Nama Kampung Kuta ini mungkin diberikan karena sesuai dengan lokasi kampung adat
ini yang berada di lembah yang curam, kurang lebih 75 meter, dan dikelilingi oleh tebing-
tebing/perbukitan. Dalam bahasa Sunda buhun, Kuta artinya pagar tembok.
Ada beberapa versi mengenai asal usul Kampung Adat Kuta. Penduduk setempat percaya,
sejarahnya berkaitan dengan pendirian kerajaan Galuh. Kampung Kuta konon awalnya
dipersiapkan sebagai ibukota kerajaan Galuh, namun tidak jadi.
Ketika itu sang raja yang bernama Ki Ajar Sukaresi hendak mendirikan pusat kerajaan.
Maka dipilihlah sebuah tempat yang terletak di lembah yang dikelilingi oleh tebing sedalam sekitar
75 m di lokasi pembangunan pusat kerajaan itu. Lokasi inilah yang kini menjadi Kampung Kuta.
Sang raja lalu memerintahkan rakyatnya untuk membangun sebuah keraton. Namun ketika
seluruh persiapan telah dibuat serta bahan-bahan untuk membangun keratorn telah terkumpul,
Sang Prabu baru menyadari bahwa lokasi tersebut tidak cocok untuk dijadikan pusat kerajaan
karena “tidak memenuhi Patang Ewu Domas”. Maka, atas saran para bawahannya diputuskan
untuk mencari lokasi baru.
Selain cerita di atas, Kampung Kuta juga berkaitan dengan cerita Tuan Batasela dan Aki
Bumi. Diceritakan bahwa bekas ibukota Galuh yang diterlantarkan selama beberapa lama tersebut
menarik perhatian Raja Cirebon dan Raja Mataram.
Masing-masing raja tersebut kemudian mengirimkan utusannya untuk menyelidiki keadaan di
Kampung Kuta. Raja Cirebon mengutus Aki Bumi, sedang Raja Mataram mengutus Tuan
Batasela.
Masyarakat Adat memiliki hutan keramat atau disebut Leuweung Gede yang sering
didatangi oleh orang-orang yang ingin mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan hidup. Namun,
sangat dipantang meminta sesuatu yang menunjukkan ketamakan seperti kekayaan.
Semua larangan-larangan tersebut bertujuan untuk menjaga hutan tidak tercemar dan tetap
lestari. Maka tidak heran di Leuweung Gede masih terlihat kayu-kayu besar dan tua.
Baik kesenian tradisional seperti calung, reog, sandiwara (drama Sunda), tagoni (terbang),
kliningan, jaipongan, kasidah, ronggeng, sampai kesenian modern dangdut.
Salah satu upacara adat yang rutin dilakukan adalah upacara adat Nyuguh. Upacara ini
dilaksanakan pada tanggal 25 Shapar pada setiap tahunnya. Sesuai kebiasaan leluhur, acara
nyuguh harus dilakukan di pinggir Sungai Cijolang yang berbatasan langsung dengan Kabupaten
Cilacap, Jawa Tengah.
Konon, pernah satu kali acara nyuguh tak dilaksanakan, tiba-tiba seluruh kampung
mendapat musibah. Padi yang siap panen rusak, sejumlah hewan ternak mati.
Warga menyakini kerusakan itu terjadi karena “utusan” Padjadjaran itu tidak disuguhi
makanan. Alhasil mereka pun mencari makanan sendiri dengan cara merusak kampung.
Amanat Cerita Kampung Kuta
Dari cerita kampung kuta di atas kita dapat beberapa amanat yang bisa kita terapkan di
kehidupan sehari-hari, diantaranya adalah menaati peraturan-peraturan yang berlaku dalam
bermasyarakat serta sebagai warga negara Indonesia. Jika kita liat dari peraturan/pantangan
kampung kuta sangatlah banyak, sama halnya dengan bermasyarakat. Tetapi peraturan tersebut
tidak semerta-merta untuk mengurung kita layaknya di penjara, namun untuk menciptakan
lingkungan bermasyarakat yang adil, Makmur, dan sejahtera. Dan apabila ada yang melanggar,
Adapun hukum yang berlaku. Kita juga harus menjaga kebersihan lingkungan sekitar agar tetap
terlihat asri. Yang terakhir kita juga harus tetap menyukai kesenian kesenian local agar dapat
berkembang dan terkenal di kancah internasional.
KAMPUNG KUTA
Sajarah Désa Kuta
Ngaran Désa Kuta tiasa dipasihan sabab cocog sareng lokasi désa tradisional ieu anu aya di
lebak léngkah, sakitar 75 meter, sareng dikubeng ku tebing / bukit. Dina basa Sunda, Kuta hartosna
pager témbok.
Aya sababaraha versi asal Désa Kuta Tradisional. Penduduk lokal percaya, sejarah aya
hubunganna sareng ngadegna karajaan Galuh. Konon Kampung Kuta asalna disiapkeun jadi ibu
kota karajaan Galuh, tapi éta henteu kajantenan.