Anda di halaman 1dari 6

Nama : Ardino

Kelas : XII – Agama


Mapel : Sejarah Indonesia

MASJID AGUNG PALEMBANG

Cikal bakal dan motivasi pembangunan masjid Agung Palembang bermula saat masjid
yang didirikan Ki Gedeh Ing Suro (Sultan Palembang) terbakar.Kabarnya masjid ini dihancurkan
oleh Mayor Van der Laen saat perang Palembang melawan Belanda pada tahun 1659.Saat itu,
lokasi masjid ini berada di Keraton Kuto Gawang. Kalau sekarang berada di Kompleks PT.
Pusri.Peletakan batu pertama pada pembangunan masjid Agung pada 1 Jumadil Akhir 1151 H
(1738 M).Sedangkan peresmian pemakaiannya pada hari Senin tanggal 1 Jumadil Awal 1161 H
atau bertepatan dengan tanggal 20 Mei 1748 M.

Masjid Agung didirikan di samping Keraton Tengkuruk yang dikenal juga sebagai Kuto
Kecik (sekarang gedung Museum Sultan Mahmud Badarudin II) serta bergaya arsitektur
Eropa.Menurut penelitian sejarawan Djohan Hanafiah, awalnya masjid ini berbentuk
bujursangkar.Namun diketahui pula bahwa bentuk bangunan masjid ini persegi panjang.Hal ini
dapat diketahui dari sketsa lukisan pada tahun 1821.

Sedang pada buku yang saya baca, tidak diketahui siapa pelukis sketsa ini.Sultan
Mahmud Badarudin I (SMB I) menentukan sendiri arsitektur bangunannya.Rancangannya adalah
berundak dengan limas di puncaknya/mustaka.Mustaka adalah kepala dari atap undak masjid
Agung.Ia juga memiliki jurai kelompok simbar.Simbar itu seperti tanduk kepala kambing
sebanyak 13 buah di tiap sisinya.Bentuk atapnya memiliki kesamaan dengan masjid di Hua Nan,
Cina.Arsitektur Cina pada masjid ini terasa kental pada bentuk mustaka yang terjurai juga
melengkung ke atas pada empat ujungnya.Hal ini disebabkan karena orang-orang Cina ikut andil
dalam pembuatan masjid Agung.Sedangkan mimbar masjid Agung mirip sekali dengan mimbar
Rasulullah di masjid Madinah.Ini menunjukkan pengaruh arsitektur Arab.

Jadi ada tiga budaya dan bentuk arsitektur pada masjid Agung ini, yaitu Arab, Cina dan
tradisional. Hanya saya tidak tahu bagaimana campur tangan Eropa sehingga membuat masjid ini
juga terlihat gaya Eropanya.Peran orang Cina pada masa kesultanan cukup
menentukan.Termasuklah sebagai tenaga ahli administrasi, perdagangan, dan syahbandar
(pegawai yang mengepalai urusan pelabuhan).
Menurut kitab Ying-Lang Sheng Lan yang ditulis oleh Ma Huan pada dinasti Ming,
diceritakan daerah pelabuhan lama, Ku Kang/Kiu Kian (maksudnya kota Palembang).Mayoritas
penghuninya adalah orang-orang Cina yang berasal dari Kanton, Chang Chou, dan Chuan
Chou.Benteng Kuto Besak yang didirikan pada 1780 juga terdapat andil orang-orang
Cina.Waktu pembangunannya memakan waktu selama 17 tahun karena bahan bangunannya
harus didatangkan dari luar Palembang bahkan luar pulau Sumatera.Pada 1797 bangunan
tersebut resmi digunakan.Walaupun demikian arsitek Benteng tidak diketahui dengan pasti, tapi
diperkirakan dari orang Eropa.Keterampilan mencetak bata orang-orang Cina di Palembang
diwariskan kepada keturunannya yang bermukim di perkampungan tua mereka.Tepatnya berada
di Sungai Ogan alias Sungai Buaya.Masyarakat Cina pada masa kesultanan tinggal di rumah-
rumah rakit di wilayah Seberang Ulu.Seperti juga komunitas Arab, Eropa dan orang-orang yang
dianggap bukan sebagai warga kesultanan Palembang.

Seiring berjalannya waktu, masjid Agung telah banyak direnovasi sehingga beberapa
bentuknya tak lagi sama seperti yang dulu.Masjid ini juga telah mengalami beberapa kali
perluasan oleh banyak pihak.Termasuk oleh pemerintah Belanda waktu zaman kolonial.Yayasan
Masjid Agung dan Pertamina pun turut andil.

Untuk masalah perluasan dan renovasi ini banyak simpang siur terkait kapan
dilakukannya hal tersebut.Terakhir masjid Agung Palembang diresmikan oleh Presiden saat itu
Megawati Soekarno Putri.Dan masjid ini didaulat menjadi salah satu masjid Nasional.Ciri khas
masjid ini masih dipertahankan.Seperti atap menara yang bergaya khas Cina dan undak-undak
pada atap masjidnya yang melengkung ke atas.Untuk sejarah masuknya Islam di Palembang
akan saya bahas di tulisan lain. Semoga informasi ini bermanfaat.
Nama : Muzakir Zakaria
Kelas : XII – Agama
Mapel : Sejarah Indonesia

PAGODA VIHARA BUDDHAGAYA WATUGONG

Vihara Buddhagaya Watugong mempunyai sejarah panjang hingga perkembangan yang


besar pada saat ini. Kurang lebih 500 tahun sesudah keruntuhan Kerajaan Majapahit, muncul lah
berbagai kegiatan dan peristiwa yang menyadarkan berbagai kalangan penduduk akan warisan
luhur nenek moyang yaitu Buddha Dhamma agar dapat kembali dipraktekkan oleh para
pemeluknya. Usaha yang semula banyak digagas di zaman Hindia Belanda. Akhirnya harapan
akan adanya orang yang mampu untuk mengajarkan Buddha Dhamma pada para umat dapat
terwujud dengan kehadiran Bhikkhu Narada Maha Thera dari Srilanka pada tahun 1934. Gayung
pun bersambut, kehadiran Dhammadutta tersebut dimanfaatkan oleh umat dan simpatisan untuk
mengembangkan diskusi dan memohon penjabaran Dhamma secara lebih luas lagi. Puncaknya
muncul putra pertama Indonesia yang mengabdikan diri secara penuh pada penyebaran Buddha
Dhamma, yakni pemuda Bogor bernama The Boan An yang kemudian menjadi Bhikkhu Ashin
Jinarakkhita.

Pada tahun 1955 Bhikkhu Ashin Jinarakkhita memimpin perayaan Waisak 2549 di Candi
Borobudur, pada saat itu juga ada seorang hartawan yang menjadi tuan tanah dari Semarang
yang bernama Goei Thwan Ling dengan latar belakang agama Buddha yang terkesan pada
kepiawan dan kepribadian dari Bhikku Ashin Jinarakkhita, maka Goei Thwan Ling
menghibahkan dan mempersembahkan sebagian tanah miliknya untuk digunakan sebagai pusat
dan pengembangan Buddha Dhamma. Tempat itulah yang kemudian diberi nama Vihara
Buddhagaya. Pada 19 Oktober 1955 didirikan Yayasan Buddhagaya untuk menaungi aktivitas
vihara. Dari vihara inilah kemudian satu episode baru pengembangan Buddha Dhamma
berlanjut.
Mulai tahun 1955, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita sang pelopor kebangkitan Buddha
Dhamma di nusantara menetap di Vihara Buddhagaya Semarang. Banyak sejarah besar yang
beliau torehkan bersama Vihara Buddhagaya, seperti Upasika Indonesia saat perayaan Asidha
pada bulan Juli 1955, menggagas perayaan Buddha Jayanti yang diperingati oleh umat Buddha di
seluruh dunia tahun 1956, penanaman pohon Bodhi pada tanggal 24 Mei 1956 dan pendirian
Sima Internasional pertama di KASAP (belakang Makodam IV/Diponegoro) untuk penahbisan
Bhikkhu.

Kemudian beberapa saat selama kurang lebih delapan tahun vihara ini sempat terlantar,
namun sekarang bangkit kembali di bawah binaan Sangha Theravada. Maka pada bulan Februari
2001 dilakukan revitalisasi dan renovasi pada vihara ini yang dimulai terlebih dahulu dengan
pembangunan Gedung Dhammasala yang diresmikan pada tanggal 3 November 2002 oleh
Gubernur Jawa Tengah yaitu H.Mardiyanto. Selanjutnya dibangun pula bangunan yang lain yaitu
Pagoda Avalokitesvara pada bulan November 2004 dan diresmikan pada tanggal 14 Juli 2005
oleh Gubernur Jawa Tengah yaitu H.Mardiyanto

Vihara tersebut juga masih aktif digunakan sebagai tempat beribadah umat Budha.Pagoda
ini pernah tercatat di rekor MURI tahun 2006 karena menjadi vihara tertinggi,.Tinggi pagoda
legendaris ini mencapai 45 meter dan memiliki 7 lantai.

Uniknya, material bangunan seperti genteng, aksesori di dalam ruangan, lampu relief
tangga yang terbuat dari batu, kolam air mancur, hingga patung burung Hong da Kilin, semuanya
diimpor langsung dari Cina.Pagoda Kwan Im dibangun pada bulan November dan diresmikan
pada 14 Juli 2005 oleh Mardiyanto, yakni Gubernur Jawa Tengah ke-12.
Nama : Muhammad Fiqky Fadhil
Kelas : XII – Agama
Mapel : Sejarah Indonesia

MASJID RAYA NUR ADDIN TEBING TINGGI

Masjid Raya Nur Addin di Jalan Suprapto, Kecamatan Tebingtinggi Kota. Hingga kini
masjid yang didirikan pada masa Kerajaan Negeri Padang masih megah berdiri.Bahkan, terbesar
seantero Bandar Khalifah, Sipispis, hingga Dolok Merawan. Ketiga kawasan ini adalah teritorial
Kerajaan Negeri Padang.

Masjid yang dibangun pada 1880 silam atau kini berusia 141 tahun, merupakan hasil dari
dana konsesi pembukaan perkebunan oleh pengusaha Belanda kepada Kerajaan Negeri
Padang.“Masjid Raya ini dibangun semasa Kerajaan Negeri Padang di masa kepemimpinan
Tengku Haji Muhammad Nurdin,” ucap Abdul Khalik, pengamat sejarah di Kota
Tebingtinggi.“Kenaziran masjid ini sejak lama diwariskan secara turun-temurun kepada zuriat
(keluarga) Tengku Haji Muhammad Nurdin. Masjid Raya Nur Addin menjadi saksi bisu tentang
keberadaan dan kejayaan Kerajaan Negeri Padang yang sejak berdiri hingga runtuhnya berpusat
di Kota Tebingtinggi,” tuturnya.Masjid Raya ini selain menjadi tempat beribadah, setiap tahun
juga menjadi pusat penyambutan jamaah haji yang baru datang dai Tanah Suci. “Setiap tahun
pasti dilaksanakan di sini,” ucapnya.

Selain Masjid Raya Nur Addin, terdapat pula sejumlah bukti peninggalan kejayaan
Kerajaan Negeri Padang. Misalnya Balai Kerapatan (kantor pemerintahan) yang hingga kini
masih berdiri tegak di Jalan KF Tandean, Kelurahan Bandar Sakti, Kecamatan Tebingtinggi
Kota.“Istana Kerajaan Negeri Padang itu meski tidak utuh seperti semula serta kondisinya
menyedihkan namun masih dihuni zuriat(keluarga) kerajaan. Bahkan, menariknya Balai
Kerapatan kini difungsikan menjadi markas Koramil 013,” sebutnya.

Keberadaan sejumlah aset kejayaan masa lalu itu seolah jauh dari apresiasi berbagai
pihak. Namun, belakangan ini mulai ada upaya menegaskan kembali keberadaan Kerajaan
Negeri Padang dimunculkan. Kerajaan Negeri Padang merupakan bagian penting dalam upaya
mempertahankan identitas sosial budaya suatu wilayah.“Kesadaran pemerintah dalam
melestarikan asetaset peninggalan masa lalu menjadi salah satu poin penting. Aset kerajaan yang
berusia ratusan tahun wajib untuk dilestarikan. Identitas itu harus menjadi identitas Kota
Tebingtinggi,” katanya. Selain masjid, Balai Kerapatan, terdapat pula bangunan historis lainnya
yang dapat ditemui jika berkeliling ke Tebingtinggi.Misalnya gedung kantor pos di Jalan
Sutomo. Gedung itu adalah bekas balai kota yang kini jadi Museum Kota Tebingtinggi. Selain
itu juga pernah menjadi Kantor Dinas Pendidikan di Jalan Balai Kota. Bangunan bersejarah
lainnya yakni rumah dinas kapolres Tebingtinggi di Jalan Pahlawan, serta stasiun kereta api dan
sejumlah bangunan perumahan Deli Spoor Maschapij (DSM) di Jalan Imam Bonjol.

Di sana berjejer rumah pecinan di Jalan Patriot dan Bedagai. Ada juga jejeran ruko di
Jalan Thamrin simpang Jalan Iskandar Muda. Bisa jadi, itulah bangunan yang tersisa dari masa
lalu sejarah Kota Tebingtinggi.

Namun sekarang bangunan masjid bersejarah ini telah dipugar oleh pihak pemerintah
Kota Tebing Tinggi menjadi bangunan beton sehingga menghilangkan nilai sejarah dari masjid
tertua di Kota Tebing Tinggi ini.Barang-barang peninggalan masjid pun sudah tidak telihat lagi,
bahkan penggantian nama masjid dari Masjid Raya menjadi Masjid Raya Nur Addin pun tidak
memberitahukan pihak keturunan raja Negeri Padang Almarhum Tengku Haji Muhammad
Nurdin. Hanya fungsi masjid yang tetap sama sebagai tempat ibadah dan pengajian-pengajian
Islam.

Anda mungkin juga menyukai