palembang
ini kerap mengadakan pembacaan Alquran satu juzz satu malam yang dilaksanakan setelah salat
tarawih selama satu bulan penuh. [AhmadIbo/IndonesiaKaya]
Arsitektur Masjid Agung Palembang
Kamis, 16 Januari 2014 09:00 JELAJAH - NUSANTARA

http://edupaint.com/jelajah/arsitektur-nusantara/5179-arsitektur-masjid-agung-palembang.html

Palembang tak hanya terkenal dengan pempek atau kain songketnya. Kota di tepian Sungai Musi
ini juga dihiasi bangunan dengan arsitektur mengagumkan seperti terlihat di Mesjid Agung
Palembang.Berlokasi tak jauh dari Plaza Benteng Kuto Besak, di Kota Palembang, Sumatera
Selatan.

Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin I atau biasa disebut Masjid Agung Palembang adalah
sebuah masjid paling besar di Kota Palembang, Sumatera Selatan. Masjid ini dipengaruhi oleh 3
arsitektur yakni Indonesia, China dan Eropa. Bentuk arsitektur Eropa terlihat dari pintu masuk di
gedung baru masjid yang besar dan tinggi. Sedangkan arsitektur China dilihat dari masjid utama
yang atapnya seperti kelenteng.

Masjid ini dulunya adalah masjid terbesar di Indonesia selama beberapa tahun. Bentuk masjid
yang ada sekarang adalah hasil renovasi tahun 2000 dan selesai tahun 2003. Megawati
Soekarnoputri adalah orang yang meresmikan masjid raksasa Sumatera Selatan modern ini.
Masjid ini didirikan pada abad ke-18 oleh Sultan Mahmud Badaruddin I Jaya Wikrama. Saat ini,
Masjid Agung Palembang telah menjadi Masjid regional di kawasan ASEAN. Terletak di
kawasan 19 Ilir, dimana merupakan salah satu Kampung Asli Palembang dan Arab yang telah
lama didiami.

Meski digarap oleh seorang arsitek Eropa, pengaruh Cina ikut muncul pada wajah masjid ini. Hal
itu ditandai oleh bentukan limas dan hiasan ornamen khas Cina pada sejumlah atapnya. Paduan
dua budaya ini menjadi ciri khas Mesjid Agung Palembang dan membuat banyak pelancong
terkagum-kagum. Sebuah akulturasi budaya yang bisa tetap berdampingan dan saling mengisi.
Arsitektur Masjid Agung Palembang, Perkawinan Tiga
Budaya
posted by Edi Karnadi ,

http://kontemporer2013.blogspot.com/2013/08/masjid-agung-palembang.html

Masjid Agung Palembang merupakan masjid terbesar di kota Palembang - Indonesia, dengan lahan
seluas ± 15.400 m2. Arah hadap masjid ke selatan (menghadap sungai Musi). Masjid dikelilingi pagar dan
pada sisi barat, timur,dan selatan halaman terdapat pintu masuk ke halaman masjid. Luas halaman
masjid ± 2.250 m2 dan dipergunakan untuk shalat pada hari Jum’at dan hari raya (shalat Ied). Masjid
agung tersebut terdiri atas ruang utama, serambi,dan bangunan tambahan. Letak mesjid ini di Kelurahan
19 Ilir, Kecamatan Ilir Barat I, tepat di pertemuan antara Jalan Merdeka dan Jalan Sudirman, pusat Kota
Palembang. Masjid Agung ini disebut juga dengan nama Masjid Sultan Mahmud Baddaruddin I.

Masjid Agung Palembang terdapat dua buah bangunan utama. Semenatra bangunan yang asli
merupakan bangunan lama masih dipertahankan sejak awal pendirian. Sedangkan bangunan yang
lainnya merupakan bangunan  baru  dan sudah beberapa kali dipugar untuk diperluas akibat
pertambahan jumlah jamaah.

Arsitektur

Arsitektur masjid ini dipengaruhi oleh tiga kebudayaan, Indonesia (Melayu), China dan dan Eropa.
Gaya arsitektur inilah yang kemudian menjadi  ciri khas dari masjid ini.
Pengaruh gaya arsitektur China bisa dilihat dari masjid utama yang atapnya seperti kelenteng. Puncak
Masjid Agung berbentuk atap mustaka/kepala. Bentuk mustaka yang terjurai ini melengkung ke atas
keempat ujungnya yang berhiaskan simbar menyerupai bentuk atap pada bangunan China.
Sedangkan gaya arsitektur Eropa terlihat dari pintu masuk di gedung baru masjid yang besar dan tinggi.
 
Dekoratif
Unsur dekoratif banyak terdapat di dalam masjid  seperti ornament khas Palembang yang cukup kental
dengan ukiran kaligrafi maupun sulur tanaman dicampur dengan perpaduan warna emas dan coklat, 
seperti penerapan pada:
Tiang, disetiap tiang terdapat banyak hiasan. Pada bagian kaki berhiaskan berbentuk pelepit sementara
pada bagian atas tiang terdapat hiasan motif kotak dengan pelipit setengah lingkaran.
Mimbar, di mimbar tangga  berhiaskan kotak-kotak dengan lubang kecil di tengahnya yang berwarna
emas. dua buah tiang persegi empat pada mimbar, berwarna coklat dengan hiasan bunga dan sulur.
Bagian atas tiang berbentuk melengkung dan berhiaskan simbar yang distilir dengan bunga dan sulur-
sulur dan hiasan bunga berderet.
Pintu, berhiaskan sulur-sulur, hiasan wajik.
Atap, ujung-ujung atap tersebut hiasannya berupa candi kecil dengan pelipit rata, padma, ratna,
kumuda, dan puncaknya seperti kuncup bunga.
Dinding dan kolom, umumnya berhiaskan motif profil yang mengadopsi dekorasi arsitektur gaya eropa.
Jendela, pada bukaan jendela ini dihiasi dengan kaca dekoratif.

Tata Ruang
Ruang Utama
berukuran 23 × 23 m, pada ruangan ini terdapat sembilan pintu dan 16 belas tiang yang terdiri atas
empat tiang soko guru (utan) dan 12 tiang penopang atap Tiang utama berbentuk segi delapan bagian
bawah dilapis porseim setinggi satu meter. Di atas porselen terdapat hiasan tumpal polos berwama
hijau tua. Tiang penopang bentuk dan hiasannya sama dengan tiang utama tetapi lebih kecil. Pada
ruangan inilah terletak mihrab, pada dinding bagian belakang mihrab terdapat ukiran kaligrafi
Muhammad dibuat berganda (Muhammad bertangkup). Semua hiasan dan kaligrafi berwarna emas.
Pada puncak mihrab terdapat bentuk simbar. Di dalam mihrab yang lama terdapat lemari dan rak buku
untuk menaruh Al-Quran dan buku-buku keagamaan lainnya. Luas ruangan 8,6 × 3,6 m dengan pintu di
sisi utara dan bagian depannya terdapat tangga dengan enam anak tangga. Ruangan mihrab lama
mempu-nyai atapnya terpisah dari atap masjid. Bentuknya limas berting-kat dua dengan ukiran bunga di
setiap sudutnya. Pada puncak atapnya terdapat hiasan labu berganda.

Ruang tambahan, ada empat:


Ruang I, berukuran 36 × 32 m, terdapat satu buah pintu masuk utama pada dinding timur dan pada
bagian tengah dinding terdapat tiga buah pintu dengan ukiran khas palembang (hiasan sulur-sulur) dan
satu buah pintu polos. Ruang tambahan pertama ini mempunyai atap tersendiri tidak bersatu dengan
ruang utama. Bentuknya seperti rumah biasa berhiaskan jurai pada sisi atasnya dan pada ujung-ujung
atap tersebut hiasannya berupa candi kecil dengan pelipit rata, padma, ratna, kumuda, dan puncaknya
seperti kuncup bunga.
Ruang II, merupakan bangunan tingkat dua berbentuk ‘U’ seperti ruang tambahan I , lantai II berfungsi
sebagai tempat shalat kaum wanita dan pengajian. Ruangan ini mempunyai pintu sebanyak Sembilan
buah. Selain itu terdapat tiang berbentuk bulat polos berwarna kuning gading berjumlah 32 buah, tiang
dengan umpak persegi dan badan bulat mengecil hingga keatas berjumlah 26 buah dan tiang dengan
dasarnya bulat ada 34 buah.

Ruang III, Letak ruang ini di sisi timur masjid dan merupakan bangunan baru (tahun 1970). Ruang
mempunyai tiga buah pintu dan jendela tanpa daun jendela, hanya ditutup dengan teralis bertuliskan
Allah dan Muhammad. Ruangan ini merupakan pintu (jalan) masuk melalui masjid yang hanya dibuka
pada saat shalat Jum’at atau shalat Ied.

Ruang IV, merupakan ruangan terbuka dengan teralis sebagai dindingnya, tetapi pada bagian atasnya
terdapat dinding berhiaskan motif bujur sangkar berderet dan kelopak bunga di atas bujur sangkar
tersebut. Dalam ruangan terdapat menara baru dengan pintu masuk menara di sisi timur ruangan ini
juga.

Sejarah

Menurut sejarah, Masjid Agung Palembang merupakan salah satu peninggalan Kesultanan Palembang.
Masjid ini didirikan oleh Sultan Mahmud Badaruddin I atau Sultan Mahmud Badaruddin Jaya Wikramo
mulai tahun 1738 sampai 1748. Konon masjid ini merupakan bangunan masjid terbesar di Nusantara
pada saat itu.

Peletakan batu pertama pembangunan masjid ini dilakukan oleh Sultan Mahmud Badaruddin I (Sultan
Mahmud Badaruddin Joyo Wikromo) yang dimulai 1 Jumadil Akhir 1151 H (1738) dan diresmikan pada
28 Jumadil Awal 1161 H (26 Mei 1748). Masjid ini dulunya dikenal dengan nama Masjid Sultan yang
lokasi dibangunnya terletak di “pulau” yang dikelilingi Sungai, sebelah Selatan Sungai Musi, sebelah
Barat Sungai Sekanak, sebelah Timur Sungai Tengkuruk, dan sebelah Utara Sungai Kapuran.

Menara pertama dibangun bagian kiri masjid arah Selatan (jalan Merdeka) pada tahun 1753 dengan
ukuran tinggi 30M dan garis tengah 3M.

Pada tahun 1897 di bawah pimpinan pangeran Penghulu Nata Agama Karta Manggala Mustofa Ibnu
Raden Kamaluddin diadakan perluasan Masjid Agung, tahun 1930 pengembangan masjid ini dipimpin
oleh Hofa Penghulu Ki Agung Haji Nang Toyib bersama teman-teman.

Pada tanggal 2 Januari 1970 dibangun menara kedua dengan ukuran tinggi 45 m  berbentuk persegi 12
dibiayai oleh Pertamina dan diresmikan pada tanggal 1 Februari 1971.

Renovasi terakhir tahun 2000 masjid dan selesai pada tanggal 16 Juni 2003 yang diresmikan oleh
Presiden RI. Hj. Megawati Soekarno Putri.
Video masjid agung

https://www.youtube.com/wat
ch?v=eR_ZTg4-gAw
video songket

https://www.youtube.com/watch?
v=uS4qkvq4v_M

songket

https://www.youtube.com/watch?
v=EFEz-9BLKTs
Songket hingga saat ini belum memiliki pengertian yang resmi, namun menurut bahasa
Palembang, songket berasal dari kata disongsong dan di-teket. Kata “teket” dalam
baso Palembang lamo artinya sulam. Kata tersebut merujuk pada proses penenunan
dengan memasukkan benang dan peralatan lainnya ke Lungsin dengan cara
disongsong. Pembuatan kain songket pada dasarnya dilakukan dengan cara
disongsong dan disulam. Pendapat lain mengatakan Songket Palembang berasal dari
kata songko, yaitu kain penutup kepala yang dihias dengan benang emas.

Kata “songket” dianggap berasal dari kata tusuk dan cukit yang diakronimkan menjadi
sukit, kemudian berubah menjadi sungki, dan akhirnya menjadi songket. Istilah songket
mulai ada sejak awal abad ke-19, sebelumnya masyarakat menyebut songket dengan
istilah kain sewet yang terbuat dari benang emas.

Di Palembang, ada lima kategori jenis kain songket. Pembagian ini berdasarkan
benang, benang emas dan motif yang digunakan. Kelima jenis kain songket itu antara
lain Kain Songket Lepus, Kain Songket Tabur, Kain Songket Bunga-Bunga, Kain
Songkat Limar, dan Kain Songket Rumpak.

 Lepus

Lepus adalah motif songket yang anyaman dan corak benang emasnya hampir
menutupi seluruh bagian dari kain songket tersebut. Hiasan emasnya menyebar rata ke
seluruh permukaan kain, hiasan pada kembang tengah selalu dipenuhi dengan benang
emas. Songket Lepus dapat dibagi lagi menjadi tiga jenis, yaitu Lepus Berekam, Lepus
Berantai, dan Lepus Penuh. Perbedaan pada kain songket Lepus disebabkan oleh
perbedaan benang yang digunakan dan keragaman motif.

Keindahan motif kain Songket Lepus nampak pada sebaran benang emas yang merata,
hampir memenuhi seluruh permukaan kain. Hal ini sesuai dengan pengertian Lepus,
yang artinya menutupi. Diperkirakan Songket Lepus adalah kain songket pertama yang
ada di Palembang.
Awalnya penenunan Songket lepus dilakukan di tempat khusus dalam lingkungan
keraton. Proses pencelupan warna hingga penenunan dilakukan oleh satu orang yang
ditugaskan oleh Sultan atau pangeran untuk membuat songket. Benang dan lidi yang
dijalin sebagai tahap dari perancangan kain songket menyesuaikan dengan ukuran
motif yang akan dibuat. Untuk membuat motif nago besak misalnya, lidi yang digunakan
berjumlah 60—75 batang, untuk motif nago kecik sekitar 50—55 batang. Inilah yang
menyebabkan proses pembuatan Songket Lepus cukup rumit, meski penenunannya
lebih mudah dibanding kain songket lain.
Variasi motif Lepus semakin bertambah seiring dengan perkembangan imajinasi dan
kreativitas para pengrajin songket, antara lain Songket Berakam yang menggunakan
benang sutera warna-warni dengan menyelipkan bunga kecil di antara motif utama.
Songket Lepus pada awalnya hanya dimiliki oleh keluarga istana, namun
perkembangan ekonomi yang cukup pesat menyebabkan banyak masyarakat di
Palembang yang kini mampu membeli kain Songket Lepus.
 Tabur

Motif songket Tabur menyebar merata, seolah-olah kembang motifnya pendek-pendek.


Hiasan motifnya tidak dijalin dari pinggir, melainkan sekelompok-sekelompok seolah
motif tersebut ‘ditaburkan’ di atas permukaan songket. Pada umumnya songket tabur
bermotif bunga, bintang, dan lain-lain. Letak motif yang menyebar disesuaikan dengan
selera penenun songket.
Aturan Sultan pada masa itu membatasi masyarakat untuk mengenakan kain songket,
namun seiring berjalannya waktu, para priyayi dan pasirah dari luar Palembang
menjadikan songket sebagai pelengkap busana keluarga mereka, terutama yang telah
menikah. Akses perdagangan memungkinkan kain songket mudah diperoleh oleh
masyarakat di pedalaman.
Pemakaian songket di daerah Uluan dan Iliran Palembang semakin meningkat pada
masa kolonial. Gadis-gadis disana menggunakan kain Songket Tabur sebagai busana
tari, yang sesungguhnya tidak diperbolehkan oleh masyarakat di Palembang. Cara
pemakaian kain songket para gadis tersebut sama dengan pemakaian para istri priyayi
di Palembang, yaitu sebagai kemben atau dodot. Bedanya, para istri menggunakan
kain songket Lepus, dan para gadis menggunakan kain songket Tabur. Kain Songket
Tabur lebih banyak digunakan oleh masyarakat di pedalaman, dengan anggapan untuk
menciptakan kesamaan gaya hidup masyarakat di pusat pemerintahan Palembang.

 Bunga-bunga

Motif Bunga-bunga adalah jenis songket yang memiliki motif tengah mirip bunga.
Awalnya motif bunga dikenal dalam kehidupan masyarakat Palembang yakni motif
bunga emas dan bunga pacik, yang membedakannnya adalah jenis benang emas yang
digunakan (bukan benang sutera). Bunga emas pada akhirnua dikenal dengan nama
bunga cina. Songket bunga emas digunakan oleh masyarakat keturunan Cina,
sedangkan bunga pacik oleh masyarakat keturunan Arab. Perbedaan penggunaan
benang tersebut didasari oleh prinsip masyarakat Arab menolak benang emas, karena
mereka meyakini manusia dilarang memamerkan kemewahan.
Munculnya songket motif bunga-bunga berkaitan dengan perkembangan kehidupan
masyarakat di Kesultanan Palembang Darusalam, yang memegang teguh prinsip-
prinsip keislaman. Kondisi ini menyebabkan mereka menolak penggunaan simbol-
simbol hewan atau makhluk bernyawa, sehingga muncullah motif bunga-bunga yang
menuntut ketelitian dan kehati-hatian si penenun kain. Songket motif ini ditemukan pula
pada Songket Lepus dan Songket Tabur.
 Limar

Benang sutera warna-warni disebut juga berlimar-limar, sehingga dinamakan kain


songket Limar. Benang sutera Limar dibuat dari aneka warna, yaitu merah, hijau, biru,
ungu, hitam, kuning, dan oranye. Warna kain songket Limar tidak terlalu menyala,
merupakan warna kombinasi yang cenderung gelap. Ada juga pendapat yang
mengatakan Limar menyerupai buah limau (jeruk). Limar artinya banyak bulatan kecil
dan percikan yang membintik, seperti tetesan air jeruk peras.
Di masa lampau, teknis ragam hias Songket Limar menggunakan bahan benang sutera
(gebeng) sebagai Lungsin, dan motifnya dibuat dengan cara dicucup dan dicolet
dengan aneka warna atau berlimar. Benang motif limar itu masuk dari sisi kanan dan
kiri seperti pakam. Cara menenun Limar pun tergolong rumit, karena motif ditentukan
sambil menenun dan dijaga agar benang warna tidak putus karena dapat merusak
motif.

Kain Songket Limar menggunakan sedikit benang emas jantung yang berasal dari
Shanghai Tiongkok, dibawa ke Palembang melalui jalur perdagangan. Keunggulan
benang emas tersebut tidak akan berubah warna, dan tidak dapat hancur dimakan
rayap/ngengat, namun kini benang emas Shanghai tidak diproduksi lagi. Limar juga
berkembang menjadi jenis songket baru yang disebut Songket Tretes Mider, dengan
motif yang hanya terdapat pada pangkal dan pinggir kain.
 Rumpak

Jenis terakhir kain songket ini terdapat dalam kehidupan masyarakat Palembang, yaitu
kain laki-laki yang digunakan ketika mereka menjadi pengantin. Songket Rumpak tidak
mengalami perkembangan pesat karena umumnya pengguna kain ini adalah laki-laki
yang berasal dari kalangan pembesar dan priyayi Palembang. 

Sumber:

Tim Penulis. (2012). Inventarisasi Perlindungan Karya Budaya: Songket Palembang di


Propinsi Sumatera Selatan. Padang: BPSNT Padang Press.

http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/2123/aneka-ragam-kain-songket-palembang
Kategori: Tata Rias · Ditulis oleh editor · Dipublish Maret 27, 2014

http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/877/songket

Songket adalah kain yang ditenun dengan menggunakan benang emas atau benang perak. Selain
benang emas atau perak, ada jenis benang sutera yang berwarna, ada yang menggunakan benang
sulam, ada yang menggunakan benang katun berwarna dan sebagainya. Tetapi semua jenis
benang tersebut dipergunakan untuk menghias permukaan kain tenun, bentuknya seperti sulaman
dan dibuat pada waktu yang bersamaan dengan menenun dasar kain tenunnya. Prinsip
penggunaan benang tambahan saat menenun disebut songket, karena dihubungkan dengan proses
menyungkit atau mengjungkit benang lungsi dalam membuat po lahias.

Songket merupakan jenis kain tenun tradisional Melayu dan Minangkabau di Indonesia,
Malaysia, dan Brunei. Di Indonesia, pusat kerajinan tangan tenun songket dapat ditemukan di
Sumatera, Kalimantan, Bali, Sulawesi, Lombok dan Sumbawa. Di pulau Sumatera pusat
kerajinan songket yang termahsyur dan unggul adalah di daerah Pandai Sikek dan Silungkang,
Minangkabau, Sumatera Barat, serta di Palembang, Sumatera Selatan. Di Bali, desa pengrajin
tenun songket dapat ditemukan di kabupaten Klungkung, khususnya di desa Sidemen dan Gelgel.
Sementara di Lombok, desa Sukarara di kecamatan Jonggat, kabupaten Lombok Tengah, juga
terkenal akan kerajinan songketnya.
Ditinjau dari bahan, cara pembuatan, dan harganya, semula songket adalah kain mewah para
bangsawan yang dipakai untuk menujukkan kemuliaan derajat dan martabat pemakainya. Akan
tetapi, kini songket tidak hanya dimaksudkan untuk golongan masyarakat kaya dan berada
semata, karena harganya yang bervariasi. Meskipun demikian, songket kualitas terbaik tetap
dihargai sebagai bentuk kesenian yang anggun dan bernilai budaya tinggi.

Sejarah Songket

Sejarah tentang asal muasal kain songket dikaitkan dengan Kerajaan Sriwijaya dan kawasan
permukiman dan budaya Melayu, serta diperkenalkan oleh pedagang India atau Arab. Sementara,
Menurut hikayat rakyat Palembang, asal mula kain songket adalah dari perdagangan zaman
dahulu di antara Tiongkok dan India. Orang Tionghoa menyediakan benang sutera sedangkan
orang India menyumbang benang emas dan perak; maka, jadilah songket.

Pola-pola rumit diciptakan dengan memperkenalkan benang-benang emas atau perak ekstra
dengan penggunaan sehelai jarum leper. Menurut tradisi, teknik tenun seperti ini berasal dari
utara. Akan tetapi menurut penenun Terengganu, justru para pedagang Indialah yang
memperkenalkan teknik menenun ini pertama kali di Palembang dan Jambi, yang mungkin telah
berlaku sejak zaman Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-11).

Menurut tradisi Indonesia sendiri, kain ini dikaitkan dengan kegemilangan Sriwijaya,
kemaharajaan niaga maritim pada abad ke-7 hingga ke-13 di Sumatera. Hal ini karena pusat
kerajinan songket paling mahsyur di Indonesia adalah kota Palembang. Songketa dalah kain
mewah yang aslinya memerlukan sejumlah emas asli untuk dijadikan benang emas, kemudian
ditenun tangan menjadi kain yang cantik. Secara sejarah tambang emas di Sumatera terletak di
pedalaman Jambi dan dataran tinggi Minangkabau. Meskipun benang emas ditemukan di
reruntuhan situs Sriwijaya di Sumatera, bersama dengan batu mirah delima yang belum diasah,
serta potongan lempeng emas, hingga kini belum ada bukti pasti bahwa penenun local telah
menggunakan benang emass awal tahun 600-anhingga 700-an masehi. Songket mungkin
dikembangkan pada kurun waktu yang lama di Sumatera. Songket Palembang merupakan
songket terbaik di Indonesia baik diukur dari segi kualitasnya, yang berjuluk "Ratu Segala Kain".
Songket eksklusif, memerlukan di antara satu dan tiga bulan untuk menyelesaikannya,
sedangkan songket biasa hanya memerlukan waktu sekitar 3 hari. Mulanya kaum laki-laki
menggunakan songket sebagai destar, tanjak atau ikat kepala. Kemudian barulah kaum
perempuan mulai memakai songket sarung dengan baju kurung.

Motif Songket

Songket mempunyai motif-motif tradisional yang merupakan cirri khas budaya wilayah
penghasil kerajinan ini. Misalnya, motif Saik Kalamai, Buah Palo, Barantai Putiah, Barantai
Merah, Tampuak Manggih, Salapah, Kunang-kunang, Api-api, Cukie Baserak, Sirangkak, Silala
Rabah, dan Simasam yang merupakan khas songket Pandai Sikek dan Minangkabau. Beberapa
pemerintah daerah telah mempatenkan motif songket tradisional mereka. Dari 71 motif songket
yang dimiliki Sumatera Selatan, baru 22 motif yang terdaftar di Direktorat Jenderal Hak
Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia .Dari 22 motif songket
Palembang yang telah terdaftar di antaranya motif Bungo Intan, LepusPulis, Nampan Perak, dan
Limar Beranti. Sementara 49 motif lainnya belum terdaftar. Selain motif Berante Berakam,
beberapa motif lain yang belum terdaftar yakni motif SongketLepusBintangBerakam,
NagoBesaung, Limar Tigo Negeri Tabur Intan, Limar Tigo Negeri Cantik Manis, Lepus Bintang
Penuh, Limar Penuh Mawar Berkandang, dan sejumlah motif lainnya.

Penutup

Sejak dahulu kala hingga kini, songket adalah pilihan popular untuk busana adat perkawinan
Melayu, Palembang, Minangkabau, Aceh dan Bali.Kain ini sering diberikan oleh pengantin laki-
laki kepada pengantin wanita sebagai salahsatu hantaran persembahan perkawinan. Di masa kini,
busana resmi laki-laki Melayu pun kerap mengenakan songket sebagai kain yang dililitkan di
atas celana panjang atau menjadi destar, tanjak, atau ikat kepala.Sedangkan untuk kaum
perempuannya songket dililitkan sebagai kain sarung yang dipadu-padankan dengan kebaya atau
baju kurung.

Meskipun berasal dari kerajinan tradisional, industri songket merupakan kerajinan yang terus
hidup dan dinamis. Para pengrajin songket terutama di Palembang kini berusaha menciptakan
motif-motif baru yang lebih modern dan pilihan warna-warna yang lebih lembut. Hal ini sebagai
upaya agar songket senantiasa mengikuti zaman dan digemari masyarakat.
Makam Pangeran Sido Ing Rejek di Sakatiga

Pangeran Sido Ing Rejek adalah Raja  Palembang (ke-XI) yang menggantikan ayahnya yaitu
Pangeran Sido Ing Pasarean pada tahun 1653-1659 M. Beliau dikenal sebagairaja yang alim
dan wara'. Pada masanya ini terjadilah pertempuran pertama dengan Belanda pada tahun 1659
yang mengakibatkan Keraton Kuto Gawang hancur serta habis hangus terbakar. setelah itu 
beliau mengasingkan diri ke desa Sakatiga dan menjadi sultan di Indralaya tahun 1659-1691 M.
Kategori: Drama · Ditulis oleh editor · Dipublish Maret 14, 2014

http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/823/wayang-kulit

Wayang kulit adalah salah satu kebudayaan Indonesia dari zaman dahulu kala.
Wayang berasal dari kata Ma Hyang yang artinya menuju kepada roh spiritual, dewa,
atau Tuhan Yang Maha Esa. Ada juga yang mengartikan wayang adalah istilah bahasa
Jawa yang bermakna bayangan, hal ini disebabkan karena penonton juga bisa
menonton wayang dari belakang kelir atau hanya bayangannya saja.

Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-
tokoh wayang. Selama bercerita, dalang diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan
sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para sinden. Dalang
memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih,
sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong),
sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan
wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang (lakon), penonton
harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di
layar.

Wayang kulit sudah ada sejak zaman:


Wayang kulit Purwa pada jaman Mataram
Wayang kulit Purwa Pada jaman Kerajaan Kertasura Hadiningrat
Wayang kulit Purwa Pada jaman Kerajaan Surakarta Hadiningrat

Berikut adalah Nama-nama dari tokoh perwayangan yang ada di Indonesia:

 Kayon Gapuran
 Kayon Kecil
 Burung Jatayu
 Kereta Kencana
 Hanuman/Hanoman
 Batara Kala
 Kala Barasrewu
 Kala Bendana
 Kapi Cucak Rawun
 Anggada
 Hanila
 Sugriwa
 Subali
 MegaNanda/Indrajid
 Prabu Rahwana
 Kumba Karina
 Buta Patih
 Resi Jamadagni
 Prabu Rama Wijaya
 Prabu Sri Harjuna Sasrabahu
 Raden Sumantri
 Sukrasana
 Sang Hyang Wenang
 Sang Hyang MAnikmaya
 Bathari Durga
 Sang Hyang Bayu
 Tugu Weseba
 Bethara Kamajaya
 Prabu Puntadewa
 Raden Brathasena
 Raden Werkudara
 Raden Harjuna
 Raden Permadi
 Raden Antareja
 Raden Gathutkaca
 Semar
 Nala Gareng
 Petruk
 Bagong
 Raden Angka Wijaya
 Prabu Bomanarakasuma
 Prabu Duryugana
 Prabu Baladewa
 Raden Kakrasana
 Raden Wisatha
 Dewi Setyawati
 Dewi Sembadra
 Dewi Drupadi
 Bethari Uma
 Dewi Arimbi
 Dewi Antiwati
 Dewi Wilutama
 Dewi Kunthi
 Dewi Bratajaya
 Dewi Utari
 Dewi Jembawati
 Dewi Kausalya
 Dewi Rukmini
 Dewi Setyaboma
 Dewi Surtikanthi
 Dewi Mustakaweni
 Dewi Larasati
 Dewi Lesmanawati
 Dewi Srikandhi
 Dewi Banowati
 Dewi Trijatha
 Raden Setyaki
 Raden Burisrawa
 Ditwa Janggi Sranna
 Buta Cakil
Pengertian Asimilasi dan Akulturasi Kebudayaan beserta Contohnya
Lengkap
http://www.berpendidikan.com/2015/09/pengertian-asimilasi-dan-akulturasi-kebudayaan-beserta-
contohnya-lengkap.html

Salah satu bentuk penerimaan atau penyesuaian masyarakat terhadap perubahan sosial atau budaya
baru yang datang adalah asimilasi. Jadi, apa yang dimaksud dengan asimilasi? Apa saja contoh asimilasi?
Pada pembahasan kali ini akan dijelaskan tentang pengertian asimilasi kebudayaan dan contoh asimilasi
serta pengertian akulturasi.

Melakukan Penyesuaian terhadap Perubahan


Berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat menuntut adanya penyesuaian. Bentuk dari
penyesuaian yang dapat dilakukan oleh warga masyarakat dalam menghadapi perubahan sosial sebagai
berikut.

Pengertian dan Contoh Asimilasi


Asimilasi adalah suatu proses penerimaan unsur-unsur kebudayaan dari luar yang bercampur dengan
unsur-unsur kebudayaan lokal sehingga menjadi unsur kebudayaan baru yang berbeda.

Asimilasi adalah pembauran dua kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli
sehingga membentuk kebudayaan baru. Suatu asimilasi ditandai oleh usaha-usaha mengurangi
perbedaan antara orang atau kelompok. (Wikipedia)

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh masyarakat dalam proses asimilasi.

Pertama, masyarakat harus dapat menghargai unsur-unsur asing dan kebudayaan yang dibawanya.
Tidak semua unsur-unsur asing berdampak negatif. Banyak hal yang dapat kita ambil manfaatnya dari
unsur-unsur asing tersebut.

Kedua, adanya toleransi antarkebudayaan yang berbeda.


Toleransi adalah sikap menghargai kebudayaan atau pendapat yang berbeda atau bertentangan dengan
pendirian sendiri.

Adanya toleransi antarkebudayaan memungkinkan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda dapat hidup


berdampingan secara damai. Masyarakat yang memiliki rasa toleransi tinggi cenderung mampu untuk
menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang ada.

Ketiga, adanya sikap terbuka.


Masyarakat yang senantiasa menghadapi berbagai perubahan yang terjadi dengan sikap terbuka, akan
dapat hidup dengan sejahtera.

Hal-hal yang dapat menghambat asimilasi antara lain rendahnya pengetahuan masyarakat tentang
kebudayaan lain, ketakutan terhadap kebudayaan atau unsur-unsur baru, sikap superior yang menilai
tinggi kebudayaannya sendiri, perbedaan kepentingan, dan letak geografis yang terisolasi.

Pengertian akulturasi

Akulturasi

Akulturasi adalah percampuran dua kebudayaan atau lebih yg saling bertemu dan saling
mempengaruhi.

Atau bisa diartikan juga bahwa akulturasi adalah proses masuknya pengaruh kebudayaan asing dl suatu
masyarakat, sebagian menyerap secara selektif sedikit atau banyak unsur kebudayaan asing itu, dan
sebagian berusaha menolak pengaruh itu.

Akulturasi dapat juga dimaknai sebagai proses atau hasil pertemuan kebudayaan atau bahasa di antara
anggota dua masyarakat bahasa, ditandai oleh peminjaman atau bilingualisme.

Menerima Unsur-Unsur Baru


Keseimbangan atau harmoni dalam masyarakat merupakan keadaan yang diidam-idamkan. Dengan
keseimbangan, seluruh unsur-unsur kemasyarakatan akan benar-benar berfungsi dan saling mengisi.

Setiap terjadi gangguan terhadap keadaan seimbang tersebut, masyarakat dapat menolaknya atau
mengubah susunan lembaga-lembaga kemasyarakatan dengan maksud untuk menerima suatu unsur
baru.

Sebagai contoh, dewasa ini kebaya menjadi tren kembali untuk dijadikan busana resmi kaum muda.
Sebelumnya, ada rasa keengganan untuk mengenakan busana tersebut karena menganggap kebaya
merupakan pakaian ”orang dahulu” yang sudah ketinggalan zaman.

Namun, melalui berbagai modifikasi akhirnya kebaya menjadi pakaian yang digemari oleh kaum muda
dan seolah menjadi busana wajib untuk menghadiri acara-acara resmi
contoh, pengertian, perbedaan asimilasi dan akulturasi penjelasan
lengkap !!!

http://pajaa.com/contoh-asimilasi-dan-akulturasi/

24/11/2016 by Muhammad Ihsan 1 Comment

Contents [show]

Contoh Asimilasi – Membicarakan tentang contoh pengertian asimilasi tentunya tidak jauh dari
bagaimana cara kita melihat dan membaca masalah yang terjadi pada masyarakat. Tentunya hal
ini sangat berhubungan dengan budaya, adat, akulturasi, dan kompetisi di dalam berinteraksi
sosial masyarakat.

Pada intinya bagaimana cara kita dan masyarakat setempat dalam melakukan sebuah
penyesuaian terhadap perubahan sosial dan budaya. Karena di dalam setiap zaman yang kita lalui
mesti ada perubahan perubahan dalam kebiasaan bermasyarakat. Kita langsung saja ke
pembahasan inti ya…

Pengertian Asimilasi

majalahweddingavenue.com
Asimilasi merupakan sebuah proses dimana masyarakat menerima unsur-unsur kebudayaan dari
luar yang bercampur dengan unsur unsur budaya lokal. Proses ini berlangsung sampai
terbentuknya budaya baru yang berbeda dari yang sebelumnya.

Sedangkan menurut wikipedia asimilasi adalah sebuah pembaruan dari dua kebudayaan yang
disertai dengan hilangnya ciri dari kebudayaan yang asli sampai membentuk kebudayaan yang
baru. Proses asimilasi ditandai dengan usaha-usaha untuk mengurangi sebuah perbedaan diantara
orang ataupun kelompok.

Contoh Asimilasi

Gambaran mudah proses asimilasi seperti A+B=C

Contoh contoh asimilasi sangat banyak bisa kita temukan di dalam kehidupan bermasyarakat.
Apalagi di negara indonesia yang memiliki banyak sekali ragam suku dan budaya. Tentunya,
bukan hal yang sangat sulit untuk mencari asimilasi dikalangan masyarakat. nah berikut ini
contoh contoh dari asimilasi :

Contoh 1

Amelia  adalah orang sangat menyukai tarian adat dari bali indonesia. Dia memiliki teman baik
dengan orang amerika latin yang bernama rachel yang menyukai tarian tradisional tango amerika
latin. Karena seringnya mereka berdiskusi tentang kebudayaan, maka mereka memutuskan unruk
mencampur kedua tarian tersebut. Di situlah terjadi percampuran budaya yang menghasilkan
budaya baru.

Contoh 2

Perjodohan antar suku yang akan menimbulkan pembaruan dari budaya dari masing masing
individu. Sehingga akan memunculkan budaya budaya baru. Karena perbedaan bahasa ,
kebiasaan, dan kebudayaan di pasangan tersebut, Otomatis mereka harus saling menghargai dan
bertoleransi atas perbedaan tersebut dengan membuat budaya baru.

Contoh 3

Contoh asimilasi yang ke-3 ini contohnya seperti genre musik asli indonesia yaitu dangdut yang
saat ini sudah sangat banyak di campurkan dengan musik musik dari luar. Yang melahirkan
genre dangdut koplo/ dangdut remix.

Syarat Terjadinya Asimilasi

Proses terjadinya asimilasi tidak serta merta begitu saja bisa terjadi, ada beberapa syarat yang
harus terpenuhi. Diantara syarat syarat asimilasi adalah :

1. Adanya perbedaan budaya dan kebiasaan di antara kedua kelompok.


2. Sudah terjadi-nya diskusi dan interaksi sosial diantara kedua kelompok.
3. Adanya sikap toleransi dan keinginan saling memahami pada masing masing individunya.

Faktor Pendorong Terjadinya Asimilasi

1. Sikap toleransi yang kuat, saling menghargai, dan juga saling melengkapi di dalam kelompok
kelompok tersebut.
2. Bisa saling membantu dalam bidang perekonomian dan saling melengkapi di dalamnya.
3. Menghadirkan sikap terbuka untuk mau berdiskusi bersama para penguasa dan masyarakat.
4. Adanya beberapa kesamaan unsur unsur kebudayaan. Supaya timbul sikap untuk mau dekat
dengan satu sama lain.
5. Adanya pencampuran budaya diantara kedua kelompok.
6. Adanya musuh yang sama.

Faktor Penghambat Asimilasi

1. Adanya sikap fanatisme dan berprasangka buruk di dalam salah satu kelompok atau keduanya.
2. Tidak ada-nya sikap toleransi dan saling simpati. yang bisa menimbulkan rasa cinta di antara
kedua kubu.
3. Adanya sombong dan perasaan superioritas yang besar.
4. Adanya sikap atau perasaan diantara individu untuk saling berkaitan pada kelompok dan
kebudayaan yang bersangkutan.

Pada intinya proses asimilasi tidak akan terjadi jika ada sikap menutupi di antara keduanya. Jika
kelompok yang minoritas masih ada yang terisolasi, tidak ada keterbukaan dengan kelompok
mayoritas maka akan sangat sulit untuk membuat dan memproses asimilasi kebudayaan baru.

Pengertian Akulturasi
berbagicerita.blogspot.com

Akulturasi berasal dari bahasa latin yaitu “acculturate” yang memiliki arti “bersama sama
tumbuh dan berkembang”. Namun jika di artikan secara umum akulturasi adalah perpaduan
budaya yang menghasilkan budaya baru tanpa menghilangkan unsur unsur kebudayaan yang asli.

Menurut seorang tokoh ternama bernama koenjaningrat Akulturasi merupakan sebuah proses
sosial yang terjadi jika ada kelompok sosial berbudaya dipertemukan dengan kebudayaan
kebudayaan asing lainnya. Diantara syarat bisa terjadi proses akulturasi adalah :

1. Affinty atau adanya penyesuaian kebudayaan tanpa ada rasa terkejut dengan kebudayaan
tersebut.
2. Adanya keseragaman atau homogenity seperti sebuah hal yang baru untuk dicerna akibat
kesamaan tingkat dan seni budaya.

Jenis-jenis Akulturasi

Salah satu cara supaya akulturasi bisa terjadi adalah dengan kontak budaya. Kontak budaya ada
bermacam macam di antaranya adalah :

1. Kontak sosial dalam seluruh lapisan masyarakat atau individu dalam kedua masyarakat yang
berbeda budayanya.
2. Kontak budaya diantara kelompok yang menguasai dan di kuasau di dalam unsur unsur
budayanya, bahasa, juga baik dalam segi ekonomi, teknologi, masyarakat dan agama.
3. Kontak budaya diantara masyarakat dalam jumlah besar ataupun sedikit.
4. Kontak budaya di dalam situasi perdamaian atau situasi permusuhan.
5. Kontak budaya yang baik antara sistem sosial, sistem budaya, dan unsur unsur budaya fisik.
Contoh-contoh Akulturasi
Akulturasi Seni Bangunan

Selain Contoh Asimilasi akan diberikan beberapa contoh akulturasi. Pada bangunan candi
misalnya, sangat tampak seni bangunan yang merupakan wujud dari dari pencampuran atara seni
asli indonesia dengan seni seni dari agama hindu dan budha.

Berarti candi merupakan bentuk akulturasi budaya antara bangsa indonesia dengan umat
beragama hindu yang mayoritas beasal dari bangsa india. Tak hanya itu, bangunan candi juga
merupakan bagunan hasil dari akulturasi antara agama hindu dengan agama budha.

Akulturasi Seni Tarian

Tari betawi misal-nya, dulu semua orang betawi tinggal di berbagai wilayah penjuru ibu kota
jakarta. ada yang tinggal di tengah kota, pinggir kota bahsan di pesisir pantai kota jakarta.
Karena perbedaan tempat tinggal, menyebabkan perbedaan karakter dan kebiasaan. Karenanya
tarian yapong, topeng, sirih kuning dan lenggang nyai di buat salah satunya untuk menyatukan
warga betawi.

Akulturasi Adat dan Kebiasaan

Sebenarnya tradisi masyarakat dalam membagi bagi makanan dan rezki di hari raha juga
merupakan bentuk akulturasi dari budaya orang beragama islam dengan bangsa indonesia.

Orang indonesia pada zaman dahulu suka sekali berkumpul bersama lalu berbagi kebahagiaan
dan rezeki. Karena di dalam agama islam juga diajarkan untuk saling berbagi dan bermajelis
bersama, Maka terbentuklah kebudayaan baru yaitu tahlilan bersama. Dalam acara itulah
pembagian berkat dilaksanakan.

Demikian tadi merupakan pembahasan lengkap dari pada contoh asimilasi dan pengertian
akulturasi. Semoga yang sedikit ini dapat bermanfaat untuk kita. sekian dan terimakasih.

Bagikan ini:

Anda mungkin juga menyukai