Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

PENINGGALAN ISLAM
DI INDONESIA

OLEH :

RUDI KURNIAWAN

14.03.0.032

Dosen :
Arnesih, S.Ag. M.M

FAKULTAS TEKNIK ELEKTRO


UNRIKA
KATA PENGANTAR

Pujisyukur kita panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT yang senantiasa memberikan
kita limpahan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga makalah Sejarah Peradaban
Islam yang telah diberikan kepada kami dapat terselesaikan dengan baik dan
lancar. Penyelesaian tugas ini bertujuan untuk meningkatkan wawasan para
pembaca tentang Peninggalan sejarah yang ada korelasinya dengan perkembangan
islam di indosesia. Selain itu tak lupa pula kami ucapkan terimakasih kepada
seluruh aspek yang telah membantu kami dalam penyelesaian makalah ini. Kami
menyadari bahwa makalah kami masih sangat jauh dalam kesempurnaan. Oleh
karena itu kami memohon kritik serta saran yang membangun sehingga dapat
membantu kami dan memajukan kualitas serta kemampuan kami dalam
penyusunan makalah. Atas perhatiannya kami mengucapkan terimakasih.

Batam, 1 Desember 2014

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Islam diketahui memiliki karakteristik yang khas di bandingkan dengan
agama-agama yang datang sebelumnya. Di era globalisasi ini, banyak masyarakat
dan khususnya bagi para pelajar yang belum mengetahui mengenai sejarah islam
dan peninggalan-peninggalan para tokoh penyebaran agama islam itu sendiri.
Adapn peninggalan-peninggalan islam di Indonesia meliputi Bangunan
masjid,keratin,kaligrafi,kesenian,baju zirah, gapura dll.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan hal-hal sebagai berikut:
1. Apa contoh peninggalan-peninggalan islam di indonesia

2. Siapa saja tokoh yang menyebarakan agama islam di indonesia

3. Mengapa peninggalan-peninggalan tersebut sangat penting

1.3 Tujuan
Setelah mendiskusikan tema ini, kita dapat memperoleh beberapa tujuan
sebagai berikut:
1. Mengetahui beberapa peninggalan-peninggalan islam di indonesia

2. Mengetahui sejarah dan tokoh penyebaran islam di indonesia

3. Mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama islam

4. Meneladani tokoh-tokoh penyebar agama islam di Indonesia dan melestarikan apa


yang sudah diwariskan kepada generasi muda.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tradisi Sekaten

Sejarah awal Sekaten, sebenarnya digagas oleh Walisongo dalam rangka dakwah di
Pulau Jawa. Pada mulanya adalah media untuk melakukan doa tolak bala. Ketika itu,
masyarakat dilanda banyak bencana, mulai dari kemarau panjang, gagal panen,
wabah penyakit menular, hingga kematian ternak yang cukup banyak. Dari
berbagai bencana tersebut, Walisongo sangat prihatin dan dilakukanlah berbagai
usaha dalam rangka memberi ketenangan dan kesejahteraan kepada masyarakat.

Secara historis, tradisi sekaten berkembang dari masa ke masa sampai mencapai
puncaknya ketika ritus religius ini dirayakan secara berkala oleh seluruh masyarakat
Yogyakarta. Bila kita bercemin pada akar kelahiran tradisi Sekaten, di situ kita akan
menemukan sebuah transisi spiritual budaya Jawa yang memiliki nilai mistis.
Kendati tradisi sekaten bukan merupakan warisan murni ajaran Islam, namun hal itu
mengandung khazanah spiritual Jawa yang sangat fenomenal dan menakjubkan.
Sebagai warisan budaya, sekaten akhirnya berkembang dengan cepat di kalangan
masyarakat luas yang mencerminkan harmoni Islam dan kearifan lokal (local
wisdom).

Tradisi sekaten sesungguhnya berkaitan langsung dengan masa peralihan Majapahit


ke Demak yang mencoba menanamkan nilai-nilai ajaran Islam yang berbasis
budaya dan menyentuh terhadap sanubari masyarakat. Pada masa peralihan ini,
tradisi sekaten mulai diperkenalkan sebagai bagian dari upaya untuk mengenang
kelahiran Nabi Muhammad. Tradisi sekaten pun mulai diterima dan mendapat
sambutan hangat dari masyarakat sebagai salah satu dari sekian tradisi lokal yang
berwawasan keislaman.

Upacara Sekaten bertujuan untuk memeriahkan peringatan ulang tahun Nabi


Muhammad yang diadakan pada tiap tanggal 5 bulan Jawa Mulud (rabiul awal tahun
Hijrah) di alun-alun utara Yogyakarta (dan juga di alun-alun Surakarta secara
bersamaan). Konon, nama ini merupakan hasil evolusi panjang dari kata
syahadatain, yang kini kemudian menjadi kata sekaten. Upacara ini dulunya
dipakai oleh Sultan Hamengkubuwana I, pendiri keraton Yogyakarta untuk
mengundang masyarakat mengikuti dan memeluk agama Islam.

Sementara itu, acara puncak peringatan sekaten ini ditandai dengan Grebeg
Muludan yang diadakan pada tanggal 12 (persis di hari ulang tahun Nabi
Muhammad. Dengan pengawalan prajurit Kraton, sebuah Gunungan yang terbuat
dari beras ketan, makanan dan buah-buahan serta sayur-sayuan dibawa dari istana
Kemandungan melewati Sitihinggil dan Pagelaran menuju masjid Agung. Arakan
gunungan yang berisi berbagai macam hasil pertanian menjadi simbol berkah
Sultan kepada rakyatnya.

Dalam beberapa penelitian, Gunungan pun memiliki makna filosofi yang


mengandung unsur-unsur religius guna memohon keberkata kepada Tuhan. Simbol
Gunungan itu menemukan makna filosofinya yang mencerminkan ketaatan rakyat
kepada rajanya. Simbol Gunungan dalam tradisi sekaten bukan sekadar bermakna
pengharapan keberkatan dan kemuliaan, namun lebih daripada itu sebagai
momentum untuk merefleksikan diri atas keteladanan Nabi Muhammad yang
menjadi tonggak utama pilar keislaman.
B. Giri Kedaton

Giri Kedaton didirikan oleh Raden Paku, seorang anggota Walisongo tahun 1487.
Suatu ketika dikisahkan, Raden Paku pergi menemui ayahnya yang menjadi ulama
di Pasai, bernama Maulana Ishak. Ayahnya itu menyuruhnya untuk membangun
sebuah pondok pesantren di daerah Gresik.

Raden Paku menemukan tanah yang mirip dengan tempat tinggal ayahnya. Tanah
tersebut terletak di Bukit Giri (sekarang masuk kecamatan Kebomas, Gresik). Di
atas bukit itu didirikan sebuah pesantren bernama Giri Kedaton. Raden Paku
sebagai pemimpin bergelar Prabu Satmata, atau Sunan Giri I.

Awal Berdirinya

Giri Kedaton didirikan oleh Raden Paku, seorang anggota Walisongo tahun 1487.
Suatu ketika dikisahkan, Raden Paku pergi menemui ayahnya yang menjadi ulama
di Pasai, bernama Maulana Ishak. Ayahnya itu menyuruhnya untuk membangun
sebuah pondok pesantren di daerah Gresik.

Raden Paku menemukan tanah yang mirip dengan tempat tinggal ayahnya. Tanah
tersebut terletak di Bukit Giri (sekarang masuk kecamatan Kebomas, Gresik). Di
atas bukit itu didirikan sebuah pesantren bernama Giri Kedaton. Raden Paku
sebagai pemimpin bergelar Prabu Satmata, atau Sunan Giri I.

Perkembangan

Meskipun hanya sekolah agama, namun murid-murid Giri Kedaton berdatangan dari
segala penjuru, bahkan dari Ternate. Murid-murid Giri Kedaton ini tidak hanya
kalangan rakyat kecil, namun juga para pangeran dan bangsawan.
Kerajaan Majapahit yang sudah rapuh merasa khawatir melihat perkembangan Giri
Kedaton. Para pangeran yang telah menamatkan pendidikan mereka setelah
kembali ke negeri masing-masing mengobarkan semangat baru untuk lepas dari
kekuasaan Majapahit. Daerah kekuasaan Majapahit memang semakin berkurang
sejak meletusnya Perang Paregreg tahun 14011406.

Puncak Kejayaan

Giri Kedaton mengalami puncak kejayaan di bawah kepemimpinan Sunan Prapen


tahun 15481605. Saat itu Giri tidak hanya sekadar sekolah agama, namun juga
menjadi kerajaan yang meiliki kekuatan politik.

Misalnya, Sunan Prapen dikisahkan menjadi pelantik Sultan Adiwijaya raja Pajang. Ia
juga menjadi mediator pertemuan antara Adiwijaya dengan para bupati Jawa Timur
tahun 1568. Dalam pertemuan itu, para bupati Jawa Timur sepakat mengakui
kekuasaan Pajang sebagai kelanjutan Kesultanan Demak

Sunan Prapen juga menjadi juru damai peperangan antara Panembahan Senopati
raja Mataram melawan Jayalengkara bupati Surabaya tahun 1588. Peperangan itu
dilatarbelakangi oleh penolakan para bupati Jawa Timur terhadap kekuasaan
Senopati yang telah meruntuhkan Kesultanan Pajang.

Tidak hanya itu, Sunan Prapen hampir selalu menjadi pelantik setiap ada raja Islam
yang naik takhta di segenap penjuru Nusantara.

Dikalahkan Mataram

Kesultanan Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung menghendaki agar Giri


Kedaton tunduk sebagai daerah bawahan. Pada tahun 1630 Giri Kedaton di bawah
pimpinan Sunan Kawis Guwa menolak kekuasan Mataram.

Tidak seorang pun perwira Mataram yang berani menghadapi Giri. Rupanya mereka
masih takut akan kekeramatan Walisongo meskipun dewan tersebut sudah tidak
ada lagi.

Sultan Agung pun menunjuk iparnya, yaitu Pangeran Pekik putra Jayalengkara dari
Surabaya untuk menghadapi Giri. Semangat pasukan Mataram bangkit karena
Pangeran Pekik merupakan keturunan Sunan Ampel, sementara Sunan Kawis Guwa
adalah keturunan Sunan Giri I, di mana Sunan Giri I adalah murid Sunan Ampel.

Perang akhirnya dimenangkan oleh pihak Mataram di mana Giri Kedaton takluk
sekitar tahun 1636. Sunan Kawis Guwa dipersilakan untuk tetap memimpin Giri
dengan syarat harus tunduk kepada Mataram.

Sejak saat itu wibawa Giri Kedaton pun memudar. Pengganti Sunan Kawis Guwa
tidak lagi bergelar Sunan Giri, melainkan bergelar Panembahan Ageng Giri.
Gelar Panembahan dan Giri memengaruhi penguasa Kerajaan Tanjungpura di
Kalimantan Barat ketika memeluk Islam menggunakan gelar Panembahan Giri
Kusuma.

Keruntuhan

Giri Kedaton yang sudah menjadi bawahan Mataram kemudian mendukung


pemberontakan Trunojoyo dari Madura terhadap pemerintahan Amangkurat I putra
Sultan Agung. Panembahan Ageng Giri aktif mencari dukungan untuk memperkuat
barisan pemberontak.

Puncak pemberontakan terjadi tahun 1677 di mana Kesultanan Mataram mengalami


keruntuhan. Amangkurat I sendiri tewas dalam pelarian. Putranya yang bergelar
Amangkurat II bersekutu dengan VOC melancarkan aksi pembalasan.

Amangkurat II yang menjadi raja tanpa takhta berhasil menghancurkan


pemberontakan Trunojoyo akhir tahun 1679. Sekutu Trunojoyo yang bertahan paling
akhir adalah Giri Kedaton. Pada bulan April 1680 serangan besar-besaran terhadap
Giri dilancarkan oleh VOCBelanda. Murid andalan Giri yang menjadi panglima para
santri bernama Pangeran Singosari gugur dalam peperangan.

Panembahan Ageng Giri ditangkap dan dihukum mati menggunakan cambuk. Tidak
hanya itu, anggota keluarganya juga dimusnahkan. Sejak saat itu berakhirlah
riwayat Giri Kedaton.

Daftar Para Penguasa

Berikut ini adalah daftar para pemimpin Giri Kedaton.

1. Sunan Giri I atau Prabu Satmata atau Raden Paku (14871506)

2. Sunan Dalem atau Sunan Kedul atau Sunan Giri II (14871546)

3. Sunan Seda ing Margi atau Sunan Giri III (15461548)

4. Sunan Prapen atau Sunan Mas Ratu Pratikal atau Sunan Giri IV (15481605)

5. Sunan Kawis Guwa atau Sunan Giri V (1605?)

6. Panembahan Ageng Giri (?1680)


7. Panembahan Mas Witana Sideng Rana

C. Masjid Menara Kudus

Masjid Menara Kudus (disebut juga dengan Masjid Al Aqsa dan Masjid Al Manar)
adalah sebuah mesjid yang dibangun oleh Sunan Kudus pada tahun 1549 Masehi
atau tahun 956 Hijriah dengan menggunakan batu Baitul Maqdis dari Palestina
sebagai batu pertama. Masjid ini terletak di desa Kauman, kecamatan Kota,
kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Mesjid ini berbentuk unik, karena memiliki menara
yang serupa bangunan candi. Masjid ini adalah perpaduan antara budaya Islam
dengan budaya Hindu. Pada masa kini, masjid ini biasanya menjadi pusat
keramaian pada festival dhandhangan yang diadakan warga Kudus untuk
menyambut bulan Ramadan.[1]

Sejarah

Berdirinya Masjid Menara Kudus tidak lepas dari peran Sunan Kudus sebagai pendiri
dan pemrakarsa. Sebagaimana para walisongo yang lainnya, Sunan Kudus memiliki
cara yang amat bijaksana dalam dakwahnya. Di antaranya, beliau mampu
melakukan adaptasi dan pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat yang telah
memiliki budaya mapan dengan mayoritas beragama Hindu dan Budha.
Pencampuran budaya Hindu dan Budha dalam dakwah yang dilakukan Sunan
Kudus, salah satunya dapat kita lihat pada masjid Menara Kudus ini.

Masjid ini didirikan pada tahun 956 H atau 1549 M. Hal ini dapat diketahui dari
inskripsi (prasasti) pada batu yang lebarnya 30 cm dan panjang 46 cm yang terletak
pada mihrab masjid yang ditulis dalam bahasa Arab.

Arsitektur

Masjid Menara Kudus ini memiliki 5 buah pintu sebelah kanan, dan 5 buah pintu
sebelah kiri. Jendelanya semuanya ada 4 buah. Pintu besar terdiri dari 5 buah, dan
tiang besar di dalam masjid yang berasal dari kayu jati ada 8 buah. Namun masjid
ini tidak sesuai aslinya, lebih besar dari semula karena pada tahun 1918-an telah
direnovasi. Di dalamnya terdapat kolam masjid, kolam yang merupakan "padasan"
tersebut merupakan peninggalan kuna dan dijadikan sebagai tempat wudhu.

Di dalam masjid terdapat 2 buah bendera, yang terletak di kanan dan kiri tempat
khatib membaca khutbah. Di serambi depan masjid terdapat sebuah pintu gapura,
yang biasa disebut oleh penduduk sebagai "Lawang Kembar".

Di komplek Masjid juga terdapat pancuran untuk wudhu yang berjumlah delapan
buah. Di atas pancuran itu diletakkan arca. Jumlah delapan pancuran, konon
mengadaptasi keyakinan Buddha, yakni Delapan Jalan Kebenaran atau Asta
Sanghika Marga.
Menara Kudus memiliki ketinggian sekitar 18 meter dengan bagian dasar berukuran
10 x 10 m. Di sekeliling bangunan dihias dengan piring-piring bergambar yang
kesemuanya berjumlah 32 buah. Dua puluh buah di antaranya berwarna biru serta
berlukiskan masjid, manusia dengan unta dan pohon kurma. Sementara itu, 12
buah lainnya berwarna merah putih berlukiskan kembang. Di dalam menara
terdapat tangga yang terbuat dari kayu jati yang mungkin dibuat pada tahun 1895
M. Bangunan dan hiasannya jelas menunjukkan adanya hubungan dengan kesenian
Hindu Jawa karena bangunan Menara Kudus itu terdiri dari 3 bagian: (1) kaki, (2)
badan, dan (3) puncak bangunan. Menara ini dihiasi pula antefiks (hiasan yang
menyerupai bukit kecil).
Kaki dan badan menara dibangun dan diukir dengan tradisi Jawa-Hindu, termasuk
motifnya. Ciri lainnya bisa dilihat pada penggunaan material batu bata yang
dipasang tanpa perekat semen. Teknik konstruksi tradisional Jawa juga dapat dilihat
pada bagian kepala menara yang berbentuk suatu bangunan berkonstruksi kayu jati
dengan empat batang saka guru yang menopang dua tumpuk atap tajug.

Pada bagian puncak atap tajug terdapat semacam mustaka (kepala) seperti pada
puncak atap tumpang bangunan utama masjid-masjid tradisional di Jawa yang jelas
merujuk pada unsur arsitektur Jawa-Hindu.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT dengan perantara wahyu
yang di berikan kepada nabi Muhammad SAW untuk disebarkan untuk umat
manusia dan kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa, dan cipta dan
masyarakat.
2. Agama merupakan sumber kebudayaan dengan kata lain kebudayaan bentuk
nyata dari agama islam itu sendiri.

3. Budaya hasil daya cipta manusia dengan menggunakan dan mengerahkan


segenap potensi yang dimilikinya. Dan pada pra islam banyak yang mengandung
atau berbau keislaman.

4. Peninggalan-peninggalan islam baik berupa bangunan,kesenian, atau pun tradisi itu


sebagai bukti bahwa islam ada sejak zaman dahulu

Sumber :

1. http://denkadian.wordpress.com/2014/01/24/riwayat-wali-songo-dan-
peninggalannya-masing-masing
2. http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/gaya-sufi/14/01/12/mzai21-
sekaten-dalam-spirit-maulid-nabi
3. http://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Menara_Kudus
4. http://id.wikipedia.org/wiki/Giri_Kedaton

Anda mungkin juga menyukai