Anda di halaman 1dari 5

TEMPAT IBADAH TERKENAL AGAMA DI INDOENISA

Janeeta Najla Raissa ( 4A / 11 )

Nama : Masjid Istiqlal Jakarta


Tahun berdiri : 24 Agustus 1961
Tempat ibadah umat : Islam
Kegunaan :
1. Sebagai pusat pemberdayaan infaq, zakat, sedekah juga wakaf.
2. Sebagai tempat beribadah umat islam.
3. Sebagai tempat diselenggarakannya kegiatan pendidikan agama seperti TPA, madrasah
dan lain sebagainya.
4. Sebagai tempat diadakannya kegiatan sosial ekonomi yang berlandaskan agama (koperasi
masjid)
5. Sebagai tempat dilaksanakannya pengajian akbar juga pengajian rutin atau berkala
6. Sebagai tempat penyelenggaraan perayaan hari-hari besar keisalaman
7. Sebagai destinasi wisata yang menarik kunjungan wisatawan

Sejarah singkat :
Setelah perang kemerdekaan Indonesia, mulai berkembang gagasan besar untuk mendirikan
masjid nasional. Ide pembangunan masjid tercetus setelah empat tahun proklamasi
kemerdekaan. Gagasan pembangunan masjid kenegaraan ini sejalan dengan tradisi bangsa
Indonesia yang sejak zaman kerajaan purba pernah membangun bangunan monumental
keagamaan yang melambangkan kejayaan negara. Misalnya pada zaman kerajaan Hindu-
Buddha bangsa Indonesia telah berjaya membangun candi Borobudur dan Prambanan.
Karena itulah pada masa kemerdekaan Indonesia terbit gagasan membangun masjid agung
yang megah dan pantas menyandang predikat sebagai masjid negara berpenduduk muslim
terbesar di dunia.

Pembangunan masjid ini diprakarsai oleh Presiden Republik Indonesia saat itu, Ir. Soekarno.


Peletakan batu pertama sebagai tanda dimulainya pembangunan Masjid Istiqlal dilakukan
oleh Ir. Soekarno pada tanggal 24 Agustus 1961. Arsitek Masjid Istiqlal adalah Frederich
Silaban, seorang Nasrani.
Nama : Gereja Katedral Jakarta
Tahun berdiri : 27 April 1901
Tempat ibadah umat : Katolik

Kegunaan :
1. Sebagai tempat beribadah umat katolik.
2. Sebagai destinasi wisata.
3. Sebagai situs cagar budaya.
4. Sebagai museum tempat peninggalan benda-benda bersejarah.

Sejarah singkat :
Pembangunan Gereja Katedral dimulai ketika Paus Pius VII mengangkat pastor Nelissen
sebagi prefek apostik Hindia Belanda pada 1807. Saat itulah dimulai penyebaran misi dan
pembangunan gereja katolik di kawasan nusantara, termasuk di Jakarta. Sebelumnya,
lokasi awal Gereja Katedral berada di pojok barat daya Buffelvelt (sekarang menjadi gedung
departemen agama). Pada 1808 Gereja Katedral dilayani oleh Pastor Nelissen dengan bentuk
bangunan yang sangat sederhana, yakni rumah bambu berukuran kecil. Gereja Katedral
digunakan sebagai tempat ibadah pada tahun sekaligus rumah tinggal perwira sebagai rumah
pastoral. Semua bangunan tersebut dipinjamkan dari pemerintah Hindia Belanda.  Pada 1810
Pemerintah Hindia Belanda melalui Gubernur Jendral Herman Williem Daendles dari
Inggris, memberikan tempat baru untuk Gereja Katedral, tepatnya di kawasan Senen. Gereja
Katolik mulai diperhatikan saat peralihan kekuasaan Batavia dari Belanda ke Inggris.

Nama : Gereja Immanuel Jakarta


Tahun berdiri : 24 Agustus 1839
Tempat ibadah umat : Kristen

Kegunaan :
1. Sebagai tempat beribadah umat Kristen.
2. Sebagai situs cagar budaya.
3. Sebagai destinasi wisata.
Sejarah singkat :
Gereja Immanuel awalnya adalah gereja yang dibangun atas dasar kesepakatan antara umat
Reformasi dan Umat Lutheran di Batavia. Pembangunannya dimulai tahun 1834 dengan
mengikuti hasil rancangan J.H. Horst. Pada 24 Agustus 1835, batu pertama diletakkan. Empat
tahun kemudian, 24 Agustus 1839, pembangunan berhasil diselesaikan. Bersamaan dengan
itu gedung ini diresmikan menjadi gereja untuk menghormati Raja Willem I, raja Belanda
pada periode 1813-1840. Pada gedung gereja dicantumkan nama WILLEMSKERK.

Nama : Pura Besakih Bali


Tahun berdiri : Tahun 1284
Tempat ibadah umat : Hindu

Kegunaan :
1. Sebagai huluning Bali Rajya, Pura Besakih sebagai kepalanya atau menjadi jiwanya pulau
Bali.
2. Sebagai Pura Kahyangan Rwa Bhineda, Tuhan dipuja di Pura Besakih sebagai pencipta
dua unsur alam semesta yaitu unsur purusa dan pradana.
3. Sebagai Pura Sad Winayaka, Pura Besakih yang melahirkan Pura Sad Kahyangan di Bali.
4. Pura Besakih sebagai Padma Bhuwana dengan keberadaan Padma Tiga di Penataran Pura
besakih, Bali menjadi simbol alam semesta stana Tuhan Yang Maha Esa.
5. Sebagai lambang alam atas dan alam bawah, Pura Besakih dalam dimensi alam semesta
ini,

Sejarah singkat :
Menurut Babad Bali sejarah berdirinya Pura Besakih bermula ketika Rsi Markandeya,
seorang pemuka agama Hindu keturunan India mengembara ke Pulau Bali mengikuti suara
gaib yang didapatnya ketika bermeditasi di Dataran Tinggi Dieng. Suara itu menyuruhnya
untuk membuka hutan di Pulau Dawa (Pulau Bali) untuk dibagikan pada para pengikutnya.

Pengembaraan Rsi Markandeya tidak berjalan mulus karena para pengikutnya yang
meninggal akibat diterkam binatang buas atau terserang penyakit. Setelah melakukan upacara
Dewa Yadnya akhirnya rombongan Rsi Markandeya sampai di lereng Gunung Agung dan di
sanalah mereka menemukan berbagai peninggalan masa prasejarah seperti menhir dan
peninggalan lainya di puncak sebuah bukit.

Sebuah prasasti mengatakan Pura Besakih dibangun pada tahun 1284 oleh Rsi Markandeya
dan para pengikutnya. Tapi ada juga sebagian dari para ahli sejarah yang yakin kalo cikal
bakal Pura Besakih sudah dibangun sejak tahun 163 Masehi, jauh sebelum Candi Borobudur
dan Candi Prambanan didirikan oleh Kerajaan Mataram Hindu. Yang jelas sih sejak abad ke-
15 Pura Besakih ditetapkan menjadi pura kerajaan di masa berkuasanya Dinasti Gelgel.
Nama : Vihara Budhagaya Watugong
Tahun berdiri : 19 Oktober 1955
Tempat ibadah umat : Budha

Kegunaan :
1. Sebagai tempat beribadah umat budha
2. Sebagai objek dan daya tarik wisata

Sejarah singkat :
Vihara Buddhagaya Watugong mempunyai sejarah panjang hingga perkembangan yang besar
pada saat ini. Kurang lebih 500 tahun sesudah keruntuhan Kerajaan Majapahit, muncul lah
berbagai kegiatan dan peristiwa yang menyadarkan berbagai kalangan penduduk akan
warisan luhur nenek moyang yaitu Buddha Dhamma agar dapat kembali dipraktekkan oleh
para pemeluknya. Usaha yang semula banyak digagas di zaman Hindia Belanda. Akhirnya
harapan akan adanya orang yang mampu untuk mengajarkan Buddha Dhamma pada para
umat dapat terwujud dengan kehadiran Bhikkhu Narada Maha Thera dari Srilanka pada tahun
1934. Gayung pun bersambut, kehadiran Dhammadutta tersebut dimanfaatkan oleh umat dan
simpatisan untuk mengembangkan diskusi dan memohon penjabaran Dhamma secara lebih
luas lagi. Puncaknya muncul putra pertama Indonesia yang mengabdikan diri secara penuh
pada penyebaran Buddha Dhamma, yakni pemuda Bogor bernama The Boan An yang
kemudian menjadi Bhikkhu Ashin Jinarakkhita.
Pada tahun 1955 Bhikkhu Ashin Jinarakkhita memimpin perayaan Waisak 2549 di Candi
Borobudur, pada saat itu juga ada seorang hartawan yang menjadi tuan tanah
dari Semarang yang bernama Goei Thwan Ling dengan latar belakang agama Buddha yang
terkesan pada kepiawan dan kepribadian dari Bhikku Ashin Jinarakkhita, maka Goei Thwan
Ling menghibahkan dan mempersembahkan sebagian tanah miliknya untuk digunakan
sebagai pusat dan pengembangan Buddha Dhamma. Tempat itulah yang kemudian diberi
nama Vihara Buddhagaya. Pada 19 Oktober 1955 didirikan Yayasan Buddhagaya untuk
menaungi aktivitas vihara. Dari vihara inilah kemudian satu episode baru pengembangan
Buddha Dhamma berlanjut.
Nama : Klenteng Kim Tek Le
Tahun berdiri : Tahun 1650
Tempat ibadah umat : Khonghucu

Kegunaan :
1. Tempat peribadahan multikultural, berbagai aliran agama seperti Tao, Budha, Khonghucu
2. Sebagai destinasi objek wisata.
3. Tempat bersejarah, klenteng tertua di Jakarta.

Sejarah singkat :
Klenteng Kim Tek Ie atau Vihara Dharma Bhakti adalah kelenteng tertua di Jakarta.
Klenteng ini dibangun pertama kali pada tahun 1650 dan dinamakan Kwan Im Teng.
Kata Kwan Im Teng kemudian diserap ke dalam Bahasa Indonesia menjadi klenteng.

Kelenteng ini dibangun pada tahun 1650 oleh seorang Letnan Tionghoa bernama Kwee


Hoen dan dinamakan Kwan Im Teng ( 觀 音 亭 , Paviliun Guan Yin). Letaknya di Glodok,
sebelah barat daya kota.
Menurut sinolog Claudine Salmon, walau tidak ditemukan buktinya, kelenteng ini
kemungkinan terbakar dalam peristiwa pembantaian etnis Tionghoa pada tahun 1740.
[1]
 Kelenteng dipugar kembali pada tahun 1755 oleh Kapitan Oei Tji-lo dan diberi nama "Kim
Tek Ie".[3]
Selama abad ke-17 tidak ada informasi yang jelas mengenai Kim Tek Ie.
Pada abad ke-18, seiring dengan perkembangan kota yang semakin pesat, Kim Tek Ie dikenal
sebagai tempat ibadah masyarakat Tionghoa yang terpenting di Batavia. Setiap pemuja
diterima dengan terbuka dan menjadi tempat ibadah yang banyak dikunjungi pejabat-pejabat.
Seorang Mayor Tionghoa pernah menyumbangkan dana untuk pemugaran kelenteng.

Anda mungkin juga menyukai