Kabupaten Aceh Jaya merupakan wilayah pesisir Barat pantai Sumatra dengan
panjang garis pantai lebih kurang 160 kilometer. Curah hujan rata-rata sepanjang
tahun sebesar 318,5 mm dengan jumlah hari hujan rata-rata 19 hari. Suhu udara dan
kelembaban udara sepanjang tahun tidak terlalu berfluktuasi, dengan suhu udara
minimum rata-rata berkisar antara 21,0-23,2 °C dan suhu udara maksimum rata-rata
berkisar antara 29,9-31,4 °C.
Batas wilayah
Utara Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten
Pidie, SelatanSamudera Indonesia dan Kabupaten
Aceh Barat, BaratSamudera Indonesia,
TimurKabupaten Aceh Barat.
2. SOSIAL
MANUSKRIP
TRADISI LISAN
Tradisi lisan di Kabupaten Aceh jaya terdiri atas cerita rakyat, bahasa rakyat,
teka-teki rakyat (Hiem), peribahasa rakyat (Hadis Maja), Syair Aceh (Hikayat)
berbalas pantun (Seumapa). Tradisi Tradisi lisan merupakan bagian kekuatan kultural
suatu suku bangsa.
ADAT ISTIADAT
Adat istiadat yang masih dilaksanakan di Kabupaten Aceh Jaya diantaranya adalah
Khanduri Ek Rumoh, Khanduri Dara Padee, Khanduri Trok Thon, Khanduri Syukur
Nikmat, Khanduri Laot, Khanduri Baling, Khanduri Bungong Kayee, Khanduri
Peusunat Aneuk, Khanduru Uteun, Khanduri Apam, Peutron Bijeh, Seumeuleung
Raja Daya, Upacara Perkawinan Aceh Jaya dan Upacara Peutron Tanoh (Turun
Tanah). Adat istiadat tersebut, berkaitan dengan beberapa jenis, yaitu adat istiadat
tentang tata perilaku masyarakat, adat adat istiadat terkait perilaku terhadap agama,
perkawinan, gotong-royong, dan sebagainya.
RITUS
PENGETAHUAN TRADISIONAL
TEKNOLOGI TRADISIONAL
SENI
Kesenian tradisional yang terdapat di Kabupaten Aceh Jaya meliputi Seni Tari
(Rapai Saman, Rateb Meuseukat, Ratoeh Jaroe, Tari Laweut, Tari Pho, Tari Rapai
Geleng, Tari Ranup Lampuan, dan Tari Dike Pam.
BAHASA
Masyarakat Aceh Jaya dominannya adalah suku Aceh asli sehingga bahasa yang
digunakan oleh masyarakat Aceh Jaya adalah Bahasa Aceh dan bahasa aneuk jamee.
Di Aceh Jaya terdapat 2 (dua) dialek yaitu Aceh Lamno dan Teunom.
PERMAINAN RAKYAT
OLAHRAGA TRADISONAL
Olahraga tradisional masyarakat Aceh jaya diantaranya adalah Kasti, Galah Asin,
Lari Karung, Lomba Jalo (Sampan), Silat Geuleumbang dan Sipak Bhan.
4. KERAJAAN
4.1 Penelusuran sejarah singkat Kerajaan Teunom
Saboh perjalanan sejarah Raja Teunom Teuku Nyak Ali Imum Muda Setia
Bakti Hadjat Teuku Imum Muda lahir sekitar 1850 M. Menjabat tahta sekitar 1872
M. Meninggal akibat sakit ginjal 1901 M. Nama asli Imum Muda yakni antara T
Nyak Ali atau Yusuf.
Dilanjutkan oleh Teuku Oema. Mengapa Teuku Oema yang lanjutkan.
Menarik karena darah istri kedua Teuku Imuem Muda Cut intan lebih darah
kerajaan. Cut intan istri Teuku Imum Muda berasal dari kerajaan Bubon yakni
teuku keudjreun Amin dari Bubon. Setelah itu, Teuku Oema kawin dengan anak dr
Teuku Puteh Panga. Lahirlah Teuku Sulaiman.
Nah Teuku Raja Mahmud lhok Bubon sebenarnya adalah cucu dari Teuku
Imum Tuha (ayah imum muda). Jadi kerajaan Bubon ada darah kita juga.
Teuku Raja lam ili menantu Teuku Imuem Muda sempat memimpin Teunom
setelah Imum Muda meninggal. Tapi tidak lama. Untuk masalah politik tahun 1904
T Raja lam ili kembali ke Aceh besar.
Saat Teuku Oema memimpin diyakini tahun 13/5/1907. Teuku Oema
meninggal 1938. Dan setelah itu tahun 17/2/1939, Teuku Sulaiman yang
memimpin.Teuku Sulaiman punya anak. Nyak Pulo. Tapi anaknya justru
meninggal lebih dulu daripada dia.
Menarik dari cerita anak Teuku Imum Muda dari istri pertama Cut Meredom.
Teuku Raja Pulo anak tertua. Cut Adih Baren anak kedua. Cut Adih Baren ini
adalah istri T. Raja lam ili Indrapuri. Namun Teuku Oema anak dari istri Cut Intan
justru lebih punya darah untuk diturunkan tahta padanya.
Nah, Teuku Sulaiman (pemegang tahta terakhir) punya adik yakni Cut Elok. Cut
Elok akhirnya menikah dengan Teuku Abdurrahman (kakek Teuku Reza Fahlevi)
anak Teuku Raja Abdullah.
Anak Teuku Imum Tuha ada (2) Yakni: Teuku Imum Muda dan Cut Buleun.
Nah Cut Buleun ini dikawinkan dengan Raja lhok Bubon.
Dan lahirlah Teuku Raja Mahmud Teuku raja Mahmud Uleebalang lhok Bubon
adalah keponakan dari Teuku Imum Muda.Dan pada akhirnya, anak dari Teuku
Raja Mahmud akan dikawinkan lagi dengan Teuku Oema yakni sepupunya sang
penerus tahta Teunom.
Daftar raja kerajaan Teunom
* Teuku Imum Muda,
* Teuku Raja Pulo,
* Teuku Raja Abdulullah,
* Teuku Puteh,
* Teuku Irsyad,
* Teuku Reza Fahlevi (2017).
Masa kerajaan Teunom memiliki 1 sub area seperti kabupaten di Panga dan
dipimpin satu bupati (saat itu teuku puteh panga). Teunom memiliki 4 mukim.
Masing2 dipimpin keuchik tuha peuet.
4 Mukim tersebut terdapat kampung2 yakni gampong Alue Ambang dan
Padang Kling, gampong Baro dan Pajo Baro, gampong Panton Mamoet dan Alu
Poentoeot dan Tanoh Anoe. Daerah ini dipimpin setingkat imum.
Wilayah lain masuk zona lebih kecil Seuneboe dipimpin peutuha yakni Cot
Kumbang, Gunung Lasoe dan Cot Panah. Poecok seumira dan alue meraksa.
Di panga juga ada zona Seuneboe yakni Aloe Lhok, Paja Meurega, Bate
Meutudong, sama Leuma, Rambong Jampo, Gunung Buloh, Gunung Meulinteung
dan Tuwo Eumpeuk.
Jumlah penduduk yang dapat menggunakan senjata ditahun 1900 M adalah sekitar
1.200 orang.
Meningkat menjadi 6.400 orang saat tahun 1930 M (YR Imum muda Raja Teunom
Setia Bakti.dan cicit beloau Teuku Reza pahlevi).
Negeri Daya didirikan pada tahun 1480 M dengan raja pertama “Sulthan
Salathin Alaidin Ri’ayat Syah” atau lebih dikenal dengan julukan “Po
Teumeureuhom”, atau “Cik Po Kandang” yang membawahi empat kerajaan yang di
persatukannya, yaitu:
1. Kerajaan Negeri Keuluang.
2. Kerajaan Negeri Lamno.
3. Kerajaan Negeri Kuala Unga, dan
4. Kerajaan Negeri Kuala Daya.
Kerajaan ini merupakan bagian dari kerajaan Nanggroe Aceh Darussalam yang
ditetapkan oleh Sulthanah Siti Hur Khairil Barri Wal Bahriyah yang berkuasa pada
tahun 1520 M – 1553 M.
Negeri Daya sebelumnya dikenal dengan Negeri Indra Jaya, karena pada abad
ke V masehi, di pesisir barat Aceh, kalau sekarang berada di Kuala Unga dan Pante
Ceureumen Kecamatan Jaya, Asal usul Negeri ini didirikan oleh keturunan raja
Negeri Sedu yang melarikan diri dari serbuan armada China yaitu di Panton Bie
yang sekarang masuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Besar, dalam catatan:
1. Dalam catatan Marcopolo Negeri Indra Jaya disebut dengan “DAGROIAN”,
Marcopolo sewaktu pulang dari Tiongkok singgah di negeri ini.
2. Dalam kitab Mahabrata Negeri Indra Jaya disebut dengan BHARAT.
Negeri Indra Jaya dengan pusat pemerintahannya di Kuala Unga, sangat
disayangkan sampai dua abad lamanya tidak diketahui sejarahnya, baru pada abad
ke VII Masehi pelabuhan RAMI (EL-RAMI) di Lamno Negeri Indra Jaya ramai
disinggahi kapal-kapal dagang Asing termasuk dari Negara Arab, Persia, Tiongkok
dan India, dan pada abad ke VIII Masehi pelabuhan EL-RAMI di Lamno Negeri
Daya sudah menjadi bandar yang rutin disinggahi oleh pedagang dari Negara Arab
dan Yunani.
Pada abad ke X Raja Kerajaan Perlak yaitu Meuruah Pupok dengan gelar
Teungku Sangob atau Meureuhom Unga putera Makhdum Malik Musir Ibni
Makhdum Malik Ishaq Ibni Makhdum Malik Ibrahim Johan Berdaulat, merebut
kembali pusat Pemerintahan Indra Jaya dari pendudukan armada China, tepatnya
di Gampong Keude Unga sekarang. dan pada abad ke XIV Masehi Kekuasaan
Portugis di Negeri Keuluang dilumpuhkan oleh “Sulthan Alaiddin Ri’ayat Syah”
dan membentuk Kerajaan Negeri Daya. Pada masa kepemimpinannya Negeri
Daya mengalami perubahan besar, rakyatnya hidup makmur dan sejahtera
sekaligus merupakan puncak Kejayaan Negeri Daya.
Raja Negeri Daya Sulthan Salathin Alaidin Ri’ayat Syah atau lebih dikenal
dengan “Po Teumeureuhom”, atau “Cik Po Kandang” adalah putra raja madat
“Raja Pidie” yang menakluk Negeri Darul Kamal dan Kuta Alam, dan sekarang
berada dalam wilayah Kabupaten Aceh Besar, atau dalam sejarah lebih dikenal
dengan nama “Sulthan Inayat Syah” putera raja “Abdullah Malikul Mubin”,
selanjutnya keturunan ini menjadi cikal bakal Raja-raja di Aceh Darussalam,
“Sulthan Inayat Syah” dikaruniai 3 anak laki-laki dan 2 anak perempuan, 3 orang
anak laki-laki yaitu:
Kisah Putri Hijau sendiri hingga kini belum memiliki catatan sejarah yang
pasti. Terdapat banyak versi berkembang di tengah masyarakat. Kisah Putri
Hijau lebih populer dibicarakan kalangan masyarakat Sumatera Utara atau karo.
Pasalnya, di sana terdapat sebuah prasasti peninggalan yang kerap dipercayai
memiliki ikatan sejarah kuat dengan Putri Hijau, yaitu Meriam Puntung.
Dikisahkan dalam legenda hikayat Putri Hijau, Meriam Puntung atau
Meriam Buntung dalam bahasa Karo adalah penjelmaan dari adik Putri Hijau
dari Kerajaan Haru yang memerintah sekitar tahun 1594. Meriam Puntung ini
berada di dalam komplek Istana Maimun, Medan dan kerap diziarahi warga.
Dikutip dari berbagai sumber, dikisahkan suatu hari pada masa itu Putri Hijau
mendapatkan pinangan dari Sultan Aceh, tetapi pinangan itu ditolak sehingga
membuat Raja Aceh betul-betul marah hingga memutuskan untuk menyerang
Kerajaan Haru.
Lalu Sultan Aceh mengirimkan Panglima Gocah Pahlawan untuk
menyerang Kerajaan Haru. Tapi karena bentengnya sangat kokoh, pasukan
Aceh gagal menembusnya. Menyadari jumlah pasukannya makin menyusut
setelah banyak yang terbunuh, panglima-panglima perang Aceh memakai siasat
baru. Mereka menyuruh prajuritnya menaburi uang emas ke arah prajurit
benteng yang bertahan di balik pintu gerbang.
Suasana menjadi tidak terkendali karena para penjaga benteng itu
berebutan uang emas dan meninggalkan posnya. Ketika mereka tengah sibuk
memunguti uang emas, tentara Aceh menerobos masuk dan dengan mudah
menguasai benteng.Pertahanan terakhir yang dimiliki adalah Meriam Puntung.
Tapi karena ditembaki terus-menerus, meriam ini pun menjadi panas, meledak,
terlontar, dan terputus dua.
Sementara Sang Puteri Hijau dibawa oleh kakaknya yang berubah menjadi
ular besar ke atas punggungnya dan menyelamatkan diri melalui sebuah terusan
memasuki Sungai Deli, dan langsung ke Selat Malaka. Hingga sekarang kedua
kakak beradik ini dipercaya menghuni sebuah negeri dasar laut di sekitar Pulau
Berhala.
Versi lain menyebutkan bahwa Puteri Hijau sempat tertangkap dia ditawan
dan dimasukkan dalam sebuah peti kaca yang diangkut ke dalam kapal untuk
dibawa ke Aceh. Ketika kapal sampai di Ujung Jambo Aye, Aceh Utara, Putri
Hijau memohon diadakan satu upacara untuknya sebelum peti diturunkan dari
kapal. Atas permintaannya, dia diberikan berkarung-karung beras dan
beribu-ribu telur.
Tetapi setelah beberapa saat upacara dimulai, tiba-tiba berembus angin
yang maha dahsyat, disusul gelombang tinggi dan ganas. Dari dalam laut
muncul jelmaan saudaranya, ular besar. Lalu Putri Hijau dilarikan ke dalam laut
dan mereka bersemayam di perairan Pulau Berhala.
Gambar 6.1.1, rumah aceh di kampong Lamno gambar 6.1.2 letak kampong
lamno
Rumah adat Aceh ini terletak di Gampong Ketapang Lamno, Aceh Jaya.
Belasan tiang penyangga rumah (Aceh: tameh) masih berdiri tegak menopang
bangunan yang berkonstruksi kayu tersebut.
“Rumah ini dibina pada tahun 1952. Hal tersebut bisa kita lihat dari
ukiran kaligrafi yang ada pada dinding rumahnya. Di Lamno masih banyak
bangunan Rumoh Aceh yang full ukiran. Termasuk rumah ini yang terpahat
ukiran ayat kursi di pintu masuk. Namun sayang, sang pemilik rumah hampir
10 tahun tidak menempatinya,” ujar Koordinator LSM Peusaba, Mawardi
Usman AB, kepada portalsatu.com, Minggu, 28 September 2015 malam.
Gambar 6.1.3 Ukiran Kaligrafi pada dinding interior gambar 6.1.4 ukiran kaligrafi
pada pintu
Selain ukiran ayat kursi, di rumah ini juga terdapat beberapa ukiran
kaligrafi lainnya. Di dalam rumah juga terdapat ragam perabotan rumah
tangga. Salah satunya seperti lemari klasik tiga pintu berwarna coklat muda
dan guci yang terbuat dari tanah.
“Rumah adat ini belum masuk dalam cagar budaya yang dilindungi.
Namun, kita berharap agar pemerintah setempat mau menyosialisasikan
kepada pemilik agar tidak merusak rumah ini,” ujarnya.
Tim Peusaba juga berharap juga berharap agar pemerintah mau
merenovasi rumah ini agar menjadi destinasi wisata yang juga menjaganya
dari ambang kepunahan. “Karena juga motif dan kaligrafinya sangat indah dan
hal ini jarang kita temukan yang memiliki khas ukiran Aceh,” katanya.
Gambar
6.2.3 bangunan pemakaman gambar 6.2.4 kuburan keturunan raja-raja
SAYANG SEKALI
Sebenarnya ada banyak bangunan bersejarah yang dapat kami sajikan untuk
menjadi bahan penelitian ciri khas bangunan adat aceh jaya namun bencana Tsunami
yang terjadi pada tahun 2004 telah merenggut jejak jejak bersejarah di aceh jaya,
sehingga menyulitkan kami untuk mencari gambar-gambar dari peninggalan tersebut.
Gambar A.2 topi adat yang dipakai gambar A.3 topi adat yg ada di kantor bupati
bupati aceh jaya Azhar Abdurahman aceh jaya
kantor bupati aceh jaya menggunakan topi adat aceh sebagai bagian yang
menonjolkan konsep desain arsitektur tradisional. Topi ini juga menjadi vocal point
pada bangunan karena berbentuk seperti kubah bangunan.
Gambar A.4 ukiran pintu khop pada dinding dan ukiran di bawah atap
Pada bangunan DPRK Aceh jaya terlihat beberapa bagian yang menunjukkan
arsitektur tradisional.
a) Atap bertumpuk
b) Ukiran di bawah atap
Ukiran, berdasarkan data yang kami dapatkan setiap bangunan yang ada di aceh
jaya selalu memiliki ukiran. Baik itu di fasad bangunan maupun di bagian
dalam. Hal ini menandakan tingginya nilai estetis masyarakat aceh jaya dulu.
Gambar 3 ukiran di
kantor bupati gambar 4 ukiran di atap rumah aceh lamno
Gambar5 ukiran di interior rumah aceh lamno gambar6 ukiran di interior pintu
rumah aceh lamno
Atap Pelana, berdasarkan data yang kami dapatkan setiap bangunan tradisional
aceh jaya menggunakan atap pelana.
Tangga masuk, sebelum memasuki bangunan tradisional aceh jaya selalu
terdapat tangga masuk yang jumlahnya selalu berjumlah ganjil.
Gambar8 tangga pada gedung KLHP Gambar9 tangga pada gedung DPRK
https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Aceh_Jaya
http://kongres.kebudayaan.id/kabupaten-aceh-jaya/
Nasshruddin, Boy. (2015). Ukiran Kaligrafi Terpahat Rapi di Rumoh Aceh Kawasan
Lamno
https://archives.portalsatu.com/budaya/ukiran-kaligrafi-terpahat-rapi-di-rumoh-aceh-k
awasan-lamno/ diakses pada 4 juni 2019