Anda di halaman 1dari 11

SEJARAH INDONESIA

KELOMPOK :

KLENTENG HONG TONG BIO

CORINA SILMI AFDHOLIA


(05)
FAHIRA DWI LAILYASARI (09)
KURNIA SAFITRI (16)
NIKEN NURMALITASARI S
(25)
RIDLO AL-FARIZI (29)
SAMSUL ARIF (31)
TIRSA OKTA WULAN K (36)

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke Hadirat Allah SWT, karena hanya dengan rahmat dan
hidayah Nya kami dapat menyusun makalah ini sebagai salah satu tugas Pelajaran Sejarah
pada Kelas X IPA 4 SMA N I Glagah Banyuwangi. Seperti diketahui, Banyuwangi memiliki
banyak sekali tempat bersejarah yang menjadi ikon kota dan merupakan cagar budaya yang
tidak ternilai harganya. Salah satu dari tempat bersejarah tersebut adalah Klenteng Hoo Tong
Bio yang merupakan tempat peribadatan umat Tri Darma, yaitu : Budha, Kong Hu Cu dan
Tao. Berikut akan kami bahas sekilas tentang sejarah Klenteng Hoo Tong Bio yang menjadi
kebanggAan masyarakat Banyuwangi

DAFTAR ISI

Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
Pendahuluan

Bab I
Bab II
Bab III
Penutup
Daftar Pustaka

PENDAHULUAN

Klenteng Hoo Tong Bio terletak di daerah Pecinan atau tepatnya


di Kelurahan Karangrejo Kecamatan Banyuwangi Kabupaten
Banyuwangi. Klenteng ini dibangun oleh komunitas Tionghoa yang
menghuni Blambangan pada tahun 1784. Hoo Tong Bio sendiri
bermakna Kuil Perlindungan Orang Cina. Mereka mendirikan
rumah ibadah ini untuk menghormati leluhur mereka, Tan Hu Cin Jin,
yang dianggap menyelematkan komunitas Tionghoa yang saat itu
ditawan oleh Belanda.

BAB I
MASUKNYA ORANG TIONGHOA KE
BLAMBANGAN

Orang Tionghoa yang pertama kali menginjakkan kaki ke nusantara adalah Faxian,
seorang peziarah Budhis, yang diperkirakan terjadi pada tahun 413 M. Setelah itu,
gelombang kedatangan orang-orang Tiognhoa makin masif, terutama pada abad ke-15 dan
abad ke-16. Dimana kebanyakan wilayah yang dituju adalah Jawa dan Sumatra.
Pola migrasi orang Tionghoa yang ke Jawa dan ke Sumatra atau Kalimantan sangat
berbeda. Jika di Sumatra dan Kalimantan migrasi orang Tionghoa cenderung berkelompok
dan berjumlah besar. Sedangkan yang ke Jawa, pola migrasinya dilakukan dalam kelompokkelompok kecil. Perbedaan ini mempengaruhi perkembangan kebudayaan dan tradisi dari
etnis Tionghoa itu sendiri. Jika di Sumatra yang kehidupan orang Tionghoanya berjumlah
besar, mereka mampu mempertahankan budaya maupun bahasa Mandarin sampai beberapa
generasi. Sedangkan yang bermigrasi ke Jawa, karena berkelompok kecil, mereka berupaya
untuk berbaur dengan penduduk setempat. Sehingga pada generasi selanjutnya, kebanyakan
dari mereka sudah kehilangan bahasa Mandarinnya.
Sedangkan migrasi orang Tionghoa ke Blambangan diperkirakan pertama kali pada
abad ke-14. Saat itu pasukan Laksamana Cheng Ho melakukan perjalananannya ke Kerajaan
Majapahit dan Blambangan. Kedatangannya ke Blambangan terjadi pada tahun 1405 M.
Sedangkan etnis Tionghoa mulai menetap di Blambangan berkisar pada tahun 1631 M.
Namun dalam perpindahannya yang masif ke Blambangan diduga kuat terjadi pada tahun
1740. Dimana pada tahun itu, etnis Tionghoa banyak mengalami pembantaian di Batavia dan
merambat sampai ke Semarang.
Motif kedatangan orang Tionghoa di Banyuwangi, maupun di Indonesia secara
keseluruhan, sebagian besar karena faktor ekonomi dan politik. Demi untuk berlindung dari
kebijakan politik yang tidak aman mereka melakukan migrasi. Juga mereka melakukan
kegiatan-kegiatan ekonomi yang menuntut mereka untuk berdiaspora dari tanah kelahirannya.
Kegiatan ekonomi etnis Tionghoa tidak melulu dalam sektor perdagangan
sebagaimana jamak kita ketahui saat ini. Ada beragam profesi yang ditekuninya, seperti
pertukangan, arsitektur dan pertanian. Sebagaimana di Banyuwangi, etnis Tionghoa banyak
juga yang menekuni dunia pertukangan. Asal usul nama Kelurahan Tukangkayu di
Banyuwangi erat kaitannya dengan profesi etnis Tionghoa tersebut. Dimana Kelurahan

Tukangkayu dan Kelurahan Karangrejo (tempat berdirinya Klenteng Hoo Tong Bio),
merupakan bekas daerah Pecinan. Kelurahan Tukangkayu dikenal dengan daerah Pecinan
Kulon (Barat) yang banyak dihuni oleh imigran yang berprofesi sebagai tukang kayu. Dan
Pecinan Wetan (Timur), yang saat ini dikenal dengan Kelurahan Karangrejo

BAB II
KLENTENG HOO TONG BIO
Klenteng adalah tempat ibadah layaknya masjid bagi umat Islam, gereja bagi umat
Kristiani atau pura bagi umat Hindu. Klenteng diperuntukkan untuk tempat memuja dan
melakukan upacara-upacara keagamaan penganut Kong Hu Cu. Yang unik, istilah klenteng
sendiri bukan berasal daari Tiongkok, namun asli dari model penamaan masyarakat
Nusantara. Adapun nama klenteng itu diduga berasal dari cara masyarakat Indonesia
mengidentifikasi tempat tersebut dari suara genta raksasa yang menjadi salah satu trademark
klenteng. Genta yang mengeluarkan bunyi /klenteng/ itu lamban laun dijadikan nama
tempat pemujaan tersebut.

Klenteng sendiri ada beberapa klasifikasi, mulai dari klenteng umum, spesifik, sampai
keluarga. Hal ini tergantung dari penggunaannya dan dewa yang disembahnya. Dari
klasifikasi tersebut, Klenteng Hoo Tong Bio termasuk klenteng umum. Dimana
penggunaanya terbuka untuk pemujaan bagi beberapa dewa yang diyakini oleh tiga
kepercayaan : Budha, Tao dan Kong Hu Cu. Dimana ketiganya menyatu dalam ajaran yang
disebut dengan Tri Darma.
Keistimewaan klenteng ini adalah adanya dewa lokal yang disembah, yaitu Dewa Tan
Hu Cin Jin. Dewa Tan Hu Cin Jin juga dijuluki dengan /Kongco/ diangkat sebagai dewa
karena dianggap sebagai leluhur yang menyelamatkan orang Tionghoa di Blambangan pada
masa kolonialisme Belanda. Tan Hu Cin Jin (baca: Chengfu Zhenren) atau yang berarti
Manusia Sejati Tan merupakan seorang juragan perahu sloop yang pertama yang berlayar
dari Batavia ke Bali. Namun, dalam perjalanannya, kapal yang dinaikinya pecah dan
terdampar di Blambangan. Disinilah Tan Hu Cin Jin dipercaya sebagai arsitek kerajaan
Blambangan yang baru di Macan Putih,
Awalnya Klenteng Hoo Tong Bio ini dibangun di Lateng, Rogojampi. Bangunan ini
masih berupa rumah yang dibangun sebagai bentuk penghormatan terhadap Tan Hu Cin Jin.
Rumah penghormatan ini kemudian dipindah ke Banyuwangi setelah adanya perampasan
tanah oleh VOC. Penyerobotan lahan ini terjadi pada tahun 1765 1767. Tak ada tahun pasti
kapan klenteng ini pertama kali dibangun. Namun pengelola klenteng menyandarkan tahun
berdirinya Klenteng Hoo Tong Bio pada sebuah prasasti yang berupa panel kayu bertuliskan
kaligrafi Tiongkok. Dalam prasasti tersebut tertulis nama Tan Cu Jin dan bertanggal
/Qianlongflacan/ yang bertepatan dengan tahun 1784 M.
Kemudian klenteng tersebut mengalami beberapakali renovasi. Berdasarkan beberapa
prasasti menunjukkan klenteng tersebut direnovasi pada tahun 1848 M dan pada musim
dingin 1898/99 M.
Dalam perkembangannya, Klenteng Hoo Tong Bio ini menjadi klenteng induk untuk
beberapa klenteng yang menyembah Dewa Tan Hu Cin Jin. Klenteng-klenteng tersebut antara
lain: Klenteng Tik Liong Tian di Rogojampi (Banyuwangi), Klenteng Poo Tong Bio di
Besuki (Situbondo), Klenteng Liong Coan Bio (Probolinggo), Klenteng Kong Co Bio
(Tabananan, Bali), Klenteng Leeng Gwan Kiong (Singaraja, Bali), Klenteng Leen Gwan Bio
(Kuta, Bali), Klenteng Cung Ling Bio (Jembrana, Bali) dan Klenteng Pao Hwa Kong
(Ampenan, Lombok).
Perkembangan klenteng dan juga etnis Tionghoa mengalami masa suram kala
memasuki orde baru (1965-1998). Tragedi kemanusiaan pada tahun 1965 yang melimbatkan
PKI, membuat pemerintah melakukan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Menurut
pemerintah, etnis Tionghoa memiliki peranan dalam pemberontakan PKI. Setidaknya ada
delapan aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah orde baru yang diskriminiatif terhadap etnis
Tionghoa. Peraturan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa itu sangat berpengaruh besar
dalam kehidupan sosial budayanya. Termasuk kalangan etnis Tionghoa di Banyuwangi. Etnis
Tionghoa tidak bisa leluasa melaksanakan ibadah di klenteng. Perayaan dan pemujaan,
seperti Cap Go Meh dan Liang Leong tidak lagi bisa ditampilkan. Yang sangat tragis adalah

tentang konversi agama sebagian etnis Tionghoa. Mereka, karena tidak kuat menghadapi
diskriminasi, merubah keyakinan agamanya dari Kong Hu Cu menjadi Budha, Katolik
ataupun Islam. Adapun yang tetap kukuh mempertahankan kepercayaan Kong Hu Cu-nya,
tetap secara administrasi kependudukan ditulis sebagai bagian dari umat Budha.
Klenteng juga dipaksa merubah nama. Dari Klenteng Hoo Tong Bio menjadi TITD
Nara Raksita. Perkembangan yang tidak kondusif terhadap etnis Tionghoa juga berimbas
pada keberadaan klenteng. Klenteng banyak ditinggal jamaahnya. Juga tidak bisa melakukan
renovasi dan pengembangan. Selain kondisi yang tidak memungkinkan, juga keuangan
klenteng yang disokong etnis Tionghoa dalam masa kekurangan. Praktis klenteng diawal orde
baru itu tanpak sederhana dan kecil. Klenteng hanya terdiri dari altar Tuhan dan ruang dewadewi.
Sebelum tahun 1980, pihak klenteng pernah melakukan pembangunan. Setelah
mendapat izin dari Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi, pihak klenteng membangun
ruang pemujaan Taoisme dan Kong Hu Cu di sebelah selatan. Setelah tahun 1980, izin untuk
perluasan tidak bisa dilakukan lagi. Baru pada tahun 2003, setelah Instruksi Presiden no. 14
tahun 1967 dicabut oleh KH. Abdurrahman Wahid, sebagai presiden RI kala itu, jamaat dapat
melakukan perayaan secara bebas dan dapat melakukan pembangunan klenteng.
Klenteng Hoo Tong Bio melakukan renovasi besar-besaran. Tidak hanya menambah
beberapa altar untuk melakukan pemujaan kepada dewa-dewi, tapi gedung-gedung penunjang
juga dibangun. Ruang serba guna, sarana olahraga, dan gudang juga dibangun dikompleks
seluas 70 x 50 meter tersebut. Pembangunan yang masif tersebut menasbihkan klenteng Hoo
Tong Bio sebagai klenteng terbesar di ujung timur pulau Jawa.

BAB III
Kemegahan Klenteng Hoo Tong Bio terus bertahan hingga berakhir pada suatu petaka
pada tanggal 13 Juni 2014, yaitu kebakaran. Api melalap hampir sebagian besar klenteng.
Prasasti dan benda-benda bersejarah ikut terlalap si jago merah. Lilin yang terjatuh bersama
mangkuk berisi minyak kelapa diduga menjadi penyebab bergolaknya si jago merah.
Mulanya api menyambar altar tengah kemudian merambat ke altar utara dan selatan. Dari 16
patung dewa yang dipuja, hanya 4 patung yang berhasil diselamatkan. Klenteng pun harus
direnovasi setelah sebelumnya pernah dilaksanakan beberapa kali yaitu th 1848,1890,1980,
2003 2008.

PENUTUP
Semoga dengan sedikit uraian ini dapat memberikan motivasi kepada kita sekalian
untuk lebih menjaga dan mencintai cagar budaya yang ada di Banyuwangi utamanya
keberadaan Klenteng Hoo Tong Bio yang merupakan salah satu klenteng tertua di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Visitors Guide Book, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi


Riwayat Yang Mulia Kongco Chen Fu Zhen Ren, T.I.T.D Nara Raksita Banyuwangi

Anda mungkin juga menyukai