Anda di halaman 1dari 5

Asta tinggi adalah kawasan pemakaman khusus para Pembesar/Raja/Kerabat Raja yang teletak di

kawasan dataran tinggi bukit Kebon Agung Sumenep. Dalam Bahasa Madura, Asta Tinggi disebut juga
sebagai Asta Rajâ yang bermakna makam para Pangradjâ (pembesar kerajaan) yang merupakan
asta/makam para raja, anak keturunan beserta kerabat-kerabatnya yang dibangun sekitar tahun 1750M.
Asta berarti makam atau kuburan, dan tinggi di sini menunjukkan lokasi makam yang berada di daerah
perbukitan. Jadi, Asta Tinggi merupakan kompleks pemakaman bagi Raja Sumenep beserta keluarganya
di dataran tinggi.

Asta Tinggi merupakan salah satu ikon utama kabupaten SUMENEP. Keberadaannya yang satu paket
dengan bangunan keraton di Pajagalan dan masjik Jamik di Bangselok, merupakan karya monumental
dinasti terakhir Sumenep.

Pada mulanya Asta Tinggi hanya merupakan kawasan yang berupa dataran tinggi, dan hutan belantara.
Kawasan itu dahulu tak berpenghuni. Menurut kisah sesepuh Sumenep, di sana kerap dijadikan tempat
menyepi para tokoh-tokoh Sumenep.

Adapun keberadaan kompleks pemakaman itu sebenarnya sudah ada sejak abad ke-16, tetapi baru
mulai ada pembangunan yang seperti dilihat sekarang dimulai pada 1750 Masehi yang mulai pada masa
pemerintahan Panembahan Sumala, lalu dilanjutkan pada masa pemerintahan Sultan Abdurrahman
Pakunataningrat yang merupakan putra dari raja panembahan sumala.Tidak sampai disitu,
pambangunan Asta tinggi terus berlanjut lagi pada masa pemerintahan Panembahan Natakusuma II.

Luas areal kompleks pemakamanb Asta Tinggi berukuruan 112,2 meter x 109,25 meter, dikelilingi
tembok yang hanya terdiri dari batu kapur yang tersusun rapi tanpa adukan semen dan pasir. Arsitektur
bangunan yang ada di makam tersebut dipengaruhi oleh kebudayaan dari beberapa daerah (Belanda,
Arab, China maupun Jawa) kendati sekilas kebudayaan Hindu masih kelihatan menonjol.

Asta Tinggi sendiri memiliki 7 kawasan, yaitu.1. Kawasan Asta Induk, terdiri dari :Kubah Sultan
Abdurrahman Pakunataningrat I,Kubah Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro ( Bendoro Saod ),Kubah
Kanjeng Tumenggung Ario Cokronegoro III ( Pangeran Akhmad atau Pangeran Djimat ) , yang kubahnya
tersebut berasal dari Pendopo Kraton Pangeran Lor/Wetan,Pangeran Pulang Djiwo yang kubahnya
tersebut juga berasal dari Kraton Pangeran Lor/Wetan,Pemakaman Istri-istri serta selir Raja-Raja
Sumenep,.2. Kawasan Makam Ki Sawunggaling Konon diceritakan bahwa K. Saonggaling adalah pembela
Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro (Bendoro Moh. Saod) pada masa terjadinya upaya
kudeta/perebutan kekuasaan oleh Patih Purwonegoro),.3.Kawasan Makam Patih Mangun,.4. Kawasan
Makam Kanjeng Kai/Raden Adipati Suroadimenggolo Bupati Semarang (mertua Sultan Abdurrahman
Pakunataningrat I),.5. Kawasan makam Raden Adipati Pringgoloyo / Moh. Saleh, dimana dia tersebut
pada masa hidupnya menjabat sebagai Patih pada Pemerintahan Panembahan Somala dan Sultan
Abdurrahman Pakunataningrat I,.6. Kawasan Makam Raden Tjakra Sudibyo, Patih Pensiun Sumenep,.7.
Kawasan Makam Raden Wongsokoesomo.

Hingga detik ini, Asta Tinggi yang terletak di desa Kebunagung, Kecamatan Kota Sumenep itu tidak
pernah sepi dari peziarah. Baik yang sifatnya “berpariwisata” religi, maupun sekadar menikmati sisa
kebesaran masa lalu para tokoh legendaris bumi Jokotole.
Sampe dinnak. Mik korang nyareh ka bebe

Asta Tinggi dahulu merupakan kawasan yang berupa dataran tinggi, dan hutan belantara. Kawasan itu
dahulu tak berpenghuni. Menurut kisah sesepuh Sumenep, di sana kerap dijadikan tempat menyepi para
tokoh-tokoh Sumenep.

“Raja (adipati; red) Sumenep sejak abad 17 sudah ada yang menyepi di sana,” kata R. B. Ja’far Shadiq,
salah satu pemerhati sejarah di Sumenep

Dalam catatan sejarah, yang disebut pertama kali ialah Pangeran Lor I. Sang pangeran ini memerintah
Sumenep antara tahun 1562-1567 M. Beliau adalah putra Tumenggung Kanduruan, adipati Sumenep
memerintah pada 1559-1562 M. Kanduruan ialah salah satu putra dari Raden Fatah, Sultan Demak
pertama.

Di masa dulu, karena dataran tinggi, kawasan Asta Tinggi juga menjadi lokasi untuk melihat awal bulan.
“Di tempat itu ada pohon Nangger yang dikenal dengan nama Nangger Pangongngangan. Dulu biasa
dipakai orang untuk ngongngang atau melihat datangnya awal bulan,” cerita Ja’far, yang juga anggota
Komunitas Ngopi Sejarah (Ngoser) ini.

Menjadi makam pertama Pembesar asal Jepara

Sesuai tertib penempatan makam, maka kubah pertama di bagian kompleks Asta lama merupakan
makam pertama yang ada di Asta Tinggi.

Makam itu ialah pasarean Pangeran Anggadipa. Mas Tumenggung Anggadipa, putra adipati Jepara
ditunjuk oleh Mataram untuk mengisi kevakuman pemerintahan di Sumenep. Kala itu sang ahli waris,
yaitu Raden Bugan alias Wongsojoyo (kelak bernama Tumenggung Yudonegoro), masih di bawah umur
dan berada di Jawa.

Anggadipa memerintah di Sumenep sejak 1626-1644 M. Beliau menikah dengan putri Panembahan
Lemah Duwur, raja Madura Barat. Meski pendatang, Anggadipa sangat dekat dengan rakyat. Rakyat
bahkan sangat mencintainya. Demikian juga Anggadipa. Saking cintanya dengan Sumenep, bahkan saat
selesai atau purna tugasnya sebagai pengganti kevakuman di Sumenep, ia tidak kembali ke Jepara
hingga akhir hayatnya.

Anggadipa juga dikenal sebagai pembangun Masjid al-Mu’min atau Masjid Laju (Masjid Lama), di tahun
1639 M. Masjid ini merupakan masjid pertama di kawasan kota Sumenep. Dan berada di kelurahan
Kepanjin saat ini.

“Setelah Anggadipa dimakamkan di asta Tinggi, selanjutnya banyak raja-raja Dinasti Yudonegoro yang
juga dimakamkan di sana. Salah satunya yang satu kubah dengan Anggadipa adalah Pangeran
Pulangjiwo, salah satu raja Sumenep yang terkenal,” kata R. B. Ruska, Kepala Asta Tinggi.

Dibangun Dinasti Saot


Sejak awal abad 18, kawasan Asta Tinggi hanya ada dua kubah. Yaitu Kubah Pangeran Pulangjiwa dan
Kubah Pangeran Jimat.

Di masa Pangeran Jimat, cucu Pulangjiwo, di Asta Tinggi sudah mulai dibentuk loloran, yaitu sistem
penjagaan di kawasan makam raja dan keluarganya.

“Jadi ya jangan dibayangkan saat itu sudah seperti Asta Tinggi saat ini. Belum ada pagar pembatas,” kata
Ruska.

Baru di masa Panembahan Sumolo, putra Bindara Saot dibangunlah kawasan tersebut dan diberi nama
Asta Tinggi. Pagarnya berupa susunan batu tanpa campuran perekat atau lolo. Konon itu merupakan
karya waliyullah besar Sumenep dari Ambunten, yaitu Kiai Demang Singoleksono alias Kiai Macan.

Kiai Singoleksono ini adalah keturunan Pangeran Pulangjiwo, Raja Sumenep. Ayah Singoleksono, yaitu
Raden Demang Singowongso adalah cicit Pulangjiwo. Singowongso sendiri adalah putra Raden Demang
Wongsonegoro, Patih Sumenep legendaris di masa Pangeran Jimat.

Di masa Sultan Abdurrahman, putra Sumolo, bangunan Asta Tinggi diperluas. Yaitu bangunan Asta Raja
di sebelah timur, yang hanya ada satu kubah. Pembangunan asta baru selesai di masa Panembahan
Mohammad Saleh, putra Sultan.

“Peletakan piala di pintu gerbang Asta Raja itu di masa Panembahan Mohammad Saleh,” ujar Ruska.

Dijaga Oleh Prajurit Pilihan

Asta Tinggi sejak masa Sultan Abdurrahman (1811-1854 M) dipercayakan pada abdi dalem yang dikenal
dengan istilah Kaji. Dengan kata lain, kaji merupakan sebutan bagi para penjaga asta sejak masa Sultan
Sumenep. Kaji bukan sebutan untuk satu orang, namun satu kelompok.

Ada 8 kelompok berdasar pembagiannya, sehingga otomatis juga ada 8 kaji di kawasan Asta Tinggi. Nah,
dari 8 kaji itu ada 1 pimpinan utama yang disebut Loloran atau disingkat Lora.

“Lora ini memiliki wakil yang disebut Kabajan,” kata Ruska.

Sebenarnya, menurut penuturan Ruska, dalam literatur yang lebih kuna, penjaga Asta Tinggi sudah ada
sejak masa pemerintahan Pangeran Rama (1678-1709 M). Namun, sistemnya lebih tertata sejak masa
Sultan Abdurrahman.

Penunjukan para kaji dan sekaligus lora itu dilakukan langsung oleh Sultan Abdurrahman. Mereka dipilih
dari para prajurit yang setia dan pilih tanding. “Dalam hal teknis sekalipun, itu langsung berasal dari titah
raja,” jelas Ruska.

Bahkan menurut Ruska, pada zaman para kaji dan lora itu hanya tunduk pada perintah raja, bukan pada
yang lain. Apakah itu kerabat atau anak raja sekalipun, sehingga rahasia-rahasia yang terjadi di masa
kerajaan tersimpan rapat.
“Dan sebagai imbalan kesetiaannya, mereka diberi tanah oleh sang raja dengan sistem hak pakai, yang
diwariskan turun-temurun,” tambahnya.

Seperti yang diketahui, ada 8 kaji di Kompleks Pemakaman Raja-raja Sumenep atau Asta Tinggi. Yaitu
Kaji Senga’, Kaji Buddhi, Kaji Nangger, Kaji Makam, Kaji Jhajabangsa, Kaji Jhaja Addur, Kaji Sekkar, dan
Kaji Langghar.

Kedelapan nama tersebut jika dirangkai, maka bunyi dan maknanya dalam bahasa Madura ialah: “Senga’
sopaja’a ekataoe, jha’ e budina Asta Tengghi areya bada bungkana nanggher, e seddhi’anna nanggher
bada kobhuranna oreng se abillai kajhajaan bhangsa tor abhillai agama. Iya sopaja esekkare, mon ta’
sempat, keba keyae soro duwa’aghi”.

Menjadi Lokasi Peringatan Perjuangan

Sebelum Taman Makam Pahlawan (TMP) Sumenep dipugar, pelataran di luar komplek utama Asta Tinggi
biasa digunakan oleh pemerintah daerah untuk kegiatan seremonial, seperti renungan suci setiap
Agustusan, dan upacara peringatan Hari Pahlawan.

Tahun 1960-an saat posisi Kepala Penjaga Asta Tinggi diduduki oleh R. B. Ibrahim, di sekitar kompleks
mulai diberi penghijauan. Menurut cucu Ibrahim, R. B. Ruska, yang ditanam berupa pohon cemara.

“Mungkin agar lebih teduh ketika digunakan untuk kegiatan seremonial itu,” jelasnya beberapa waktu
lalu.

Asta Tinggi memiliki 7 kawasan

1. Kawasan Asta Induk, terdiri dari :

Kubah Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I,

Kubah Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro ( Bendoro Saod ),

Kubah Kanjeng Tumenggung Ario Cokronegoro III ( Pangeran Akhmad atau Pangeran Djimat ) , yang
kubahnya tersebut berasal dari Pendopo Kraton Pangeran Lor/Wetan,

Pangeran Pulang Djiwo yang kubahnya tersebut juga berasal dari Kraton Pangeran Lor/Wetan,

Pemakaman Istri-istri serta selir Raja-Raja Sumenep,

2. Kawasan Makam Ki Sawunggaling Konon diceritakan bahwa K. Saonggaling adalah pembela Kanjeng
Tumenggung Ario Tirtonegoro (Bendoro Moh. Saod) pada masa terjadinya upaya kudeta/perebutan
kekuasaan oleh Patih Purwonegoro),

3. Kawasan Makam Patih Mangun,


4. Kawasan Makam Kanjeng Kai/Raden Adipati Suroadimenggolo Bupati Semarang (mertua Sultan
Abdurrahman Pakunataningrat I),

5. Kawasan makam Raden Adipati Pringgoloyo / Moh. Saleh, dimana dia tersebut pada masa hidupnya
menjabat sebagai Patih pada Pemerintahan Panembahan Somala dan Sultan Abdurrahman
Pakunataningrat I,

6. Kawasan Makam Raden Tjakra Sudibyo, Patih Pensiun Sumenep,

7. Kawasan Makam Raden Wongsokoesomo.

Arsitektur Makam

Arsitektur Makam dalam kompleks ini sedikit banyak dipengaruhi oleh beberapa norma budaya istiadat
yang mengembang pada masa Hindu. Hal tersebut mampu diamati dari penataan kompleks makam dan
beberapa batu nisan yang cenderung mengembang pada masa awal islam mengembang di tanah Jawa
dan Madura. Selain itu pengaruh-pengaruh dari norma budaya istiadat Tiongkok terdapat pada
beberapa ukiran yang berada pada kubah makam Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro, makam
Kanjeng Tumenggung Ario Cokronegoro III dan makam Pangeran Pulang Djiwo.

Selain itu pengaruh Arsitektur Eropa mendominasi kontruksi kubah makam Sultan Abdurrhaman
Pakunataningrat I dan Makam Patih Mangun yang hadir diluar Asta induk. Dalam kawasan kubah makam
Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I, Seluruh bangunnannya dipengaruhi gaya arsitektur klasik,
kolom-kolom ionic sedang dipakai dibeberapa tempat termasuk juga pada Kubah Makamnya.

Anda mungkin juga menyukai