Anda di halaman 1dari 16

KLIPING

“KAMPUNG KUTA”

Disusun oleh :
Kelompok
Candra Febrian
Aditya Hilman Maulana
Gilang Yusuf Septiadi
Gerta Hermawan
Muhamad Husnil Mufid

Kelas
9C

DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


SMP NEGERI 2 BANJAR
Jl. Kantor Pos No.16, Hegarsari, Kec. Pataruman, Kota Banjar, Jawa Barat 463
A. Sejarah Kampung Kuta
Nama Kampung Kuta berasal dari kata ”kuta-kuta” (bahasa Sunda)
yang berarti tebing. Nama ini langsung menunjuk kepada wilayah Kampung
Kuta yang letaknya dikelilingi tebing curam setinggi 75 m.Kampung yang
terletak di Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, berbatasan dengan
Jawa Tengah. Kampung memiliki luas area total 97 ha, terdiri dari 57 ha lahan
pemukiman, pesawahan, dan tegalan serta 40 ha hutan keramat (karamat).
Kampung Kuta berada di timur Ciamis dan berjarak 45 Km dari pusat kota
kabupaten.
Ada beberapa versi mengenai sejarah Kampung Kuta ini. Menurut
cerita rakyat setempat, asal-usul Kampung Kuta berkaitan dengan berdirinya
Kerajaan Galuh. Konon, pada zaman dahulu ketika Prabu Galuh yang
bernama Ajar Sukaresi (dalam sumber lain, tokoh ini adalah seorang pandita
sakti) hendak mendirikan Kerajaan Galuh, Kampung Kuta dipilih untuk pusat
kerajaan karena letaknya strategis.
Prabu Galuh memerintahkan kepada semua rakyatnya untuk
mengumpulkan semua keperluan pembangunan keraton seperti kapur bahan
bangunan, semen merah dari tanah yang dibakar, pandai besi, dan tukang
penyepuh perabot atau benda pusaka. Keraton pun akhirnya selesai dibuat.
Namun, pada suatu ketika, Prabu Galuh menemukan lembah yang (Kuta) oleh
tebing yang dalamnya sekitar 75 m di lokasi pembangunan pusat kerajaan itu.
Atas musyawarah dengan para punggawa kerajaan lainnya, diputuskanlah
bahwa daerah tersebut tidak cocok untuk dijadikan pusat kerajaan (menurut
orang tua, “tidak memenuhi Patang Ewu Domas”).
Selanjutnya, mereka berkelana mencari tempat lain yang memenuhi
syarat. Prabu Galuh membawa sekepal tanah dari bekas keratonnya di Kuta
sebagai kenang-kenangan. Setelah melakukan perjalanan beberapa hari, Prabu
Galuh dan rombongannya sampai di suatu tempat yang tinggi, lalu melihat-
lihat ke sekeliling tempat itu untuk meneliti apakah ada tempat yang cocok
untuk membangun kerajaannya. Tempat ia melihat-lihat itu sekarang bernama
Tenjolaya.
Prabu Galuh melihat ke arah barat, lalu terlihatlah ada daerah luas
terhampar berupa hutan rimba yang menghijau. Ia kemudian melemparkan
sekepal tanah yang dibawanya dari Kuta ke arah barat dan jatuh di suatu
tempat yang sekarang bernama “Kepel”. Tanah yang dilemparkan tadi
sekarang menjadi sebidang sawah yang datar dan tanahnya berwarna hitam
seperti dengan tanah di Kuta, sedangkan tanah di sekitarnya berwarna merah.
Prabu Galuh melanjutkan perjalanannya sampai di suatu pedataran yang subur
di tepi Sungai Cimuntur dan Sungai Citanduy, lalu mendirikan kerajaan di
sana atau tukang cerita, terdapat dua kemungkinan mengenai asal-usulnya.
Pertama, tradisi lisan itu berdasarkan cerita naskah yang dibaca kemudian
dituturkan kembali. Kedua, tradisi lisan itu memang belum pernah dituliskan
dalam bentuk naskah, lalu dituturkan secara turun-temurun. Adanya perbedaan
versi suatu cerita yang dituturkan dalam naskah dan tradisi lisan disebabkan
oleh beberapa kemungkinan, yaitu perbedaan sumber cerita, distorsi cerita
karena pewarisan cerita yang turun-temurun memungkinkan terjadinya
penambahan ataupun pengurangan isi cerita, dan adanya keinginan dari
penutur cerita untuk mengedepankan peranan seorang tokoh ataupun
berapologia atas kesalahan tokoh tersebut.
mengenai kebenaran isi cerita atau mitos tersebut bukanlah suatu
permasalahan. Setidaknya, mitos-mitos tersebut dihormati dan dipelihara oleh
masyarakatnya.

B. Tradisi Adat Kampung Kuta


Bagi warga kampung adat kuta adalah warisan leluhur yang begitu
penting sehingga kemurniannya harus senantiasa dijaga. Bahkan menurut
Ketua Adat, jika ada warga yang berniat untuk tinggal dan menetap di luar
Kuta, yang bersangkutan juga akan tetap mempertahankannya.
Mata pencaharian penduduk Kampung Kuta ialah bertani. Adapun
kegiatan ekonomi yang menjadi andalan mereka cukup bervariasi antara lain
sebagai perajin gula aren, perajin anyaman bambu, bertani, beternak dan jenis
pekerjaan lain yang sesuai dengan keadaan lingkungannya. Pembuatan gula
aren menjadi mata pencaharian sebagian besar penduduk sehingga produksi
gula aren dapat dianggap sebagai produk unggulan di Kampung Kuta.
Pendidikan formal warga Kampung Kuta tidak begitu baik. Minat penduduk
Kampung Kuta untuk menyekolahkan anak-anaknya relatif kurang, terutama
minat untuk melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan
Sekolah Menengah Atas (SMA). Rata-rata penduduk hanya menamatkan
jenjang Sekolah Dasar (SD). Alasan utama keengganan menyekolahkan anak-
anaknya ke jenjang sekolah lanjutan disebabkan oleh kondisi ekonomi para
orang tua, alasan lainnya jarak sekolah lanjutan yang jauh. Bersekolah ke
SMP terdekat terletak di Kecamatan Tambaksari yang membutuhkan waktu
sekitar dua jam dengan berjalan kaki. Tingkat SMA harus ditempuh dengan
jarak yang lebih jauh lagi karena harus ke Kecamatan Rancah, Kota Ciamis
atau ke Kota Banjar.
Kampung ini dikatagorikan sebagai kampung adat, karena mempunyai
kesamaan dalam bentuk dan bahan fisik bangunan rumah, adanya ketua adat,
dan adanya adat istiadat yang mengikat masyarakatnya. Salah satu warisan
ajaran leluhur yang mesti dipatuhi masyarakat Kuta adalah pembangunan
rumah. Bila dilanggar, warga Kuta berkeyakinan, musibah atau marabahaya
bakal melanda kampung mereka. Aturan adat menyebutkan rumah harus
berbentuk panggung dengan ukuran persegi panjang. Atap rumah pun harus
dari bahan rumbia atau ijuk. Rumah tersebut berbentuk panggung dengan
tinggi 50-60 sentimeter di atas permukaan tanah. Bentuk rumah persegi
panjang, rata-rata berukuran 6X10 meter. Warga kampung Kuta
mempertahankan ini karena mematuhi leluhur yang melarang membangun
rumah tembok beratap genteng.

Gambar 1. Rumah Adat di Kampung Kuta


Kampung Kuta merupakan masyarakat adat yang masih teguh
memegang dan menjalankan tradisi dengan pengawasan kuncen dan ketua
adat. Kepercayaan terhadap larangan dan adanya mahluk halus atau kekuatan
gaib masih tampak pada pandangan mereka terhadap tempat keramat berupa
hutan keramat. Hutan keramat tersebut sering didatangi oleh orang-orang yang
ingin mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan hidup. Hanya saja, di hutan
keramat tersebut tidak boleh meminta sesuatu yang menunjukkan ketamakan
seperti kekayaan.
Untuk memasuki wilayah hutan keramat tersebut diberlakukan sejumlah
larangan, yakni larangan memanfaatkan dan merusak sumber hutan, memakai
baju dinas, memakai perhiasan emas, memakai baju hitam-hitam, membawa
tas, memakai alas kaki, meludah, dan berbuat gaduh. Bahkan untuk memasuki
Hutan Keramat ini pun tidak boleh memakai alas kaki, Tujuannya agar hutan
tersebut tidak tercemar dan tetap lestari. Oleh karena itu, kayu-kayu besar
masih terlihat kokoh di Leuweung Gede. Selain itu, sumber air masih terjaga
dengan baik. Di pinggir hutan banyak mata air yang bersih dan sering
digunakan untuk mencuci muka.
Masyarakat Kampung Kuta mengenal hutan karamat. Dipandang dari sudut
etimologis, Kampung Kuta berarti kampung atau dusun yang dikelilingi
“kuta” atau penghalang berupa tebing. Menurut cerita yang beredar pada
masyarakat setempat, dahulu kala tebing itu berfungsi sebagai penghalang
serangan musuh dari luar, ketika Kampung Kuta akan dijadikan sebuah
kerajaan oleh Prabu Ajar Sukaresi. Kisah tentang sepak terjang sang Prabu
yang menjadi penguasa di Kampung Kuta sangat berpengaruh kepada
warganya di kemudian hari.
Sikap sang Prabu yang peduli pada lingkungan itu diteruskan kemudian oleh
Ki Bumi yaitu seorang utusan Kerajaan Cirebon yang ditugaskan untuk
membantu masyarakat Kampung Kuta menjaga wilayah peninggalan Prabu
Ajar Sukaresi. Konon, semula Prabu Ajar Sukaresi bermaksud membangun
istana di wilayah tersebut, akan tetapi batal karena lokasi yang ditetapkan
berada di tengah-tengah perbukitan. Sementara itu bahan-bahan material yang
berupa kayu, semen, batu dan bata bahkan besi sudah terkumpul hingga
akhirnya tertimbun tanah dan berubah menjadi sebuah bukit kecil. Kini lokasi
tersebut berubah menjadi hutan yang dipercaya warga setempat sangat
keramat.
Kawasan hutan keramat boleh dikunjungi oleh orang-orang yang
bermaksud mencapai keselamatan, ketenangan hati, kehamonisan rumah
tangga, selain meminta harta kekayaan atau maksud-maksud lain dengan
meminta bantuan “kuncen” sebagai pemangku adat yang dipercaya mampu
berhubungan dengan leluhur yang tinggal di hutan keramat. Kuncen dianggap
sebagai penjaga hutan keramat, dan dapat menjadi penghubung antara
penunggu hutan keramat dengan orang-orang yang mempunyai maksud. Di
wilayah hutan itu ditabukan untuk menyelenggarakan kegiatan duniawi dan
dilarang untuk memanfaatkan segala sumber daya dari hutan. Segala sesuatu
dibiarkan secara alami, masyarakat dilarang menebang pohon bahkan
memungut ranting pun tidak diperkenankan. Jika melanggar tabu atau
larangan itu, maka orang tersebut akan mendapatkan sanksi berupa
malapetaka.
Larangan-larangan lain yang berlaku di luar wilayah hutan keramat
tapi masih termasuk wilayah Kampung Kuta pun wajib dipatuhi, seperti
larangan membangun rumah dengan atap genting, larangan mengubur jenazah
di Kampung Kuta, larangan memperlihatkan hal-hal yang bersifat
memamerkan kekayaan yang bisa menimbulkan persaingan, larangan
mementaskan kesenian yang mengandung lakon dan cerita, misalnya wayang.
Larangan-larangan tersebut apabila dilanggar diyakini oleh masyarakat akan
menyebabkan celaka bagi mereka yang melanggarnya. Norma adat dan agama
memiliki intensitas dan “kekuatan” yang seimbang sebagai pedoman dalam
melangsungkan kehidupan secara keseluruhan.
Keunikan lainnya, warga Kampung Kuta sangat dilarang membuat sumur. Air
untuk keperluan sehari-hari harus diambil dari mata air. Larangan para leluhur
mungkin ada benarnya. Ini lantaran kondisi tanah yang labil di kampung ini
dikhawatirkan dapat merusak kontur tanah. Terutama membuat sumur dengan
cara menggali atau mengebor tanah.
Kedekatan masyarakat kampung adat dengan alam tidak hanya itu saja
setiap tahunnya masyarakat kampung Kuta mengadakan Upacara Adat
nyuguh. Upacara Adat Nyuguh ini merupakan suatu upacara ritual tradisional
Adat Kampung Kuta Kec. Tambaksari Kabupaten Ciamis yang selalu
dilaksanakan pada tanggal 25 shapar pada setiap tahunnya. Upacara ini
bertujuan sebagai persembahan bentuk syukur kepada Tuhan dan bumi yang
telah memberikan pangan bagi masyarakat kampung Kuta.

Gambar 2. Upacara Adat Nyuguh

Kampung adat ini dihuni masyarakat yang hidup dilandasi kearifan


lokal. Dengan memegang teguh budaya, dan pelestarian lingkungan dengan
berpegang teguh kepada semboyan Leuweung ruksak, Cai Beak, Anak Incu
Balangsak.

Gambar 3. Papan Pengumuman yang mengingatkan


Pentingnya Menjaga Hutan
Menganai permainan tradisional anak-anak di daerah tatar sunda
termasuk ciamis selalu berkaitan dengan alam sekitar. Ini disebabkan
keakraban manusia hidup bersama alam dalam kesehariannya. Hukum alam
dipahami sebagai ‘hukum Tuhan’ yang sangat dipatuhi, sehingga ketika
manusia akan bersentuhan dengan alam, mereka akan sadar diri akan
Tuhannya. Hubungan harmonis ini selalu dilestarikan melalui sikap hidup
sehari-hari, termasuk dalam menyiapkan generasi penerus. Kesadaran itu
diterapkan dalam tata asuh anak yang mampu menjaga dan menghormati
alamnya. Beberapa contoh permainan tradisional yang terdapat di daerah
ciamis adalah oray-orayan, gatrik, utik, kasti, gobag, sondah, galah,
jajangkungan, turih oncom, dan gebokan.
Seni yang terdapat di Kampung Kuta ini adalah seni terebang, seni
ronggeng gunung, seni dogdog, seni ngibing, serta terdapat kerajinan-
kerajinan tangan seperti anyaman bilik, anyaman tas kamuti dari daun gebang,
ulekan, sinduk, temapat nasi (boboko), nampan (baki), topi petani dll.
1. Seni terebang
Kesenian Terebang tumbuh dilingkungan Masyarakat dan lingkungan
masyarakat dan diakui sebagai kesenian Rakyat kesenian rakyat ,
kesenian terebang disebut juga dengan Terebang Gede, Terebang gebes,
terebang ageung di Desa Karangpaninggal Kecamatan Tambaksari
masih mengadakan upacara untuk menghindari malapetaka dengan
mengadakan kesenian terebang yang khas dan unik yang diturunkan dari
generasi ke generasi. Dengan bergesernya kesenian terebang menjadi
hiburan yang lebih luas maka kesenian tersebut mengalami perubahan
alat musik dan lagu-lagu nya, penambahan alat musik seperti kendang ,
terompet, goong bahkan alat musik modern seperti organ dan gitar lagu
yang asalnya bernafaskan Islam bergeser menjadi lagu rakyat seperti
lagu botol kecap, tepang sono, buah kawung, ayun ambing, kukupu
hiber dll juga menjadi lagu pop Sunda seperti lagu botol kecap.
2. Ronggeng gunung
Untuk kesenian ronggeng gunung ini untuk di desa Karapaninggal ini
khususnya di kampung kuta sudah tidak ada, pada awalnya ada. Namun
seiring waktu kesenian ronggeng gunung pun punah.
Kesenian ronggeng gunung berkembang di Banjarsari Ciamis,
Ronggeng Gunung, sebenarnya masih dalam koridor terminologi
ronggeng secara umum, yakni sebuah bentuk kesenian tradisional
dengan tampilan seorang atau lebih penari. Biasanya, dilengkapi dengan
gamelan dan nyanyian atau kawih pengiring. Penari utama, seorang
perempuan, dilengkapi sebuah selendang. Fungsi selendang, kadang
untuk kelengkapan dalam menari. Tapi juga bisa untuk "menggaet"
lawan biasanya laki-laki untuk menari bersama dengan cara
mengalungkannya. Untuk pola gerak Ronggeng Gunung, dipandang
menjadi akar ronggeng pakidulan, nayaga yang mengiringinya (penabuh
gamelan) cukup tiga orang. Hanya dengan bonang, gong, dan kendang,
dan sejumlah lelaki yang mengelilingi penari, Ronggeng Gunung sudah
bisa digelar. Biasanya, lelaki yang mengelilingi penari itu punya ciri
khas, bagian kepala ditutup menggunakan sarung. Sehingga yang
terlihat hanya bagian mukasaja. Lagu yang dilantunkan penari ronggeng
pun sangat unik dan khas. Para pengamat seni menilai alunan suaranya
sangat spesifik. Dan tidak ditemukan dalam kawih atau tembang Sunda
lain. Bagi masyarakat Ciamis selatan, kesenian ronggeng gunung pada
masa jayanya bukan hanya merupakan hiburan. Kesenian tersebut
sekaligus menjadi pengantar upacara adat.

Gambar 4. Ronggeng Gunung


3. Seni dogdog
Dogdog merupakan alat musik yang terbuat dari kayu bulat, tengahnya
diberi rongga, namun pada kedua ujung ruasnya mempunyai bulatan
diameter yang berbeda kurang lebih 12 -15cm, dengan panjang 90cm.
pada ujung bulatan yang paling besar ditutup dengan kulit kambing yang
telah dikeringkan dan diikat dengan bambu melingkar yang dipasangkan
untuk menyetel suara atau bunyi. Suara yang dihasilkan berbunyi dog
dog dog (dalam telinga orang sunda). Oleh karena iru alat ini diberi
nama dog dog.
Seni dog dog di kampong kuta pernah mendapat penghargaan pada
tahun 2002, memenagkan perlombaan seni, yang bertepatan
diberikannya kalpataru kepada kampong kuta sebagai penghargaan atas
kampung yang menjaga lingkungan nya dengan baik.

Gambar 5. Seni Dog Dog

4. Ngibing
Seni ngibing merupakan seni tari yang biasa dilakukan oleh masyarakat
sunda dan juga yang dilakukan oleh masyarakat kampong kuta.
Biasanya dilakukan atau ditampilkan pada saat upacara adat, hajatan,
pernikahan, acara perayaan atau pun memperingati sesuatu karena
ungkapan rasa bahagia.
5. Tas kamuti
Merupakan salah satu kerajinan tangan dari masyarakat kampung kuta.
Biasanya dijadikan cendra mata yang merupakan cirri khas kampong
kuta dan juga dijual di luar kampong kuta, biasanya mendapat pesanan
dari luar kota bisa mencapai 100-200. Tas kamuti terbuat dari daun
gebang yang diambil dari hutan di banjar. Tas ini memiliki keunikan
karena dibuat dalam satu dahan dan hanya menjadi 1 tas saja setiap
dahannya. Serta dalam pembuatannya dahan tidak terputus dengan daun
dan menyambung terus hingga membentuk sebuah tas.

Gambar 6. Tas Kamuti dari Kampung Kuta

6. Bilik anyaman
Bilik anyaman merupakan salah satu kerajinan tangan masyarakat
kampung kuta. Pada awalnya pembuatan bilik anyaman ini digunakan
,untuk membangun rumah mereka, namun seiring waktu potensi
masyarakat kampong kuta mulai terlihat sehingga kerajinan bilik
anyaman menjadi salah satu mata pencaharian untuk dijual. Tidak ada
arti khusus dari lajur anyamannya. Bilik anyaman ini digunakan untuk
membangun rumah masyarakat kampung kuta, namun tidak menutup
kemungkinan juga masyarakat membeli bilik anyaman dari pengrajin
yang lain.

Gambar 7. Menganyam Bilik Anyaman

C. Bimbingan dan Konseling Berbasis Budaya Lokal


Prayitno dan Erman Amti (2004:99) mengemukakan bahwa bimbingan
adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada
seorang atau beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja, maupun
dewasa agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan
dirinya sendiri dan mandiri dengan memanfaatkan kekuatan individu dan
sarana yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang
berlaku. Sedangkan konseling menurut Prayitno dan Erman Amti (2004:105)
adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara
konseling oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang sedang
mengalami sesuatu masalah (disebut konseli) yang bermuara pada teratasinya
masalah yang dihadapi konseli. Sejalan dengan itu, Winkel (2005:34)
mendefinisikan konseling sebagai serangkaian kegiatan paling pokok dari
bimbingan dalam usaha membantu konseli/konseli secara tatap muka dengan
tujuan agar konseli dapat mengambil tanggung jawab sendiri terhadap
berbagai persoalan atau masalah khusus.
Dalam pengertian konseling terdapat empat elemen pokok yaitu
(adanya hubungan, (2) adanya dua individu atau lebih, (3) adanya proses, (4)
membantu individu dalam memecahkan masalah dan membuat keputusan.
Sedangkan dalam pengertian budaya, ada tiga elemen yaitu (1) merupakan
produk budidaya manusia, (2) menentukan ciri seseorang, (3) manusia tidak
akan bisa dipisahkan dari budayanya.
Dalam praktik sehari-hari, konselor pasti akan berhadapan dengan
konseli yang berbeda latar belakang sosial budayanya. Dengan demikian, tidak
akan mungkin disamakan dalam penanganannya (Prayitno,1994). Perbedaan
perbedaan ini memungkinkan terjadinya pertentangan, saling mencurigai, atau
perasaan perasaan negatif lainnya. Pertentangan, saling mencurigai atau
perasaan yang negatif terhadap mereka yang berlainan budaya sifatnya adalah
alamiah atau manusiawi. Sebab, individu akan selalu berusaha untuk bisa
mempertahankan atau melestarikan nilai nilai yang selama ini dipegangnya.
Jika hal ini muncul dalam pelaksanaan konseling, maka memungkinkan untuk
timbul hambatan dalam konseling.
Memahami budaya spesifik mengandung pengertian bahwa konselor
sebaiknya mengerti dan memahami budaya yang dibawa oleh konseli sebagai
hasil dari sosialisasi dan adaptasi konseli dari lingkungannya. Hal ini sangat
penting karena setiap konseli akan membawa budayanya sendiri-sendiri.
Konseli yang berasal dari budaya barat, tentu akan berbeda dengan konseli
yang berbudaya timur. Konseli yang berbudaya timur jauh akan berbeda
dengan konseli yang berasal dari asia tenggara dan lain lain.
Pemahaman mengenai budaya spesifik yang dimiliki oleh konseli tidak
akan terjadi dengan mudah. Untuk hal ini, konselor perlu mempelajarinya dari
berbagai Sumber yang menunjang seperti literatur atau pengamatan langsung
terhadap budaya konseli. Konselor dituntut untuk dapat bertindak secara
proaktif didalam usahanya memahami budaya konseli. Dengan demikian,
sebagai individu yang bersosialisasi, selayaknyalah konselor sering “turun”
untuk mengetahui budaya di sekitar konseli. Kemampuan konselor untuk
dapat memahami kebudayaan di sekitarnya, secara tidak langsung akan dapat
menambah khasanah ilmu pengetahuannya yang pada akhirnya akan
mempermudah konselor di dalam memahami konseli (Hunt, 1975; Herr, 1989
Lonner & ibrahim,1991).
Memahami keunikan konseli mengandung pengertian bahwa konseli
sebagai individu yang selalu berkembang akan membawa nilai nilai sendiri
sesuai dengan tugas perkembangan-nya. Konseli selain membawa budaya
yang berasal dari lingkungannya, pada akhirnya konseli juga membawa
seperangkat nilai nilai yang sesuai dengan tugas perkembangan. Sebagai
individu yang unik, maka konseli akan menentukan sendiri nilai nilai yang
akan dipergunakannya. Bahkan bisa terjadi nilai nilai yang diyakini oleh
konseli ini. bertolak belakang dengan nilai nilai atau budaya yang selama ini
dikembangkan di lingkungannya. Hal ini perlu juga dipahami oleh konselor.
Karena apapun yang dibicara¬kan dalam konseling, tidak bisa dilepaskan dari
individu itu sendiri.
Memahami manusia secara universal mengandung pengertian bahwa
nilai nilai yang berlaku di masyarakat ada yang berlaku secara universal atau
berlaku di mana saja kita berada. Nilai nilai ini diterima oleh semua
masyara¬kat di dunia ini. Salah satu nilai yang sangat umum adalah
penghargaan terhadap hidup. Manusia sangat menghargai hidup dan merdeka.
Nilai nilai ini mutlak dimiliki oleh semua orang.
Konselor perlu menyadari akan nilai-nilai yang berlaku secara umum.
Kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada
umumnya akan membuat konselor mempunyai pandangan yang sama tentang
sesuatu hal. Persamaan pandangan atau persepsi ini merupakan langkah awal
bagi konselor untuk melaksanakan konseling. Berhubungan dengan konseling
lintas budaya, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, menurut
Pedersen (1980) dinyatakan bahwa konseling lintas budaya memiliki tiga
elemen yaitu:
1. Konselor dan konseli berasal dari latar belakang budaya yang berbeda,
dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) konseli;
2. Konselor dankonseli berasal dari latar belakang budaya yang berbeda,
dan melakukan konseling dalamlatar belakang budaya (tempat)
konselor;
3. Konselor dan konseli berasal dari latar belakang budaya yang berbeda,
melakukan konseling di tempat yang berbeda pula.
Lebih lanjut, menurut Pedersesn, Lonner dan Draguns (dalam Carter,
1991) dinyatakan bahwa beberapa aspek dalam konseling lintas budaya adalah
(1) latar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor, (2) latar belakang
budaya yang diimiliki oleh konseli, (3) asumsi-asumsi terhadap masalah yang
akan dihadapi selama konseling, dan (4) nilai-nilai yang mempengaruhi
hubungan konseling, yaitu adanya kesempatan dan hambatan yang berlatar
belakang tempat di mana konseling itu dilaksanakan.
Dalam pelaksanaan konseling lintas budaya konselor tidak saja
dituntut untuk mempunyai kompetensi atau kemampuan seperti yang telah
disajikan di atas. Tetapi dalam hal ini perlu pula disajikan karakteristik atau
ciri ciri khusus dari konselor yang melaksanakan layanan konseling lintas
budaya. Sue (Dalam George & Cristiani: 1990) menyatakan beberapa
karakteristik konselor sebagai berikut:
1. Konselor lintas budaya sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang
dimilikinya dan sumsi asumsi terbaru tentang perilaku manusia. Dalam
hal ini, konselor yang melakukan praktik konseling lintas budaya,
seharusnya sadar bahwa dia memiliki nilai nilai sendiri yang harus
dijunjung tinggi. Konselor harus sadar bahwa nilai nilai dan norma
norma yang dimilikinya itu akan terus dipertahankan sampai kapanpun
juga. Di sisi lain, konselor harus menyadari bahwa konseli yang akan
dihadapinya adalah mereka yang mempunyai nilai nilai dan norma yang
berbeda dengan dirinya. Untuk hal itu, maka konselor harus bisa
menerima nilai nilai yang berbeda itu dan sekaligus mempelajarinya.
2. Konselor lintas budaya sadar terhadap karakteristik konseling secara
umum.
Konselor dalam melaksanakan konseling sebaiknya sadar terhadap
pengertian dan kaidah dalam melaksanakan konseling. Hal ini sangat
perlu karena pengertian terhadap kaidah kanseling yang terbaru akan
membantu konselor dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh
konseli. Terutama mengenai kekuatan baru dalam dunia konseling yaitu
konseling !intas budaya.
3. Konselor lintas budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan, dan
mereka harus mempunyai perhatian terhadap lingkungannya. Konselor
dalam melaksanakan tugasnya harus tanggap terhadap perbedaan yang
berpotensi untuk menghambat proses konseling. Terutama yang
berkaitan dengan nilai nilai atau norma norma yang dimili¬ki oleh suku
suku tertentu. Terlebih lagi, jika konse!or melakukan praktek konseling
di indonesia. Dia harus sadar bahwa Indonesia mempunyai kurang lebih
357 etnis, yang tentu saja membawa nilai nilai dan norma yang berbeda.
Untuk mencegah timbulnya hambatan tersebut, maka konselor harus
mau belajar dan memperhatikan lingkungan di mana dia melakukan
praktik. Dengan mengadakan perhatian atau observasi nilai-nilai
lingkungan di sekitarnya, diharapkan konselor dapat mencegah
terjadinya kemandegan atau pertentangan selama proses konseling.
4. Konselor lintas budaya tidak boleh mendorong seseorang (konseli)
untuk dapat memahami budayanya (nilai-nilai yang dimiliki konselor)
Untuk hal ini, ada aturan main yang harus ditaati oleh setiap konselor.
Konselor mempunyai kode etik konseling, yang secara tegas
menyatakan bahwa konselor tidak boleh memaksakan kehendaknya
kepada konseli. Hal ini mengimplikasikan bahwa sekecil apapun
kamauan konselor tidak bolah dipaksakan kepada konseli. Konseli tidak
boleh diintervensi oleh konselor tanpa persetujuan konseli.
5. Konselor lintas budaya dalam melaksanakan konseling harus
mempergunakan pendekaten eklektik. Pendekatan eklektik adalah suatu
pendekatan dalam konseling yang mencoba untuk menggabungkan
beberapa pendekatan dalam konseling untuk membantu memecahkan
masalah konseli. Penggabungan ini dilakukan untuk membantu konseli
yang mempunyai perbedaan gaya hidup. Selain itu, konseling eklektik
dapat berupa penggabungan pendekatan konseling yang ada dengan
pendekatan yang digali dari masyarakat pribumi (indegenous).

Anda mungkin juga menyukai