KELAS: IX.9
MAPEL: PLH
1. ISTANA MAIMUN
Istana Maimun adalah sebuah bangunan peninggalan sejarah masa kerajaan melayu Sultan Deli
ke- IX yaitu Sultan Ma”moen Al Rasyid Perkasa Alamsyah, bangunan ini mulai dibangun pada 26
Agustus 1888 dan selesai selama 3 tahun yang sekaligus diresmikan pada tanggal 18 Mei tahun
1891. Bangunan begitu kokoh dan megah hingga saat ini didesain oleh arsitektur asal Italia yang
bernama Ferari. Pembangunan ini menghabiskan dana setara satu juta gulden jika dikurskan
dengan mata uang Belanda, konsep arsitekturnya unik, cantik, dan memiliki karakter unsur
tradisiononal yang khas Indonesia dengan sentuhan Melayu, baik bentuk maupun ornamennya
dipengaruhi oleh berbagai kebudayaan, antara lain Melayu, Islam, Spanyol, china, India dan
Itali. Bangunan ini juga didominasi dengan warna kuning keemasan yang identik dengan etnis
Melayu.
Istana ini terletak di Kelurahan Sukaraja kecamatan Medan Maimun jalan Brigjen Katamso
Kota Medan Sumatera Utara. Secara geografis kota Medan terletak pada koordinat 3° 30′ – 3°
43′ Lintang Utara dan 98° 35′ – 98° 44′ Bujur Timur. topografi kota Medan cenderung miring ke
utara dan berada pada ketinggian 2,5 – 37,5 meter di atas permukaan laut.
8. MASJID AGUNG PALEMBANG
Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo[1] atau biasa disebut Masjid Agung
Palembang adalah sebuah masjid paling besar di Kota Palembang, Sumatra Selatan. Masjid ini
didirikan pada abad ke-18 oleh Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo. Saat ini, Masjid
Agung Palembang telah menjadi Masjid regional di kawasan ASEAN. Masjid ini menempati
kompleks seluas 15.400 meter persegi, di kawasan 19 Ilir, di mana merupakan salah satu
Kampung Asli Palembang dan Arab yang telah lama didiami.
Pembangunan masjid yang baru memakan waktu cukup lama, hingga pada 26 Mei 1748 atau
pada 28 Jumadil Awal 1151 tahun Hijriah, masjid tersebut baru diresmikan berdiri. Di awal
pembangunannya, Masjid Agung Palembang disebut oleh masyarakat Palembang dengan nama
Masjid Sulton. Nama tersebut merujuk pada pembangunan masjid yang diketuai dan dikelola
secara langsung oleh Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo.
Ketika pertama kali dibangun,masjid ini meliputi lahan seluas 1.080 meter persegi (sekitar 0,26
hektar) dengan kapasitas 1.200 orang. Lahan kemudian diperluas oleh Sayid Umar bin
Muhammad Assegaf Altoha dan Sayid Achmad bin Syech Sahab dibawah pimpinan Pangeran
Nataagama Karta Mangala Mustafa Ibnu Raden Kamaluddin.
3. MASJID ISTIQLAL
Gereja katedral Santo Petrus Bandung (1922) kini masih asli, utuh dan berfungsi baik, namun
terganggu kesakralannya, yang tak terhindarkan. Studi ini bertujuan mengungkap Makna
kultural gereja, menetapkan wujud makna kultural pada elemen arsitekturnya, dan
menetapkan cara pelestariannya. Teori yang digunakan ialah teori Strukturalisme Saussure
('membaca' bentuk kebudayaan dengan memahami sistem-sistem utamanya melalui analogi
bahasa); teori Capon (melihat arsitektur sebagai susunan dari elemen-elemennya, yang
dikategorikan Fungsi-bentuk-makna); teori Pelestarian Arsitektur Oebasli, Feilden, Sidharta-
Budihardjo (menggunakan pendekatan Nilai Makna Kultural dalam pelestarian arsitektur). Nilai-
nilai ini akan dipertahankan melalui tindakan pelestarian. Permasalahan 'Makna kultural' gereja
dan wujudnya dalam 'Elemen-elemen Arsitektu' ialah hal mendasar, karena itu studi ini bersifat
kualitatif. Makna kultural yang diungkap terkait dengan elemen arsitektur Bentul-fungsi-makna,
yaitu: aspek bentuk berupa Nilai Arsitektural dan Kekriyaan, aspek Fungsi berupa Nilai
Keteknikan dan Kelokalan, aspek Makna berupa nilai Sejarah dan Simbolik bangunan. Hasil studi
ini: makna kultural gereja ini terletak pada nilai-nilai Arsitektural, Kekriyaan, Keteknikan dan
Simbolik. Nilai Sejarah pada gaya arsitektur Neo-Gotik (jelas terbaca), sedangkan nilai kelokalan
kurang berperan. Wujudnya adalah: 1). Aspek bentuk: Selubung bangunan bertampilan megah,
sakral, indah; Tata ruang bertema/bentuk salib-gotik terasa indah, nyaman dan sakral. 2). Aspek
fungsi: Dinding selubung merangkap struktur utama dan penyerap bising/lembab; Plafon gaya
Gotik berperan sebagai elemen akustik dan keindahan; Jendela-jendela sebagai sumber
penerangan alami dan elemen estetik tema Gotik; Menara lonceng dan ornamen salib sebagai
simbol spiritual. 3). Aspek makna: Bangunan berproporsi tinggi, menara lonceng, lambang salib
merupakan elemen-elemen bermakna spiritual (kini tergannggu dengan adanya bangunan
tinggi-besar di persil sebelah); Selubung bangunan Gotik bermakna sejarah (arsitektur Gotik).
Elemen elemen arsitektur tersebut masih utuh, asli dan kokoh, hanya ada kerusakan kecil,
kotor, lembab, berkarat. Maka tindakan pelestariannya adalah Preservasi, yaitu
mempertahankan bangunan dan mencegah kerusakan tanpa perubahan melalui perawatan
rutin dan pengendalian lingkungan.
5. GEDUNG SATE
Arsitektur Gedung Sate adalah hasil karya arsitek Ir. J. Gerber beserta timnya yang juga
mendapatkan masukan dari maestro arsitek Belanda yaitu Dr. Hendrik Petrus Berlage. Sebuah
hasil karya yang bernuansakan wajah arsitektur tradisional nusantara.
Gedung Sate merupakan suatu karya arsitektur besar hasil perpaduan antara langgam timur
dan barat secara harmonis. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Ir. H.P. Berlage ketika
berkunjung ke Gedung Sate pada tahun 1923Perpaduan langgam tersebut bisa terlihat pada
beberapa bagian Gedung Sate. Bagian bangunan sayap barat menggunakan gaya arsitektur
Italia di masa renaiscance. Bagian jendelanya dibuat dengan tema Moor Spanyol. Sedangkan
untuk bagian menara bertingkat yang ada di tengah bangunan merupakan aliran Asia, yaitu
atap yang dibuat seperti gaya atap pura di Bali atau atap pagoda yang ada di Thailand.
Puncak gedung yang menjadi ciri khas bangunan Gedung Sate terdiri dari 6 buah ornamen sate
sehingga dikatakan sebagai "tusuk sate". Ada juga yang mengatakan yang ada di puncak itu
adalah ornamen jambu air atau melati. Banyaknya ornamen yang berjumlah 6 buah memiliki
arti tersendiri. Ornamen tersebut melambangkan jumlah biaya yang dihabiskan untuk
membangun Gedung Sate yaitu sekitar 6 juta gulden,
Sedangkan arsitektur khas Indonesia terdapat di atas pintu utama Gedung Sate. Di tempat
tersebut terdapat ornamen dari batu yang sering dikaitkan dengan candi Borobudur karena
bentuknya serupa. Tata letak bangunan yang kini jadi pusat pemerintahan Provinsi Jawa Barat
ini benar-benar diperhitungkan dengan jeli. Mengikuti sumbu poros arah mata angin utara dan
selatan, bagian depan Gedung Sate dibangun menghadap ke sebelah utara, tepat ke hadapan
Gunung Tangkuban Perahu.
6. LAWANG SEWU
Denah bangunan mirip hurul L, membentuk halaman dalam (inner courtyard) di belakang
bangunan. Di ujung tenggara halaman itu terdapat bangunan percetakan, ruang mesin dan
tempat sepeda. Sesuai dengan filosofi NIS, direksi NIS memberi arahan bahwa bangunan itu di
satu sisi harus mengesankan kesederhanaan tapi di sisi lain juga harus dirancang dengan baik.
Sebagai catatan, filosofi yang sama juga nanti dipakai dalam perancangan stasiun Semarang
Tawang. Pengecualian di kantor NIS adalah pada ruang penerima (entrance hall) di sudut
bangunan yang sengaja dirancang megah
Mengacu pada design arsitektur Indies, gedung ini dikelilingi selasar depan dan belakang
(voorgalerij dan archtergalerij) untuk melindungi bangunan dari sinar matahari secara langsung.
Ditengah-tengah bangunan membujur pula sebuah selasar lagi. Selain sebagai jalur lalu lintas
antar ruang, selasar tengah yang bermuara di ruang penerima dan tangga utama juga berfungsi
sebagai saluran udara untuk mendinginkan udara di dalam bangunan. Dalam sistem sirkulasi
udara gedung ini, ruang penerima berfungsi sebagai cerobong udara untuk menyalurkan udara
panas ke luar. Selain sirkulasi udara, curah hujan tropis yang lebar juga mendapat perhatian
dari Jakob F Klinkhamer dan BJ Ouendag.
Atap dibuat sedemikian rupa sehingga agar kedap air, sekaligus untuk membuat ruang atap
(solder atau attic) tetap dingain. Menjaga ruang di bawah atap tetap kering dan sejuk menjadi
penting karena dokumen arsip disimpan di sini. Solusi yang dibuat adalah dengan membuat
atap ganda di atas ruang-ruang kantor, sebagai atap dalam, di bawah permukaan atap luar.
Ruang di bawah dua bidang atap tersebut terlihat dari luar sebagai deretan bukaan yang
ditutup kisi-kisi, diselingi jendela-jendela untuk menerangi ruang di bawah atap.Aliran udara di
ruang di antara kedua bidang atap diperlancar dengan adanya menara-menara ventilasi di
puncak atap. Peletakan kamar mandi dan toilet karena pertimbangan kesehatan dibangun agak
jauh di belakang, juga mengikuti kebiasaan di masa itu. Kamar mandi dan toilet dilihat sebagai
tempat yang selalu lembab sehingga potensial menjadi tempat berkembangnya bibit penyakit
sehingga harus dijauhkan dari ruang-ruang lainnya.
7.GEREJA BELENDUK
Bangunan Gereja Blenduk merupakan bangunan peninggalan pada era Kolonial Belanda yang
dibangun pada tahun 1753 oleh bangsa Portugis dan telah mengalami tiga kali renovasi.
Renovasi yang pertama dilakukan pada tahun 1787 dengan bentuk seperti sekarang namun
belum memiliki menara dan hiasan atap, yang kedua pada tahun 1894 dilakukan penambahan
menara dan hiasan atap dan yang ketiga tahun 2002. Bangunan gereja memiliki langgam
arsitektur Abad Pertengahan (Middle Ages) dan Indische empire Style yang masih
dipertahankan hingga sekarang. Keadaan alam seperti banjir dan limpasan air rob, dapat
menurunkan kualitas visual pada kawasan Kota Lama Semarang. Beberapa bangunan
mengalami pengeroposan dinding dan ditumbuhi lumut karena kurangnya perawatan.
Kerusakan tersebut dapat mengurangi nilai historis pada bangunan peninggalan Kolonial
Belanda yang merupakan awal perkembangan bangunan modern di Indonesia. Dengan adanya
latar belakang tersebut, maka diperlukan upaya pelestarian pada bangunan Gereja Blenduk
sebagai salah satu contoh bangunan yang masih memiliki keterawatan yang baik dan nilai
historis yang tinggi. Tujuan dari penelitian adalah untuk mendeskripsikan karakter spasial, visual
dan struktural serta menganalisis dan menentukan strategi dan arahan pelestarian pada
bangunan Gereja Blenduk. Metode penelitian yang digunakan pada studi ini adalah metode
deskriptif analisis, metode evaluatif dan metode development. Metode deskriptif analisis
merupakan metode yang digunakan untuk mendeskripsikan dan menganalisis karakter spasial,
visual dan struktural pada bangunan Gereja Blenduk. Metode evaluatif digunakan untuk
melakukan penilaian makna kultural elemen bangunan yang didapat dari hasil analisis. Strategi
dan arahan pelestarian dilakukan setelah mendapat hasil dari penilaian makna kultural dengan
metode development.
Terdapat tiga tingkatan potensial pada penilaian, yaitu potensial tinggi, potensial sedang dan
potensial rendah. Potensial tinggi dilakukan tindakan pelestarian preservasi atau konservasi,
potensial sedang dilakukan tindakan konservasi atau rehabilitasi dan potensial rendah
dilakukan tindakan pelestarian berupa rehabilitasi atau rekonstruksi Pola ruang pada bangunan
Gereja Blenduk disusun secara radial, dengan ruang ibadah sebagai inti bangunan dan memiliki
sisi yang simetris. Visual pada bangunan Gereja Blenduk cenderung vertikal karena memiliki
skala monumental pada ketinggian bangunan. Bukaan yang terdapat pada bangunan Gereja
Blenduk memiliki ukuran yang besar dan melengkung disesuaikan dengan dinding bangunan
yang tinggi. Jendela pada menara dihiasi oleh pediment, sehingga terlihat memiliki ukuran yang
lebih besar. Pintu masuk utama Gereja Blenduk terdapat kolom Tuscan, digunakan sebagai
penyangga gevel yang merupakan era arsitektur Indische Empire. Daya tarik utama terdapat
pada bentuk atap kubah yang melingkupi ruang ibadah, struktur yang dipakai menggunakan
besi siku.
9, TAMAN SARI
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu provinsi di Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang terkenal sebagai pusat kebudayaan. Sejarah panjang daerah ini memberikan kekayaan
peninggalan sejarah dan budaya berupa peninggalan fisik berupa situs cagar budaya dan benda
cagar budaya, dan peninggalan non fisik berupa sistem nilai dan norma, karya seni, dan sistem
sosial masyarakat Yogyakarta. Salah satu warisan budaya Yogyakarta yang patut dilestarikan
adalah Pemandian Umbul Binangun. Kompleks pemandian bersejarah ini merupakan bagian
dari situs cagar budaya Pesanggrahan Tamansari. Kompleks ini merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan memiliki arsitektur dan makna kultural
yang penting untuk dilestarikan. Meskipun sudah pernah mengalami beberapa upaya
konservasi, akhirakhir ini tanda-tanda kerusakan mulai muncul kembali di Istana Air ini.
Ditambah lagi, alih fungsi Pemandian Umbul Binangun sebagai obyek pariwisata turut
mendatangkan keramaian yang berpotensi mengganggu kepentingan pelestarian cagar budaya
ini. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan saran pelestarian bagi Pemandian Umbul
Binangun berdasarkan fenomena-fenomena yang ada tersebut. Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif berupa deskriptif analitis. Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi
makna kultural dan nilai-nilai signifikan yang patut dilestarikan, mengidentifikasi kerusakan
yang ada beserta penyebabnya, serta memberikan rekomendasi tindakan pelestarian yang
paling cocok bagi fungsinya saat ini.
10. TONGKONAN
Toraja Utara merupakan kabupaten baru akibat pemekaran Kabupaten Tana Toraja
berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008. Kabupaten Tana Toraja beribukota di
Makale, sedangkan Kabupaten Toraja Utara beribukota di Rante Pao. Kabupaten ini memiliki
luas kurang lebih 1.215, 55 Km2 dan dibagi dalam 21 kecamatan. Kecamatan itu adalah:
Kecamatan Sesehan, Nanggala, Rindinggallo, Buntao, Sa’dan, Sanggalangi, Rantepao, Sopai,
Tikala, Balusu, Tallunglipu, Dende Piongan Napo, Buntu Pepasa, Baruppu, Kesu, Tandon,
Bangkelikela, Rantebua, Sesean, Seloara, Kapala Pitur, dan Awan Rante Karua (Sektiadi dkk,
2009). Tongkonan Kande Api secara administrasi berada di Kampung Kande Api Utara, Desa
Buntu Barana, Kecamatan Tikala, Kabupaten Toraja Utara. Letak astronomis Kande Api berada
pada koordinat 02056’ 113” LS 1190 53’ 47,3” BT, pada ketinggian 871 m dari permukaan laut.
Teknik pembuatan tongkonan sebagai rumah adat dikerjakan dengan menggunakan bahan
bangunan kayu dan bambu, tanpa menggunakan paku, melainkan pasak dan ikat.
Penyambungan menggunakan purus dan lurah. Atap dibuat dari bambu dibelah yang saling
menumpuk, dan ditutup kulit bambu yang ditata berjajar dan bertumpuk. Kayu yang digunakan
adalah jenis kayu banga yang bentuknya mirip batang pinang dalam ukuran besar.
Tongkonan juga berfungsi sebagai pengikat dan pemersatu keluarga. Pada mulanya tongkonan
difungsikan sebagai rumah tinggal, tempat pertemuan keluarga, dan tempat menyemayamkan
jenazah sebelum dikebumikan.
11. JEMBATAN MAHAKAM