Anda di halaman 1dari 6

MASJID AGUNG DEMAK

Masjid ini dipercayai pernah menjadi


tempat berkumpulnya para ulama (wali)
yang menyebarkan agama Islam di tanah
Jawa yang disebut dengan Walisongo.
Pendiri masjid ini diperkirakan adalah Raden
Patah, yaitu raja pertama dari Kesultanan
Demak sekitar abad ke-15 Masehi.
Raden Patah bersama Wali Songo
mendirikan masjid yang karismatik ini
dengan memberi gambar serupa bulus. Ini
merupakan candra sengkala memet, dengan
arti Sarira Sunyi Kiblating Gusti yang bermakna tahun 1401 Saka. Gambar bulus terdiri atas kepala yang
berarti angka 1 (satu), 4 kaki berarti angka 4 (empat), badan bulus berarti angka 0 (nol), ekor bulus
berarti angka 1 (satu). Dari simbol ini diperkirakan Masjid Agung Demak berdiri pada tahun 1401 Saka.
Masjid ini didirikan pada tanggal 1 Shofar.
Masjid ini mempunyai bangunan-bangunan induk dan serambi. Bangunan induk memiliki empat tiang
utama yang disebut saka guru. Salah satu dari tiang utama tersebut konon berasal dari serpihan-
serpihan kayu, sehingga dinamai saka tatal. Bangunan serambi merupakan bangunan terbuka. Atapnya
berbentuk limas yang ditopang delapan tiang yang disebut Saka Majapahit. Atap limas Masjid terdiri
dari tiga bagian yang menggambarkan ; (1) Iman, (2) Islam, dan (3) Ihsan. Di Masjid ini juga terdapat
“Pintu Bledeg”, mengandung candra sengkala, yang dapat dibaca Naga Mulat Salira Wani, dengan
makna tahun 1388 Saka atau 1466 M, atau 887 H.
Di dalam lokasi kompleks Masjid Agung Demak, terdapat beberapa makam raja-raja Kesultanan Demak
termasuk di antaranya adalah Sultan Fattah yang merupakan raja pertama kasultanan demak dan para
abdinya. Di kompleks ini juga terdapat Museum Masjid Agung Demak, yang berisi berbagai hal
mengenai riwayat Masjid Agung Demak.

MUSEUM MASJID AGUNG DEMAK


Museum Masjid Agung Demak adalah sebuah museum
yang terletak di dalam kompleks Masjid Agung Demak
dalam lingkungan alun-alun kota Demak. Museum ini
buka tiap hari dari Senin hingga Minggu pada jam kerja.
Museum ini menyimpan berbagai barang peninggalan
Masjid Agung Demak. Jumlah koleksi benda bersejarah di
museum ini mencapai lebih dari 60 koleksi. Museum ini
berdiri di atas lahan seluas 16 meter persegi yang berada
di kompleks Masjid Agung Demak. Dibangun dengan
anggaran mencapai Rp1,1 miliar yang berasal dari APBD
Demak dan sisanya dari Badan Kesejahteraan Masjid
(BKM) Masjid Agung Demak.
Di museum ini utamanya disimpan bagian-bagian soko guru yang rusak (sokoguru Sunan Kalijaga,
sokoguru Sunan Bonang, sokoguru Sunan Gunungjati, sokoguru Sunan Ampel), sirap, kentongan dan
bedug peninggalan para wali, dua buah gentong (tempayan besar) dari Dinasti Ming hadiah dari Putri
Campa abad ke-14, Pintu Bledeg buatan Ki Ageng Selo yang merupakan condrosengkolo berbunyi Nogo
Mulat Saliro Wani yang berarti angka tahun 1388 Saka atau 1466 M atau 887 H, foto-foto Masjid Agung
Demak tempo dulu, lampu-lampu dan peralatan rumah tangga dari kristal dan kaca hadiah dari PB I
tahun 1710 M, kitab suci Al-Qur’an 30 juz tulisan tangan, maket masjid Demak tahun 1845 – 1864 M,
beberapa prasasti kayu memuat angka tahun 1344 Saka, kayu tiang tatal buatan Sunan Kalijaga, lampu
robyong masjid Demak yang dipakai tahun 1923 – 1936 M.
Yang paling menarik pengunjung di museum ini adalah Pintu bledeg buatan Ki Ageng Selo tahun 1466
M, dibuat dari kayu jati berukiran tumbuh-tumbuhan, suluran, jambangan, mahkota, dan kepala
binatang (naga) dengan mulut terbuka menampakkan gigi-giginya yang runcing. Menurut cerita, kepala
naga tersebut menggambarkan petir yang kemudian dapat ditangkap oleh Ki Ageng Selo.
MAKAM SUNAN KALIJAGA

Sunan Kalijaga atau orang jawa juga menyebutnya


Sunan Kalijogo adalah salah satu dari 9 Wali yang
menyebarkan agama islam di tanah Jawa.
Kepiawaian beliau dalam menyebarkan agama islam
di tanah Jawa sudah sangat di kenal, bahkan cara
beliau dalam menyampaikan islam kepada
masyarakat dengan gaya yang unik membuat Sunan
Kalijaga bisa mendapatkan tempat tersendiri di hati
masyarakat Jawa. Beliau dikenal sebagai salah satu
penyebar agama islam yang menggunakan
pendekatan budaya dalam penyampaiannya, seperti menggunakan gamelan, seni ukir, wayang, seni
suara (nyanyian), dan perangkat budaya lain sebagai sarana berdakwah. Masa hidup Sunan Kalijaga
diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan
Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan
Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan
Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang
"tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Ketika wafat, ia dimakamkan di Desa Kadilangu, dekat kota Demak (Bintara). Makam ini hingga sekarang
masih ramai diziarahi orang - orang dari seluruh Indonesia

HUTAN MANGROVE DUSUN TAMBAK SARI


Hutan ini berada di kawasan konservasi hutan
mangrove Dusun Tambak Sari, Desa bedono, Kec.
Sayung Para wisatawan yang datang kesini bisa masuk
dengan sepeda motor dan parkir ke area Mangrove
dengan melewati jalan kecil ditengah laut yang sangat
unik, namun lebih diutamakan untuk parkir dan
menitipkan sepeda motornya tepat sebelum jalan kecil
ditengah laut karena area parkir di Taman Mangrove
kecilndan juga untuk memperlanjar perjalanan para
peziarah yang datang.
Untuk Wisatawan diperbolehkan Foto - Foto menggunakan kamera HP, namun harus izin terlebih
dahulu bila menggunakan kamera DSLR. Area foto dibatasi sampai jalan masuk sebelum jembatan
Makam, jadi hanya area Mangrove, karena area menuju makam adalah area untuk para peziarah yang
datang dengan niat beribadah, selain itu juga jembatan menuju makam tidak terlalu kuat untuk
menahan bobot para wisatawan jika berhenti ditengah - tengah untuk berfoto. Yang pasti patuhilah
aturan yang ada disini dan jangan dilanggar.
Selain itu di Taman Mangrove ini, kita tidak boleh bergandengan tangan bagi yang non muhrim, karena
disini adalah area Islami dan religi. Dilarang duduk di atas pegangan jembatan kayu mangrove karena
mudah rapuh.

PEZIARAH
Untuk peziarah yang datang kesini untuk mengunjungi makam terapung Syekh Abdullah Mudzakir, bisa
berjalan kaki menyusuri jalan kecil ditengah laut yang unik sambil menikmati pemandangan alam, bisa
juga naik ojek yang disediakan oleh pihak pengurus.
Makam Syekh Abdullah Mudzakir terpisah dari Area Mangrove, harus melalui jembatan kecil di atas
laut. Makam ini bisa dikatakan terapung karena memang berada di tengah laut dan dikelilingi air laut.
PANTAI MOROSARI
Pantai Morosari merupakan salah satu wisata
pantai yang ada di kabupaten Demak. Lokasinya
tidak jauh dari jalan raya, hanya berjarak sekitar 3
Km dari jalan raya. Pantai ini dikenal dengan
keindahan panorama alamnya yangindah. Selain
wisata pantai kita juga dapat mengunjungi salah
satu hutan mangrove yang ada disebrang pulau
dengan menaiki prahu.orosari adalah nama sebuah
dusun yang terletak di Desa Bedono, Kecamatan
Sayung, Kabupaten Demak, provinsi Jawa Tengah.
Persisnya dari jalan Raya Semarang Demak Km. 9. Rute paling mudah untuk kesini pada jembatan
Sayung dari arah Semarang menuju Demak belok kekiri menyusuri sungai sepanjang kurang lebih 4 km
kearah laut ( utara ). Disitulah pantai Morosari berada.Medan menuju kesana 85% nyaman, karena
jalanya sudah dicor dengan beton, mulai agak bergelombang saat mendekati gerbang pintu masuk itu
pun beberapa meter dari gerbang saja, jadi nggak begitu masalah kan son? di sepanjang perjalanan ke
Wisata pantai Morosari kita akan dimanjakan dengan pemandangan alam berupa area pertambakan
ikan bandeng, perkampungan pesisir, dan hutan mangrove. Selain itu penduduk pesisir yang ramah juga
akan menambah suasana nyaman menuju ke pantai Morosari. Untuk bisa sampai ke sini kita bisa
menggunakan sepeda motor atau mobil.Untuk masuk ke pantai pengunjung akan dikenakan biaya yang
murah pastinya.
Tiket masuk : Rp.5.000/ orang.
Sewa Prahu : Rp.15.000/ orang

Fasilitas yang ada di pantai Morosari


1. Area parkir yang cukup luas
2. Kamar mandi
3. Rumah makan terapung
4. Pantai

KERAJINAN BATIK DEMAK

Selama tiga tahun terakhir, batik Demak telah turut


menyebarkan budaya dan sejarah daerah di pesisir
utara Jawa Tengah, yakni Kabupaten Demak, ke
khazanah batik nasional. Motif batik ini tidak hanya
bicara soal sejarah dan kekayaan alam, tetapi juga
memadukan motif klasik dengan motif batik
kontemporer.Motif Sekar Jagad Demak Bintoro, yaitu
motif yang memadukan pola jambu, belimbing
berpadu garis pantai telah menjadi seragam khas
para pegawai di Pemerintah Kabupaten Demak.
Prospek kerajinan batik sangat bagus, perajin
batik saat ini baru ada delapan di Demak. Pemasaran batiknya sudah merambah Jakarta, Semarang, dan
Surabaya. Namun, diakuinya, pihaknya sudah kewalahan melayani permintaan pasar lokal saja.Pasar
lokal terbangun dari promosi batik motif Demakan melalui pameran, bazar tiap minggu di alun-alun,
juga promosi lewat baju batik yang dipakai para pegawai negeri di Pemkab Demak. Itu semua disambut
antusias masyarakat.
Hasilnya, sejumlah sekolah juga menjadikan baju batik bagian seragam guru dan siswa sehari
dalam sepekan.”Kain baju batik dari kain katun sebenarnya kalau dipakai harian tidak tahan lama. Kain
atau baju batik termasuk busana khusus dan dipakai keperluan pesta, resepsi, ataupun acara resmi
pertemuan kantor.
MASJID MENARA KUDUS
Berdirinya Masjid Menara Kudus tidak terlepas
dari peran Sunan Kudus sebagai penggagas dan pendiri.
Sebagaimana Walisongo yang lainnya, Sunan Kudus
menggunakan pendekatan kultural (budaya) dalam
berdakwah. Ia mengadaptasi dan melakukan pribumisasi
ajaran Islam di tengah masyarakat yang telah memiliki
budaya mapan dalam pengaruh agama Hindu dan
Buddha. Akulturasi budaya Hindu dan Budha dalam
dakwah Islam yang dilakukan Sunan Kudus terlihat jelas
pada arsitektur dan konsep bangunan Masjid Menara Kudus.
Masjid ini mulai didirikan pada tahun 956 H atau 1549 M. Hal ini didasarkan pada inskripsi
berbahasa Arab yang tertulis pada prasasti batu berukuran lebar 30 cm dan panjang 46 cm yang
terletak pada mihrab masjid. Peletakan batu pertama menggunakan batu dari Baitul Maqdis di
Palestina, oleh karena itu masjid ini kemudian dinamakan Masjid Al Aqsha.
Masjid Menara Kudus ini memiliki lima pintu sebelah kanan, dan lima pintu sebelah kiri. Jendelanya
semuanya ada 4 buah. Pintu besar terdiri dari 5 buah, dan tiang besar di dalam masjid yang berasal dari
kayu jati ada 8 buah. Namun masjid ini tidak sesuai aslinya, lebih besar daripada semula karena pada
tahun 1918-an telah direnovasi. Di dalamnya terdapat kolam masjid, kolam yang merupakan padasan
tersebut merupakan peninggalan kuno dan dijadikan sebagai tempat wudhu.
Di dalam masjid terdapat dua bendera, yang terletak di kanan dan kiri tempat khatib membaca
khutbah. Di serambi depan masjid terdapat gapura paduraksa, yang biasa disebut oleh penduduk
sebagai "Lawang Kembar".
Di komplek masjid juga terdapat pancuran untuk wudhu yang berjumlah delapan buah. Di atas
pancuran itu diletakkan arca. Jumlah delapan pancuran, konon mengadaptasi keyakinan Buddha, yakni
‘Delapan Jalan Kebenaran’ atau Asta Sanghika Marga. Sedangkan Menara Kudus memiliki ketinggian
18 meter dengan bagian dasar berukuran 10 x 10 m. Di sekeliling bangunan dihias dengan piring-piring
bergambar yang kesemuanya berjumlah 32 buah. Dua puluh buah di antaranya berwarna biru serta
berlukiskan masjid, manusia dengan unta dan pohon kurma. Sementara itu, 12 buah lainnya berwarna
merah putih berlukiskan kembang. Di dalam menara terdapat tangga yang terbuat dari kayu jati yang
mungkin dibuat pada tahun 1895 M. Bangunan dan hiasannya jelas menunjukkan adanya hubungan
dengan kesenian Hindu Jawa karena bangunan Menara Kudus itu terdiri dari 3 bagian: (1) kaki, (2)
badan, dan (3) puncak bangunan. Menara ini dihiasi pula antefiks (hiasan yang menyerupai bukit kecil).

MAKAM SUNAN MURIA


Nama asli dari Sunan Muria adalah Raden Umar Said
atau Raden Said. Menurut beberapa riwayat, Raden Said
adalah putra dari Sunan Kalijaga hasil pernikahan beliau
dengan Dewi Soejinah, putri Sunan Ngandung. Raden Said
dikenal sebagai Sunan Muria karena beliau dimakamkan di
Gunung Muria, yaitu sebuah gunung yang berada di
perbatasan Kabupaten Kudus, Jepara dan Pati. Sunan Muria
merupakan salah satu penyebar agama Uslam di Pulau Jawa
bersama sembilan Sunan lainnya yang lebih dikenal dengan sebutan Walisongo.
Makam Sunan Muria merupakan makam yang cukup unik karena berlokasi di lereng Gunung
Muria. Akses ke lokasi makam lumayan berat karena berada di puncak sebuah bukut. Untuk sampai ke
lokasi makam, anda harus menempuh perjalanan yang naik turun. Namun anda jangan khawatir karena
disini banyak sekali ojek yang siap mengantarkan anda ke lokasi Makam. Biaya ojek di Makam Sunan
Muria tidak lah mahal, yaitu sekitar Rp. 8000 sekali jalan, itu sudah diantar sampai ke lokasi Makam.
Makam Sunan Muria terletak di lereng Gunung Muria di Kabupaten Kudus Jawa Tengah atau
tepatnya beralamat di Desa Colo Kecamatan Dawe Kab. Kudus. Nama asli dari Sunan Muria adalah
Raden Umar Said atau Raden Said. Menurut beberapa riwayat, Raden Said adalah putra dari Sunan
Kalijaga hasil pernikahan beliau dengan Dewi Soejinah, putri Sunan Ngandung. Raden Said dikenal
sebagai Sunan Muria karena beliau dimakamkan di Gunung Muria, yaitu sebuah gunung yang berada di
perbatasan Kabupaten Kudus, Jepara dan Pati. Sunan Muria merupakan salah satu penyebar agama
Uslam di Pulau Jawa bersama sembilan Sunan lainnya yang lebih dikenal dengan sebutan Walisongo.
MAKAM SUNAN KUDUS

Letak Makam Sunan Kudus berada persis di


belakang bangunan utama limasan tumpang Masjid
Menara Kudus, dengan akses tersendiri namun bisa
juga lewat gapura butulan dari samping kiri masjid.
Di bagian terdepan, dekat jalan, pengunjung
melewati gapura beratap genting, dan beberapa
puluh langkah kemudian ada gapura paduraksa
besar sebelum belok kanan.
Lubang gapura atau regol itu setidaknya bisa dilalui
3 orang, atau empat orang agak berdesakan,
namun ketika keluar pulang sempat menunggu
lama karena ada tukang bekerja di lubang gapura dan banyak peziarah masuk. Jika memakai konsep
kori agung, bisa dipertimbangkan ada regol kecil di kiri kanan regol utama sebagai akses tambahan saat
puncak musim ziarah.
Ada sejumlah cungkup berisikan petak kubur di area memanjang yang lebarnya sekitar 8 meter
di belakang masjid. Panjang area ini 30 meteran, dengan pintu gapura menuju ke cungkup besar dimana
Makam Sunan Kudus berada terletak di sisi kiri, beberapa meter sebelum ujung area. Ada beberapa
kubur di area ini yang menarik perhatian.Pemandangan di bagian awal area di belakang masjid arah ke
regol gapura paduraksa yang menjadi akses masuk peziarah. Di depan regol tampak tembok kelir yang
membatasi pandang agar ketika orang berjalan masuk tak bisa langsung melihat isi dalaman area. Di
ruang terbuka terlihat deret nisan tua tak beraturan yang tanda namanya sudah hilang ditelan waktu.
Cungkup di area ini memayungi kubur orang penting, diantaranya Pangeran Pontjowati, Panglima
Tertinggi Angkatan Perang.
Cungkup kubur lainnya di kompleks Makam Sunan Kudus yang lokasinya berada di ujung area
tepat di belakang masjid. Di dalamnya adalah deret kubur batu putih dari para pangeran yang terlihat
tua namun tetap cantik dengan nisan berornamen elok. Tampak pada ujung foto sebelah kiri adalah
gapura paduraksa sebagai pintu masuk ke cungkup terbesar dimana di dalamnya terdapat jirat kubur
sang sunan dan sejumlah kubur lain di sekelilingnya.

MUSEUM KRETEK
Terletak di Kudus-Jawa Tengah, Museum Kretek
didirikan bertujuan untuk menunjukan bahwa kretek
berkembang sangat pesat di Tanah Jawa khususnya di kota
Kudus. Museum ini memperkenalkan sejarah kretek hingga
proses produksi rokok kretek, mulai dari pembuatan secara
manual sampai menggunakan teknologi modern. Museum
Kretek merupakan satu-satunya museum rokok di
Indonesia.
Tersimpan di dalamnya 1.195 koleksi mengenai
sejarah kretek di wilayah ini, antara lain dokumentasi
kiprah Nitisemito yang mendirikan Pabrik Rokok Bal Tiga, terdapat pula bahan dan peralatan tradisional
rokok kretek, foto-foto para pendiri pabrik kretek dan hasil produksinya, benda-benda promosi rokok di
masa lalu hingga sekarang, termasuk diorama proses pembuatan rokok kretek. Museum ini didirikan
atas prakarsa dan diresmikan oleh Soepardjo Roestam, Gubernur Jawa Tengah, pada 3 Oktober 1986.
Gagasan ini bermula sewaktu Beliau berkunjung ke Kudus dan menyaksikan potensi kontribusi usaha
rokok kretek dalam menggerakkan perekonomian daerah. Museum Kretek didirikan di atas lahan seluas
2,5 ha, dengan pembiayaan dari Persatuan Pengusaha Rokok Kudus (PPRK).
Fasilitas : Fasilitas hiburan :
Kantor administrasi Waterboom
Gerai souvenir Ember tumpah
Mushola Mini movie
Taman bermain anak-anak Rumah Adat Kudus
Kantin dan kios kuliner
Area parker
DESA WISATA RAHTAWU
Desa wisata Rahtawu dengan latar belakang
pemandangan alam pedesaan yang indah yang menarik
dikunjungi bersama keluarga di akhir minggu dan libur
panjang di Kudus.
Kota Kudus menyimpan beragam tempati wisata yang
menarik dikunjungi, baik yang menyajikan konsep wisata
alam hingga kearifan lokal dengan beragam keunikan
dan keindahan di dalamnya salah satunya sahabat
Direktori Wisata Indonesia dapat mengunjungi desa
wisata Rahtawu Kudus.
Desa Wisata Rahtawu di Gebog Kudus Jawa Tengah
sangat cocok untuk mengisi kegiatan liburan sahabat
Direktori Wisata Indonesia bersama keluarga dan
kerabat terdekat, apalagi saat musim liburan panjang ataupun libur nasional.
Lokasi wisata Rahtawu Kudus terletak di Desa Rahtawu, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus,
Jawa Tengah. Dari pengalaman kunjungan Direktori Wisata Indonesia ke lokasi, pesona keindahan objek
wisata alam Rahtawu tidak ada duanya. Penduduk lokal Desa Wisata Rahtawu di Gebog Kudus juga
sangat ramah terhadap wisatawan lokal maupun wisatawan asing.
Memasuki tempat wisata di Rahtawu Kudus, sahabat Direktori Wisata Indonesia akan
menjumpai pemandangan Di tebing-tebing yang tinggi yang berada di sebelah kiri, sedangkan posisi di
sebalah kanan jalan terdapat jurang yang cukup curam dan juga barisan pegunungan yang indah.
Desa Wisata Rahtawu Kudus memiliki nama pemandian alami Kedung Gong.
Di tempat wisata Rahtawu Kudus kita dapat juga menikmati air yang dingin dengan sungai yang
segar dengan batu-batu besar yang menambah keaslian alam.
Objek wisata Rahtawu Kudus juga memiliki objek wisata alam air terjun yang berasal dari
tebing. Air terjun ini juga termasuk salah satu air terjun yang unik yang menjadi salah satu ikon wisata di
Rahtawu Kudus.

SITUS PURBAKALA PATIAYAM

Situs Purbakala Patiayam adalah situs purba di Pegunungan


Patiayam, Dukuh Kancilan, Desa Terban, Kecamatan Jekulo,
Kabupaten Kudus. Sekitar 1.500 fosil ditemukan di Patiayam dan
kini disimpan di rumah-rumah penduduk. Sebagian gading gajah
ditempatkan di Museum Ronggowarsito Semarang.
Situs Patiayam merupakan bagian dari Gunung Muria. Luasnya
2.902,2 hektare meliputi wilayah Kudus dan beberapa
kecamatan di Pati. Di gunung ini terdapat makam dan Masjid
Sunan Muria, air terjun, motel, penginapan, sejumlah villa, dan
warung makan. Jaraknya hanya 18 kilometer dari kota Kudus.
Situs purba Patiayam memiliki persamaan dengan situs purba Sangiran, Trinil, Mojokerto, dan Nganjuk.
Keunggulan komparatif situs Patiayam adalah fosilnya yang utuh dikarenakan peimbunan adalah abu
vulkanik halus dan pembentukan fosil berlangsung baik. Di sekitarannya tidak terdapat sungai besar
sehingga fosil ini tidak pindah lokasi karena erosi. Keadaan ini berbeda dengan situs purbakala lainnya
dimana fosil ditemukan pada endapan sungai.
Situs Patiayam merupakan salah satu situs terlengkap. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya manusia
purba (Homo erectus), fauna vertebrata dan fauna invertabrata. Ada juga alat-alat batu manusia dari
hasil budaya manusia purba yang ditemukan dalam satu aeri pelapisan tanah yang tidak terputus sejak
minimal satu juta tahun yang lalu.
Perlu di ketahui juga, di Pegunungan Patiayam juga terdapat sebuah goa bernama Goa Patiayam atau
Goa Dalem. Banyak orang dari dalam dan luar daerah yang berziarang ke Goa Dalem ini. Untuk sampai
ke goa tersebut, kita bisa mencapaikan dari Desa Terban dan Desa Gondoharum (RW IV, dukuh
Kaliwuluh) dengan menggunakan kendaraan bermotor dan kemudian berjalan kaki melewati hutan dan
jalan setapak Lokasi Situs Purbakala Patiayam berada sekitar ± 500 m dari Jalan Raya Kudus-Pati dan
ditandai dengan gapura yang berbentuk gading gajah.

Anda mungkin juga menyukai