Anda di halaman 1dari 6

Masjid Jami' Taluak IV Suku Banuhampu, Agam

Membaca Jeffrey Hadler di Menara yang Hilang

Sheiful Y Tk Mangkudun

Menjelang waktu Zuhur, dua-tiga minibus berplat nomor luar propinsi


memasuki pelataran di pinggir kolam luas sebelah timur masjid. Ini "masjid
cantik", yang jadi incaran para perantau yang singgah di pinggir kabupaten
Agam berbatas dengan kota Bukittinggi.
Ada dua meja permanen dengan payung. Di atas meja, dalam keranjang kecil,
beberapa bungkus pelet, makanan ikan, masih berjejer, di samping tempat
infak. Pelet itu disediakan untuk para pengunjung yang ingin memberi makan
ikan di kolam, tabek yang memanjang 50 meteran di timur sampai tenggara
masjid.
Pinggiran kolam di pelataran masjid itu tidak pernah sepi dari pengunjung,
terutama anak-anak dan wanita yang selalu terkesima melihat ratusan ikan
emas berwarna-warni.
Tabek panjang itu telah ada sejak awal masjid didirikan sekitar tahun 1860 M
atas prakarsa Haji Abdul Majid. Tabek panjang itu pula yang menjadi ikon
masjid Taluak dalam banyak foto klasik, terutama koleksi Tropenmuseum
Amsterdam, Belanda.
Beberapa anak berteriak riuh melihat gerombolan ikan emas warna-warni yang
berebutan menerima pelet. Suasana meriah yang menyejukkan hati di udara
siang yang tidak terlalu terik. Masjid cantik di belakang anak-anak itu menjadi
saksi berbagai perubahan selama satu setengah abad lebih.
Dulu, dulu sekali, masjid itu berangka dan berdinding kayu, beratap ijuk.
Sekitar tahun 1904 M, sebuah menara (minaret) dibangun di halaman sebelah
timur, di pinggir kolam. Mesjid dan minaret tersebut menjadi pasangan
fenomenal dua arsitektur Minangkabau dan Persia yang merebut perhatian.
Konon minaret itu menggambarkan pembaruan Islam yang dibawa awal abad
ke-19 yang dibawa ke Minangkabau. Bangunan minaret dengan beton,
menurut Jeffrey Hadler memberi perlambang dua kekuatan: reformasi Islam
dan kolonialisme Belanda. Jadi, ada tiga kekuatan berkulindan di bangunan
masjid itu, adat Minangkabau, reformisme Islam, dan kolonialisme Hindia
Belanda.
Atap masjid, tahun 1920 diganti seng, berbentuk limas berundak tiga, dengan
fentilasi di antara undakan atap membuat ruang masjid berukuran 13 m kali 13
m itu terasa sejuk. Ada dua pintu masuk, di kiri dan kanan sebelah timur
bangunan utama, dengan atapnya masing-masing. Sebelum ruang utama ada
teras yang dihampari dua deret tikar shalat. Di ruang utama berdiri lima tiang
beton, satu tiang di tengah dilapisi ukiran keramik.
Mimbar, bertanggal 16 Juni 1926, berbentuk kereta kencana, sebagaimana
umumnya masjid-masjid di Minangkabau. Mimbar ini masih dipakai untuk
khutbah Jumat. Khatib menghadap ke arah jamaah sepenuh badan, tanpa
halangan. Bukan seperti mimbar yang hanya memperlihatkan bagian atas
tubuh khatib.
Masjid ini dipakai untuk semua kegiatan ibadah, shalat lima waktu, shalat dua
hari raya, dan peringatan hari besar Islam. Di samping itu masjid juga
menyelenggarakan kegiatan pendidikan. Di samping kiri, arah selatan masjid
ada bangunan TPA/MDA.
Sebelah utara, masih ada sebuah luhak, kolam, yang di atasnya dibangun
rumah tabuah. Rumah tabuah yang cantik, karena berdiri di atas sebuah
kolam. Di depannya ada tempat wuduk laki-laki yang dibuat terbuka, sehingga
terkesan lebih bersih, karena selalu disiram air hujan. Toilet atau WC dibuat di
sebelahnya, terpisah dari tempat wuduk.
Dulu, minaret, masyarakat menyebutnya manaro, bertingkat tiga berdiri di
timur masjid selama seratusan tahun. Di dalam minaret ada tangga melingkar,
dan ukiran motif Arab dan Persia memenuhi dinding. Di tiap tingkat ada balkon
mengelilingi minaret.

Sosok masjid dengan menara di pinggir kolam luas itulah yang menjadi
pemandangan menakjubkan selama seratusan tahun. Tak heran jika
pemandangan itu melahirkan puluhan foto, yang konon foto paling banyak
tentang masjid di Nusantara, di zaman Hindia Belanda.

Pemandangan menakjubkan itu masih ada. Bahkan ada tempat menatap


masjid dari sebuah pelataran yang dibangun di seberang tabek panjang. Tidak
lagi terlihat minaret di sana.

Di antara tiga kekuatan yang berkulindan di bangunan masjid itu, hanya


arsitektur Minangkabau, atap limas berundak tiga, yang masih berdiri kokoh
melintasi zaman. Menara/ minaret telah mengalah, patah dihantam gempa
dahsyat 6 Maret 2007. Sejak gempa itu, menara dibongkar dan menghilang
dari pelataran masjid.

Ikan-ikan emas warna warni masih berkecipak memperebutkan pelet yang


diserakkan para pengunjung. Azan Zuhur berkumandang dalam irama
Nahawand yang menyejukkan. Belasan penduduk setempat, dengan sarung
dan kopiah, bergantian memasuki masjid di antara para tamu beraneka ragam.

Masjid dengan latar pemandangan indah, cagar budaya, masih kokok dalam
perjalanan sejarahnya satu setengah abad. Sebuah menara, sesudah seratusan
tahun menemani, telah hilang dari pelatarannya.

Menatap masjid itu bagaikan membaca pertarungan dalam diam tiga


kekuatan, dan pemenang terakhirnya adalah sosok Minangkabau,
sebagaimana uraian Jeffrey Hadler dalam buku fenomenalnya, "Sengketa Tiada
Putus, Matriarkat, Reformisme Islam, dan Kolonialisme di Minangkabau".

Bagai membaca catatan Hadler pada menara yang hilang.


Foto Masjid Taluak tahun 1892, koleksi Tropenmuseum

Anda mungkin juga menyukai