Salah satu kelurahan bagian dari kecamatan Buleleng, yakni kelurahan Banyuning terletak 2 kilometer
Batas selatan dari kelurahan Banyuning adalah desa Petandakan, kemudian sebelah timur dibatasi
oleh kelurahan Penarukan, kelurahan Astina membatasi bagian baratnya, dan terdapat pantai yang
membentangi batas utara dari kelurahan Banyuning ini. Kelurahan Banyuning yang dulunya
merupakan desa ini, menyimpan banyak potensi menjanjikan yang telah dikembangkan oleh
masyarakat setempat.
Mengupas tentang potensi kelurahan Banyuning, tentunya tidak lepas dari berbagai kerajinan
yang dihasilkan warga setempat, seperti diantaranya pot, priuk, genteng, dan batubata serta
berbagai jenis kerajinan lainnya. Walaupun beberapa inovasi kreatif untuk memodifikasi
kerajinan yang diproduksi telah dilakukan masyarakat, namun kendala yang dihadapi di bagian
“Memang yang namanya priuk itu sudah dimodifikasi oleh beberapa desain yang ada di
Banyuning, tapi kualitasnya tidak seperti desain-desain yang ada di Lombok. Itukan memang
bagus desainnya. Tapi di Banyuning juga pernah mengganti kerajinan dari bahan priuk menjadi
ke keramik. Itu memang ada, tapi hal tersebut tidak jalan karena ada penghambat di
bagian marketingnya. Jadi di Buleleng tidak bisa terus menjalankan itu sehingga kerajinan yang
dimodifikasi ke keramik itu menjadi mandeg. Selain itu cost untuk pembelian keramik itu
mahal”. Demikian disampaikan oleh Lurah desa Banyuning, Nyoman Sutata.
Disamping kerajinan yang diproduksi, warga Buleleng tentunya masih ingat dengan keberadaan
Puspa Anom. Sebuah grup drama gong yang sempat melejit namanya di era 70an, yang
kemudian menjadi mascot dari desa Banyuning pada masa itu. Seperti yang dituturkan Lurah
Banyuning, “Istilah drama Puspa Anom ya?.Jadi masyarakat di Bali sudah mengetahui drama
gong Puspa Anom itu, bahkan sampai di Lombok. Drama Puspa Anom yang dibentuk dari tahun
68 itu melalangbuana untuk mengharumkan desa Banyuning. Nah, dari drama gong inilah
Banyuning itu dikenal oleh Bali bahkan sampai dengan di Lombok. Ada judul cerita dari
penampilan drama itu yang sampai sekarang dikenal oleh masyarakat Bali, yaitu cerita Sampek
Intai. Yang diperankan oleh tokoh–tokoh seni di Banyuning, seperti Pan Sampek yang
diperankan oleh bapak Gd Mangku. Setelah itu ada Sampik yang diperankan oleh Wayan Sujana
(alm.) dan Ingtai yang diperankan oleh Made Sariani. Disamping tokoh–tokoh seni yang lain
seperti bapak Nyoman Sueca yang juga sebagai patih, kemudian bapak Nengah Wijana yang
berperan sebagai adiknya Jedur yang sampai saat ini masih jalan dibidang seni, kemudian bapak
Gd Karsa yang menjadi Malen. Tokoh–tokoh inilah yang membawa Banyuning sehingga
dianggap gudang seni”.
Lurah Banyuning yang juga merupakan pemangku pura Pemayun, ini juga menceritakan bahwa
Banyuning awalnya adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan desa adat Buleleng.
Namun karena adanya musibah, akhirnya kini desa Banyuning yang telah berstatus sebagai
kelurahan telah berdiri sendiri dan telah memiliki khayangan tiga. “Dahulu desa Manuwasika
diserang wabah penyakit dan banjir besar. Kemudian warga Manuwasika berkumpul disebalah
barat sungai Buleleng, oleh karena itu Raja Buleleng memerintahkan menanam tukad. Semenjak
itu pura dalam Purwa berfungsi sebagai Tri Murti. Sehingga putuslah hubungan antara desa
Liligundi, Pura Segara Pabean. Sehingga saat itu desa Manuwasika diubah menjadi desa
Banyuning”. Tutur Nyoman Sutata.
Lalu mungkin timbul pertanyaan, mengapa wilayah yang berpenduduk 13.000 jiwa dengan 3.700
KK itu disebut dengan nama Banyuning? “Desa Banyuning dahulu berasal dari nama
Monaspatika, dimana Mona berarti air dan Stika berarti hening. Jadi Monaspatika mengandung
arti bayuhening, sehingga disingkat menjadi Banyuning. Istilah tersebut dibuktikan dengan
adanya peninggalan sejarah baik berupa tulisan–tulisan, relief dan prasasti. Desa Banyuning
diperkirakan telah ada sekitar abad ke-13, yaitu pada masa I Gusti Ngurah PanjiS akti yang
bersemayam di pura Anyar Sukasada.
Di tengah perkembangan zaman, kelurahan Banyuning tetap menjalankan tradisi yang telah
dilakukan secara turun- temurun. Seperti yang disampaikan lurah Banyuning, “saling poles
arang, yang diambil dari arang priuk yang sudah digunakan menanak nasi di pura. Keunikan
seperti ini hanya ada di Pura Gede Pemayun pada saat Puja Wali Ageng. Selain itu ada juga
permainan Maunti, Mejaran – jaranan yang dimainkan oleh anak – anak sampai dengan orang
dewasa. Biasanya hal tersebut dilakukan sehari setelah menjelang odalan penglebar. Itulah
keunikan yang secara otomatis dilakukan”.
Menurut lurah Banyunig, Nyoman Sutata juga menyimpan berbagai potensi diantaranya di
bidang olahraga yang telah memberikan prestasi.“ dari dulu Banyuning sudah dikenal dengan
olahraga tinjunya yang mana pada waktu itu bernama Sasana PancaSatria yang menghasilkan
petinju – petinju yang berhasil mewakili Bali bahkan Indonesia untuk bermain di Kalifornia.
Nama petinju Banyuning adalah Gd. Arimbawa yang dibina oleh bapaknya sendiri yaitu Bapak
Ketut Tumon. Dan sekarang olahraga yang paling nge-trend di Banyuning adalah futsal dan tenis
meja.
Disamping itu, kelurahan Banyuning juga telah meraih beberapa prestasi diantaranyab juara
Umum for camp tahun 2008, Juara 1 ulang tahun NKRI 2001, Juara 2 tenis beregu tahun 1996,
dan Juara 3 lomba taman tahun 1993.( Tim )
SEJARAH NYEPI DESA BANYUNING
Nyepi Adat di Banyuning
Wujud Bakti "Krama" Sambut Kesuburan Alam
SUASANA di Kelurahan Banyuning, Singaraja, Minggu (16/9) tampak berbeda dibandingkan hari
biasanya. Jalan utama dan gang-gang menuju ke permukiman warga tampak sepi tanpa bising lalu-
lalang kendaraan. Demikian pula, toko-toko dan pasar tradisional di Banyuning tampak tutup.
Terhentinya aktivitas warga Banyuning ini karena warga menggelar tradisi Nyepi pada tilem katiga
yang dipercaya oleh krama sebagai bentuk bakti dalam menyambut dan mensyukuri kesuburan
alam.
Nyepi di Banyuning ini dibandingkan dengan Nyepi di Bali pada umumnya tidak jauh beda. Pada
Sabtu (15/9) sore, warga menggelar upacara pecaruan di perempatan dilanjutkan dengan tradisi
pengrupukan yang diikuti seluruh warga berkeliling wilayah. Warga membawa obor dan mengambil
tirta (air suci) di Pura Desa. Sarana upacara ini untuk mengusir roh jahat di masing-masing rumah.
Kemudian pada pagi hingga malam kemarin, warga melaksanakan tapa brata penyepian.
Pantauan di lapangan kemarin menyebutkan, suasana di Banyuning yang biasanya ramai dengan
hiruk pikuk aktivitas warga, berubah menjadi lengang. Tak ada aktivitas yang mencolok seperti hari
biasanya. Meski sedang melakukan tapa brata penyepian, namun aparat adat masih mengizinkan
kendaraan melintas di ruas jalan utama di wilayah tersebut.
Sementara penduduk asli Banyuning tidak satu orang pun yang berani keluar rumah mereka
sebelum ritual penyepian selesai dilaksanakan. Klian Desa Adat Pakraman Banyuning Ketut Damuh
di sela-sela pecaruan menjelaskan, diperkirakan warga Kelurahan Banyuning melaksanakan ritual
penyepian sejak abad ke-13. Secara umum, tapa brata penyepian yang diikuti oleh warga tidak jauh
beda dengan tapa brata penyepian yang setiap tahun dilaksanakan umat Hindu di Bali.
Tapa brata penyepian meliputi amati karya (tidak bekerja), amati geni (tidak menyalakan api), amati
lelanguan (tidak mencari kesenangan) dan amati lelungaan (tidak bepergian). Namun bedanya,
penyepian yang digelar warga Banyuning ini punya makna khusus sebagai wujud bhakti untuk
menyambut kesuburan alam. Sehingga filosofinya berbeda dengan pelaksanaan Nyepi yang
dilakukan masyarakat Hindu secara nasional, di mana Nyepi untuk menyambut Tahun Baru Saka.
Damuh menambahkan, sebelumnya seluruh krama di lingkungan Banyuning melaksanakan tradisi
unik yakni berebut api dan tirta suci untuk upacara penyucian roh jahat di masing-masing rumah. Api
dan tirta suci ini digunakan krama desa untuk ritual mengusir roh jahat di masing-masing rumah
sebelum pelaksanaan nyepi desa. "Tirta itu dipercikkan sekeliling rumah untuk menyucikan
pekarangan dan api itu untuk mengusir roh jahat," jelasnya. (kmb)
KESENIAN DESA BANYUNING
BRN, Singaraja : Warga Banjar Adat Pakraman Banyuning Timur Kelurahan Banyuning (2/10/2016) melaksanakan
Nyepi Desa. Sebelum dilaksanakannya Catur Bratha Penyepian, Sabtu (1/10/2016) siang hingga petang harinya
dilaksanakan Pecaruan di pelataran Pura Desa setempat dipuput Jro Bujangga Putu Ardika.
Menurut Klian Pura Pemaksan dr. Ketut Wenten, tingkatan pecaruan kali ini yakni tingkatan melabuh gentuh dengan
menggunakan sarana berupa sapi, kambing hitam, asu bang bungkem, angsa putih dan kucit butuan.
“Nyepi Desa yang digelar Krama Desa Banjar Pakraman Banyuning Timur serangkaian Ngusaba Desa pada 15
Oktober 2016 mendatang. Selama pelaksanaan Ngusaba Desa kurun waktu 45 hari diakhiri dengan pekelem di
Segara, seluruh warga Desa Banjar Adat Banyuning Timur dilarang menggelar upacara manusia yadnya, kecuali
upacara tiga bulanan,” terangnya.
Rangkaian upacara pecaruan di pelataran Pura Desa dihadiri Camat Buleleng - Dewa Ardika, Kapolsektif Singaraja -
Kompol Nyoman Suarnata dan Kepala Kementrian Agama diwakili Penyuluh Agama Hindu - Nyoman Arya Suta
Mahendra.
Usai pecaruan rangkaian Nyepi Desa Banjar Pakraman Banyuning Timur, Nyoman Arya Suta Mahendra
mengungkapkan, pecaruan bermakna menetralisir bhuwana agung dan bhuwana alit.
“Upacara pecaruan ini hendaknya dapat dilaksanakan tiga kali dalam setahun yakni pada Tileming Sasih Ketiga,
Tileming Sasih Kenam dan Tileming Sasih Kesanga”, ucap Arya Suta Mahendra.
Khusus Pecaruan menyambut Bratha Penyepian di Banjar Pakraman Banyuning Timur dilaksanakan pada sasih
ketiga sesuai Lontar Sundari Gama dan Weda Tatwa. (WIN/HF)
Gambar Kesenian Desa Banyuning
BARIS GEDE
Tari Baris Gede merupakan salah satu dari berbagai jenis tarian baris yang ada di Bali. Tarian ini biasa
dipentaskan saat adanya upacara di pura dan menjadi salah satu bagian pelengkap dari upacara.
Tari Baris Gede masuk dalam kategori tari sakral yang dipentaskan di pura-pura. Tarian ini juga
hampir tersebar di seluruh daerah di Bali. Tari Baris Gede diperkirakan telah ada sejak abad ke-8,
namun sayang hingga kini tidak diketahui siapa penciptanya.
Peneliti Tari dari Institut Seni Indonesia (ISI), Denpasar Prof. Wayan Dibia, menuturkan Tari Baris
Gede merupakan jenis kelompok baris massal yang dapat dipentaskan dalam berbagai versi. Dimana
tarian sakral ini ditarikan secara berkelompok dalam jumlah tertentu sesuai arti di masing-masing
daerah.
“Ada yang satu kelompok delapan penari, bahkan ada sampai 40 penari, ada yang diikat dengan
simbul-simbul tertentu, misalnya ditarikan oleh 9 orang karena menggambarkan arah mata angin,
senjata-senjatanya itu adalah senjata nawa sanga,” papar Prof. Wayan Dibia.
Menurut Dibia, senjata yang biasanya dipakai dalam Baris Gede juga beragam, dimana ada yang
menggunakan tombak, cakra atau tamiang (tameng). Hal ini karena Baris Gede menggambarkan
Widyadara (pengawal) yang mengiringi para dewa atau menyambut kedatangan para dewa. Namun di
sisi lain Baris Gede ini juga diartikan sebagai tarian prajurit perang.
Baris Gede, tarian yang melengkapi tari Rejang, adalah sebuah tarian yang dipentaskan oleh
sekelompok pria dewasa dalam rangkaian odalan di lingkungan desa yang bersangkutan. Baris Gede
biasanya dipentaskan di siang hari beberapa saat sebelum atau sesudah pementasan tari Rejang,
walaupun kedua bentuk tarian ini tidak sesalu berhubungan. Seperti halnya penari Rejang yang secara
khusus mengenakan hiasan kepala bunga semi melingkar, Baris Gede dikenal dari mahkota berbentuk
segitiga yang di pakai para penarinya, yang terdiri dari susunan keeping-keping kerang laut yang
menunjuk ke atas seperti pyramid; yang disematkan pada pir-pir yang menyebabkannya bergetar
seiring gerakan sang penari.
Para penari Baris Gede dianggap sebagai pengawal para Dewa yang intuk sementara waktu akan
menempati pretima. Para penari membawa senjata pusaka yang sacral seperti tombak, panah,
tameng, keris atau di beberapa desa bahkan senapan. Setiap penari membawa senjata dengan jenis
yang sama, dan tari Baris yang dibawakan identic dengan jenis senjata yang dibawa.
Menurut Babad Bali, tari baris merupakan tarian pasukan perang. Baris, berasal dari kata “bebaris”,
yang dapat diartikan sebagai pasukan. Oleh karena hal tersebut, maka tari baris menggambarkan
ketangkasan prajurit. Keberadaan tari baris gede ini, masih terpelihara dengan baik, karena tari baris
gede tergolong kedalam jenis seni sakral.
Tari baris gede, diketahui keberadaannya sejak abad ke-8, namun sayangnya tidak diketahui, siapa
gerangan yang menciptakan tarian ini. Baris Gede merupakan jenis tarian masal, yang dapat
dipentaskan sesuai versi masing-masing daerah. Secara umum, tari baris gede difungsikan sebagai
tari wali, untuk melengkapi sebuah upacara yadnya..
Selain menggambarkan ketangkasan prajurit, baris gede ini juga merupakan tari penyambutan, yang
melukiskan para pengawal, sebagai pengiring para Dewa, atau dengan kata lain, untuk menyambut
kehadiran para dewata.
Komponen lain dalam pementasan baris gede, yang menarik adalah tata kostum, atau busana yang
digunakan oleh para penari. Busana yang digunakan oleh para penari baris, secara umum sama.
Sesuatu yang membedakan antara tari baris yang satu, dengan yang lainnya adalah senjata, atau
atribut yang dibawa oleh penari, yang biasanya menjadi identitas dari tarian yang bawakan.
badong,
awir,
lamak,
celana panjang putih,
baju,
stewel,
gelungan kepala, serta
senjata yang dibawa.
Baris Gede, warna bajunya merah serta celana panjang putih. Kain awiran yang dipergunakan 16 biji.
Penari dalam pementasannya membawa tumbak warna merah dengan makna sebagai pencipta
(hidup-mati). Diiringi intonasi gong longgor gilak. Tarian ini dipersembahkan kepada Ida Hyang Widi
Wasa sebagai utpeti-stiti. Selanjutnya, Baris Bajra menggunakan baju warna hitam dengan celana
warna putih. Kain awiran yang dipergunakan juga 16 biji. Tumbak yang dipergunakan ujungnya
berisikan bajra lancip, ujungnya menghadap angkasa dan ke bawah. Untuk yang ke bawah mencirikan
ibu pertiwi. Tujuan pementasannya adalah untuk Ibu Pertiwi dan luhuring akasa.
Hal lain yang unik dari tari baris gede, adalah adanya seruan-seruan, atau suara yang diserukan oleh
para penari baris gede. Seruan-seruan tersebut, seolah menjadi penyemangat bagi para penari.
Secara niskala, suara seruan itu, seperti memanggil atau menyambut kehadiran para Dewa,yang
turun ke mayapada ini. Adakah makna khusus, dari seruan-seruan ini?
Begitu luhur warisan kesenian, para tetua Bali, yang sarat nilai-nilai edukasi, serta religius.
Keberadaan tari baris gede, harus diwariskan kepada generasi berikutnya, agar tari baris gede ini
tidak punah.
Tidak hanya kegitan ritual, yang bisa dijadikan jembatan komunikasi, antara manusia dengan Sang
Maha Pencipta. Tumbuhnya kreativitas berkesenian orang Bali, yang begitu artistic, juga dijadikan
sadhana, atau sarana, untuk mengungkapkan rasa syukur kehadapan Hyang Widhi.
Tari baris gede, yang menggambarkan nilai-nilai patriotisme ini, mengingatkan kepada kita semua,
bahwa seni juga merupakan salah satu metode yang baik dan tepat, untuk menurunkan berbagai ilmu
pengetahuan, etika, maupun estetika.
Keunikan dan kesakralan tari baris gede batur yang ada di Desa Pekraman Batur hanya dipentaskan
ketika upacara yang mempersembahkan binatang kurban suku pat (hewan berkaki empat). Saat
upacara-upacara besar yang di adakan di Pura Batur seperti pada saat upacara Danu Kertih, tarian ini
berfungsi sebagai pelengkap yadnya (upacara).
GAMBAR TARI BARIS DESA JINENGDALEM
ATRIBUT TARI BARIS GEDE
1.BADONG
2.AWIR