Anda di halaman 1dari 6

Kuburan Po Teumeurehom Daya

Po Teumeurehom Daya (Sultan Alaiddin Riatsyah) adalah keturunan raja-raja Aceh yang terkenal pada abad 17.
Pada setiap Hari Raya Idul Adha, di makam ini diadakan upacara "Seumeuleng" yaitu suatu upacara untuk
memperingati Sultan Alaiddin Riatsyah (Po Teumeurehom Daya) yang dilaksanakan oleh keturunan-keturunan
beliau sampai sekarang. Seluruh masyarakat dari dalam maupun luar Kecamatan Jaya datang untuk
menyaksikan upacara Seumuleueng itu, karena cukup unik dan tidak ada di daerah lain.

Sajian upacara tersebut terdiri dari makanan adat seperti Bu Yapan, Kuah Rayeuk, Takeeh U, Kuah Pengat dan
lauk-pauk lainnya yang dimasak di Gampong Meunasah Rayeuk. Ada mitos kalau Kuah Rayeuk itu dimasak di
gampong lain maka kemungkinan akan mendatangkan musibah. Maka ditetapkanlah masakan kuah rayeuk itu di
Gampong Meunasah Rayeuk. Kuah itu untuk dimakan bersama di Balairung atau Askara. Balai itu dibangun di
kaki gunung yang tidak begitu jauh dengan kompleks makam Po Termeureuhom.

Hari itu, keturunan Po Teumeureuhom berkumpul di Balairung dengan memakai pakaian kebesaran dengan
dominasi hitam, pakai tengkuluk, kain selempang yang panjangnya mencapai tiga meter lebih dan menggunakan
sebilah pedang tanda kebesaran, masyarakat sangat beruntung bila Nasi Yapan dapat diperoleh dan merasa
bersedih apabila nasi tidak didapatnya. Nasi Yapan adalah nasi yang dimakan keluarga Po Teumeureuhom
masa dulu, yang diyakini masyarakat setempat kalau memakan nasi tersebut akan mendapat barakah dan bagi
anak-anak dengan memakan nasi tersebut dapat terjaga dari bermacam-macam gangguan makhluk halus dan
terhindar dari penyakit. https://www.facebook.com/notes/sejarah-aceh/wisata-sejarah-aceh-
jaya/314061183540/

Merupakan sebuah puing bangunan bekas Kantor Bupati Aceh Jaya yang tidak roboh pada saat gempa bumi
dan gelombang tsunami 2004. Menjadi bukti sejarah dahsyatnya gelombang tsunami yang banyak menelan
korban. Bangunan ini sekarang dijadikan Monument Tsunami, juga objek dan daya tarik wisata bagi yang
berkunjung ke Calang.

https://sultansinindonesieblog.wordpress.com/sumatera/teunom-kerajaan-aceh/

Teunom, kerajaan / Sumatera – Prov. Aceh


Kerajaan Teunom terletak di Kab. Aceh Jaya, kecamatan Teunom, Kab. Aceh Jaya, prov. Aceh.
Saat kesultanan Aceh kerajaan itu merupakan vasal atau bawahan sultan Aceh dan dipimpin oleh raja yang
bergelar Uleebalang.
Setelah berakhirnya Perang Aceh, tahun 1914, Teunom masuk Onderafdeling Calang, sebagai “swapraja”.
The kingdom of Teunom Wa located on Sumatera, District Aceh Jaya, Kab. Aceh Jaya, prov. Aceh.
During the sultanate of Aceh this kingdom was a vassal or subordinate to the sultan of Aceh and was led by the
king who had the title of Uleebalang.
After the end of the Aceh War, in 1914, Teunom entered Onderafdeling Calang, as “swapraja”.
For english, click here
Sejarah Kerajaan Teunom
Pada awalnya di Aceh in telah banyak berdiri kerajaan-kerajaan kecil, tersebar di seluruh daerah Aceh. Di Aceh
Besar sekarang, berdiri Kerajaan Indra Patra dan Indra Purba. Di Pidie Kerajaan Pedir, di Aceh Tengah Kerajaan
Lingga (Linge) dan Kerajaan-kerajaan kecil Daya di Lamno, Kerajaan Teunom di Teunom, Kerajaan Trumon di
Trumon serta Kerajaan-kerajaan kecil lainnya di Daerah Singkil dan Aceh Tenggara.
Pada zaman penjajahan Belanda, wilayah Kabupaten Aceh Jaya sekarang ini merupakan onderafdeeling dari
Afdeeling Westkust van Atjeh (Aceh Barat), salah satu dari empat afdeeling Wilayah Kresidenan Aceh. Afdeeling
Westkust van Atjeh merupakan suatu daerah administratif yang meliputi wilayah pantai barat Aceh dari Gunung
Geurute sampai daerah Singkil dan Kepulauan Simeulue. Afdeeling ini dibagi menjadi enam onderafdeeling,
yaitu:

1. Meulaboh dengan ibukotanya Meulaboh.


2. Tjalang, dengan ibukotanya Tjalang (sebelum tahun 1910 ibukotanya adalah Lhok Kruet). Landschapnya
meliputi Keulueng, Kuala Daya, Lambeusoi, Kuala Unga, Lhok Kruet, Patek, Lageun, Rigaih, Krueng Sabee,
dan Teunom.
3. Tapak Tuan dengan ibukotanya Tapak Tuan
4. Simeulue dengan ibukotanya Sinabang.
5. Zuid Atjeh dengan ibukotanya Bakongan
6. Singkil dengan ibukotanya Singkil.
Raja Teuku Uma dari Teunom (1901-38)

Tulisan di bawah oleh Adi Fa, dipublikasikan di Facebook, Atjeh Gallery


.
Penelusuran sejarah singkat Kerajaan Teunom.
Saboh perjalanan sejarah Raja Teunom Teuku Nyak Ali Imum Muda Setia Bakti Hadjat
Teuku Imum Muda lahir sekitar 1850 M. Menjabat tahta sekitar 1872 M. Meninggal akibat sakit ginjal 1901 M.
Nama asli Imum Muda yakni antara T Nyak Ali atau Yusuf.
Dilanjutkan oleh Teuku Oema. Mengapa Teuku Oema yang lanjutkan. Menarik karena darah istri kedua Teuku
Imuem Muda Cut intan lebih darah kerajaan. Cut intan istri Teuku Imum Muda berasal dari kerajaan Bubon yakni
teuku keudjreun Amin dari Bubon. Setelah itu, Teuku Oema kawin dengan anak dr Teuku Puteh Panga. Lahirlah
Teuku Sulaiman.
Nah Teuku Raja Mahmud lhok Bubon sebenarnya adalah cucu dari Teuku Imum Tuha (ayah imum muda). Jadi
kerajaan Bubon ada darah kita juga.
Teuku Raja lam ili menantu Teuku Imuem Muda sempat memimpin Teunom setelah Imum Muda meninggal. Tapi
tidak lama. Untuk masalah politik tahun 1904 T Raja lam ili kembali ke Aceh besar.
Saat Teuku Oema memimpin diyakini tahun 13/5/1907. Teuku Oema meninggal 1938. Dan setelah itu tahun
17/2/1939, Teuku Sulaiman yang memimpin.
Teuku Sulaiman punya anak. Nyak Pulo. Tapi anaknya justru meninggal lebih dulu daripada dia.
Menarik dari cerita anak Teuku Imum Muda dari istri pertama Cut Meredom. Teuku Raja Pulo anak tertua. Cut
Adih Baren anak kedua. Cut Adih Baren ini adalah istri T. Raja lam ili Indrapuri. Namun Teuku Oema anak dari
istri Cut Intan justru lebih punya darah untuk diturunkan tahta padanya.
Nah, Teuku Sulaiman (pemegang tahta terakhir) punya adik yakni Cut Elok. Cut Elok akhirnya menikah dengan
Teuku Abdurrahman (kakek Teuku Reza Fahlevi) anak Teuku Raja Abdullah.
Anak Teuku Imum Tuha ada (2) Yakni: Teuku Imum Muda dan Cut Buleun.
Nah Cut Buleun ini dikawinkan dengan Raja lhok Bubon.
Dan lahirlah Teuku Raja Mahmud Teuku raja Mahmud Uleebalang lhok Bubon adalah keponakan dari Teuku
Imum Muda.
Dan pada akhirnya, anak dari Teuku Raja Mahmud akan dikawinkan lagi dengan Teuku Oema yakni sepupunya
sang penerus tahta Teunom.
Daftar raja kerajaan Teunom
* Teuku Imum Muda,
* Teuku Raja Pulo,
* Teuku Raja Abdulullah,
* Teuku Puteh,
* Teuku Irsyad,
* Teuku Reza Fahlevi (2017).
Masa kerajaan Teunom memiliki 1 sub area seperti kabupaten di Panga dan dipimpin satu bupati (saat itu teuku
puteh panga). Teunom memiliki 4 mukim. Masing2 dipimpin keuchik tuha peuet.
4 Mukim tersebut terdapat kampung2 yakni gampong Alue Ambang dan Padang Kling, gampong Baro dan Pajo
Baro, gampong Panton Mamoet dan Alu Poentoeot dan Tanoh Anoe. Daerah ini dipimpin setingkat imum.

Wilayah lain masuk zona lebih kecil Seuneboe dipimpin peutuha yakni Cot Kumbang, Gunung Lasoe dan Cot
Panah. Poecok seumira dan alue meraksa.

Di panga juga ada zona Seuneboe yakni Aloe Lhok, Paja Meurega, Bate Meutudong, sama Leuma, Rambong
Jampo, Gunung Buloh, Gunung Meulinteung dan Tuwo Eumpeuk.
Jumlah penduduk yang dapat menggunakan senjata ditahun 1900 M adalah sekitar 1.200 orang.
Meningkat menjadi 6.400 orang saat tahun 1930 M (YR Imum muda Raja Teunom Setia Bakti.dan cicit beloau
Teuku Reza pahlevi).

Peta kerajaan kecil di Aceh 1917

https://kumparan.com/@kumparannews/jejak-legenda-putri-hijau-di-aceh

Pendapat Para Ahli


Dikisahkan dalam rangka perebutan kekuasaan terutama di perairan Selat Malaka.
Pada saat itu semua orang ingin merebut kawasan Selat Malaka karena dianggap
sebagai kawasan strategis jalur masuk lalulintas Internasional.
Ketika mereka ingin merebut itu setiap orang menunjukkan kekuasaannya. Di sana
ada Portugis, Belanda, dan Aceh. Pada saat itu Aceh menunjukkan kekuatan besar,
salah satunya juga ingin memperebutkan seorang putri dari kerajaan lain.
Pada saat itu ada tiga kawasan Aceh yang paling besar, ada kawasan inti, daerah
taluk, dan daerah fazar. Daerah taluk, adalah daerah-daerah yang ditaklukkan
kemudian. Sehingga kekuasaannya besar dan luas dan berlanjut sampai dengan
pemerintahan raja-raja berikutnya.
Sampai pada saat masa kerajaan Aceh melemah, banyak daerah-daerah lain
melepaskan diri tapi kemudian masih ada kekuatan-kekuatan Aceh. Salah satu
caranya dengan menjalin hubungan perkawinan. Ada orang yang menikah dengan
putri Aceh, dan juga orang Aceh menikah dengan putri di luar Aceh.
“Termasuklah seperti daerah Deli, Siak, Arokan, Haru, dan Pariaman. Semua itu
adalah kekuasaan Aceh sebenarnya, jadi ada kekuatan sehingga timbul cerita yang
melegenda yaitu tentang Putri Hijau,” kata Dr Husaini Ibrahim, dosen Ilmu Sejarah,
FKIP Unsyiah, saat ditemui kumparan (kumparan.com) di rumahnya, Sabtu
(27/1).
Merujuk pada silsilah keturunan raja Aceh seperti dalam buku “Tarikh Aceh dan
Nusantara” halaman 576, disebutkan Putri Hijau adalah anak dari Raja Putri yang
menikah dengan Sulthan Mansyursyah bin S. Ahmad Perak. Keturunan Sulthan Ala
Uddin Riayat Syah atau Saidin Mukammil. Beliau memiliki Enam orang anak,
Maharaja Diraja, Raja Putri, Puteri Diraja Indra Ratna Wangsa, Mahmud Syah, Raja
Hussain Syah, dan Meurah Upah.
“Salah satu di antaranya adalah Putri dari Raja Puteri yaitu Putri Hijau kemudian
menikah dengan Raja Umar S Abdul Jalil Johor yang kemudian melahirkan
keturunan Radja Hasjim. Jadi saya lebih yakin yang dimaksud dengan Putri Hijau
seperti legenda yang berkembang hari ini adalah Putri Hijau yang dimaksud dalam
silsilah ini,” kata Husaini.
Berdasarkan hasil bacaannya, Husaini mengatakan silsilah tersebut masih
berhubungan dengan Sultan Iskandar Muda, karena Putri Hijau adalah anak dari
Raja Puteri sementara Sultan Iskandar Muda anak dari Puteri Diraja Indra Ratna
Wangsa.
“Raja Puteri dan Puteri Diraja Indra Ratna Wangsa adalah adik kakak. Sementara
Putri Hijau dan Sultan Iskandar Muda mereka adalah sepupuan.”
Kendati demikian, Husaini tidak menepis bahwa cerita tentang Putri Hijau memiliki
banyak versi, sebutnya, hal itu biasa terjadi dalam sejarah. Ketika ada cerita yang
dianggap memiliki kekuatan batin maka orang menganggap sebagai semacam
legenda.
“Hal ini bisa digali dan untuk melihat tentang kebenaran legenda dalam sejarah atau
sastra sejarah harus sangat berhati-hati. Karena ini bisa memisahkan antara fakta
dengan mitos yang berkembang. Namun demikian cerita ini sangat penting sebuah
sejarah menjadi besar juga karena ada legenda,” tambahnya.
Husaini melihat, sejarah tentang Puteri Hijau adalah sebuah fakta sejarah namun
memang belum ada bukti secara sains. Maka dari itu, beberapa ahli sejarah di Aceh
saat ini sedang menggali termasuk menelusuri jejak-jejak perjuangan Puteri Hijau
apakah di Aceh ataupun di Sumatera Utara.
“Kalau di Aceh khususnya di Gampong Pande ada makam Putri Hijau dan di Lamuri
di kawasan bukit Lamreh, Aceh Besar ada kolam Putroe Ijo dan kita akan menelusuri
ke sana. Saya sangat meyakini hal ini adalah sejarah fakta bukan legenda namun
harus ditelusuri dengan berbagai sumber yang ada.”
Sementara itu, Ketua Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (Mapesa), Mizuar Mahdi
menyebutkan kisah tentang Putri Hijau belum memiliki dokumen autentik. Kisah itu
hanya ada dalam cerita hikayat atau legenda.
“Belum ada bukti yang ditemukan untuk bisa dipertanggung jawabkan,” kata Mizuar
kepada kumparan.
Ia menceritakan, berdasarkan hasil bacaan dan temuannya selama ini
tidak ada makam yang menyebutkan Putroe Ijo seperti yang tertera di
Gampong Pande saat ini. Makam di sana sudah ada dari abad 16,
sedangkan penamaan komplek makam tersebut dengan Putroe Ijo baru
muncul sekitar tahun 1970-1980.
“Merujuk ke peta yang digambar Belanda akhir abad 19 dan awal abad
20, buka Putroe Ijo nama komplek makam itu. Tetapi komplek kandang
Raja kalau tidak salah saya,” ujarnya.

BANDA ACEH – Rumah adat Aceh itu terletak di Gampong Ketapang Lamno, Aceh
Jaya. Belasan tiang penyangga rumah (Aceh: tameh) masih berdiri tegak menopang
bangunan yang berkonstruksi kayu tersebut.

“Rumah ini dibina pada tahun 1952. Hal tersebut bisa kita lihat dari ukiran kaligrafi
yang ada pada dinding rumahnya. Di Lamno masih banyak bangunan Rumoh Aceh
yang full ukiran. Termasuk rumah ini yang terpahat ukiran ayat kursi di pintu
masuk. Namun sayang, sang pemilik rumah hampir 10 tahun tidak menempatinya,”
ujar Koordinator LSM Peusaba, Mawardi Usman AB, kepada portalsatu.com, Minggu,
28 September 2015 malam.

Selain ukiran ayat kursi, di rumah ini juga terdapat beberapa ukiran kaligrafi
lainnya. Di dalam rumah juga terdapat ragam perabotan rumah tangga. Salah
satunya seperti lemari klasik tiga pintu berwarna coklat muda dan guci yang terbuat
dari tanah.

“Rumah adat ini belum masuk dalam cagar budaya yang dilindungi. Namun, kita
berharap agar pemerintah setempat mau menyosialisasikan kepada pemilik agar
tidak merusak rumah ini,” ujarnya.

Tim Peusaba juga berharap juga berharap agar pemerintah mau merenovasi rumah
ini agar menjadi destinasi wisata yang juga menjaganya dari ambang kepunahan.
“Karena juga motif dan kaligrafinya sangat indah dan hal ini jarang kita temukan
yang memiliki khas ukiran Aceh,” katanya.[]

https://archives.portalsatu.com/budaya/ukiran-kaligrafi-terpahat-rapi-di-rumoh-aceh-
kawasan-lamno/

Anda mungkin juga menyukai