A. Lahirnya Kabupaten Galuh 1. Mitos dan Sejarah Jejak nama sebuah tempat seringkali berujung pada mitos sebagai jawaban akhir, yang tentu saja tidak
merupakan jawaban yang memuaskan. Akan tetapi, jawaban yang bersifat mitis pun setidak-tidaknya dianggap bisa memuaskan rasa ingin tahu kita. Selain itu, mitos-mitos juga memperkaya khasanah kebudayaan suatu masyarakat. Lebih jauh, karena mitos biasanya terkait pada
kepercayaan dan pemikiran suatu masyarakat, maka paling tidak melalui mitos tersebut dapat dilihat perkembangan pola pemikiran atau mentalitas masyarakatnya pada suatu periode. Masyarakat Galuh ternyata memiliki khasanah mitos yang cukup banyak. Mitos-mitos itu, antara lain terkait pada asal-usul nama tempat atau daerah, benda, dan
atau
daerah
misalnya
asal-usul
nama
Kawali.
Ditulis oleh Miftahul Falah sebagai bagian dari buku Sejarah Ciamis yang diterbitkan tahun 2005 oleh Pemkab Ciamis dan LPPM Universitas Galuh, Ciamis.
53
54
Cerita
asal-usul
nama
Kawali
berkaitan
dengan
kisah
Ciung Wanara maupun Kerajaan Galuh yang dimuat dalam sumber naskah maupun tradisi lisan masyarakat Galuh. Sumber Wawacan bahwa naskah Sajarah Raja yang memuat cerita itu, itu yaitu antara lain
Galuh.
Dalam
naskah
diceritakan Ki Bondan
Bojong
Galuh
(palsu)
menyuruh seorang pandita sakti, Ajar Sukaresi, untuk menaksir bayi yang dikandung oleh istrinya, Nyai Ujung Sekarjingga, apakah laki-laki atau perempuan.
Sebenarnya, raja hendak menipu pandita karena besarnya perut Nyai Ujung Sekarjingga disebabkan oleh kuali yang ditaruh di dalamnya, bukannya karena sedang hamil. Sang pandita mengetahui niat buruk sang raja, ia kemudian berdoa kepada Tuhan agar diberikan pertolongan. Ia pun berkata bahwa anak yang sedang dikandung itu laki-laki. Raja menganggap jawaban pandita itu bohong sehingga
pandita harus dihukum. Pakaian Nyai Ujung Sekarjingga kemudian dibuka dan ternyata kuali yang dipasang di perutnya tidak ada dan ia benar-benar mengandung. Raja menjadi marah disertai malu menyaksikan kejadian itu. Pandita raja itu disuruh pulang, patihnya perut tetapi untuk Nyai secara diam-diam sang
membunuh
pandita.
Ujung
Sekarjingga
55
sesungguhnya ditendang secara rohaniah oleh pandita. Kuali itu kemudian namanya jatuh di Kampung Selapanjang (kini
sehingga
diganti
menjadi
Kawali
terletak sekitar 11 km di sebelah utara Kota Ciamis). Adapun anak laki-laki Nyai Ujung Sekarjingga kemudian bernama Ciung Wanara.1 Menurut cerita rakyat, tempat jatuhnya kuali itu menjadi mata air dan kolam yang disebut Balong Kawali atau Cikawali, yang sekarang termasuk dalam lingkungan Situs Astana Gede Kawali.2 Ajar raja, Sukaresi yang hendak dibunuh oleh utusan karena dirinya Sukaresi di Gunung Sukaresi tempat.
pada
awalnya Namun,
tidak ia
dapat
akhirnya penuh ke
tubuh kembali
luka,
perjalanannya, berwarna
mengeluarkan
darah
kuning
suatu
Tempat itu kemudian disebut Cikoneng. Setelah lama berjalan, Ajar Sukaresi tergolek di atas tanah. Tempat ia tergolek itu kemudian lagi, yang dengan disebut tetapi Cikedengan. jatuh bening. lagi Daerah Ia dan itu
kemudian
berjalan darah
mengeluarkan kemudian
berwarna nama
dikenal
Ciherang.
Akhirnya,
56
bahwa
Ciung
Wanara Galuh
ketika
lahir Ki
oleh
Raja
Bojong
(palsu),
Bondan, karena khawatir akan membahayakan kekuasaannya. Namun, patih raja yang ditugasi untuk membunuh Ciung Wanara tidak tega melakukan tindakan itu. Ia kemudian menghanyutkan Ciung Wanara di sungai bersama sebutir telur ayam. Singkat cerita, Ciung Wanara ditemukan oleh sepasang suami-istri dan diasuh hingga remaja. Adapun telur ayam kemudian dieramkam pada seekor naga sakti di Gunung Padang yang bernama Nagawiru hingga menetaskan seekor ayam jantan. Pada suatu hari, Raja Bojong Galuh mengadakan separuh sayembara sabung bagi ayam. Ia menjanjikan yang Ciung mampu Wanara
kerajaannya ayam
siapa Ayam
saja
mengalahkan
raja.
jantan
diikutkan pada sayembara itu dan berhasil mengalahkan ayam raja. Namun, raja mengingkari janjinya. Ciung
Wanara menjadi kesal, lalu menjebak raja dalam sebuah kurungan besi. Ciung Wanara kemudian menjadi raja di Bojong Galuh.4 Menurut kepercayaan masyarakat sekitarnya, tempat lahirnya Ciung Wanara adalah sebuah menhir dan dolmen dikelilingi oleh batu bersusun yang disebut
57
Di tempat itu, Nyai Ujung Sekarjingga (dalam sumber lain disebut Dewi Naganingrum) melahirkan Ciung Wanara, lalu bersandar selama 40 hari masih untuk ada memulihkan orang yang
kesehatannya.
Sampai
sekarang
percaya bahwa wanita yang ingin mempunyai anak akan segera diberi anak bila bersandar di tempat itu.5 Adapun tempat penyabungan ayam Ciung Wanara dan ayam raja dipercayai yang oleh masyarakat berlokasi Ayam pada dalam
sebuah
tempat
bernama
Penyabungan
lingkungan Situs Karangkamulyan. Penyabungan Ayam itu berupa sebuah arena terbuka yang berbentuk tinggi. bundar itu yang pun raja
dikelilingi dipercayai
pohon-pohon sebagai
Tempat
tempat
khusus
untuk
memilih
dengan cara demokratis.6 Dalam terdapat lingkungan tempat Situs dan Karangkamulyan benda lainnya, juga yaitu
beberapa
Pelinggih (Batu Pancalikan), Sanghyang Bedil, Lingga (Lambang Peribadatan), Cikahuripan, Pamangkonan, Makam Adipati Panaekan, dan Sri Begawat Pohaci.7 Beberapa di antaranya memiliki mitos-mitos asal mula keberadaannya, yaitu sebagai berikut. Pelinggih tingkat merupakan putih sebuah dan batu bertingkatsegiempat.
berwarna
berbentuk
58
Pelinggih itu menyerupai yoni terbalik, yang digunakan sebagai beberapa meja buah saji batu atau altar. yang Di bawahnya terdapat sebagai
kecil
seolah-olah
penyangga sehingga memberi kesan seperti sebuah dolmen. Pelinggih batu temu itu terletak pada sebuah menurut juga bangunan cerita susunan rakyat batu
gelang. Pelinggih
Konon, yang
setempat,
disebut
sebagai
pancalikan (bahasa Sunda: tempat duduk) atau batu kursi itu merupakan singgasana Ratu Galuh yang dijaga oleh tujuh benteng pertahanan. Benteng pertama terletak di dekat Desa Karangkamulyan sekarang, sedangkan benteng ketujuh tepat berada di pintu bangunan tertutup tempat Pelinggih berada. Pelinggih lain juga terdapat di Situs Astana Gede Kawali.8 Tempat yang disebut Sanghyang bedil merupakan
suatu ruangan yang dikelilingi tembok berukuran 6,20 x 6 m dan tinggi tembok sekitar 80 cm. Di dalam ruangan itu terdapat dua buah menhir yang masing-masing
berukuran 60 x 40 cm dan 20 x 8 cm. Menurut kepercayaan masyarakat sekitarnya, dahulu Sanghyang Bedil merupakan pertanda akan datangnya suatu kejadian (bahasa Sunda: totonde) dengan terdengarnya suara atau bunyi letusan di tempat itu.9
59
Cikahuripan
adalah
nama
sebuah
sumur
yang
terletak di dekat pertemuan Sungai Citanduy dan Sungai Cimuntur. Diberi nama Cikahuripan karena, menurut
kepercayaan masyarakat, sumur itu berisi air kehidupan (bahasa Sunda: hurip berarti hidup). Sumur itu
merupakan sumur abadi karena airnya tidak pernah kering sepanjang tahun.10 Makam Adipati Panaekan terdapat pada bagian atas susunan batu kali yang berbentuk lingkaran bersusun
tiga. Letak makam itu berada pada salah satu jalan setapak yang menuju ke arah Sungai Cimuntur. Menurut juru kunci makam, Adipati Panaekan merupakan salah
seorang Bupati Galuh yang sezaman dengan Sultan Agung Mataram. Ia merupakan putra kedua Prabu Digaluh atau Salawe Sanhyang Ciptapermana II, penguasa Galuh pertama yang memeluk agama Islam. Adipati Panaekan dibunuh oleh adik iparnya, Dipati Kertabumi (Singaperbangsa I),
karena perselisihan paham dalam penyerbuan Belanda di Batavia. Setelah dibunuh, jasadnya dihanyutkan ke
Cimuntur dan diangkat lagi di pertemuan Sungai Cimuntur dan Sungai Citanduy, lalu dikuburkan di Karangkamulyan. Pengangkatan jenazahnya di pertemuan dua sungai itulah yang mungkin menyebabkan munculnya sebutan Adipati
60
Panaekan (bahasa Sunda: panaekan berarti naik). Jika merujuk pada keterangan yang diberikan oleh Wawacan
Sajarah Galuh, maka tokoh Adipati Panaekan itu adalah Sangiang Dipati yang menjadi Bupati Galuh ke-3 (16181625). Ia juga merupakan penguasa Galuh pertama yang tercatat dalam sumber Belanda.11 Selanjutnya, mitos mengenai asal-usul nama daerah Panoongan, Gegembung, Sikuraja, dan Leuwi Biuk.12
Diceritakan bahwa seorang pengrajin batik yang hidup di Kampung Babakan Nyengked, yang mempunyai putri cantik bernama Utari. Kecantikan Utari membuat banyak lakilaki terpikat kepadanya, lalu mereka membuat lubang
pada dinding bilik rumah Utari supaya bisa mengintip (bahasa mengintip Sunda: itu noong) kemudian Utari dikenal kapan dengan saja. nama Tempat daerah
Panoongan. Kecantikan Utari ternyata sampai kepada Sultan Mataram. Utusan pun segera dikirim untuk menjemput
Utari ke kampungnya. Namun, dalam perjalanan ternyata utusan Mataram itu melakukan tindakan tercela, merusak kehormatan Utari. Sesampainya di Mataram, Utari telah berubah menjadi gadis yang pucat dan tidak menarik lagi akibat perbuatan utusan Mataram. Sultan Mataram
61
mengetahui bahwa Utari telah ternoda, lalu mendesaknya menunjukkan siapa yang melakukan tindakan tercela itu. Karena diancam oleh utusan Mataram, Utari mengatakan bahwa itu adalah perbuatan Adipati Imbanagara. Sultan Mataram untuk Adipati memotong menimbulkan menjadi menangkap itu marah, dan lalu segera mengirim pasukan
membunuh ditangkap,
Adipati lalu
berhasil
bagian-bagian perlawanan
berusaha merebut jenazah Adipati Imbanagara kembali. Beberapa bagian lalu tubuhnya dimandikan berhasil dan direbut pihak Tempat
Imbanagara,
dikuburkan.
pemandian itu kemudian disebut Leuwi Biuk. Sementara tempat dikuburkannya potongan tubuh Adipati Imbanagara disebut Gegembung. Adapun Sikuraja merupakan tempat direbutnya bagian sikut sang Adipati. Mitos-mitos mengenai nama daerah di sekitar
wilayah Galuh ternyata ada pula yang terkait dengan lahirnya salah satu kesenian khas Galuh, yaitu ronggeng gunung. Dalam cerita lahirnya kesenian itu, beberapa nama daerah juga secara mitologi diceritakan asal-
usulnya, yaitu Pangandaran, Babakan, Cikembulan, Batu Hiu, Serang, Padon Telu, Pasir Eurih, Parakan,
62
Sawangan,
Patimuan,
Tungilis,
Paliken,
Bagolo,
dan
Cirengganis.13 Secara singkat diceritakan bahwa dahulu kala seorang raja yang bernama Raden Anggalarang, putra Prabu Haur Kuning, mendirikan kerajaan di Ujung
Pananjung. Ayahnya telah mengingatkan bahwa kerajaan baru itu tidak akan berumur panjang karena lokasinya terletak di daerah pinggir pantai tempat singgah orangorang jahat (bajo atau andar-andar) dari Nusakambangan. Tempat itu kemudian disebut sebagai Pangandaran. Setelah kerajaannya, Anggalarang terjadilah berhasil dengan mendirikan para bajo
peperangan
yang tertarik dengan kecantikan permaisuri Anggalarang yang bernama Dewi Siti Samboja atau Dewi Rengganis. Peperangan berakhir pada kekalahan pada pihak
Anggalarang. Atas saran dari punggawanya yang bernama Mama Lengser, ia pergi ke arah timur sampai di suatu tempat ia memutuskan untuk beristirahat (mabak-mabak). Tempat istirahat Anggalarang beserta rombongannya itu sekarang disebut sebagai daerah Babakan. Karena para bajo yang mengejarnya telah mengetahui persembunyian mereka, pergi ke Anggalarang arah barat beserta sampai rombongannya di suatu memutuskan tempat yang
63
dari
kata
timbul
karena
rombongan
Anggalarang
menimbulkan diri di tempat itu. Perjalanan diteruskan sampai di daerah pinggir dan laut. Di daerah seekor itu, ikan.
Anggalarang
beristirahat
menyantap
Anggalarang tidak habis memakan ikan itu karena rasanya kurang enak, lalu dibuangnya ke laut sambil berkata, Jung sing hirup dei (bahasa Sunda: menyuruh hidup kembali). Namun, ikan itu tidak hidup kembali hanya menjadi gumpalan batu yang menyerupai ikan hiu (bahasa Sunda: ikan yu). Tempat itu kemudian diberi nama Batu Hiu. Sampai sekarang dipercayai bahwa kalau ada orang yang hendak menjadi seniman yang bagus, maka harus
berziarah ke Batu Hiu itu. Anggalarang melanjutkan perjalanan ke arah utara sampai di suatu tempat di mana dapat dilihat dengan jelas bekas kerajaannya Serang berarti di arah timur. dari Tempat bahasa dari itu
kemudian
disebut
berasal dapat
Sunda jauh
nyerangkeun
yang
melihat
tetapi jelas. Perjalanan dilanjutkan terus ke utara sampai di suatu perbatasan antara tiga daerah, yaitu Parigi, Padaherang, dan Kalipucang. Perbatasan itu
sekarang dinamakan Padon Telu. Karena para bajo terus mengejar, diputuskanlah rombongan dibagi dua: Raden
64
Anggalarang menuju selatan, sedangkan istrinya, Dewi Siti Samboja, dan Mama Lengser ke arah utara. Sebelum melanjutkan perjalanan, Dewi Siti Samboja naik ke
sebuah gunung agar dapat melihat perjalanan suaminya. Ternyata, Raden Anggalarang sedang berperang dengan
para bajo di suatu tempat yang sekarang disebut Pasir Eurih. Anggalarang terbunuh, lalu mayatnya diarak oleh para bajo. Tempat Adapun itu pengarakan tempat Dewi itu Siti kemudian Samboja disebut melihat (bahasa
Parakan. peristiwa
kemudian
disebut
Sawangan
Sunda: tempat nyawang). Dewi Siti Samboja, Mama Lengser, dan rombongan segera melanjutkan perjalanan ke arah utara sampai di tepi Sungai Citanduy. Di sana, mereka bertemu dengan seorang tukang rakit dan meminta pertolongan agar
diseberangkan. Dewi Siti Samboja beserta rombongannya pun diseberangkan. Keesokan harinya, ketika rombongan Dewi Siti Samboja tiba di sebuah anak Sungai Citanduy ditemukanlah mayat tukang rakit yang telah
menyeberangkan mereka. Tukang rakit itu dibunuh oleh para bajo yang terus mengejar Dewi Siti Samboja. Tempat ditemukannya mayat tukang rakit itu kemudian dinamakan Patimuan. Dewi Siti Samboja melanjutkan perjalanannya
65
ke arah selatan sampai di sebuah pegunungan. Pada suatu tempat, ia menangis karena sedih atas kesengsaraan yang menimpanya. Tempat menangisnya Dewi Siti Samboja
dinamakan Tungilis oleh Mama Lengser, yang berasal dari kata tangis nu geulis (bahasa Sunda: tempat menangisnya orang yang cantik). Dewi Siti Samboja
kemudian bertapa di pegunungan itu hingga ia mendengar suara tanpa wujud yang dan menyuruhnya menyamar seni pun menjadi doger diganti
seorang (ketuk
ronggeng tilu).
rombongan Samboja
Nama
menjadi Dewi Rengganis. Sementara itu, Prabu Haur Kuning mengutus Patih Sawung Guling untuk mencari informasi keadaan Raden
Anggalarang dan keluarganya. Sawung Guling mendengar bahwa tiap malam ada kesenian doger yang dipimpin oleh Mama Lengser. Ia pun bergegas menemui Mama Lengser dan menyampaikan pesan Prabu Haur Kuning yang menanyakan kabar anaknya. Namun, Dewi Rengganis dan Mama Lengser masih meragukan Sawung Guling sebagai utusan mertuanya. Dewi Rengganis menyuruh Sawung Guling agar bertanding dulu Guling percaya. dengan pemuda-pemuda tetapi itu, yang dia pimpin. masih Sawung belum
menang, Untuk
Dewi
Rengganis
Sawung
Guling
kemudian
66
ilmu enau,
kesaktiannya lalu
dengan
mengambil tebing
menancapkannya
pada
batu di daerah Pegunungan Tungilis. Ketika lidi itu dicabut, batu bekas tancapannya timbul dan menonjol
seperti alat kelamin laki-laki dan mengeluarkan air. Tempat itu pun kemudian disebut Paliken, yang berasal dari bahasa Sunda Sawung pelakian Guling sekarang berarti alat kelamin bibit
kemudian terkenal
menaburkan adanya
sehingga
tembakau
terbukti Haur
bahwa Kuning,
Sawung Dewi
Guling
adalah mau
Rengganis
menerimanya menjadi suami. Namun, ia tetap menyamar dan menjalankan kesenian dogernya. Mereka hidup berpindahpindah sambil bercocok tanam. Ternyata, para bajo masih terus mengejar Dewi Rengganis hingga di suatu tempat terjadilah perkelahian Sawung Guling, yang telah
menjadi suami Dewi Rengganis, dengan para bajo itu. Para bajo dapat dikalahkan oleh Sawung Guling karena kesaktiannya. Tempat terjadinya perkelahian antara para bajo dengan Sawung Guling kemudian diberi nama
Bagolo, yaitu berasal dari kata begalan pati dengan para bajo. Sampai sekarang, masyarakat mempercayai
67
bahwa Bagolo itu merupakan tempat untuk mencuci diri agar kuat dan kebal terhadap pukulan dan benda tajam. Versi lain menyebutkan bahwa yang di Bagolo itu oleh dahulu Embah
terdapat
Kerajaan
Bagolo
didirikan
Sawung Galing. Ia pernah menyerang Kerajaan Cikembulan yang berpusat di Sidamulih karena ingin mengawini putri rajanya, tetapi akhirnya membantu memerangi para bajo. Ia berhasil dan mengawini putri raja itu, lalu menjadi raja di Kerajaan Pananjung. Dewi Rengganis dan Sawung Guling kemudian kembali ke Pananjung, lalu menjadi penguasa di sana. Di
Pananjung sebelah timur terdapat tempat yang namanya Cirengganis di mana terdapat gua yang mengeluarkan air tawar. Demikianlah asal-usul kesenian ronggeng
gunung yang diyakini berasal dari kesenian yang dibawa oleh Dewi Rengganis itu. Di sekitar Pantai Pangandaran, terdapat Situs tepatnya situs Dusun yang suatu
Pananjung, bernama
Pangandaran, Pananjung.
sebuah itu
Situs
merupakan
kompleks percandian kecil yang terdiri atas beberapa bangunan. Kompleks candi itu dinamakan Candi Pananjung. Selain itu, ditemukan pula yoni, arca Nandi, dan batu bulat beralaskan padma (padmasana),14 yang menunjukkan
68
ciri-ciri bangunan peribadatan Hindu-Siwa. Di sekitar Candi Pananjung itu juga terdapat beberapa gua, yaitu Gua Panggung, Gua Parat, Gua Sumur Mudal, dan Gua
Lanang.15 bekas
Apakah
Situs Raden
Pananjung
tersebut
merupakan yang
kerajaan
Anggalarang?
Noorduyn,
bersumber pada catatan perjalanan Bujangga Manik, hanya menyebutkan bahwa ketika Bujangga Manik dalam
perjalanannya mengunjungi tempat-tempat suci di Pulau Jawa, ia juga Pada datang saat ke tempat suci di Hindu di
Pananjung.16
itu,
gua-gua
sekitar
percandian sangat mungkin satu kesatuan sebagai tempat bertapa kendati sekarang komponen sakral sebagai
indikasi arkeologis suatu pertapaan belum ditemukan. Candi Pananjung sebuah adalah suatu karsyan.17 Pananjung Sebagaimana berfungsi
layaknya
karsyan,
Candi
sebagai kuil pemujaan.18 Dengan demikian, belum dapat dibuktikan bahwa Situs Pananjung adalah bekas kerajaan. Khasanah mitos-mitos dalam masyarakat Galuh lebih banyak lagi dapat ditemukan pada tradisi lisan yang dituturkan secara turun-temurun. Salah satu mitos yang bersumber pada tradisi lisan masyarakat Galuh adalah mitos mengenai asal-usul Kampung Kuta.19 Kampung yang terletak di Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari,
69
berbatasan
dengan
Jawa
Tengah
itu
dikenal
sebagai
kampung adat. Menurut cerita rakyat setempat, asal-usul Kampung Kuta berkaitan dengan berdirinya Kerajaan
Galuh. Konon, pada zaman dahulu ketika Prabu Galuh yang bernama Ajar Sukaresi (dalam sumber lain, tokoh ini adalah Kerajaan kerajaan seorang Galuh, karena pandita Kampung letaknya sakti) Kuta hendak mendirikan untuk Prabu pusat Galuh
dipilih
strategis.
memerintahkan kepada semua rakyatnya untuk mengumpulkan semua keperluan pembangunan keraton seperti kapur bahan bangunan, semen merah dari tanah yang dibakar, pandai besi, dan tukang penyepuh perabot atau benda pusaka. Keraton pun akhirnya selesai dibuat. Namun, pada suatu ketika, Prabu Galuh menemukan lembah yang dibentengi (kuta) oleh tebing yang dalamnya sekitar 75 m di lokasi pembangunan pusat kerajaan itu. Atas musyawarah dengan para punggawa kerajaan tidak lainnya, cocok diputuskanlah dijadikan bahwa pusat
daerah
tersebut
untuk
kerajaan (menurut orang tua, tidak memenuhi Patang Ewu Domas). Selanjutnya, mereka berkelana mencari tempat lain yang memenuhi syarat. Prabu Galuh membawa sekepal tanah dari bekas keratonnya di Kuta sebagai kenang-kenangan.
70
Setelah melakukan perjalanan beberapa hari, Prabu Galuh dan rombongannya sampai di suatu tempat yang tinggi, lalu melihat-lihat ke sekeliling tempat itu untuk
meneliti apakah ada tempat yang cocok untuk membangun kerajaannya. Tempat ia melihat-lihat itu sekarang
bernama Tenjolaya. Prabu Galuh melihat ke arah barat, lalu terlihatlah ada daerah luas terhampar berupa hutan rimba yang menghijau. Ia kemudian melemparkan sekepal tanah yang dibawanya dari Kuta ke arah barat dan jatuh di suatu tempat yang sekarang bernama Kepel. Tanah yang dilemparkan tadi sekarang menjadi sebidang sawah yang datar dan tanahnya berwarna hitam seperti dengan tanah di Kuta, sedangkan tanah di sekitarnya berwarna merah. Prabu Galuh melanjutkan perjalanannya sampai di suatu pedataran yang subur di tepi Sungai Cimuntur dan Sungai Citanduy, lalu mendirikan kerajaan di sana. Cerita selanjutnya tentang Prabu Galuh tersebut hampir mirip dengan cerita Ciung Wanara dalam naskah Wawacan Sajarah Galuh, bahwa Prabu Galuh kemudian
digantikan oleh patihnya, Aria Kebondan (dalam naskah disebut Ki Bondan). Prabu Galuh menjadi pertapa di
Gunung Padang. Menurut versi tradisi lisan, Prabu Galuh meninggalkan dua orang istri, yaitu Dewi Naganingrum
71
dan Dewi Pangrenyep. Saat itu, Dewi Naganingrum sedang mengandung. Ketika Dewi Naganingrum melahirkan, Dewi Pangrenyep menukar bayinya dengan seekor anak anjing. Bayi itu kemudian dihanyutkan ke Sungai Citanduy.
Melihat Dewi Naganingrum beranak seekor anjing, Aria Kebondan yang menjadi raja di Galuh menjadi marah, lalu menyuruh Lengser membunuhnya. Namun, Lengser itu tidak membunuh Dewi Naganingrum, tetapi menyembunyikannya di Kuta. Adapun bayi yang dibuang ke Sungai Citanduy itu kemudian ditemukan oleh Aki Bagalantrang di depan
badodon (tempat menangkap ikan)-nya. Bayi itu dipungut dan diasuh oleh Aki Bagalantrang hingga remaja, lalu diberi mengasuh nama Ciung itu Wanara. sekarang Tempat Aki Bagalantrang Geger
bayi
disebut
daerah
Sunten, sekitar 6 km dari Kuta. Ciung Wanara kemudian merebut kembali Kerajaan Galuh dari Aria Kebondan
melalui sabung ayam, sebagaimana yang diceritakan dalam naskah. Setelah Ciung Wanara menjadi raja, Lengser pun menjemput Dewi Naganingrum sehingga bisa berkumpul
kembali dengan anaknya. Mitos-mitos yang dituturkan oleh tradisi lisan terkadang diceritakan mempunyai dalam keterkaitan sumber dengan mitos yang itu
naskah.
Keterkaitan
72
kemudian menimbulkan pertanyaan bagi kita, apakah si penutur mitos yang bersumber pada naskah atau naskah yang ditulis berdasarkan penuturan. Jika dirujuk pada usianya, maka tradisi lisan telah ada sebelum tulisan muncul sehingga dapat diasumsikan bahwa naskah ditulis berdasarkan cerita yang dituturkan. Tradisi lisan yang terus ada hingga saat ini, seperti yang dituturkan oleh para kuncen atau mengenai tukang cerita, terdapat dua
asal-usulnya. cerita
Pertama, yang
tradisi dibaca
berdasarkan
naskah
kemudian dituturkan kembali. Kedua, tradisi lisan itu memang belum pernah dituliskan dalam bentuk naskah,
lalu dituturkan secara turun-temurun. Adanya perbedaan versi suatu cerita yang
dituturkan dalam naskah dan tradisi lisan disebabkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu perbedaan sumber
cerita, distorsi cerita karena pewarisan cerita yang turun-temurun memungkinkan terjadinya penambahan
ataupun pengurangan isi cerita, dan adanya keinginan dari penutur cerita untuk mengedepankan peranan seorang tokoh ataupun berapologia atas kesalahan tokoh
tersebut. Demikian pula dengan cerita tentang Kampung Kuta di atas. Ada beberapa bagian yang hampir mirip
73
dengan cerita yang dikemukakan dalam naskah dan ada pula yang berbeda jalan ceritanya. Adapun mengenai
kebenaran isi cerita atau mitos tersebut bukanlah suatu permasalahan. dihormati jauh, dan Setidaknya, dipelihara ilmu oleh mitos-mitos tersebut Lebih awalnya
bukankah
pengetahuan
berkembang dari bentuk pemikiran mitis. Hingga saat ini, Kampung Kuta tetap dilestarikan sebagai masih kampung memelihara adat dan atau petilasan. Masyarakatnya tradisi-tradisi
melestarikan
leluhur mereka. Pantangan-pantangan pun dibuat untuk menjaga kelestarian tradisi itu, seperti larangan
membuat rumah dari tembok dan memakai atap genteng, larangan mengubur mayat orang dewasa kecuali bayi kecil dan dalamnya pun tidak melebihi pangkal paha, larangan menggali wayang, sumur larangan terlalu meminum dalam, minuman larangan keras, mementaskan tidak boleh
sombong atau menentang adat Kuta, dan sebagainya.20 Di samping mitos mengenai tempat, daerah Galuh dan sekitarnya juga kaya akan mitos tentang tokoh-tokoh hebat dan orang-orang oleh suci (hagiografi) Di Kampung yang Kuta
disakralkan
masyarakatnya.
74
Diceritakan
bahwa
bekas
Kampung
Galuh
yang
telah
diterlantarkan selama beberapa lama ternyata menarik perhatian Raja Cirebon dan Raja Solo. Selanjutnya,
masing-masing raja tersebut mengirimkan utusannya untuk menyelidiki mengutus Aki keadaan Bumi, di Kampung Raja Kuta. Solo Raja Cirebon Tuan
adapun
mengutus
Batasela. Raja Cirebon berpesan kepada utusannya bahwa ia harus pergi ke Kuta, tetapi jika didahului oleh utusan dari Solo, ia tidak boleh memaksa jadi penjaga Kuta. Ia harus mengundurkan diri, tetapi tidak boleh pulang ke Cirebon dan harus terus berdiam di sekitar daerah itu sampai mati. Pesan yang sama juga didapat oleh utusan dari Solo. Pergilah kedua utusan tersebut dari kerajaannya masing-masing. Utusan dari Solo, Tuan Batasela, berjalan melalui Sungai Cijolang sampai di suatu kampung, lalu beristirahat di sana selama satu malam. Jalan yang dilaluinya itu hingga saat ini masih sering dilalui orang untuk menyeberang dari Jawa Tengah ke Jawa Barat. Penyeberangan itu diberi nama Pongpet. Adapun Aki Bumi dari Cirebon langsung menuju ke Kampung Kuta dengan melalui jalan curam, yang sampai saat ini masih ada dan diberi nama Regol, sehingga tiba lebih dulu di Kampung Kuta. Sesampainya di sana, Aki Bumi
75
menemui para tetua kampung dan melakukan penertibanpenertiban, seperti membuat jalan ke hutan dan membuat tempat peristirahatan di pinggir situ yang disebut
Pamarakan. Karena telah didahului oleh utusan dari Cirebon, Tuan Batasela kemudian terus bermukim di kampung tempat ia bermalam, yang terletak di utara Kampung Kuta.
Konon, utusan dari Solo itu kekurangan makanan, lalu meminta-minta kepada masyarakat di kampung itu, tetapi tidak ada yang mau memberi. Keluarlah umpatan dan
sumpah dari Tuan Batasela yang mengatakan bahwa Di kemudian kampung kampung menderita hari, itu. itu tidak akan ada orang saat yang yang ini kaya di di
hingga ada
rakyat
tidak
kaya.
Karena diri
terus,
Batasela
kemudian
bunuh
dengan keris. Darah yang keluar dari luka Tuan Batasela berwarna putih, lalu mengalir membentuk parit yang
kemudian disebut Cibodas. Kampung itu pun diberi nama Kampung Cibodas. Tuan Batasela dimakamkan di tengahtengah persawahan di sebelah utara Kampung Cibodas.
Makamnya masih ada hingga saat ini. Aki Bumi terus menjadi penjaga (kuncen) Kampung Kuta sampai meninggal, lalu dimakamkan bersama
76
keluarganya
di
tengah-tengah
kampung,
yang
sekarang
termasuk Kampung Margamulya. Tempat makam itu disebut Pemakaman Aki Bumi. Setelah keturunan Aki Bumi tidak ada lagi, Raja Cirebon memerintahkan bahwa yang menjadi kuncen di Kampung Kuta berikutnya adalah orang-orang yang dipercayai oleh Aki Bumi, yaitu para leluhur
kuncen Kampung Kuta saat ini. Eksistensi para tokoh suci yang disakralkan oleh masyarakat di Galuh itu dapat dilihat dari peninggalan berupa benda dan tradisi. Peninggalan berupa benda
dapat dilihat pada beberapa makam yang diyakini sebagai makam para tokoh itu, antara lain makam Tuan Batasela di Kampung Cibodas, Aki Bumi di Kampung Kuta, dan
sebagainya, yang tetap dipelihara dan tidak diganggu oleh masyarakat sekitarnya. Selain makam, juga terdapat beberapa tempat yang diyakini sebagai petilasan orangorang suci itu, seperti Gunung Padang, Kampung Kuta, Pananjung, Pulo Majeti, dan sebagainya. Adapun berupa tradisi misalnya kesenian ronggeng gunung yang tetap dilestarikan hingga saat ini dan menjadi salah satu kesenian khas masyarakat itu Galuh. Penghormatan sebagai kepada
orang-orang
suci
muncul
penghormatan
77
dari
para
leluhur
atau
nenek
moyang.22
Walaupun
keberadaan para tokoh suci itu belum dapat ditentukan secara pasti, tetapi masyarakat tetap menghormati
mereka dan mempercayai bahwa mereka tetap mengiringi setiap dinamika kehidupan masyarakatnya atau acara-acara sehingga ritual
muncullah
kegiatan-kegiatan
yang menyimbolkan hadirnya kekuatan atau hadirnya tokoh suci itu kembali. atau Hal inilah yang menjadi bagi warisan
tradisi
peninggalan
budaya
masyarakat
selanjutnya. Mitos-mitos di atas juga menggambarkan terjadinya peralihan pemikiran masyarakat Galuh pada masa itu,
yaitu dari pemikiran yang dipengaruhi oleh agama Hindu, seperti dikemukakan dalam mitos Ciung Wanara, ke agama Islam, seperti mitos tentang Prabu Borosngora. Lebih jauh, dalam mitos Prabu Borosngora dapat dilihat bahwa masuknya Islam ke Galuh melalui suatu proses damai, tanpa kekerasan. Seiring 1579, dengan runtuhnya Kerajaan yang Sunda tahun
Kerajaan
Sumedanglarang,
wilayahnya
membentang dari Sungai Cisadane di sebelah barat sampai Sungai Cipamali di sebelah timur, berusaha untuk diakui sebagai penerus Kerajaan Sunda.23 Namun pada
78
kenyataannya, tidak seluruh daerah yang terletak dalam bentangan geografis tersebut tunduk pada kekuasaan
Kerajaan Sumedanglarang. Setidak-tidaknya terdapat tiga orang penguasa yang berada di luar kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang. Pangeran Girilaya atau Panembahan Ratu berkuasa di Cirebon; Maulana Yusuf berkuasa atas
wilayah Banten, termasuk Pakuan Pajajaran, dan Maharaja Sanghyang Galuh.24 Kerajaan Galuh bukanlah sebuah kerajaan yang sama sekali baru berdiri di wilayah Tatar Sunda. Jauh Cipta Di Galuh yang berkuasa di Kerajaan
sebelum tahun 1579, Kerajaan Sunda pernah berkedudukan di Galuh. Bahkan ketika pusat kekuasaan Kerajaan Sunda dipindahkan ke Pakuan Pajajaran, Kerajaan Galuh tetap mampu mempertahankan eksistensinya, meskipun jarang
sekali diberitakan dalam sumber-sumber sejarah. Seiring dengan semakin melemahnya Kerajaan Sunda yang terdesak oleh Islam, pemberitaan tentang Kerajaan Galuh terkait erat dengan upaya Islamisasi daerah pedalaman Tatar
Sunda sebelah timur yang dilakukan oleh Cirebon. Akan mitos tetapi, Islam masyarakat tidak Galuh meyakini oleh sebuah Cirebon
bahwa
disebarkan
79
penguasa ayahnya,
Panjalu Prabu
di
Dayeuh
Luhur.
Ia
disuruh ilmu
oleh
Cakradewa
untuk
mencari
sejati
yaitu ilmu yang akan memberikan kebaikan tidak hanya untuk sekian dirinya, lama tetapi juga untuk rakyatnya. ia Setelah
mengembara,
pada
akhirnya
menemukan
orang yang mampu memberikan ilmu sejati kepada dirinya, yakni Ali bin Abi Thalib. Oleh karena itu, berangkatlah Prabu Bongosngora ke Mekah menemui sahabat Nabi
Muhammad SAW untuk belajar ilmu sejati. Setelah sekian lama berguru di Mekah, Prabu Bongosngora pulang kembali ke tanah leluhurnya di Panjalu. Ia diberi tugas untuk mendirikan kerajaan bercorak Islam serta menyebarkan Islam (ilmu sejati) kepada setiap manusia di negeri leluhurnya. Setelah merasa tugasnya rampung, Prabu
Bongosngora menyerahkan tahta Kerajaan Panjalu kepada Haryang Kencana dan Haryang Kuning. Oleh karena terjadi perbedaan kedudukan pendapat, ayahnya Haryang sebagai Kencana menggantikan Panjalu. Pada
penguasa
akhirnya, Kerajaan Panjalu dijadikan sebagai wilayah kekuasaan Cirebon sehingga Islamisasi daerah Galuh
semakin intensif.
80
Selain
Prabu
Bongosngora,
ada
tokoh
lain
yang
memiliki peranan dalam Islamisasi daerah Galuh, yaitu Apun Di Anjung atau Pangeran Mahadikusuma. Tokoh ini berkuasa atas Kawali sebagai patih sehingga kemudian dikenal juga dengan nama Maharaja Kawali. Sebagai
bawahan Cirebon, Maharaja Kawali tidak hanya memerintah Kawali atas nama penguasa Cirebon, tetapi juga mendapat tugas untuk menyebarkan Agama Islam ke daerah selatan, yaitu Galuh. Kecuali penguasa Galuh, Islam sudah dapat diterima Hindu/Budha. Untuk Sanghyang membendung Di Galuh pengaruh bersumpah Islam, akan Maharaja mengangkat oleh masyarakat Galuh menggantikan
Cipta
anaknya sebagai Prabu Di Galuh jika mampu menghentikan pengaruh Islam di Galuh. Terkait dengan sumpahnya itu, Maharaja Sanghyang Cipta Di Galuh menyerahkan kekuasaan atas Kerajaan dirinya Galuh pergi kepada ke Sanghyang timur Cipta untuk Permana, mencegah
selama
arah
masuknya Islam yang dibawa oleh Mataram. Akan tetapi, Sanghyang Cipta Permana ini tidak kuasa untuk mencegah masuknya Islam ke pusat kekuasaan Kerajaan Galuh,
81
Seperti yang diceritakan dalam tradisi, keputusan Sanghyang Ngekel, dengan Cipta Permana, Islam tetapi yang juga bernama kalah Ujang
memeluk Cirebon,
bukan
karena
berperang dapat
karena
dirinya
tidak
melupakan Tanduran Di Anjung, putri Maharaja Kawali. Namun, karena Ujang Ngekel masih beragama Hindu, maka Maharaja Kawali melaporkan hal itu kepada Sultan
Cirebon. Ujang Ngekel dipersilahkan datang ke Cirebon, dan ternyata ia bersedia memeluk agama Islam. Meskipun sudah memeluk oleh agama Sultan Islam, Cirebon Ujang untuk Ngekel diberi adat
kebebasan
melakukan
kebiasaan menurut kepercayaan asli Galuh. Setelah Prabu Cipta Sanghiang di Galuh meninggal, Ujang Ngekel naik tahta dengan gelar Prabu Galuh Cipta Permana dan
berkedudukan di Gara Tengah. Dengan dipeluknya Islam oleh Prabu Galuh Cipta Permana, maka Islam menggantikan kedudukan Hindu/Budha, karena para penggantinya tetap memeluk Islam.25 Sementara itu, menurut Wawacan Sajarah Galuh,
keruntuhan Kerajaan Sunda terjadi sezaman dengan masa pemerintahan Sangiang Permana, penguasa Galuh. Ia
kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama Prabu di Galuh, lalu digantikan oleh Sangiang Dipati. Pada masa
82
pemerintahan Prabu di Galuh dan Sangiang Dipati, Islam masuk ke Galuh dengan atas usaha Sunan Gunung Jati dan
diterima
sukarela
oleh
mereka
maupun
rakyat
Galuh. Jika keterangan Wawacan Sajarah Galuh tersebut dikoroborasikan atas, maka dengan keterangan cerita tradisi di
Sangiang Prabu
Permana Di
identik dan
dengan Prabu
Cipta
Galuh Cipta
dengan
Sanghyang
Permana
atau
Demikianlah, sewaktu Kerajaan Sunda runtuh akibat serangan Maulana Yusuf dari Banten, Maharaja Sanghyang Cipta Di Galuh tampil sebagai penguasa Kerajaan Galuh yang berdiri sendiri dan bertahan hingga tahun 1595. Pusat kekuasaannya terletak di sekitar Cimaragas, suatu daerah yang sekarang terletak antara Kota Banjar ini
Manonjaya
(Kab.
Tasikmalaya).
Kerajaan
masih
bercorak Hindu, namun ketika anaknya yang bernama Prabu Di Galuh Cipta Permana naik tahta, Islam telah menjadi agama negara. Perubahan status kerajaan terjadi ketika penguasa dari Galuh tidak kuasa di menahan pengaruh politik dari
kerajaan-kerajaan
sekitarnya,
terutama
83
tahun Mataram, di
1595,
Panembahan
Senapati,
berhasil Galuh.26
menanamkan Namun
Kerajaan
demikian,
Mataram
tersebut
belum
secara
intensif
mengekspolitasi kekuasaan politiknya di Kerajaan Galuh. Panembahan Senapati masih mengakui kedudukan penguasa Galuh sebagai raja yang nama masih memerintah penguasa dipakainya di wilayah Hal
kekuasaannya tersebut
tidak
atas dari
Mataram. gelar
terlihat
prabu
oleh Ujang Ngekel ketika berkuasa di Kerajaan Galuh dengan gelar Prabu Galuh Cipta Permana. Ketika Kerajaan Galuh di bawah Galuh kepemimpinannya, ke Gara pusat Tengah kekuasaan (sekitar
Kerajaan
dipindahkan
Cineam, Kabupaten Tasikmalaya).27 Dalam sumber Belanda, batas-batas Kerajaan Galuh yang jatuh ke tangan Mataram adalah sebagai berikut. Sungai Citanduy merupakan batas sebelah timur Kerajaan Galuh; Kerajaan Sumedanglarang dan Cirebon merupakan batas sebelah utara; Galunggung dan daerah yang kemudian dan menjadi Sungai Sukapura Cijulang merupakan merupakan
batas
sebelah
barat;
batas Kerajaan Galuh di sebelah Selatan. Selain itu, beberapa daerah yang sekarang masuk ke dalam wilayah administrasi Propinsi Jawa Tengah, yaitu: Majenang,
84
Dayeuhluhur, dalam
dan
Pegadingan, kekuasaan
dahulunya
termasuk
ke
wilayah
Kerajaan
Galuh.
Sampai
sekarang, di tempat-tempat itu sebagian komunitasnya masih mempergunakan bahasa Sunda sebagai bahasa seharihari.28 Menurut cerita, ketika Maharaja Sanghyang Cipta Di Galuh masih berkuasa di Kerajaan Galuh, dua orang anaknya diberi kekuasaan di Kertabumi dan Kawasen.
Rangga Permana berkuasa di Kertabumi tahun 1585 setelah anak Prabu Geusan Ulun, nalendra Kerajaan
Sumedanglarang itu menikahi Tanduran Agung, anak tertua Maharaja Sanghyang Cipta Di Galuh. Sementara itu, Kawasen, yang terletak di sekitar Banjarsari, bungsu diberikan Maharaja tahun
kepada
Sanghyang Cipta Di
anak
Sanghyang 1590.29
dan
berkuasa
sejak
Oleh
karena
sepeninggalnya
Maharaja
Sanghyang Cipta Di Galuh, di wilayah Galuh terdapat tiga pusat kekuasaan dan masing-masing berusaha untuk menjadi penerus Kerajaan Galuh. Suksesi kepemimpinan di Mataram dari Panembahan Senapati kepada Sultan Agung tahun 1601 berdampak
terhadap kehidupan politik di Kerajaan Galuh. Sultan Agung mulai memperkuat kekuasaan politiknya di Galuh
85
dengan
mengangkat
Dipati
Panaekan
sebagai
Wedana
Mataram di Galuh. Ia diberi kekuasaan atas 960 cacah dan memerintah atas nama Sultan Mataram. Pengangkatan Dipati Panaekan sebagai wedana merupakan yang pertama dilakukan sehingga Sultan tidaklah Agung di wilayah kalau Mancanagara Dipati Barat
berlebihan
Panaekan
dikatakan sebagai De oudste der wedanas in de Wester Ommelanden (van Mataram).30 Para vassal Mataram di Galuh berbeda pendapat
ketika Sultan Agung merencanakan untuk merebut Batavia dari VOC, meskipun mereka memiliki hubungan kekerabatan satu sama lainnya. Dipati Panaekan menginginkan agar rencana kekuasaan tersebut VOC secepat mungkin dilaksanakan agar
tidak
semakin
berkembang.
Pandangan
Dipati Panaekan ini merupakan bentuk dukungan terhadap Dipati Ukur, penguasa Tatar Ukur, yang tidak lain
merupakan sahabatnya. Sementara itu, Dipati Kertabumi II atau Adipati Singaperbangsa, yang merupakan adik
ipar Dipati Panaekan, menginginkan agar Sultan Agung memperkuat pertahanan terlebih dahulu sebelum menyerang Batavia. Persatuan di antara vassal Mataram baik di Priangan maupun di Galuh harus diperkuat agar kekuatan pasukan Mataram tidak mudah ditembus musuh. Artinya,
86
Singaperbangsa, I, penguasa
mendukung yang
pandangan masih
Rangga memiliki
Sumedang, penguasa
darah
dengan
Kertabumi
tersebut.
Perbedaan tersebut berujung dengan dibunuhnya Adipati Panaekan oleh Adipati Singaperbangsa pada tahun 1625.31 Kedudukannya sebagai penguasa Galuh digantikan oleh
anaknya yang bernama Mas Dipati Imbanagara. Ia berkuasa atas Galuh (Gara Tengah) sampai dengan tahun 1636. Ketika Sultan Agung menyerang Batavia tahun 1628 dan 1629, Mas Dipati Imbanagara memberikan bantuan
pasukan di bawah pimpinan Bagus Sutapura. Akan tetapi, serangan tersebut tidak sesuai dengan harapan Sultan Agung. Pertama, serangan Mataram tidak mampu mengusir VOC dari Batavia sehingga Sultan Agung tidak berhasil menanamkan terbesar pengaruhnya Sunda. di daerah bekas pelabuhan sebagai
Kerajaan
Kedua,
Dipati
Ukur
komandan pasukan Mataram justru melakukan perlawanan terhadap hegemoni Mataram dengan tujuan untuk
membebaskan wilayah Priangan dari kekuasaan Mataram. Meskipun memerlukan waktu yang cukup lama, pada
akhirnya perlawanan Dipati Ukur ini dapat dipadamkan oleh pasukan Mataram. Konon katanya, orang yang berjasa menangkap Dipati Ukur adalah Bagus Sutapura, pemimpin
87
pasukan
Galuh.
Atas
jasanya
itu,
pada
tahun
1634,
Sultan Agung mengangkat Bagus Sutapura sebagai Bupati Kawasen. Sepeninggalnya Bagus Sutapura tahun 1653,
jabatan bupati diserahkan kepada anaknya yang bernama Tumenggung Sutanangga yang memerintah Kabupaten Kawasen sampai tahun tidak 1676. ada Sepeninggalnya lagi yang Tumenggung Bupati
Sutanangga,
menjabat
Kawasen, karena wilayahnya digabungkan dengan Kabupaten Imbanagara. Masih terkait dengan peristiwa perlawanan Dipati Ukur, Sultan Agung mengangkat Adipati Singaperbangsa dan Ki Wirasaba dari Banyumas sebagai di wedana sebelah untuk barat
mengamankan (sekitar
kepentingan
Mataram
daerah
Karawang).
Pengangkatan
keturunan
Adipati Kertabumi tersebut terungkap dari sebuah surat yang ditujukan untuk Rangga Gede, Bupati-Wedana Priangan. Isi surat itu adalah sebagai berikut.
Mangka emut kana piagem Kanjeng ka Ki Rangga Gede ti Sumedang, anu dititipkeun ka si Astrawadana. Anu matak manehna mawa piagem, lantaran manehna (Astrawadana) ngemban tugas ngareksa tanah kagungan Ratu Nagara Agung. Eta kaprabon beulah kulon diwatesan ku Cipamingkis jeung beulah wetanna ku Cilamaya. Saterusna Astrawadana kudu nungguan lumbung pare, anu eusina aya lima tangkes tilu belas jait. Eta pare engkena kudu diangkut ku Singaperbangsa, saupama parentahna geus katarima. Eta surat parentah tea baris disanggakeun ku Ki Yudabangsa jeung Ki Wangsataruna, anu ayeuna aya di satengahing jalan mawa jalma reana dua rebu. Eta jalma anu dua rebu tea baris dicangking
88
ku Singaperbangsa jeung Ki Wirasaba sacara wadana. Duanana geus diangkat ku Ratu. Upama surat angkatanana geus beunang, maranehna kedah dipernahkeun di Waringin Pitu jeung Tanjungpura. Tugasna ngajaga Nagara Agung ti beulah kulon (bisi aya musuh. Ieu piagem ditulisna poe Rebo tanggal sapuluh Mulud tahun Alif. Anu nulisna, Anggaprana.32
perhitungan piagem
Brandes,
penanggalan dengan
yang tahun
dalam
itu
bertepatan
Pengangkatan
Adipati
Singaperbangsa
sebagai
wedana di Karawang merupakan titik awal terbentuknya sebuah dinasti yang kelak akan memimpin Kabupaten
Karawang. Dinasti itu mulai memerintah Karangan pada tahun 1680, seiring dengan pengangkatan Panatayuda
sebagai Bupati Karawang oleh VOC. Dengan pengangkatan Panatayuda sebagai Bupati Karawang, di Kertabumi tidak ada lagi bupati.33 Sementara itu, nasib Mas Dipati Imbanagara tidak jauh berbeda dengan ayahnya. Dituduh bersekongkol
dengan Dipati Ukur sehingga pada 1636, Sultan Agung Mas menghukum mati Dipati Imbanagara.34 Mas Bongsar, putra Mas Dipati Imbanagara waktu yang masih berusia 13 tahun, Galuh
untuk
sementara
diangkat
sebagai
Bupati
(Gara Tengah) di bawah perwalian Patih Wiranangga. Sebagai wali Mas Bongsar, Patih Wiranangga berangkat ke Mataram untuk meminta piagam pengangkatan keponakannya
89
sebagai Bupati Galuh (Gara Tengah). Sepulangnya dari Mataram, Patih Wiranangga mengubah isi piagam dirinya
pengangkatan
tersebut
sehingga
seolah-olah
diangkat oleh Sultan Agung sebagai Bupati Galuh (Gara Tengah). Dengan piagam pengangkatan palsu itu, Patih Wiranangga mengangkat dirinya sebagai Bupati Galuh
(Gara Tengah). Perbuatan ambisinya untuk curang menjadi segera Bupati terbongkar Galuh (Gara sehingga Tengah)
tidak dapat diwujudkan. Ki Pawindan, ponggawa setia Mas Dipati Imbanagara, menemukan Piagam Pengangkatan Mas Bongsar sebagai Bupati Galuh (Gara Tengah) di bawah (kolong) rumah di sekitar Padaherang. Berkat jasa Ki Pawindan, curang Sultan Agung menjadi Akibat mengetahui perbuatan Patih
Patih
Wiranangga.
perbuatannya,
Wiranangga dihukum mati oleh Sultan Agung. Akan tetapi, hukuman mati atas Patih Wiranangga tidak jadi
dilaksanakan setelah Mas Bongsar meminta agar Sultan Agung mengampuni piagam perbuatan curang dari pamannya Sultan itu. Agung
Berdasarkan
pengangkatan
tanggal 5 Rabiul Awal Tahun Je (6 Agustus 1636), Mas Bongsar diangkat sebagai Bupati Galuh (Gara Tengah) dan dianugerahi gelar Raden Panji Aria Jayanagara dari
90
Sultan Agung. Selain itu, Sultan Agung pun menyarankan kepada Mas Bongsar untuk agar mempergunakan kabupaten nama ayahnya, akan
Imbanagara,
menamai
yang
dipimpinnya.35 Dengan demikian, sejak tahun 1636, pusat kekuasaan Galuh (Gara Tengah) berakhir eksistensinya dan digantikan oleh Kabupaten Imbanagara. Artinya,
sejak tahun itu, Kabupaten Imbanagara merupakan salah satu pusat kekuasaan di Galuh, di samping Bojonglopang (Kertabumi) dan Kawasen. Persetujuan Kabupaten Sultan Agung merupakan untuk membentuk awal
Imbanagara
rencana
reorganisasi mancanagara barat pasca perlawanan Dipati Ukur. Pada tahun 1641, reorganisasi tersebut menetapkan bahwa wilayah Priangan dipecah menjadi empat kabupaten, yaitu Sumedang, Bandung, Parakanmuncang, dan Sukapura. Sementara itu, wilayah Galuh dipecah menjadi lima kabupaten, yakni Imbanagara, Bojonglopang, Utama, Kawasen, dan Banyumas. Tidak lama kemudian, Kabupaten Utama
dilebur ke dalam wilayah Kabupaten Bojonglopang.36 Pada tahun 1645, reorganisasi mancanagara barat ini
dilanjutkan oleh Sunan Amangkurat I, pengganti Sultan Agung. Melalui reorganisasi ini, wilayah mancanagara barat dipecah menjadi 12 ajeg (kabupaten), yaitu:
91
Sekace, Banyumas, Ayah, dan Banjar.37 Meskipun terjadi penciutan lama, masih wilayah kekuasaan, tetapi pusat kekuasaan Banjar
yakni tetap
Kawasen, Imbanagara
Galuh,
dan
dipandang
memiliki
kedudukan yang lebih tinggi. Bagi R. P. A. Jayanagara, Gara Tengah merupakan daerah inilah, yang kakek memberikan dan kenangan buruk. Di tempat korban
ayahnya
terbunuh
menjadi
pertentangan politik di antara para penguasa di Galuh meskipun mereka masih satu keturunan. Oleh karena itu, untuk menghilangkan kenangan buruk tersebut, R. P. A. Jayanagara memindahkan ibu kota kabupatennya ke
Calingcing. Tidak lama kemudian, dipindahkan lagi ke Bendanagara atau Panyingkiran. Pada akhirnya, R. P. A. Jayanagara menemukan tempat yang cocok untuk dijadikan sebagai ibu kota Kabupaten Imbanagara, yaitu Barunay. Pada tanggal 14 Mulud Tahun He, R. P. A. Jayanagara memindahkan daerah dengan yang ibu kota kabupatennya tidak yang ke Barunay, suatu air
pernah begitu
hamparan Rd.
Menurut Rachmat
perhitungan
Kesumasembada
dan
92
penanggalan Mataram itu bertepatan dengan tanggal 12 Juni 1642. Di tempat inilah, R. P. A. Jayanagara 42 tahun.
memerintah Demikian
Imbanagara para
selama
bupati
penggantinya,
memerintah Kabupaten Imbanagara di daerah yang terletak antara Cikoneng dan Kota Ciamis sekarang. Kedudukan
Barunay, yang kemudian berubah nama menjadi Imbanagara, sebagai ibu kota Kabupaten Imbanagara berlangsung
sampai tahun 1815. Selama ratusan tahun berkedudukan sebagai ibu kota Kabupaten Imbanagara, kabupaten-kabupaten lain seperti Kertabumi, Utama, Kawasen, Panjalu, dan Kawali dihilangkan meliputi sehingga yang wilayah luas Kabupaten dari
Imbanagara
daerah
mulai
Cijolang hingga ke pantai selatan dan dari Citanduy di timur hingga perbatasan Sukapura. Bahkan beberapa
wilayah yang terletak di sebelah timur Citanduy, yaitu: Dayeuh Luhur, Nusa Kambangan, wilayah Cilacap, dan Banyumas Kabupaten
dijadikan Imbanagara.38
sebagai
perwalian
Pengangkatan Mas Bongsar atau R. P. A. Jayanagara sebagai Bupati Galuh (Gara Tengah) oleh Sultas Agung, memberikan kabupaten perubahan secara yang sangat mendasar. Nama
resmi
diganti
menjadi
Kabupaten
93
Imbanagara,
mengambil
nama
ayahnya,
Mas
Dipati
Imbanagara. Nama ini, kemungkinan besar baru dipakai secara resmi setelah R. P. A. Jayanagara memindahkan pusat 1642. berubah kekuasaannya Selama kurun ke Barunay waktu pada tanggal nama 12 Juni
1642-1815, dan
Barunay Kabupaten
menjadi
Imbanagara
kekuasaan
Imbanagara semakin luas, hampir menyamai luas Kerajaan Galuh. Bupati Kertabhumi dan Kawasen pun menghormati Bupati Imbanagara sebagai ningrat yang berkedudukan
paling tinggi di wilayah Galuh. Oleh karena alasan itu, pada tanggal 17 Mei 1972, DPRD Kabupaten/Daerah TK II Ciamis memutuskan tanggal 12 Juni 1642 sebagai hari jadi Kabupaten Ciamis.39 Kabupaten Imbanagara merupakan cikal bakal bagi terbentuknya Kabupaten Galuh (1815) dan Kabupaten Ciamis (1916). Oleh karena itu,
eksistensi Kabupaten Ciamis tidak dapat dilepaskan dari Kabupaten Galuh dan Kabupaten Imbanagara.
B. Galuh di Bawah Kekuasaan VOC Ketika situasi di Eropa kurang menguntungkan bagi perdagangan Belanda, pada tahun 1595 Compagnie van
Verre membiayai sebuah ekspedisi pertama para pedagang Belanda ke Nusantara.40 Tim ekspedisi ini bertujuan
94
hendak melakukan perdagangan rempah-rempah dengan para pedagang setempat dan hasil perdagangan tersebut akan dibawa ke negaranya untuk selanjutnya diperdagangkan di pasar Eropa. Ekpedisi ini berkekuatan empat buah kapal dan dipimpin oleh Cornelis de Houtman seorang pedagang yang pernah tinggal beberapa tahun di Lisabon. Setelah menempuh tanggal perjalanan 22 Juni selama empat belas bulan, mendarat pada di
1596
mereka
berhasil
Pelabuhan Banten.41 Keberhasilan ini mendorong bangsa Belanda Nusantara. Mengingat perdagangan rempah-rempah sangat meningkatkan kegiatan perdagangannya di
menguntungkan dan untuk mengatasi tingkat persaingan yang semakin tajam, pada tahun 1602 Staten General
Republik Kesatuan Tujuh Propinsi mengesahkan berdirinya Vereniging dagang ini Oost-Indie bertujuan Compagnie untuk (VOC). Persekutuan kepentingan-
mengamankan
kepentingan perdagangan Belanda di Nusantara dan bertugas mengirim ke Belanda armada yang penuh dengan
produk-produk berharga.42 Untuk mewujudkan itu semua, VOC diberi hak octrooi (hak ekslusif) dipegang oleh oleh Staten seorang
General.43
Kekuasaan
setempat
95
ini diperlukan oleh VOC karena berkaitan erat dengan rencana monopoli perdagangan yang akan diterapkan oleh VOC. Untuk mewujudkan monopoli perdagangan tersebut
dan dengan hak octrooi yang dimilikinya, VOC segera mencari sebuah tempat yang akan dijadikan pusat
perdagangannya di Nusantara. Pada awalnya, VOC berusaha untuk menjadikan mereka Banten di sebagai pusat tetapi kegiatan mengalami
perdagangan
Nusantara,
kegagalan. Jayakarta44 kemudian dipilih untuk dijadikan pusat perdagangan VOC di Nusantara dan pada tahun 1619, VOC tidak hanya dikuasai memiliki secara kantor politik dagang, dan tetapi dan
Jayakarta
militer
namanya diubah menjadi Batavia.45 Dari melebarkan Batavia, sayap VOC setahap demi setahap, orang-orang
kekuasaannya.
Setelah
Belanda membangun kekuatannya di daerah pesisir, mereka kemudian Sunda. mulai Berbagai dengan memperhatikan ekspedisi menyusuri daerah pedalaman ke Tatar daerah yang
mulai
dikirim
pedalaman
sungai-sungai
besar
melintasi wilayah pedalaman Tatar Sunda. Pada tanggal 5 Juni 1641 seorang mardijker bernama Juliaan da Silva yang disertai enam orang Jawa melakukan perjalanan ke
96
pedalaman (Citarum).
Tatar Hasil
Sunda
dengan
Kali
Krawang
ekspedisi
pengetahuan
mengenai potensi ekonomi yang dimiliki daerah pedalaman Tatar Sunda.46 Kekuasaan perjanjian VOC di Galuh dan diawali VOC. dari sebuah
antara
Mataram
Dalam
perjanjian
tanggal 19-20 Oktober 1677 itu disepakati bahwa Mataram akan menyerahkan Priangan Timur sebagai balas jasa
kepada VOC yang telah membantu menyelesaikan perebutan kekuasaan di Mataram.47 Namun demikian, pengambilalihan Priangan tidak berlangsung cepat. Baru pada tanggal 15 November 1684, Gubernur Jenderal Johannes Camphuijs
memerintahkan Komandan Jacob Couper dan Kapten Joachum Michiels untuk menangani Priangan. Langkah awal yang diambil Jacob Couper adalah mengeluarkan peraturan yang berkaitan dengan pembagian cacah di antara para bupati di Priangan. Reorganisasi ini pada hakikatnya tidak
mengubah secara radikal tata pemerintahan yang berlaku di Priangan ketika masih berada di bawah Mataram.
Peraturan tersebut yang lebih dikenal sebagai Undangundang Couper diberitahukan kepada para bupati Priangan dalam sebuah Dalam pertemuan pertemuan di Benteng di Beschermingsh samping di
Cirebon.
itu,
menetapkan
97
jumlah
cacah
untuk dan
Bupati
Timbanganten, Jacoub
Sumedang, pun
Parakanmuncang,
Sukapura,
Couper
menetapkan jumlah cacah untuk Dalem Imbanagara sebanyak 708 cacah, Dalem Kawasen mendapat 605 cacah, dan Lurah Bojonglopang mendapat 20 cacah dan 10 desa. Undangundang Couper tersebut Brieven disetarakan (Akta sebagai Nieuwe Baru).48
Aaanstellingen Dalam
Pengangkatan tidak
Undang-undang
Couper
ini,
disebut-sebut
adanya pembagian cacah untuk Galuh. Meskipun telah ada Undang-undang Couper sebagai landasan hukum untuk menangani Priangan, tetapi Mataram belum secara resmi menyerahkan wilayah ini. Sementara itu, pada tahun 1685, Komisaris Jacob Couper meninggal dunia di Cirebon dan Gubernur Jenderal Johanes
Camphuijs mengangkat Francois Tack sebagai Komisaris Priangan yang baru. Pada bulan November 1685, ia memerintahkan Letnan Benyamin van der Meer untuk
mempersiapkan rencana pengambilalihan daerah Priangan secara resmi dari Mataram. Beberapa bulan kemudian,
melalui sebuah resolusi tanggal 17 April 1686 Gubernur Jenderal Johanes Camphuijs mengumumkan bahwa pertama, wilayah kekuasaan VOC meliputi daerah-daerah yang
98
daerah-daerah yang terletak di antara Kali Tangerang sampai dengan Kali Krawang. Kedua, semua penduduk dalam bentang geografis tersebut merupakan rakyat VOC yang wajib menaati hukum VOC dan wajib membayar upeti kepada VOC. Ketiga, segera menghentikan perselisihan di antara para penguasa dan segera menghadap ke Batavia untuk membuat aturan-aturan hukum yang diperlukan dengan
membawa data demografi yang diperlukan seperti daftar nama penduduk, jenis kelamin, dan tempat lahir. Bagi penduduk Priangan yang tidak dilaporkan oleh
penguasanya akan dianggap sebagai gelandangan dan akan diberi sanksi hukum oleh VOC.49 Pada waktu wilayah Priangan dan Galuh resmi
diserahkan kepada VOC, yang menjadi Bupati Imbanagara adalah R. A. Angganaya yang memerintah dari tahun 16781693. Sepeninggalnya R. A. Angganaya, VOC mengangkat R. Adipati Sutadinata sebagai Bupati sampai Imbanagara. tahun 1706. Masa Pada yang tidak ikut
berlangsung telah
menerapkan sistem
intinya langsung
adalah
penerapan rule).
(indirect
Artinya,
campur langsung dalam urusan politik pribumi sepanjang kepentingannya dalam mencari keuntungan dari komoditas
99
pertanian tidak terganggu. Hal ini terjadi, pertama, karena jumlah personel VOC relatif sedikit; kedua,
karena otoritas paling tinggi dalam masyarakat pribumi merupakan sumber untuk kekuasaan urusan potensial produksi dan yang jasa dapat yang
dieksploitasi
diperoleh dari rakyat kecil.dengan alasan ini, struktur sosia yang ada dibiarka (untuk) diatur sendiri oleh penguasa pribumi yang disebut mnak.50 Dalam sistem ini, para bupati berkedudukan
sebagai volkshoofd yang memiliki beberapa hak istimewa (priveleges), yaitu: hak pemilikan tanah, hak
penguasaan dan pengabdian dari penduduk, hak memungut pajak, hak atas perikanan dan berburu, dan hak untuk menentukan hukum sendiri.51 Para bupati di Priangan
berkewajiban untuk menyerahkan upeti kepada VOC seperti yang pernah mereka lakukan kepada Sultan Mataram.
Bentuk upeti tersebut berupa penyerahan wajib komoditas perdagangan seperti kayu, lada, nila (indigo), kapas, dan kemudian kopi serta gula, yang besarnya ditentukan oleh VOC. Para bupati hanya diberi kewenangan untuk membuat kebijakannya agar kewajiban penyerahan wajib dapat dipenuhi. Demikianlah, sebagai Gubernur pelaksana Jenderal atau VOC agen
menjadikan
bupati
100
verplichte
leverantie
yaitu
agen
penyerahan di
wajib
tanaman-tanaman
komoditas
perdagangan,
antaranya
beras, cengkih, pala, lada, kapas, kopi, indigo, dan tebu.52 Demikianlah, VOC mewajibkan Kabupaten Galuh untuk menanam lada, kapas, dan indigo serta harus menyerahkan hasilnya sesuai dengan kuota yang telah ditentukan oleh VOC. Pada tahun 1695, Bupati R. Adipati Sutadinata menyerahkan lada kepada VOC sebanyak 90 pikul yang
berasal dari Kabupaten Imbanagara sebanyak 40 pikul dan Kabupaten Kawasen sebanyak 50 pikul. (lihat tabel 2.1).
Tabel 2.1 Jumlah Komoditas Perdagangan yang Wajib Diserahkan Kepada VOC di Daerah Galuh pada Tahun 169553 Jenis Komoditas/Kapasitas Produksi (Dalam Pikul) Nila Kapas Lada
No.
Nama Kabupaten
1. 2.
Imbanagara Kawasen
80
35 20
40 50
Selain itu, nila (indigo) dan kapas (bahan baku benang) pun ditetapkan oleh VOC sebagai komoditas
perdagangan yang terkena kebijakan wajib serah. Pada tahun 1695, jumlah nila yang wajib diserahkan kepada VOC dari daerah Galuh sebanyak 80 pikul. Kuota sebanyak
101
itu hanya berasal dari Kabupaten Kawasen saja. Dalam kurun waktu yang sama, Galuh dibebani juga dengan
penyerahan wajib kapas. Beban yang harus dipikul oleh Galuh sebanyak 55 pikul per tahun. Jumlah sebanyak ini harus diserahkan oleh Kabupaten Imbanagara sebanyak 35 pikul dan Kabupaten Kawasen sebanyak 20 pikul. (lihat tabel 2.1). Akan tetapi, pada akhir abad ke-18 produksi lada yang dihasilkan oleh Priangan ditambah dengan Batavia dan daerah sekitarnya rata-rata hanya 25, 25 pikul per tahun. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh suatu kenyataan bahwa di pasaran internasional, kedudukan rempah-rempah mulai tergeser oleh kopi. Keadaan ini mempengaruhi VOC untuk menurunkan kurang jumlah penyerahan bagi wajib yang
menguntungkan
perekonomian
tahun
1704,
R.
Adipati
Sutadinata
menandatangani kontrak politik dengan VOC yang berlaku selama 10 tahun. Berdasarkan kontrak politik tersebut beberapa oleh jenis komoditi perdagangan harus yang dihasilkan kepada VOC
Kabupaten
Imbanagara
dijual
dengan harga yang telah ditetapkan oleh VOC. Dengan demikian, sejak tahun itu VOC memiliki otoritas penuh
102
untuk menentukan jenis komoditas perdagangan yang hrus ditanam dan dijual hasilnya kepada VOC. Bersamaan dengan penandatanganan kontrak politik, beberapa kabupaten dan di wilayah Galuh, yakni Utama, yang
Bojonglopang,
Kawasen
dilanda
kerusuhan
digerakkan oleh Haji Prawatasari atau Raden Alit. Namun demikian, kerusuhan yang dimulai di Jampang tahun 1703 itu, dapat dipadamkan oleh VOC pada tanggal 12 Juli 1707 seiring dengan tertangkapnya Haji Prawatasari.54 Kekuasaan VOC di Galuh semakin dipertegas dengan adanya perjanjian antara Mataram dan VOC tanggal 5
Oktober 1705. Berdasarkan perjanjian itu, Mataram harus menyerahkan wilayah Cirebon dan Priangan-Cirebon kepada VOC sebagai imbalan atas bantuan VOC ketika membantu Pangeran Puger merebut tahta Mataram dari Sunan
Amangkurat III atau Sunan Mas. Dalam perjanjian itu ditegaskan pula bahwa wilayah Priangan-Cirebon meliputi beberapa kabupaten, yaitu: Imbanagara, Galuh, dan
Sukapura.55 Untuk mengawasi loyalitas para bupati Priangan dan Galuh, melalui Resolusi Tanggal 9 Februari 1706, VOC mengangkat Pangeran Aria Cirebon sebagai opziener para bupati di daerah Priangan dan Galuh, namun tidak
103
termasuk
untuk
Bupati
Karawang
dan
Cianjur.
Kedua
wilayah ini sudah dianggap sebagai bagian dari Batavia sehingga para bupatinya langsung diawasi oleh pejabatpejabat VOC.56 Pada saat Pangeran Aria Cirebon diangkat sebagai opziener dipimpin Priangan oleh R. dan Galuh, Kabupaten I
Imbanagara
Adipati
Kusumadinata
(1706-1727). Dalam Cirebon akta pengangkatannya perintah untuk atas itu Pangeran Aria sistem daerah
mendapat
menjalankan VOC di
pemerintahan
tradisional
nama
Priangan dan Galuh. Dalam melaksanakan tugas sehariharinya ia didampingi oleh Residen Cirebon dan Letnan Caspar Lippius. Pada tanggal kewajiban 22 Maret 1706, yang VOC harus
mengeluarkan
empat
utama
dijalankan oleh Pangeran Aria Cirebon sebagai WedanaBupati para Priangan. dan Pertama, mencegah penanaman indigo, menjaga adanya padi. dan perdamaian antara
bupati
Kedua,
mendorong kapas,
penyerahan
dengan
pembayaran. Keempat, tidak boleh mengangkat patih tanpa persetujuan Residen Cirebon.57 Sebagai mengeluarkan opziener, beberapa Pangeran yang Aria Cirebon telah
kebijakan
tentunya
104
dibicarakan banyak
terlebih
dahulu
dengan
VOC.
Dari
sekian Aria
kebijakan
yang
dikeluarkan
Pangeran
Cirebon, beberapa kebijakan yang terkait dengan Galuh, antara lain: VOC mengabulkan usulan Pangeran Aria
Cirebon untuk mengangkat Patih Ciamis sebagai Bupati Kawasen menggantikan Sutanangga. Alasan pergantian ini karena Patih Ciamis dianggap sebagai ningrat tertua dan terpandai. Selain itu, Daerah Utama yang tadinya masuk Karawang dimasukkan ke wilayah kekuasaan Bojonglopang dan Kepala Daerah Utama, Sutapura, harus tunduk kepada Bupati Karawang, R. A. Wiranegara, pengganti R. A.
Panatayuda.58 Di samping mereorganisasi wilayah Galuh, Pangeran Aria Cirebon melakukan sensus penduduk di setiap
kabupaten di Galuh. Hasilnya, dapat dibaca pada tabel 2.2. Bila dibandingkan dengan Undang-undang Couper,
jelaslah bahwa daTabel 2.2 Jumlah Penduduk Galuh Hasil Sensus Jacob Couper dan Pangeran Aria Cirebon59
No. 1. 2. 3.
Tahun Sensus 1684 708 605 20 1686 398 1706 700 700 300
105
lam kurun waktu 22 tahun penduduk Galuh tidaklah tetap. Di Kawasen dalam jumlah waktu dua tahun sempat terjadi Dua
pengurangan
penduduk
yang
amat
drastis.
puluh tahun kemudian jumlah penduduk Kawasen meningkat melebihi jumlah sebelumnya. Demikian juga di
Bojonglopang, dalam waktu 22 tahun jumlah penduduknya meningkat lima belas kali lipat. Sepeninggal Pangeran Aria Cirebon tahun 1723, putra VOC menghapus Aria jabatan Cirebon, jabatan jabatan
Martawijaya,
mengajukan tetapi
permohonan oleh
mengisi karena
ditolak
opziener tidaklah untuk diwariskan.60 Dengan demikian, sejak saat itu, para bupati Priangan dan Galuh langsung diawasi oleh para pejabat VOC. Pada masa preangerstelsel, kopi merupakan
komoditas perdagangan utama yang sangat menguntungkan VOC sehingga Kerajaan Belanda dengan cepat menjadi
salah satu negara kaya di Eropa. Akan tetapi, Kabupaten Galuh tidak cocok untuk penanaman kopi sehingga tidak terlalu besar konstribusinya, meskipun bukan berarti tidak menghasilkan kopi. Penanaman kopi di Kabupaten Galuh dimulai sekitar tahun 1720-an. Bupati R. Adipati
106
Kusumadinata I memerintahkan rakyat untuk membudidayakan tanaman kopi di lereng Gunung Sawal dan Gunung Ciremai tahun (Cirebon). di Sepuluh tahun ini kemudian, tepatnya kopi
1730,
kedua
daerah
menghasilkan
sekitar 375.000 Kg atau kira-kira setara dengan 6.000 pikul dan tetap mencapai jumlah yang cukup meyakinkan setidak-tidaknya Bahkan pada di sampai abad pertengahan ke-18, ini abad ke-18.61 yang
akhir kedua
produksi mencapai
kopi
dihasilkan 14.000
tempat
kira-kira kopi
18.000
pikul.62
Meskipun
menghasilkan
dalam jumlah yang tidak terlalu kecil, namun daerah lain di wilayah Galuh tidak cocok untuk pembudidayaan kopi. Oleh karena itu, di wilayah Galuh produksi kopi tidaklah mencapai hasil setinggi di daerah Priangan
Tengah dan Priangan Barat. Sementara Kusumadinata I, itu, yang sepeninggalnya menjadi bupati R. di Adipati Imbanagara
adalah R. Adipati Kusumadinata II dan memerintah dari tahun anak, 1727-1732. jabatan Oleh karena dirinya tidak memiliki kepada
Bupati
Imbanagara
diserahkan
keponakannya yang masih kecil, yakni Mas Garuda. Dengan demikian, dari tahun 1732-1751, Kabupaten Imbanagara dipimpin oleh tiga orang wali Mas Garuda. Baru pada
107
tahun
1751,
setelah
usianya Imbanagara
dewasa, sampai
Mas tahun
Garuda 1801.
memerintah
Kabupaten
Gelar yang dipakai oleh Mas Garuda adalah R. Adipati Kusumadinata III. Pada masa peralihan dari VOC ke Pemerintah Hindia Belanda, yang menjadi bupati di Imbanagara adalah R. Adipati Natadikusuma. Bupati ini memerintah Imbanagara dari tahun 1801-1806. Masa pemerintahan yang sebentar ini tidak terlepas dari peristiwa yang mendahuluinya. Menurut sumber tradisional Wawacan Sajarah Galuh,
Lawick van Pabst memerintahkan agar bupati menimbang benang dan nila ke Cibatu (Ciamis). atas R. Adipati itu
Natadikusuma
merasa
tersinggung
perintah
karena perihal timbang menimbang hasil bumi bukanlah tugas seorang bupati. Penuh dengan amarah, R. Adipati Natadikusuma memukul pejabat VOC itu yang bernama
lengkap Ajun Kumetir Pieter Herbertus van Lawick van Pabst. Akibat pemukulan itu, pada tahun 1806, jabatan Bupati Imbanagara yang diasandang R. Adipati
Natadikusuma dicopot oleh VOC (dilepas tina regen),63 karena dianggap tidak patuh terhadap perintah VOC. Sang bupati kemudian ditahan di Cirebon, meskipun tidak lama kemudian dibebaskan. Namun demikian, jabatan sebagai
108
Bupati Imbanagara tidak dapat disandang kembali karena jabatan itu telah diisi oleh Surapraja dari Limbangan yang memerintah Imbanagara sampai tahun 1811.64 Dengan demikian, ketika Hindia Belanda dipimpin oleh Daendels, Kabupaten Imbanagara dipimpin oleh bupati yang bukan keturunan Galuh. Peristiwa pemukulan tersebut, tidak hanya berdampak R. dicopotnya jabatan bupati Menurut yang sumber
disandang
Adipati
Natadikusuma.
Belanda, akibat peristiwa yang terjadi tahun 1805 itu, tiga kabupaten di Priangan Timur, yaitu Imbanagara,
Galuh, dan Utama digabungkan. Selain itu, Bupati Imbanagara dianggap tidak mampu berutang menjalankan 23.500 Rds65 roda dan
pemerintahannya
sehingga
setelah penggabungan ketiga kabupaten ini, utang Bupati Imbanagara menjadi tanggung jawab Bupati Galuh.
C. Galuh pada Masa Hindia Belanda Pada tanggal 31 Desember 1799, VOC dibubarkan dan kekuasaan di Nusantara diambil alih oleh Kerajaan
Belanda, yang kemudian membentuk Pemerintahan Hindia Belanda. Gubernur jenderal pertama yang berkuasa di
Hindia Belanda adalah Herman Wilhelm Daendels (18081811). Ia mendarat di Anyer tanggal 1 Januari 1808,
109
kemudian menuju ke Batavia (5 Januari 1808) yang dijadikan sebagai ibu kota Hindia Belanda. Tanggal 14 Januari Gubernur 1808, terjadi timbang terima kekuasaan Jenderal dari VOC
Jenderal
Wiese,
Gubernur
dengan membawa semangat Revolusi Perancis, melakukan perubahan dalam bidang pemerintahan yang berkaitan
dengan administrasi wilayah dan kekuasaan elite politik pribumi Jawa (sultan dan bupati). Daendels yang membagi dipimpin Pulau oleh
menjadi
sembilan
prefektur
seorang prefek, meskipun keberadaan kesultanan masih diakui oleh Deandels. Istilah ptrefek kemudian diubah menjadi landdrostambt.67 Konsepsi selain Daendels dalam pada dilakukan Pertama, pembagian sistem atas tugas Pulau Jawa,
sentralistis, pertimbangan
adalah mempertahankan Pulau Jawa. Kedua, pejabat tinggi sipil dan militer pemerintah Hindia Belanda saat itu jumlahnya masih sedikit. Ketiga, keuangan pemerintah sangat minim. Dengan kondisi di seperti kalangan ini, Daendels
melakukan
birokratisasi
pemerintahan
110
tradisional sistem
sehingga
keinginannya langsung
untuk
menerapkan dapat
pemerintahan
(direct
rule)
dilaksanakan. Pada dibagi awal pemerintahan dua Daendels, Tatar Sunda wilayah pada ber-
menjadi
pemerintahan suatu
tidaknya Bagian
membudidayakan der
pertama
Landdrostambt
Jacatrasche en Preanger-Reggentschappen yang meliputi Batavia, Tangerang, Krawang, Bogor, Cianjur, Bandung, Sumedang, dipandang besar. dan Parakanmuncang. menghasilkan dinamai Daerah-daerah kopi dalam ini jumlah der
berpotensi Bagian en
kedua
Landdrostambt
Kesultanan
Cheribonsche
Preanger-Reggentschappen
yang meliputi daerah Kesultanan Cirebon dan CirebonPriangan. Daerah-daerah yang dimasukkan ke bagian kedua ini dipandang sebagai wilayah yang kurang berpotensi menghasilkan kopi.68 Khusus untuk Landdrostambt der Kesultanan en
Cheribonsche Preanger-Reggentschappen, pada tanggal 2 Februari 1809, Daendels mengeluarkan Reglement op het Beheer van de Cheribonsche-landen (Peraturan Pemerintahan di Wilayah Cirebon). Berdasarkan reglement itu,
111
Kabupaten
Galuh
dimasukkan
ke
dalam
Cheribonsche
Preanger-landen (Daerah Priangan-Cirebon) bersama-sama dengan Satu Kabupaten tahun Limbangan dan Kabupaten 20 Sukapura.69 Juni 1810
kemudian,
tepat
tanggal
Daendels menghapus prefektur Priangan-Cirebon. Sebagian wilayahnya digabungkan ke Jakarta menjadi Landdrostambt der Jacatrasche en Preanger Bovenlanden. Sementara itu, Galuh dipinjamkan kepada Sultan Yogyakarta karena
dianggap kurang berarti untuk penanaman kopi.70 Pada waktu itu, yang menjadi bupati di Galuh adalah R.
Adipati Surapraja, dari Limbangan yang memerintah dari tahun 1806-1811. Pada bulan Mei 1811, H. W. Daendels menyerahkan jabatan Willem Gubernur Jansens. Jenderal Akan Hindia Belanda kepada Jan
tetapi,
Jansens
tidak
berkuasa
lama karena ia tidak mampu mengatasi serbuan armada Inggris ke Pulau Jawa pada bulan Agustus 1811.
Akibatnya, ia menyerah kepada pihak Inggris di daerah Salatiga pada tanggal 17 September 1811 melalui
khususnya di Pulau Jawa jatuh ke tangan Inggris yang diwakili oleh Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford
112
Kekuasaan dinamai
Raffles sebagai
berlangsung pemerintahan
sampai
tahun
interregnum
(penyelang). Selama lima tahun berkuasa di Pulau Jawa, Raffles melakukan perubahan administrasi pemerintahan. Prefektur diganti menjadi pun pun keresidenan diganti dan istilah residen. baru
menjadi
memperkenalkan
jabatan
dalam birokrasi pemerintahannya, yaitu asisten residen dan wedana yang mengepalai distrik.72 Pulau Jawa
kemudian dibagi menjadi 16 keresidenan.73 Pada saat Raffles berkuasa di Pulau Jawa, di
Kabupaten Galuh terjadi tiga kali suksesi kepemimpinan. Sepeninggalnya R. Adipati Surapraja tahun 1811, jabatan Bupati Galuh diserahkan kepada Rd. Tumenggung
Jayengpati Kartanagara yang pada waktu itu berkedudukan sebagai beberapa dipandang Bupati bulan tidak Cibatu. saja Bupati karena ini oleh hanya memerintah Cirebon Rd.
Residen
cakap.
Penggantinya
adalah
Tumenggung Natanagara yang berasal dari Cirebon. Bupati ini mulai memerintah di Galuh pada tahun 1812. Akibat rencananya yang akan memindahkan ibu kota kabupaten ke Randegan dekat Banjar, pada tahun 1814 jabatannya
113
berasal
dari
Gabang.
Ia
didampingi
oleh
tiga
orang
patih yaitu R. Wiradikusuma (Imbanagara), R. Wiratmaka (Utama), dan R. Jayadikusuma (Cibatu/Ciamis).74 Pada masa pemerintahannya yang singkat, terjadi perubahan wilayah administrasi Kabupaten Galuh.
Kabupaten Galuh harus menyerahkan daerah-daerah yang terletak di sebelah selatan S. Citanduy, yaitu: Pasir Panjang (Manonjaya), dan Kawasen, Padaherang Kabupaten (Pamotan), Sukapura.
Cikembulan,
Cijulang
kepada
Demikian juga, daerah-daerah yang terletak di sebalah timur S. Citanduy, yakni Dayeuh Luhur, Madura,
Banyumas, dan Nusa Kambangan diserahkan ke Keresidenan Banyumas. Wilayah Galuh Imbanagara kemudian digabungkan dengan Utama dan Cibatu.75 Penyerahan wilayah ini tidak terlepas dari kebijakan Raffles untuk mereorganisasi wilayah kekuasaannya (lihat peta 2.1) Oleh karena ketidakharmonisan antara bupati dan para patihnya, Pangeran Sutajaya melepas jabatan Bupati Galuh dan kembali ke Cirebon. Pada tanggal 15 Januari 1815, R. Tumenggung Wiradikusuma menggantikan kedudukan Pangeran Sutajaya sebagai Bupati Galuh.76 Sementara
itu, R. Wiratmaka dan R. Jayadikusuma masih memegang kedudukannya sebagai Patih Utama dan Patih Cibatu.
114
Berdasarkan kesepakatan dengan kedua patihnya, R. T. Wiradikusuma menetapkan bahwa kabupaten yang
dipimpinnya tidak lagi bernama Kabupaten Imbanagara, tetapi bernama Kabupaten Galuh dengan ibu kotanya di Ciamis. Sejak saat itu, Imbanagara tidak lagi menjadi ibu kota Kabupaten Galuh dan eksistensi Kabupaten
Imbanagara berakhir. Akan tetapi, kalau dilihat dari silsilah para bupati Kabupaten Galuh, mereka merupakan keturunan berlebihan penerus para jika Bupati Imbanagara Galuh sehingga dikatakan tidaklah sebagai pada
Kabupaten
Kabupaten
Imbanagara.
Dengan
demikian,
akhir pemerintahan Raffles, nama Kabupaten Galuh secara resmi dipakai dalam istilah pemerintahan di Hindia
Belanda dan kembali dipimpin oleh keturunan Maharaja Sanghyang Cipta Di Galuh.77 Berdasarkan Traktat London yang ditandatangani
pada tanggal 13 Agustus 1814, pemerintah Inggris harus menyerahkan Pulau Jawa kepada pemerintah Belanda. Untuk menerima wilayah Hindia Belanda, Pemerintah Belanda
mengangkat Mr. C. Th. Elout, G. A. G. Ph. Baron van Capellen, dan A. A. Buyskes sebagai Komisaris Jenderal Hindia Belanda untuk menerima mandat kekuasaan atas
115
1816, ketiganya menerima mandat kekuasaan atas Hindia Belanda di Batavia. Sejak saat itu, ketiga orang
komisaris jenderal ini bertugas untuk mengatur jalannya pemerintahan di Hindia Belanda.78 Peta 2.1 Kabupaten Imbanagara (Galuh) pada Abad XVII-XVIII
Sumber: Diolah dari M. R. Fernando. 1982. Peasant and Plantation Economy: The Social Impact of the European Plantation Economy in Cirebon Residency from the Cultivation System to the End of First Decade of the Twentieth Century. Ph.D. Dissertation. Melbourne: Monash University.
Pada tanggal 5 Januari 1819 Komisaris Jenderal Hindia Belanda mengeluarkan Besluit No.23 yang
menetapkan bahwa Kabupaten Galuh merupakan bagian dari wilayah Keresidenan Cirebon. Selain Kabupaten Galuh, Karesidenan Cirebon meliputi empat kanupaten lainnya, yaitu: Kabupaten Maja, Cirebon, dan Kabupaten Bengawan Wetan, Untuk
Kabupaten
Kabupaten
Kuningan.79
116
informasi posisi Kabupaten Galuh di Pulau Jawa, lihat peta 2.2. Ketika Komisaris Jenderal mengakhiri kekuasaannya atas Hindia Belanda pada pertengahan oleh R. Januari 1819,
Kabupaten
Galuh
dipimpin
Adipati
Adikusuma,
anak R. A. Wiradikusuma, yang memerintah dari tahun 1819-1839. Wilayah kekuasaannya tidak hanya meliputi daerah Imbanagara, Utama, dan Cibatu, melainkan
meliputi juga Panjalu dan Kawali.80 Wilayah kekuasaanya memang bertambah, tetapi tidak lebih luas kekuasaan
Imbanagara (Galuh) pada abad ke-17 sampai dengan abad ke-18. Peta 2.2 Posisi Kabupaten Galuh di Pulau Jawa pada Abad XIX
Sumber: Diolah dari M. R. Fernando. 1982. Peasant and Plantation Economy: The Social Impact of the European Plantation Economy in Cirebon Residency from the Cultivation System to the End of First Decade of the Twentieth Century. Ph.D. Dissertation. Melbourne: Monash University.
117
Berdasarkan
Besluit
Gubernur
Jenderal
Hindia
Belanda tanggal 31 Mei 1844 No.1, batas-batas wilayah Kabupaten berbatasan Galuh dengan sebagai Kabupaten berikut. Sukapura; Sebelah sebelah barat utara
berbatasan dengan Kabupaten Majalengka; sebelah timur berbatasan selatan dengan Keresidenan dengan Banyumas; dan sebelah Luas
berbatasan
Kabupaten
Sukapura.81
wilayah Kabupaten Galuh kurang lebih 522 pal persegi (1.185,4 km) atau sekitar 16,34% dari luas Keresidenan Cirebon. Dengan wilayah seluas ini, Kabupaten Galuh
relatif kecil dibandingkan dengan kabupaten lainnya di wilayah Keresidenan Cirebon, kecuali dengan Kabupaten Kuningan.82 Pada tahun 1830-an, distrik di Kabupaten Galuh berjumlah empat, yaitu Ciamis, Panjalu, Kawali, dan Keppel. Pada tahun 1840-an, Distrik Keppel berubah nama menjadi Distrik Rancah (lihat peta 2.3). Sementara itu, pada tahun 1837 jumlah desa di Kabupaten Galuh mencapai 91 desa.83 Pada tahun 1855 jumlah desa di
Kabupaten Galuh meningkat menjadi 238 desa.84 Secara geografis Kabupaten Galuh terbagi menjadi empat bagian, yaitu wilayah yang mempunyai ketinggian 0-100 m di atas permukaan air laut, 100-500 m di atas permukaan air laut, 500-1.000 m di atas permukaan air
118
laut, dan di atas 1.000 m di atas permukaan air laut. Wilayah pertama bagian tenggara Kabupaten Galuh; wilayah kedua meliputi bagian timur dan selatan Kabupaten Galuh; wilayah ketiga meliputi bagian barat dan utara Kabupaten Galuh; dan wilayah keempat meliputi wilayah di lereng Gunung Sawal (1.764 m) dan Gunung Cakrabuana (1.720 m). Sementara itu, rata-rata curah hujan setiap tahunnya mencapai 2.901 mm dan rata-rata jumlah hari hujan per tahunnya informasi selama 145,8 hari.85 keadaan Peta 2.4
memberikan
mengenai
geografis
Kabupaten Galuh pada abad ke-19. Sementara itu, kondisi ekonomi Kerajaan Belanda pada tiga dekade pertama abad ke-19 mengalami
kehancuran, salah satu penyebabnya adalah terjadinya Perang Jawa yang utang mengakibatkan sebesar Kerajaan Belanda Untuk
menanggung
30.000.000.86
mengatasi masalah ekonomi ini, daerah Hindia Belanda dijadikan sebagai alternatif pemecahan yang diharapkan. Oleh karena itu, segala daya dicurahkan untuk mengelola wilayah ini agar segera menghasilkan keuntungan untuk menutup defisit anggaran pemerintah Kerajaan Belanda. Pada tahun 1829 Johannes van den Bosch menyampaikan kepada raja Belanda usulan-usulan yang kelak akan
119
disebut
cultuurstelsel
(Sistem
Tanam
Paksa).
Raja
Belanda menyetujui usulan-usulan van den Bosch itu yang kemudian mengangkatnya sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada bulan Januari 1830 menggantikan Du Bus de Gisignies.87 Konsep van den Bosch mengenai Sistem Tanam Paksa pada awalnya tidak pernah dirumuskan secara eksplisit. Sistem tersebut di didasarkan Jawa pada suatu utang Untuk prinsip pajak membayar bahwa tanah pajak
mempunyai pemerintah.
kepada
setiap
desa
harus
menyisihkan
sebagian
tanahnya guna ditanami komoditas ekspor untuk dijual kepada pemerintah dengan harga yang sudah ditetapkan. Dengan demikian, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya. Pada dasarnya konsep Sistem Tanam Paksa adalah menggabungkan prinsip wajib atau paksa dengan prinsip monopoli.88 Prinsip yang pertama dipergunakan menurut model yang telah lama berjalan di Priangan yang dikenal dengan Preangerstelsel atau sistem yang dipakai oleh VOC yang dikenal dengan verplichte leveranties
(penyerahan wajib). Diterapkannya prinsip yang pertama ini berkaitan dengan pemikiran van den Bosch yang
120
menganggap bahwa bila diterapkan sistem ekonomi bebas, masyarakat desa yang mayoritasnya adalah petani, akan enggan untuk diajak menanam tanaman ekspor yang menjadi bahan perdagangan Oleh utama untuk mengisi kas keuangan sebaiknya
pemerintah.
karena
itu,
petani
121
Sumber: Diolah dari M. R. Fernando. 1982. Peasant and Plantation Economy: The Social Impact of the European Plantation Economy in Cirebon Residency from the Cultivation System to the End of First Decade of the Twentieth Century. Ph.D. Dissertation. Melbourne: Monash University.
Sumber: M. R. Fernando. 1982. Peasant and Plantation Economy: The Social Impact of the European Plantation Economy in Cirebon Residency from the Cultivation System to the End of First Decade of the Twentieth Century, Ph.D. Dissertation. Melbourne: Monash University.
122
Prinsip kedua, yaitu monopoli, diberikan kepada perusahaan dagang Belanda NHM (Nederlandsche Handels Maatschappij) yang didirikan pada tahun 1824 atas
prakarsa raja Belanda. NHM akan diberi hak monopoli untuk mengangkut dan memperdagangkan komoditas yang
dihasilkan oleh masyarakat pedesaan. Dengan demikian, NHM akan mematahkan dominasi pelayaran Inggris-Amerika di kawasan Malaya-Hindia Belanda dan dengan sendirinya akan mendatangkan pemasukan keuangan bagi pemerintah Belanda.90 Untuk menjalankan konsep tersebut, seperti yang dicatat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indi 1834 No. 22, pemerintah akan mengadakan perjanjian dengan penduduk sawahnya desa untuk mengenai keperluan penyerahan menanam sebagian yang areal dapat Eropa.
tanaman
memproduksi
komoditas
bagi
kepentingan
pasar
Tanah yang akan diserahkan itu luasnya 20 % dari luas seluruh sawah sebuah desa dan tanah tersebut akan
dibebaskan dari pajak tanah (landrente). Hasil tanaman harus diserahkan kepada pemerintah dan apabila harga yang ditaksir ternyata lebih tinggi dari jumlah pajak tanah yang harus dibayarkan, maka kelebihannya akan
123
risiko
akan itu
ditanggung tidak
oleh
pemerintah, karena
asalkan kelalaian
kegagalan
disebabkan
penduduk. Tenaga kerja yang akan menanam tanaman ekspor tidak boleh melebihi tenaga kerja yang diperlukan untuk penanaman padi. Mereka akan bekerja selama 66 hari per tahun dan akan bekerja dalam komunitas desanya di bawah pimpinan kepala-kepala mereka (kepala desa) dan akan diawasi oleh pejabat Eropa (residen dan bawahannya).91 Dengan demikian, Sistem Tanam Paksa akan menyandarkan diri pada sistem tradisional dan feodal dengan
menggunakan perantaraan struktur kekuasaan lama. Tanaman utama untuk memproduksi komoditas ekspor yang akan ditanam di Jawa adalah indigo dan tebu, di samping kopi yang telah berjalan sebelumnya. Selain
itu, tanaman lain yang ikut ditanam tetapi dalam skala kecil, antara lain tembakau, lada, teh, dan kayu
manis.92 Tidak seperti kopi yang hasil panennya bisa langsung dipasarkan tanpa diolah terlebih dahulu di
pabrik, hasil panen tanaman indigo dan tebu tidak dapat langsung dipasarkan, tetapi harus diolah dulu di pabrik sampai menghasilkan komoditas yang diinginkan. Tanaman indigo93 diolah menjadi bahan pewarna, sedangkan tanaman tebu diolah menjadi gula. Ketiga komoditas tersebut
124
merupakan komoditas yang sedang laku di pasar Eropa pada waktu itu. Secara operasional tanggung jawab proses
produksinya, sejak dari penanaman sampai pengolahannya di pabrik, berada di pundak para bupati dan pejabat di bawahnya, terutama para kepala desa yang langsung
berkecimpung di lapangan. Dengan otoritas tradisional yang dimilikinya, mereka dapat mengerahkan rakyatnya untuk memproduksi indigo melalui lembaga tradisional pribumi, yaitu kerja wajib. Dengan demikian, maka di mata para petani tuntutan untuk memproduksi indigo ini dipandang sebagai hal yang biasa dan sah. Pada waktu penerapan Cultuurestelsel diberlakukan, Bupati Galuh
dipegang oleh R. Adipati Adikusuma (1819-1839). Jabatan ini kemudian diserahkan kepada putranya yang bernama R. A. A. Kusumadiningrat (1839-1886). Keduanya kemudian berkedudukan pribumi komoditi dan sebagai perantara Hindia wajib antara Belanda. masyarakat Beberapa oleh
Pemerintah
perdagangan
yang
diserahkan
keduanya kepada Pemerintah Hindia Belanda antara lain kopi, indigo, gula, dan beras. Salah satu jenis komoditi yang wajib diserahkan pada tahun-tahun awal pelaksanaan Tanam Paksa adalah
125
indigo
yakni
bahan
pewarna
kain.
Dengan
mempertimbangkan kondisi geografis, Pemerintah Hindia Belanda memerintah R. A. Adikusuma untuk menanam pohon tarum yang merupakan bahas dasar indigo. Di kabupaten yang dipimpinnya, Sistem pelaksanaan Paksa industri dijalankan indigo mulai dalam tahun
rangka
Tanam
1830.94 Koordinator produksi indigo diserahkan kepada Inspektur Perkebunan Indigo Karesidenan Cirebon, G.E. Teisseire, yang diangkat oleh Gubernur Jenderal van den Bosch pada awal tahun 1830,95 bersama dengan Residen Cirebon, B.J. Elias. Untuk menyeragamkan pola industri indigo, pemerintah pusat mengeluarkan Resolutie Hooger Regeering tanggal 27 Februari 1832 No.4. Berdasarkan resolusi tersebut, pola mulai tahun 1833 Residen Cirebon
menjalankan
industri
Elias
dalam
memproduksi
indigo di Kabupaten Galuh. Konsep yang ditawarkan Elias adalah indigo diproduksi di pabrik-pabrik kecil yang didirikan di desa-desa oleh penduduk desanya dengan
menggunakan teknik yang sederhana dan kemudian hasilnya dibeli oleh pemerintah. Penanaman tanaman indigo
dilakukan di tanah-tanah sawah yang terletak di desadesa. Ia beranggapan maka bahwa apabila akan pola industrinya dan
dijalankan,
hasilnya
cepat
diperoleh
126
penduduk
desa
tidak
perlu
meninggalkan
desanya,
sehingga mereka juga dapat menanam tanaman pangannya di seluruh Keresidenan Cirebon.96 Ketika industri indigo dijalankan di Kabupaten Galuh pada masa Sistem Tanam Paksa, tanaman indigo yang dibudidayakan diambil dari jenis Tarum Kembang yang
sudah dikenal masyarakat pribumi. Jenis tanaman indigo ini banyak ditemukan pada ini di masa daerah Sistem Priangan Tanam dengan sebelum Paksa.97 Tarum
dibudidayakan Masyarakat
daerah
menyebutnya
nama
Siki, sedangkan orang Jawa menyebutnya Tom Cantik.98 Alasan dipilihnya jenis jenis ini Tarum Kembang, kemungkinan pohonnya jenis
cepat
pertumbuhannya,
hasilnya
lebih
banyak
dibandingkan
lainnya, selain sudah dikenal secara luas oleh penduduk pribumi.99 Persiapan-persiapan indigo di Kabupaten Perkebunan pertama untuk memproduksi oleh
Galuh, Indigo
Inspektur
Residen
Cirebon Elias. Tanah-tanah yang disiapkan untuk menanam Tarum Kembang bukan di sawah-sawah sekitar desa, tetapi di tanah-tanah yang tidak dipakai untuk menanam tanaman pangan penduduk yang letaknya jauh dari perkampungan.
127
Areal
penanaman
Tarum
Kembang
disiapkan
di
empat
distrik yang ada di wilayah Kabupaten Galuh, yaitu: Distrik karena Ciamis, itu, Kawali, Keppel100, distril di dan Panjalu. Oleh Galuh
seluruh
Kabupaten
merupakan penghasil indigo. Areal industri 1.263,5 29,95% penanaman di Tarum Kembang Galuh pada masa awal
Kabupaten ha).
luasnya itu
mencapai mencakup di
(896,6 areal
Areal
seluas Tarum
penanaman
Kembang
Keresidenan Cirebon. Untuk meningkatkan produksi, pada tahun 1832 pemerintah memperluas areal penanaman Tarum Kembang di Kabupaten Galuh menjadi 1.540 bau (1.092,9 ha) atau meningkat sekitar 21 %, dari tahun 1830.
Perluasan areal penanaman Tarum Kembang itu dilakukan melalui pembukaan tanah baru, pemberdayaan tanah-tanah yang ada di sekitar lain pabrik dengan di indigo, Tarum Distrik morgen dan penggantian Misalnya Kabupaten ha)
Kembang. Panjalu
dilakukan 120
rijnl
(144
bau/102,1
128
Tabel 2.3 Areal Penanaman Tarum Kembang di Kabupaten Galuh, 1830 1832 Nama Pabrik Kauntungan Kasukahan Kaharapan Sukahati Luas Areal Penanaman Tarum Kembang (dalam bau) 1830 1831 1832 651,0 355,0 177,5 80,0 1.263,5 660,0 360,0 180,0 81,0 1.281,0 720,0 432,0 240,0 148,0 1.540
Jumlah Total
Sumber: Opgave van de primo Januarij 1832 in de onder-scheidene fabrieken gefabriceerde indigo, ADK 551, ANRI; Opgave der Werkzamheden en Opbrengsten der Indigo Cultuur van den td dat die in de Residentie Cheribon is ingevoerd tot op ult. December 1832, ADK 569, ANRI.
Berdasarkan
tabel
2.3,
pada
tahun
1830,
areal
terluas penanaman Tarum Kembang dilakukan di Distrik Ciamis yang mencapai 651,0 atau 51,52% dari areal
keseluruhan. Sementara itu, yang terkecil di Distrik Panjalu yakni seluas tahun Tarum 80,0 1832, atau 6,33% dari luas fisik Ciamis
keseluruhan. areal
Pada
meskipun di
secara
penanaman
Kembang
Distrik
meningkat sebesar 69 bau atau 10,6%, namun mengalami penurunan penanaman yang sama sekitar Tarum 4,77% di dari areal keseluruhan Kondisi walaupun
Kembang
Kabupaten Distrik
Galuh.
dialami
oleh
Kawali
129
hanya 0,05%. Sementara itu, pada tahun 1832, Distrik Rancah dan Panjalu mengalami peningkatan areal
penanaman Tarum Kembang masing-masing sebesar 1,54% dan 3,29% dari keseluruhan areal penanaman Tarum Kembang di Kabupaten Galuh. Pada dari pola tahun 1833, pola industri pola indigo berubah awal
Teisseire pola
menjadi
Elias. areal
Pada
pelaksanaan
industri
ini,
luas
penanaman
Tarum Kembang di Kabupaten Galuh 1.541 bau (1.093,6 ha) atau naik 1 bau dari tahun 1832. Seperti yang tertera pada tabel 2.4, rata-rata areal persawahan yang
digunakan untuk menanam Tarum Kembang pada tahun 1833 mencapai 29,825%. Pada perkembangan selanjutnya, areal untuk penanaman Tarum Kembang bertambah luas sampai
mencapai puncaknya tahun 1840. Pada masa puncak ini luas areal penanaman Tarum Kembang mencapai 1.563 bau
(1.109,2 ha) atau meningkat 1,4%. Meskipun demikian, areal persawahan yang dipergunakan mengalami penurunan sebesar 7,325%. Hal ini terjadi karena perluasan areal penanaman Tarum Kembang diiringi dengan perluasan areal persawahan dengan cara membuka tanah-tanah yang tidak digunakan dan kemudian mengubahnya menjadi areal
130
Sementara itu, desa yang terlibat dalam penanaman Tarum Kembang berjumlah 59 desa atau sekitar 64,8 % dari seluruh desanya.102 Tabel 2.4 Areal Penanaman Tarum Kembang dan Prosentase Areal Persawahan yang digunakan menanam Tarum Kembang di Kabupaten Galuh, 1833 1840
Luas Areal Penanaman Tarum Kembang (dalam bau) 1833 1835 1840 720 726 836 432 200 305 240 220 236 149 144 186 1.541 1.290 1.563 Prosentase Areal Persawahan untuk Menanam Tarum Kembang 1833 1835 1840 32,7 *) 21,4 33,8 *) 21,0 33,3 *) 28,6 19,5 *) 19,0 29,825 *) 22,5
Sumber: Staat Aantonende Opbrengst Zoomede de Werkzaamheden bij de Indigo Kultuur in de Residentie Cheribon over den Jare 1833, ADK 569, ANRI; Algemeen Verslag 1833, AD Cirebon 2.9, ANRI; Cultuur Verslag 1835, ANRI; Aantooning van den Stand der Indigo Kultuur in de Residentie Cheribon, dalam surat dinas Inspektur Perkebunan Keresidenan Cirebon pada Direktur Perkebunan tanggal 19-10-1841 no.73, ADK 615, ANRI.
Tabel 2.5 Perluasan Areal Persawahan di Kabupaten Galuh, 1833 dan 1840 Distrik Kawali Ciamis Rancah Panjalu Jumlah Luas Areal Persawahan (dalam bau) 1833 1840 1.277,0 1.451,0 2.199,0 3.907,0 720,0 826,0 763,0 980,0 4.959 7.164
Sumber: Staat Aantonende Opbrengst Zoomede de Werkzaamheden bij de Indigo Kultuur in de Residentie Cheribon over den Jare
131
1833, ADK 569, ANRI; Algemeen Verslag 1833, AD Cirebon 2.9, ANRI; Aantooning van den Stand der Indigo Kultuur in de Residentie Cheribon, dalam surat dinas Inspektur Perkebunan Keresidenan Cirebon pada Direktur Perkebunan tanggal 19-101841 no.73, ADK 615, ANRI.
Untuk
kelancaran
produksi,
mutlak
diperlukan
pabrik-pabrik, baik kecil maupun besar, yang diawasi oleh orang Eropa dan sejumlah orang pribumi yang sudah dilatih. Mereka diambil dari anggota elite desa yang sebagian besar anak-anak muda dari sikep terkemuka yang menginginkan posisi di pemerintahan.103 Sampai tahun
1833, di Kabupaten Galuh terdapat enam pabrik. Pada tahun 1837, jumlah pabrik mencapai 19 buah, meningkat menjadi 49 pabrik tahun 1838, dan dua tahun kemudian menjadi 51 pabrik.104 Setelah penanaman berproduksi disebabkan 1840. Hal tahun 1840 terjadi dan pengurangan pabrik-pabrik ini antara areal yang lain tahun
Kondisi harga
padi
setelah
mengakibatkan
pemerintah
meninggalkan
perluasan areal penanaman Tarum Kembang.105 Tanah-tanah yang seharusnya tidak mendapat ditanami giliran tanaman ditanami tersebut, Tarum tetapi
Kembang,
kembali ditanami padi. Selain itu, pada tahun 1843 padi menjadi komoditas yang dimaksukkan ke dalam kerangka
132
Sistem Tanam Paksa, sehingga padi pun menjadi perhatian permerintah untuk ditingkatkan produksinya.106 Adanya
eksodus penduduk ke luar desanya pada tahun 1845-1847 juga menjadi penyebab berkurangnya areal penanaman
Tarum Kembang. Areal seiring Jenderal penanaman Tarum Kembang semakin menurun Gubernur areal
dengan J. J.
dikeluarkannya Rochussen
kebijakan
untuk
mengurangi
penanaman Tarum Kembang di Jawa. Ia beranggapan bahwa indigo sudah tidak menguntungkan lagi. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh semakin merosotnya harga indigo dari Jawa di pasar Eropa karena terdesak oleh indigo dari Benggala (India) dan juga semakin turunnya produksi akibat dari berkurangnya kesuburan tanah. Oleh karena itu, pada bulan November 1846 ia mengusulkan kepada Menteri Jajahan J.C. Baud untuk mengganti
industri indigo dengan industri gula yang keuntungannya lebih besar.107 Walaupun demikian, kebijakan ini tidak berlaku untuk Kabupaten Galuh. Pada tahun 1847,
Gubernur Jenderal J.J. Rochussen justru meningkatkan areal penanaman Tarum Kembang di Kabupaten Galuh sampai 3,8 % dari tahun 1840.108
133
Kebijakan Gubernur Jenderal J.J. Rochussen baru diberlakukan di Kabupaten pada tahun 1851. Berdasarkan Besluit 5 Mei 1851 No.10, Pemerintah Hindia Belanda menghapus kebijakan penanaman Tarum Kembang di Distrik Rancah. Kemudian tahun 1853, Pemerintah Hindia Belanda menghapus Distrik Panjalu untuk menanam Tarum Kembang. Sementara itu, pada tahun 1858 Residen Cirebon
melaporkan kepada Direktur Perkebunan bahwa penanaman Tarum Kembang di Distrik Kawali dan Distrik Ciamis akan dihapus.109 Realisasi penghapusan itu baru dijalankan tahun 1862 untuk Distrik Kawali dan tahun 1864 untuk Distrik Ciamis. Dengan demikian, Tarum Kembang masih terus ditanam di kedua distrik ini, setidak-tidaknya sampai tahun 1864. Dengan luas areal penanaman Tarum Kembang,
seperti yang tercantum dalam tabel 2.3, Kabupaten Galuh menjadi penghasil indigo terbesar untuk wilayah
Keresidenan Cirebon. Dari empat distrik yang berada di bawah Kabupaten Galuh, baru tiga distrik yang telah menghasilkan indigo, yaitu Distrik Ciamis, Kawali, dan Rancah. Sementara itu, pada awal produksi indigo,
Distrik Panjalu belum berhasil indigo. Hal ini disebabkan oleh penanaman Tarum Kembang yang terlambat,
134
tidak
bersamaan tidak
dengan dapat
delapan
sehingga karena
berproduksi Panjalu
pabrik
di
Distrik
siap
berproduksi. Tingginya produksi indigo di Kabupaten Galuh itu sempat disaksikan oleh Gubernur Jenderal van den Bosch dalam kunjungan kerjanya di kabupaten tersebut tahun 1831.110 produksi Ada beberapa di hal yang menyebabkan tersebut. tingginya Pertama,
indigo
kabupaten
Kabupaten Galuh memiliki areal penanaman Tarum Kembang cukup luas, sehingga wajar apabila hasilnya juga
tinggi. Kedua, kemungkinan pengelolaannya sudah lebih baik jika dibandingkan dengan kabupaten lain. Ketiga, seperti telah diuraikan pada subbab sebelumnya bahwa indigo dari jenis Tarum Kembang banyak dibudidayakan di Keresidenan geografis Priangan, Kabupaten Tarum maka Galuh Kembang, ada kemungkinan lebih cocok kondisi untuk kondisi
membudidayakan
mengingat
geografis kabupaten tersebut tidak jauh berbeda dengan kondisi geografis Keresidenan Priangan. Distrik Rancah merupakan distrik yang paling
produktif tidak hanya di Kabupaten Galuh melainkan juga di seluruh Keresidenan Cirebon. Rata-rata produksi
135
indigo
per
bau
di
distrik
ini
mencapai
23
pon
Amsterdam, sedangkan di distrik-distrik lainnya umumnya masih di bawah 10 pon Amserdam per bau. Tabel 2.6 Produksi Indigo dengan Pola Industri Teisseire, 18311832
Produksi Indigo (dalam pon Desember Pertengahan 1831 1831 Selur Selur Per Per uhuhbau bau nya nya 16.73 4.070 6 25 3 2.688 8 3.981 11 4.000 23 4.876 27 belum 761 9 produksi Amsterdam) 1832 Selur uhnya 22.30 9 5.307 6.500 760 Per bau 31 12 27 5
Distrik
Nama Pabrik
Sumber: Opgave van de primo Januarij 1832 in de onderscheidene fabrieken gefabriceerde indigo, ADK 551, ANRI; Opgave der Werkzamheden en Opbrengsten der Indigo Cultuur van den td dat die in de Residentie Cheribon is ingevoerd tot op ult. December 1832, ADK 569, ANRI.
Pada tahun 1833 ketika dijalankan pola industri Elias, produksi indigo di tiga distrik di Kabupaten Galuh, yaitu Distrik Ciamis, Kawali, dan Rancah
mengalami sedikit penurunan. Meskipun demikian, secara keseluruhan Kabupaten Galuh mampu memproduksi indigo sebesar 27.986 pon Amsterdam (13,8 ton) dengan nilai 41.979. Pada tahun ini produksi dari Kabupaten Galuh menempati posisi tertinggi dan dapat mengalahkan Kabupaten Cirebon, padahal luas areal penanamannya lebih
136
rendah dari Kabupaten Cirebon, yaitu hanya sekitar 75 % dari luas areal di Kabupaten Cirebon. Begitu pula jika dibandingkan dengan Kabupaten Majalengka yang mempunyai luas areal penanaman yang hampir sama, Kabupaten Galuh dapat memproduksi lebih besar. Hal ini menunjukkan
bahwa kondisi geografis Kabupaten Galuh sangat cocok untuk membudidayakan Tarum Kembang dan pengelolaannya, baik dalam penanaman maupun dalam proses pengolahan, lebih baik jika dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Pada tahun 1840, produksi indigo Kabupaten Galuh mencapai 84.554 pon Amsterdam (41,8 ton) dengan nilai 154.733,82 sehingga terendah di Keresidenan Cirebon. Penurunan produksi ini disebabkan oleh luas areal penanaman Tarum Kembangnya relatif tetap, tidak ada
perluasan yang signifikan. Selain itu, juga disebabkan kesuburan yang tanahnya sudah oleh semakin rata-rata berkurang, seperti per
ditunjukkan
produktivitas
dengan rata-rata produksi 47,5 pon Amsterdam per bau merupakan yang terendah di wilayah Keresidenan Cirebon. Bahkan, Distrik Rancah, yang hanya dapat memproduksi 30 pon Amsterdam per bau, merupakan distrik yang paling
137
tidak produktif. Rendahnya produktivitas di Kabupaten Galuh ini kemungkinan disebabkan oleh kesuburan
tanahnya yang sudah semakin berkurang. Tabel 2.7 Produksi Indigo dengan Pola Industri Elias di tiap Distrik, 1833 1840
Produksi Indigo (dalam pon Amsterdam) 1833 1835 1840 Seluruh Per Seluruh Per Seluruh Per nya Bau nya Bau nya Bau 4.081 10 4.191 21 16.558 54 15.380 22 18.434 26 53.280 64 4.716 20 4.662 21 6.974 30 3.809 26 2.633 18 7.742 42
Sumber: Staat Aantonende Opbrengst Zoomede de Werkzaamheden bij de Indigo Kultuur in de Residentie Cheribon over den Jare 1833, ADK 569, ANRI; Algemeen Verslag 1833, AD Cirebon 2.9, ANRI; Cultuur Verslag 1835, ANRI; dan Aantooning van den Stand der Indigo Kultuur in de Residentie Cheribon, dalam surat dinas Inspektur Perkebunan Keresidenan Cirebon pada Direktur Perkebunan tanggal 19-10-1841 no.73, ADK 615, ANRI.
Oleh karena kebijakan pengurangan areal penanaman Tarum Kembang tidak berlaku di Kabupaten Galuh sampai tahun 1851, pada tahun 1847, produksi indigo di
kabupaten ini mencapai 84.537 pon Amsterdam (41,8 ton) dengan nilai 154.280,03.111 Dengan demikian, produksi indigo di Kabupaten Galuh pada tahun 1847 relatif tetap dan hampir sama dengan tahun 1840. Begitu juga dengan rata-rata produksi per baunya. Akan tetapi, pada tahuntahun berikutnya, produksinya cenderung menurun,
138
padahal areal yang ditanaminya relatif tetap. Hal ini nampaknya disebabkan perawatan tanaman Tarum Kembang tidak seintensif tahun-tahun sebelumnya dan kesuburan tanahnya sudah semakin berkurang, sehingga kualitas
indoksil dalam daunnya berkurang. Akibatnya kuantitas indigo yang dihasilkannya pun berkurang. Hindia di Meskipun masih Galuh
cenderung
menurun,
Pemerintah indigo
Belanda
mempertahankan
industri
Kabupaten
sampai tahun 1862. Baru setelah tahun itu, Kabupaten Galuh tidak menghasilkan lagi indigo dalam rangka tanam paksa, seiring dengan penghapusan kebijakan ini oleh Pemerintah Hindia Belanda. Meskipun Kabupaten Galuh termasuk yang relatif berhasil dalam itu melaksanakan tidak dapat Cultuurstelsel, dirasakan oleh tetapi rakyat. telah
keberhasilan Bahkan
sebaliknya,
pelaksanaan
Cultuurstelsel
mengakibatkan rakyat menjadi sengsara, karena tenaganya dikuras habis untuk menghasilkan barang atau komoditas yang laku di pasaran dunia. Oleh karena itu, R. A. A. Kusumaningrat mengusulkan agar Pemerintah Hindia
139
Catatan
1 2
Ekadjati, 1981: xxviii-xxix; Sukardja, 2002: 39-41. Sukardja, 2002: 15-16. 3 Sukardja, 2002: 42. 4 Sukardja, 2002: 42-45; bandingkan dengan Ekadjati, 1981: xxixxxx. 5 Sukardja, 2002: 5. 6 Sukardja, 2002: 3-4; Lubis, dkk., 20031: 144. 7 Lubis, dkk., 20031: 142. 8 Sukardja, 2002: 1-2, 14; Lubis, dkk., 20031: 142. 9 Sukardja, 2002: 3. 10 Sukardja, 2002: 5-6. 11 Ekadjati, 1981: xxxvi-xxxvii; Lubis, 1998: 319. 12 Sukardja, 2002: 28-29. 13 Sukardja, 2002: 30-33. 14 Yondri, 1999: 12-13. 15 Agus, 1999: 13. 16 Noorduyn, 1982. 17 Ciri-ciri sebuah karsyan adalah letaknya di suatu tempat terpencil, seperti di puncak gunung, tepi laut, tepi sungai besar, dan sebagainya (lihat: catatan kaki no. 131 dalam Lubis, dkk., 20031: 463). 18 Berdasarkan penelitian tentang bangunan suci pada masa Majapahit, Hariani Santiko berpendapat bahwa ada dua fungsi candi, yaitu candi sebagai kuil sekaligus sebagai pendarmaan raja, dan candi sebagai kuil pemujaan. Khusus candi sebagai kuil pemujaan didominasi oleh bangunan suci para resi (Santiko, 1998: 8-10). 19 Sukardja, 2002: 45-47. 20 Sukardja, 2002: 48. 21 Sukardja, 2002: 49-50. 22 Dike dan Ajayi, 1985: 111-112 23 Usaha Kerajaan Sumedanglarang untuk diakui sebagai penerus Kerajaan Sunda gagal diwujudkan karena dua hal. Pertama, secara geopolitik, Kerajaan Sumedanglarang terletak di antara tiga kerajaan besar yaitu Banten, Cirebon, dan Mataram. Kerajaan Sumedanglarang merupakan kerajaan terlemah dibandingkan dengan ketiga kerajaan tersebut sehingga ancaman penaklukan senantiasa membayangi mereka. Kedua, tindakan Prabu Geusan Ulun yang menculik dan memperistri Ratu Harisbaya, istri Panembahan Ratu (penguasa Cirebon). Sebagai seorang nalendra, tindakan tersebut dipandang tidak etis sehingga melahirkan konflik terbuka antara Cirebon dan Sumedanglarang. Akibat konflik tersebut, wilayah Kerajaan Sumedanglarang berkurang karena wilayah Majalengka diserahkan kepada Cirebon. Selain itu, banyak rakyatnya yang meninggalkan Sumedanglarang (Martanagara, 1978: 8-38). 24 Widjajakusumah, 1961: 3. 25 TPSG, 1972: 33, 35-36. 26 Enclycopedie van Nederlandsch Indie. 19193: 506;. de Haan, 19123: 161.
140
27
Kenyataan ini sangat dipahami karena pada masa pemerintahannya, Panembahan Senapati masih disibukan dengan upaya menaklukan para penguasa di daerah pesisir utara P. Jawa. Selain itu, Panembahan Senapati pun masih berusaha untuk memperkuat identitas dirinya sebagai penguasa Mataram. Terlebih-lebih pada saat itu, di Kerajaan Galuh pun pengaruh Cirebon tertanam cukup kuat, sedangkan Mataram masih menaruh hormat terhadap Cirebon. Perihal hubungan Panembahan Senapati dengan Cirebon dapat dibaca dalam H. J. de Graaf. 1987. Awal Kebangkitan Mataram; Masa Pemerintahan Senapati. Terj. Javanologi. Jakarta: Grafiti Press. 28 de Haan, 19123: 68. 29 Sukardja, 2002: 80-90. 30 de Haan, 19123: 68; Holle. 1869: 327. 31 Team Peneliti Sejarah Galuh (TPSG), 1972: 38-39. 32 Widjajakusumah, 1961: 27. 33 TPSG, 1972: 42-43. 34 Sumber lain menyebutkan bahwa hukuman mati yang diterima oleh Mas Dipati Imbanagara tidak terkait dengan tindakan Dipati Ukur melawan hegemoni Sultan Agung atas Priangan. Menurut sumber ini, Mas Dipati Imbanagara dituduh telah melakukan penghinaan kepada penguasa Mataram. Mas Dipati Imbanagara memberikan tujuh orang puteri Galuh yang masih perawan sebagai upeti kepada Sultan Agung. Akan tetapi, dari ketujuh puteri itu, hanya enam orang yang masih perawan. Hal ini membuat marah Sultan Agung dan mengutus Patih Narapaksa ke Gara Tengah untuk membunuh Mas Dipati Imbanagara (Sukardja, 2002: 138. 35 TPSG, 1972: VIII & 45. 36 de Haan, 19123: 73. 37 van Rees, 1869: 19; Kern, 1898: 19. 38 Sukardja, 2002: 140. 39 Setidak-tidaknya ada lima pertimbangan yang melandasi penetapan hari jadi itu. Pertama, keputusan R. P. A. Jayanagara memindahkan pusat kekuasaan Kabupaten Imbanagara ke Barunay memberikan dampak positif bagi perkembangan pemerintahan dan kemasyarakatan. Kedua, perpindahan itu mengandung unsur perjuangan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Ketiga, Kabupaten Imbanagara pada akhirnya mampu menyatukan wilayah Galuh sehingga daerah kekuasaannya hampir menyamai daerah kekuasaan Kerajaan Galuh dan penyatuan itu tidak dilakukan melalui kekerasan fisik. Keempat, Kesultanan Mataram mengakui kekuasaan Kabupaten Imbanagara dan menjadikan sekutunya dalam upaya mengusir penjajah. Kelima, suatu kenyataan bahwa hubungan antara Kabupaten Imbanagara dan Ciamis tidak dapat diputus (Lampiran TPSG, 1972: 5-6). 40 Di Eropa, para pedagang Belanda menempati posisi sebagai pedagang perantara yang menghubungkan Spanyol/Portugis dengan bagian Eropa lainnya. Namun demikian, status tersebut mulai diusik oleh Spanyol menjelang akhir abad ke-16 Masehi. Pada tahun 1580, Raja Philip II dari Spanyol memasukkan Portugis sebagai bagian dari Kerajaan Spanyol. Sebagai dampak permusuhannya dengan Belanda, pada tahun 1594 ia menutup pelabuhan Porto dan Lisabon bagi para pedagang Belanda. Penutupan kedua pelabuhan ini berdampak pada hilangnya status
141
pedagang perantara yang disandang oleh para pedagang Belanda (Chijs, 1880: 55; Hall, 1988: 247; Tate, 19711: 49). 41 Chjis, 1888: 54; Hall, 1988: 248-249; Lombard, 19961: 61. 42 Keberadaan VOC di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari upaya ekspansi orang-orang Eropa di Asia. Dengan demikian, sejak awal didirikannya misi VOC tidak hanya berhubungan dengan perdagangan saja, melainkan ada juga kepentingan politiknya yaitu menciptakan sebuah tanah kolonial di Nusantara (Graaf, 1949: 290-295). 43 Menurut piagam yang telah disahkan oleh Staten General dan berlaku selama 21 tahun, VOC memeliki hak istimewa untuk berlayar, berdagang, dan memegang kekuasaan di kawasan antara Tanjung Harapan Baik (Afrika Selatan) ke timur sampai Selat Bering dan sepanjang garis bujur 100 BT Kepulauan Solomon di Pasifik Selatan (Leur, 1955: 176-177; Tate, 19711: 13-15). 44 Ketika Kerajaan Sunda masih berdiri, pelabuhan ini bernama Sunda Kalapa dan merupakan pelabuhan terpenting di antara semua pelabuhan yang ada di daerah itu. Banyak para pedagang yang berdatangan ke Sunda Kalapa seperti yang diceritakan oleh Tom Pires dan orang berdatangan ke sana dari Sumatera, Palembang, dan Lawe (di pantai barat Kalimantan), Tanjung pura (juga di Kalimantan), dari Maluku, Makassar, Jawa, Madura, dan tempattempat lainnya (Cortesao, 1944: 415). 45 Batavia merupakan nama latin bagi orang-orang Jerman (Bataaf) yang tinggal di sebuah wilayah yang bernama Holland (Tate, 19711: 69). 46 van Rees, 1869: 42. 47 de Haan, 19101: 38-39. 69; Raffles, 1982: 192; van Rees, 1869: 50-55. 48 van Rees, 1869: 79. 49 Ekadjati et al., 1990: 77. 50 Burger, 1970: 98; Kartodirdjo, 1988: 309-310; Schrieke, 1960: 64; Vlekke, 1967: 196-197; 51 Atmadja, 1940: 159. Pajak ditarik oleh para bupati sebagai sumber keuangan keluarga mereka dan dengan pajak mereka dapat hidup mewah sehingga anggapan bahwa mereka sebagai raja-raja kecil betul-betul dapat diwujudkan. Pajak yang dipungut oleh para bupati di Priangan tersebut dapat berupa hasil bumi, uang, atau tenaga kerja. Selain itu para bupati memungut pajak pasar dan pajak pemotongan hewan (Ali et al., 1973: 116; Lubis, 1998: 80-83). 52 Ali et al., 1973: 120. 53 Ali et al., 1973: 117. 54 de Haan, 19112: 250; de Klein, 1931: 33. 55 de Haan, 19101: 38-39. 69; Raffles, 1982: 192; van Rees, 1869: 50-55. 56 Jabatan pengawas (opziener) yang diperkenalkan oleh VOC dapat dipersamakan dengan jabatan wedana-bupati pada zaman Mataram. Sesungguhnya, tahun 1691 Bupati Sumedang pernah meminta kepada VOC untuk kembnali menjadikan dirnya sebagai opziener daerah Priangan sebagaimana jabatan yang sejenis dengan itu pernah dipegang oleh kakeknya. Akan tetapi, permintaan Bupati Sumedang ini ditolak, karena VOC berpendapat bahwa semua bupati Priangan
142
memiliki kedudukan yang sama dan semuanya harus mengabdi secara langsung kepada VOC (Lubis, 1998: 32; van Rees, 1869: 87) 57 de Haan, 19101: 250; de Klein, 1931: 29-31; van Rees, 1869: 9192. 58 de Haan, 19112: 257 59 Ali et al., 1973: 79 & 84; Kartodirdjo, 1988: 246; van Rees, 1869: 79. 60 van Rees, 1869: 97. 61 Fernando dan OMalley, 1988: 239. 62 Burger, 1962: 99 63 Edisi Ekadjati, 1977: 81. 64 TPSG, 1972: 54. 65 Dalam sumber lain disebutkan bahwa utang Bupati Natadikusuma sebesar 200.000 real dan sampai tahun 1805 baru dibayar sebesar 70.000 real. Utang ini disebabkan oleh ketidakmauan Natadikusuma membayar upeti kepada pemerintah Hindia Belanda selama empat tahun (Sukardja, 2002: 146). 66 Ketika H. W. Daendels diangkat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tanggal 17 Januari 1807, situasi politik di negaranya sangat berbeda ketika VOC masih memegang kekuasaan di Hindia Belanda. Pada awal abad ke-19, Negeri Belanda dikuasai oleh Perancis sehingga pada tahun 1806 pemerintahan Bataafsche Republiek berubah menjadi Koninkrijk Holland di bawah pimpinan Lodewijk Napoleon. Perubahan ini sedikit banyaknya mempengaruhi kondisi politik di Hindia Belanda. (Bastin, 1957: 15; Coolsma, 1881: 42; Day, 1966: 147-148). 67 Kern, 1898: 33-34; van Rees, 1880: 110-111. 68 Kern, 1898: 34. 69 Selain mengatur tentang kedudukan Galuh, Peraturan tersebut mengatur wilayah Prefektur Kesultanan Cirebon, yang meliputi 12 distrik, yaitu: Lossari, Gebang, Kuningan, Cikaso, Panjalu, Matanghaji, Talaga, Rajagaluh, Sindangkasih, Bengawan Kulon, Bengawan Wetan, dan Kandanghaur (van der Chijs, 1896: 474-475; 568-569). 70 de Klein, 1931: 56. 71 de Graff, 1949: 372; Raffles, 19781: xxvi-xxvii; Ricklefs, 1981: 108-109. 72 de Klein, 1931: 159. 73 van Rees, 1896: 129. 74 de Haan, 19123: 84. 75 TPSG, 1972: 56-57. 76 de Haan, 19123: 85 77 Lubis et. al., 2000: 24. 78 VBG, XXXIX, 1880: 10. 79 Staatsblad van Nederlandsch-Indi 1819 no.9. 80 Syafrudin et al., 1993: 261. 81 Algemeen Verslag 1832, AD Cirebon 2.8, ANRI; Beschrijving der Grenzen van de Residentie Cheribon 14 Juli 1845, AD Cirebon 64.11, ANRI. 82 Behoort by Misjive van den Resident van Cheribon van den 3 November 1837 no.2006, AD Cirebon 64.9, ANRI. 83 Behoort by Misjive van den Resident van Cheribon van den 3 November 1837 no.2006, AD Cirebon 64.9, ANRI.
143
84 85
Fernando, 1982: 167. Lekkerkerker, 19381: 83-84. 86 Day, 1975: 244-245; Furnivall, 1983: 157-158; Ricklefs, 1994: 182-183. 87 Day, 1975: 244-245; Furnivall, 1983: 153. 88 Furnivall, 1983: 154. 89 Furnivall, 1983: 156-157; Ricklefs, 1994: 183-184; Vlekke, 1967: 289-291. 90 Ricklefs, 1994: 184. 91 Gonggrijp, 1949: 118-123. 92 Fasseur, 1992:.27; Gonggrijp, 1949: 115-166; Kartodirdjo dan Suryo, 1991: 57. 93 Nama indigo diduga berasal dari kata endego yang dinyatakan oleh Marco Polo ketika ia membicarakan tentang pengolahan pewarna itu di India yang dikunjunginya pada abad ke-13. Marco Polo pertama kali melihat proses pengolahan indigo di daerah Koulam (Coulan) di India yang kemudian dideskripsikan dalam catatannya. Di Koulam, indigo diproduksi dalam jumlah yang besar untuk kepentingan ekspor. Selain di daerah tersebut, indigo juga dihasilkan dalam jumlah besar di daerah India lainnya, yaitu di Guzzerat (Gujarat) dan Kambaia (Kambayet) (Everymans Library, 1923: 377, 384, 386). 94 Gonggrijp, 1949: 119; van Soest, 1869: 69-70. 95 Bleeker, 1865: 408; Fernando, 1982: 79-84. 96 Pada tahap pertama, pemerintah pusat menetapkan konsep pola industri Teisseire yang dijalankan. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa Teisseire merupakan ahli dalam industri indigo. Namun setelah beberapa waktu, hasil produksinya tidak memuaskan dan jarak antara areal penanaman dengan desa tempat tinggal pekerjanya sering menimbulkan masalah bagi pekerjanya. Berdasarkan hal itu, Elias kemudian mengusulkan untuk mencoba konsep pola industrinya dengan menjadikan Distrik Sindangkasih di Kabupaten Maja sebagai tempat uji cobanya. Setelah dicoba beberapa waktu, ternyata hasilnya lebih baik dibandingkan dengan pola industri Teisseire. Residen Elias kemudian mengusulkan kepada pemerintah pusat di Batavia untuk menjalankan pola industrinya di seluruh Keresidenan Cirebon. Setelah konsepnya disetujui oleh Batavia, Residen Elias memerintahkan kontroleur Galuh untuk melaksanakan pola baru industri indigo di kabupaten yang menjadi tanggung jawabnya (Surat Dinas Residen Cirebon kepada Kontoleur Galuh, Tanggal 28 Desember 1832 No.2951, AD Cirebon 70.6, ANRI). 97 Surat dinas Residen Cirebon pada Direktur Perkebunan tanggal 53-1832 No.547, ADK 552, ANRI; de Waal, 1845: 56. 98 Heyne, 1987: 964. 99 de Waal, 1845: 56. 100 Distrik Keppel berubah nama menjadi Distrik Rancah pada sekitar tahun 1841. Untuk selanjutnya akan digunakan nama Rancah untuk menyebut nama Distrik Keppel. 101 Extract uit het Register der Resolutien van den Gouvernor General van Nederlandsch Indie in Rade 21-12-1831; ADK 550, ANRI.
144
102
Lihat Aantooning van den Stand der Indigo Kultuur in de Residentie Cheribon, dalam surat dinas Inspektur Perkebunan Keresidenan Cirebon pada Direktur Perkebunan tanggal 19-10-1841 no.73, ADK 615, ANRI. 103 Surat dinas Residen Cirebon pada Direktur Perkebunan tanggal 23-11-1833 No.2057, ADK 564, ANRI; Fernando, 1982: 112. 104 Surat dinas Residen Cirebon pada Direktur Perkebunan tanggal 23-11-1833 No.2057, ADK 564, ANRI; Cultuur Verslag 1834, ANRI; Behoort by Misjive van den Resident van Cheribon van den 3 November 1837 No. 2006, AD Cirebon No.64.9, ANRI; Inspectie Berigt, Over de Residentie Cheribon, Gedaan in de Maanden Augustus, September en October 1838, ADK 597, ANRI; Aantooning van den Stand der Indigo Kultuur in de Residentie Cheribon, dalam surat dinas Inspektur Perkebunan Keresidenan Cirebon pada Direktur Perkebunan tanggal 19-10-1841 No.73, ADK 615, ANRI. 105 Fasseur, 1992: 70. 106 Gonggrijp, 1949: 147. 107 Fasseur, 1992: 79-80. 108 Staat der Verschillende Kultuur Intigtingen op Java onder ultimo December 1847. Indigo Kultuur. Inrigtingen, die van Wege het Gouvernement zijn daargesteld, Microfilm Archief Kolonien (Seri 6) Film nr.15, ANRI. 109 Surat dinas Residen Cirebon pada Direktur Perkebunan tanggal 16-6-1858 No. 1984, ADK 610, ANRI. 110 Fernando, 1982. op.cit., hal. 81. 111 Staat der Verschillende Kultuur Inrigtingen op Java onder ultimo December 1847. Indigo Kultuur. Inrigtingen, die van Wege het Gouvernement zijn daargesteld, Microfilm Archief Kolonien (Seri 6) Film nr.15, ANRI.