Anda di halaman 1dari 7

SEJARAH ISTANA SERUWAY

Berdasarkan sejarahnya, Istana Seruway sudah ada sejak puluhan


tahun lalu. Kerajaannya berdiri pada zaman Belanda dari abad ke-19
atau sekitar tahun 1887 Masehi. Dimana arsiteknya berasal dari
Belanda dan mendapat pengaruh melayu Deli yang sangat kuat.
Sebelumnya, istana raja tersebut bernama Istana Kesuma atau
Kerajaan Kesuma.

Terbentuknya kerajaan tersebut berasal dari perebutan kekuasan


antara Tengku Absah dan Tengku Sulung. Kejadian ini bermula
ketika Raja Mamat tengah berada di halaman kerajaan dan bermain
catur. Kala itu ia mendapat laporan dari prajuritnya bahwa pasukan
Gadjah Mada telah berlayar ke Tamiang dengan tujuan merebut
kekuasaan di sana.

Meskipun telah mendapat laporan tersebut, Raja Mamat tidak


segera bertindak dan meremehkannya dengan terus bermain catur.
Hingga kabar kedua, Raja Mamat pun tetap tidak merespon terkait
kedatangan pasukan Gadjah Mada. Barulah di kabar ketiga ia mulai
kalang kabut memikirkan tindakan yang perlu dilakukan untuk
mencegah pasukan Gadjah Mada menyerang.

Seketika itu, terlintas sebuah pemikiran di benak Raja Mamat. Ia


menemukan sebuah lumbung padi yang dapat digunakan untuk
membuat bendungan di sungai Tamiang, guna mencegah pasukan
Gadjah Mada masuk ke wilayah kerajaan. Dengan tindakannya
tersebut, Raja Mamat pun berhasil menghentikan pasukan Gadjah
Mada untuk masuk.
SEJARAH BUKIT KERANG

Berdasarkan penelitian, sekitar enam ribu hingga 10 ribu tahun lalu manusia prasejarah
datang ke Aceh Tamiang. Mereka mendiami wilayah pantai timur Sumatera. "Dan
moluska sendiri adalah bahan makanan termudah yang bisa ditemukan di sana. Dan
pada masa itu manusianya masih hidup berpindah pindah (nomaden)," kata Husaini.
Bukit kerang semacam itu, kata Husaini bukan hanya terdapat di Desa Mesjid Kecamatan
Bendahara saja, tetapi juga ditemukan di Desa Pangkalan, Kecamatan Kejuruan Muda,
Aceh Tamiang, yang dinamakan Bukit Remis. "Terdapat perbedaan sampah moluska
yang terdapat di Kecamatan Bendahara dan Desa Pangkalan. Kulit moluska yang
terdapat di Bendahara lebih tebal dibandingkan dengan yang ada di Pangkalan. Hal ini
dapat disebabkan pengaruh iklim, dan perbedaan air. Jika di Pangkalan, moluska air
tawar," ujarnya. Sebenarnya sampah prasejarah jenis itu juga pernah ditemukan di
sepanjang pesisir pantai, tetapi sampah-sampah purba itu akhirnya habis. Hanya di Aceh
Tamiang saja yang tersisa. Sedangkan di daerah lain di Aceh sudah hilang akibat
tergusur oleh bangunan dan sebab lainnya. "Di Langsa hingga Lhokseumawe pernah
ditemukan. Bahkan di Lhokseumawe sendiri pernah ditemukan kapak Sumatera,"
lanjutnya. Penelitian tentang kedua situs bukit kerang itu sudah dilakukan oleh arkeolog
luar negeri sejak zaman penjajahan Belanda. Jumlah kerang yang ada di situs Bukit
Kerang, lanjut Husaini, sudah banyak berkurang. Salah satu penyebabnya adalah
masyarakat mengambilnya untuk digunakan sebagai bahan baku kapur.
SEJARAH BANTA AHMAD

Tengku Banta Ahmad memiliki sejarah penting bagi Penyebaran Islam di pesisir
Aceh Utara dan pada Nisannya memiliki Ukiran Seni yang tinggi yang berasal dari
bahasa Urdu.
SEJARAH ISTANA ATAHASI
SEJARAH MESJID SYUHADA MANYAK PAYED
SEJARAH RUMAH ACEH HUTAN LINDUNG

Sejarah dan pemilik Rumoh Aceh ini juga ada ditulis di monumen yang berada di masing-masing
halaman sekitar rumah panggung khas adat masyarakat Aceh tersebut.
Dalam catatan monumen itu, tertulis Rumoh Aceh ini berasal dari Gampong Bantayan, Kecamatan
Simpang Ulim, Aceh Timur.
Rumah adat tersebut diperkirakan sudah berusia antara 250-300 tahun, yang dimiliki oleh saudagar
Aceh, Tgk Nya' Yusuf.
Pada masanya, rumah ini juga dijadikan tempat pengajian dan sudah ditempati secara turun temurun
beberapa ahli warisnya.
Rumoh Aceh ini masih orisinil dan dipindahkan dari tempat asilnya ke Hutan Kota pada tahun 2015.
Rumah itu merupakan hibah dari Tgk Nuriman guna dijadikan salah satu wisata sejarah.
Lalu, Rumoh Aceh satunya lagi, tertulis di monumennya adalah milik Teuku Panglima Ismail.
Rumoh Aceh ini berasal dari Trienggadeng, Pidie Jaya dan telah berdiri sejak tahun 1770 Masehi
lebih kurang.
Rumah tersebut dimiliki oleh seorang Uleebalang yaitu Teuku Panglima Ismail (Ampon Syik).
T Panglima Ismail juga anak dari seorang Panglima yaitu Panglima Nyak Blok, juga seorang
Uleebalang.
Pada masanya, Rumoh Aceh ini dijadikan tempat berkumpulnya Panglima, Bintara, dan masyarakat
dalam mengatur strategi untuk menghadapi agresi Belanda.
Pada masanya, Rumoh Aceh T Panglima Ismail ini merupakan rumah yang paling besar dan megah
di kawasan Trienggadeng, Pidie Jaya.
Pada tahun 2017, Rumoh Aceh ini dipindahkan dari Trienggadeng ke Hutan Kota Langsa untuk
dijadikan salah satu wisata sejarah.
Selama ini, wisatawan lokal maupun luar daerah yang berwisata ke Hutan Kota banyak
menghabiskan waktu bersantai maupun berselfie di Rumoh Aceh milik Uleebalang dan Saudagar
Aceh itu.

Anda mungkin juga menyukai