Anda di halaman 1dari 3

SEJARAH

Masjid Al Mahmudiyah Kota Palembang

pernah dikenal dengan nama Masjid Suro berlokasi di Simpang jala Suro, Kelurahan 30 Ilir,
Barat II, Kota Palembang. Masjid ini dibangun diatas tanah wakaf Kiagus H. Khotib M.
Saman oleh K.H. A. Rahman Delamat dan selesai tahun 1320 H atau 1891 M. Bangunan
tambahan berupa sumur untuk wudlu yang disempurnakan pada tahun 1928 M. dan
pembangunan menara masjid pada tahun 1932 M.

Sumber: Direktori masjid Bersejarah

Departemen Agama RI

Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam

Direktorat Urusan Agama Islam dan pembiaan Syari’ah

Dari Kota Palembang, lokasi masjid ini berjarak sekitar satu kilometer. Nama ini dulunya
diberikan oleh KH Abdurrahman Delamat bin Syarifuddin, bersama dengan sahabatnya Kiai
Ki Agus H Mahmud Usman (Kiai Khotib). Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan
perubahan kepengurusan masjid, akhirnya pada 2001, masjid ini diberi nama Masjid Besar
Al-Mahmudiyah.

Masjid Suro ini didirikan oleh KH Abdurrahman Delamat pada 1889, dan selesai pada 1891
Masehi. Sebagaimana fungsi masjid pada umumnya, masjid ini juga didirikan dengan tujuan
untuk memudahkan masyarakat melaksanakan ibadah kepada Allah.

Besarnya minat masyarakat untuk menimba ilmu agama, membuat penjajah Belanda merasa
khawatir kegiatan keagamaan tersebut akan berkembang menjadi sebuah upaya menentang
dan memberontak melawan Belanda.

Karena itu, pemerintah Hindia Belanda tidak menghendaki hal tersebut terjadi. Kepala
Residen Belanda waktu itu, meminta agar kegiatan tersebut dihentikan. Namun, Kiai Delamat
tetap melaksanakan tugasnya menyampaikan dakwah Islam pada masyarakat setempat.

Akhirnya, Kiai Delamat dipanggil oleh Kepala Residen dan diperingatkan untuk tidak lagi
menyebarkan Islam. Bersama itulah keluar larangan menyelenggarakan shalat Jumat di
masjid tersebut. Dan Kiai Delamat diperintahkan untuk meninggalkan Kota Palembang
karena dianggap membahayakan Pemerintah Hindia Belanda.

Kuatnya desakan Pemerintah Hindia Belanda, dengan terpaksa Kiai Delamat harus
meninggalkan masjid ini dan berpindah ke lain tempat.

Kiai Delamat akhirnya menetap di Dusun Sarika hingga wafatnya dan dimakamkan di Masjid Babat
Toman, Musi Banyu Asin, Sumatera Selatan.

Namun, oleh anaknya, KH Abdul Kodir dan KH Muhammad Yusuf, jenazah Kiai Delamat dipindahkan
kembali ke Palembang dan dimakamkan di belakang mimbar khatib.

Tetapi, karena tidak disetujui oleh pemerintah kolonial, akhirnya jenazahnya dipindahkan kembali ke
Pemakaman Jambangan di belakang Madrasah Nurul Falah, Kelurahan 30 Ilir, Palembang.

Menurut keterangan, Kiai Delamat lahir di daerah Babat Toman. Setelah dewasa ia pindah ke
Palembang dan berdomisili di daerah Lawang Kidul, tepatnya di Masjid Lawang Kidul. Ketika masih
remaja, Kiai Delamat pernah mengajar di Makkah, Madinah, dan Baitul Maqdis, bersama Kiai Muara
Ogan.

Semasa hidupnya, Kiai Delamat tidak mempunyai satu rumah pun kecuali masjid-masjid yang
dibangunnya. Antara lain Masjid Pulau Panggung, Masjid Fajar Bulan, Masjid Babat Toman, dan
Masjid Pulau Sambi. Sedangkan, di Kota Palembang ia membangun Masjid Suro (Al-Mahmudiyah-
Red) dan Masjid Rohmaniyah yang terletak di Kelurahan 35 Ilir, Palembang.

Dibongkar Belanda
Sepeninggal Kiai Delamat, kegiatan di masjid ini menjadi berkurang. Dan lama kelamaan akhirnya
masjid ini dibongkar Belanda. Pemerintah kolonial ini juga melarang diselenggarakannya ibadah di
tempat tersebut, selama lebih kurang 36 tahun. Namun, setelah kepengurusan diserahkan kepada
Kiai Khotib, bangunan masjid ini kembali difungsikan.

Setelah Kiai Khotib meninggal dunia maka sekitar tahun 1343 H/1919 M diadakan pertemuan antara
pemuka agama dan masyarakat di Kelurahan 30 Ilir untuk membentuk kepengurusan masjid yang
baru, atas prakarsa Kiai Kiemas H Syeikh Zahri. Maka, terpilihlah kepengurusan baru yang diketuai
oleh HM Ali Mahmud.

Di masa kepengurusannya, pada 1920 masjid ini mulai dibongkar untuk diperbaiki. Satu hal yang
dipertahankan adalah tiang penyangga masjid yang terbuat dari kayu bulat tinggi dan lebar. Dalam
buku Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia disebutkan, kendati sudah berusia satu abad lebih,
namun tiang penyangga masjid ini sampai hari ini masih tetap berdiri kokoh.

Selanjutnya, pada 1925 pengurus Masjid Suro membangun menara masjid. Dan sejak saat itu
masyarakat diperbolehkan kembali shalat Jumat oleh pemerintah kolonial yang berkuasa saat itu.
Kemudian pada 1928 M, dilakukan penyempurnaan pada bangunan tambahan berupa sumur untuk
berwudhu.

BAGIAN BANGUNAN
ak seperti masjid-masjid masa kini yang dibangun semegah dan semewah mungkin, Masjid
Suro yang kini bernama Al-Mahmudiyah itu, masih tetap tampak klasik dan tradisional
dengan atap layaknya bangunan rumah-rumah penduduk.

Begitu juga dengan bangunan menaranya yang tampak kokoh berbentuk lancip pada
ujungnya. Bentuk menara yang demikian itu, menambah kesan klasik masjid ini.

Bahkan, bila masjid-masjid lainnya menggunakan kubah berbentuk bundar dan pipih, kubah
Masjid Besar Al-Mahmudiyah ini justru hanya berbentuk tajuk limas dengan mustaka dan
kubah dari aluminium. Simbol ini menandakan arsitektur masjid ini terpengaruh oleh masjid-
masjid di Jawa, seperti Masjid Agung Demak.
Dari luar, masjid ini tampak biasa-biasa saja. Bahkan, menurut warga setempat, masjid ini
seperti kurang terawat.

Namun demikian, pada bagian dalam, masjid ini tampak begitu indah, kendati dinding-
dindingnya masih berupa beton semen. Luas bangunan masjid yang berukuran 40 X 30 meter
persegi ini, mampu menampung jamaah hingga sekitar 1.000 orang.

Peninggalan sejarah
Dengan usianya yang terbilang sudah lebih dari satu abad, Masjid Besar Al-Mahmudiyah kini
menyimpan berbagai benda peninggalan sejarah. Di antaranya beduk, sokoguru (tiang) untuk
penyangga masjid, kolam tempat berwudhu, serta mimbar tempat makam Kiai Delamat.

Keberadaan kolam tempat berwudhu di Masjid Al-Mahmudiyah ini juga menyimpan cerita
unik. Menurut cerita yang berkembang luas di masyarakat, air kolam tempat berwudhu ini
berasal dari empat mata air yang mengalir terus.

Meski bagian dasar kolam tersebut sudah dirombak dari sebelumnya masih berupa tanah
menjadi sebuah kolam permanen dengan bagian dasar menggunakan keramik, namun masih
terdapat rembesan dari keempat mata air tersebut.

Cerita lain yang berkembang seputar keberadaan kolam tersebut adalah air yang berasal dari
kolam ini dipercaya bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit. Karenanya, banyak di
antara pengunjung yang singgah di sana tidak lupa membawa pulang air dari kolam ini untk
dijadikan obat. Wallahua'lam.

Anda mungkin juga menyukai