Anda di halaman 1dari 7

Masjid Raya Medan

Fungsi
Masjid Raya Medan yang dikenal dengan Masjid Raya Al-Mashun adalah salah satu
bangunan tertua di Kota Medan yang merupakan salah satu peninggalan seorang Sultan Deli
di Sumatera Utara yang bernama Sultan Ma'moen Al Rasyid Perkasa Alam (1873-1924) yang
sangat monumental dan memilki nilai sejarah yang sangat tinggi. Hal ini dapat diketahui dari
prasasti bertuliskan Arab Melayu, dipahatkan pada sayap kiri dan kanan pintu gerbang masuk
menuju masjid. Masjid Raya Al-Mashun  ini dibangun pada tahun 1906 dan baru digunakan sekitar
1909 ini terletak Medan, Sumatera Utara. Selain itu, masjid ini sejak dulu telah dikenal sebagai
landmark utama dari ibukota Provinsi Sumatera Utara. Hingga saat ini, masjid tersebut
masih digunakan untuk beribadah dan berdoa bagi umat Muslim pada setiap harinya. Mesjid
Raya Medan juga dijadikan sebagai objek wisata religi. Walaupun dijadikan sebagai tempat
wisata sekaligus tempat beribadah, pengunjung diharap tetap menjaga ketenangan dan ketertiban.
Pengunjung juga diperbolehkan mengabadikan masjid ini akan tetapi tidak mengganggu yang
beribadah. Pada bulan ramadhan, di Masjid Raya Al-Mashun juga menyajikan bubur sop anyang
sebagai hidangan berbuka puasa. Bubur Anyang merupakan makan khas suku Melayu yang
pastinya selalu ada setiap tahunnya di bulan ramadhan.
Selain masyarakat lokal, ada pula wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Masjid
Raya Medan ini. Konon katanya, karena sama-sama peninggalan kerajaan Deli, Masjid Raya
terhubung langsung dengan Istana Maimun, melalui sebuah terowongan yang mengarah ke kamar
sultan Deli di Istana Maimun. Terowongan tersebut biasanya digunakan oleh sultan apabila ingin
pergi ke Masjid. Namun,saat ini terowongan tersebut tidak ada lagi karena sudah roboh.

Bentuk
Pada awalnya Masjid Raya Al Mashun dirancang oleh arsitek Belanda Van Erp yang juga
merancang Istana Maimun, tetapi kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp
ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses
restorasi Candi Borobudur di Jawa Tengah.
JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan
dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa dan Melayu dan Timur Tengah. Denah yang
persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid
kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah
warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda
dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid
yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.
Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan
menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan
lebih kecil, terdapat ‘beranda’ serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela
yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga,
sisa peninggalan Art Nouveau periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam. Seluruh
ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang
kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat

1
tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat
sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.
Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-
lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu
mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan.
Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.
Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang
lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam
masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga
kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing.
Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias
paduan antara Mesir, Iran dan Arab. Luas Bangunan masjid tersebut mencapai 5000 meter
persegi, serta dibangun di atas lahan dengan luas 18000 meter persegi.

Estetika
Masjid Al Mashun dirancang oleh arsitek dari Belanda. Bangunan bersejarah tersebut
kental dengan ornament yang mengadopsi budaya India, Eropa, serta dipadupadankan dengan
budaya Melayu. Hal ini seperti terlihat dari pintu kayu yang dicat biru dan kuning. Warna kuning
menyiratkan sifat Melayu karena Sultan Deli merupakan orang Melayu. Pada bagian pintu-pintunya
terdapat ornamen Spanyol yang melengkung. Pada Masjid Raya Al Mashun tidak terdapat kaligrafi
pada interiornya sebagaimana masjid pada umumnya. Tetapi pada interior masjid ini terdapat
ornamen berupa ukiran berbentuk tanaman dan bunga yang dicat. Sang arsitek memberikan
sentuhan gaya Maroko, eropa, Melayu dan Timur Tengah. Pada bangunan Masjid Raya Al
Mashun.Tiang masjid yang kokoh terbuat dari marmer asli dari Italia, berjumlah 8 tiang yang
mengelilingi masjid. Mimbar yang digunakan saat hari Jum’at dan Ramadhan, memiliki seni
bercorak India.

Material
Sultan Ma’mum Al Rasyid Perkasa Alam sebagai pemimpin Kesultanan Deli memulai
pembangunan Masjid Raya Al Mashun pada tanggal 21 Agustus 1906 (1 Rajab 1324 H).
Keseluruhan pembangunan rampung pada tanggal 10 September 1909 (25 Sya‘ban 1329 H)
sekaligus digunakan ditandai dengan pelaksanaan sholat Jum’at pertama di masjid ini. keseluruhan
pembangunannya menghabiskan dana sebesar satu juta Gulden. Sultan memang sengaja
membangun mesjid kerajaan ini dengan megah, karena menurut prinsipnya hal itu lebih utama
ketimbang kemegahan istananya sendiri, Istana Maimun. Pendanaan pembangunan masjid ini
ditanggung sendiri oleh Sultan, namun konon Tjong A Fie, tokoh kota medan dari etnis Thionghoa
yang sejaman dengan Sultan Ma’mun Al Rasyd turut berkontribusi mendanai pembangunan masjid
ini. Bahan material bangunan Masjid Al Mashun sebagian diimpor antara lain: marmer untuk
dekorasi diimpor dari Italia dan Jerman, kaca patri dari Tiongkok, dan lampu gantung langsung
dari Perancis.

Pendapat

2
Dalam tugas sejarah kali ini saya berkesempatan untuk mencari masjid yang memiliki
artefak (peninggalan bersejarah) atau nilai-nilai sejarah tinggi. Indonesia merupakan negara yang
penduduknya mayoritas beragama islam. Hal ini dikarenakan masuknya islam ke Indonesia.
Terlepas dari banyaknya teori berbeda para ahli sejarah yang menjelaskan kapan tepatnya islam
masuk ke Indonesia, islam telah memberikan perubahan yang signifikan terhadap arsitektur di
Indonesia. Salah satunya tempat ibadah umat muslim yaitu, masjid. Banyak masjid-masjid di
Indonesia yang memiliki nilai sejarah dan nilai arsitektural yang tinggi bahkan menjadi salah satu
terbaik di Asia. Salah satunya adalah Masjid Raya Medan, dirancang oleh dua arsitek Belanda
yaitu, JA Tingdeman dan Van Erp. Alasan saya memilih masjid ini karena bentuk bangunan yang
unik. Masjid Raya Medan dirancang sedemikian rupa dengan denah simetris segi delapan. JA
Tingdeman juga mengadopsi dari budaya Maroko, Eropa dan Melayu dan Timur Tengah.
Campuran dari empat kebudayaan disertai bentuk yang tidak biasa untuk sebuah masjid membuat
bangunan yang berfungsi sebagai tempat ibadah ini terlihat menakjubkan, sehingga pemerintah
memustuskan untuk menjadikan masjid ini sebagai objek wisata religius yang selalu dipenuhi oleh
wisatawan dalam maupun luar negeri.
Selain keindahan arsitekturalnya yang begitu menarik, Masjid Raya Medan juga memiliki
sejarah yang panjang. Masjid yang sudah berdiri selama 113 tahun ini adalah salah satu masjid
tertua di Sumatera Utara. Masjid Raya Medan atau yang sering disebut juga Masjid Raya Al-
Mashun memiliki keunikan yang lain yaitu Alquran berukuran raksasa yang berusia ratusan tahun.
Jika diperhatikan lebih dekat dapat dilihat bahwa Alquran tersebut merupakan hasil tulisan tangan
dan masih dapat terbaca jelas hingga kini. Al Quran itu terbuat dari kertas kulit yang sangat tua dan
ditulis tangan oleh para pembuat maupun perancang yang berasal dari Timur Tengah. Tulisan
tangan tersebut dengan menggunakan bahasa Urdu dan Parsi. Menurut penjaga masjid, dari
informasi yang diperolehnya dari orang-orang tua dulu maupun alim ulama, Al Quran itu masuk ke
masjid tersebut, setelah enam tahun peresmian bangunan tempat ibadah tersebut.

Gambar/foto

Alquran Raksasa di Masjid Raya Al-Mashun

3
Interior Masjid Raya Medan

4
5
Tampak

6
Perspektif

Anda mungkin juga menyukai