Pada suatu hari Raja Tubani Bill Nope adalah ayah mertua dari Raja San Metan, mengadakan sebuah pesta
besar di pusat kerajaannya di Neke. Pelaksanaan pesta sangat meriah karena dihadiri oleh semua Usif, Amaf,
Meo dan seluruh rakyat Kerajaan Banam. Namun di tengah meriahnya pesta itu, Raja Tubani Nope sangat
kecewa karena Raja San Metan dan Bi Kae Nope tidak hadir dalam pesta itu tanpa sebab yang jelas. Meskipun
begitu sebagai raja yang bijaksana, Tubani Nope memerintahkan para pelayan istana agar bagian hidangan buat
Raja San Metan dan Bi Kae Nope tetap disiapkan dengan menempatkannya di dalam bakul dan harus di simpan
di atas para-para (Tetu Nai San Metan Bi Kae Nope, Pana Nai San Metan Bi Kae Nope). Namun sampai acara
pesta berakhir, Nai San Metan dan Bi Kae Nope juga tidak kunjung datang ke Istana Raja Tubani Nope.
Ketidakhadiran Raja San Metan, menyebabkan Raja Tubani Nope marah besar karena undangannya merasa
tidak dihargai oleh Raja San Metan. Raja marah kemudian Raja Tubani Nope merencanakan pembunuhan Raja
San Metan dan Bi Kae Nope yang merupakan putri kandungnya sendiri. Raja Tubani Bill Nope meminta bantuan
Raja Mollo TO OEmatan yang biasa disebut TO Asupah.
Sebelum penyerangan dimulai maka diadakan sebuah upacara ritual memohon restu Uis neno (penguasa langit),
Uispah (penguasa bumi), dan para leluhur untuk menyertai para Meo-Naek dalam penyerangan. Upacara
tersebut berlangsung di rumah berhala Oematan yakni Ume Ni Musu. Hewan kurbanpun disemblih yakni seekor
babi berwarna bulu belang (fafi kotu). Setelah upacara selesai pasukan dari Kerajaan Mollo berangkat dengan
menunggang kuda masing-masing menuju Istana Raja San Metan di Fautbena – Nanjalu. Peperangan akhirnya
terjadi dan Kobo Bano Et dari Kerajaan Mollo berhasil membunuh Raja San Metan. Kobo Bano Et tidak segera
memancung kepala tetapi memeriksa harta peninggalan raja di dalam istana. Tidak ditemukan emas dan perak
yang ditinggalkan oleh Raja San Metan. Hanya ada beberapa utas Muti Salak tergantung di tiang berhala Raja.
Kobo Bano Et segera meraihnya dan dikalungkan di lehernya. Kemudian di situ ada sebuah guci besar berisi
butiran muti salak. Sementara di atas para-para (pana) ada sekarung padi. Dituangkan isinya di atas para-para
lalu mengambil sebuah mangkok di atas para-para dan mencedok/menimba (So’E) butiran salak dari dalam guci
dan dimasukkan ke dalam karung sampai penuh.
Berawal dari kata So’E Muti Salak inilah, maka nama So’E dikenal sampai sekarang. Lebih lanjut menurut Hans
Itta, nama So’E jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, artinya “ menimba”. “Menimba” mempunyai
makna yang sangat meyakinkan, sebab dengan “menimba” atau “menggali” potensi di daerah ini, kelak
membawa peningkatan hidup dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Nama So’E juga diyakini akan membawa
kedamaian bagi seluruh rakyat di bekas Onderafdelling Zuid Midden Timor yang meliputi Amanuban, Amanatun
dan Mollo. Dengan nama baru tersebut, diyakini pula dapat memberikan “kesejukan” bagi setiap golongan atau
suku bangsa yang hidup dan tinggal di wilayah ini.
KERAJAAN AMANUBAN
(BANAM)
Kerajaan Amanuban (Banam) adalah sebuah kerajaan yang terletak di pulau Timor bagian barat,
wilayah Indonesia. Di era kemerdekaan Kerajaan Amanuban bersama Kerajaan Mollo (Oenam) dan Kerajaan
Amanatun (Onam) membentuk Kabupaten Timor Tengah Selatan (dalam bahasa Belanda disebut Zuid Midden
Timor) di Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan ibu kota SoE.
Kerajaan Amanuban (Banam) diawali dengan kehadiran Olak Mali leluhur Raja Nope dengan istrinya di
Gunung Tunbes. Olak Mali mempunyai pengetahuan, kemampuan dan kekuatan untuk mempengaruhi suku-
suku yang berada di Tunbes seperti Nuban, Tenis, Asbanu, Nomnafa untuk mengakuinya sebagai penguasanya.
Dengan kemampuan yang dimiliki oleh Olak Mali dan isterinya mampu meyakinkan kepada suku-suku
(tsepe) yang ada di Tunbes yang masih primitif seperti Nuban, Tenis, Asbanu, dan Nubatonis yakni ( Si Nuban
yang suka Natoni) bahwa dia (Olak Mali) adalah Penguasa dan Pemimpin Amanuban ( Raja atau Usif). Hal ini
dibuktikannya kepada Nubatonis dengan beberapa bukti menanam pohon pisang, menanam tebu, membuat api
unggun, dan memanggil bumi.
Empat kelompok suku yang hidup bermasyarakat di Tunbes bersama para amaf lain kemudian
mengukuhkan Olak Mali menjadi Raja Amanuban ( Banam ) sekaligus peristiwa ini merupakan cikal bakal
terbentuknya Kerajaan Amanuban. Bukti fisik yang ada hingga saat ini menunjukan kehebatan Olak Mali sebagai
Raja Amanuban pertama yang mampu menata kehidupan sosial, kemasyarakatan dan pemukiman masyarakat
Tunbes secara baik dan teratur. Posisi istana ( sonaf) Raja Nope yang berada di tengah dengan pagar batu kokoh
sebagai inti yang kemudian dikelilingi dengan pemukiman kelompok suku-suku seperti Tenis, Nuban, Asbanu,
Nubatonis, Nomnafa menunjukan bahwa istana (sonaf) raja Nope di Tunbes ini adalah kerajaan Amanuban itu
sendiri.
Daerah Tunbes sesuai pembagiannya terdiri dari Mnela OOh ( keempat suku di Tunbes), Kekan
(kawasan lindung), kandang kerbau, Istana (sonaf) dan tempat kuburan raja. Ada empat raja yang dimakamkan
di Tunbes.
Perkembangan Kerajaan
Dari Tunbes kemudian pusat kerajaan Amanuban di pindahkan ke Pili Besabnao. Perpindahan pusat
kekuasaan ini karena sudah terjadi pertambahan penduduk sedangkan luas lahan di Tunbes semakin kecil. Surat
dari Aplonius tertanggal 5 juni 1613 menyebutkan bahwa saat VOC melakukan kunjungan dagang ke Timor
untuk pembelian cendana maka saat itu sudah ada beberapa Raja Kerajaan di Timor yang bisa dan senang
diajak bersahabat dan bekerja sama. Williiem Jacobz dan Melis Andriaz juga telah bertemu dan berbicara
langsung dengan Raja Amanuban.
Kerajaan Amanuban tahun 1641 telah memeluk Agama Katolik ditandai dengan kunjungan missi padrie
Jacinto de Dominno namun disayangkan nama babtis mereka tidak dicantumkan dalam daftar nama silsilah raja-
raja Amanuban. Bukti prasasti Gereja Katolik di Abi ( Neke) dibangun 1527.
Antonio da Hornay tokoh penting Topas ( Orang Kaesmetan-Portugis Hitam )memerintah di Timor 1664-
1695 dan ia kawin dengan putri Amanuban dan Ambenu. De Ornay dan Da Costa merupakan dua tokoh penting
yang saling merebut kekuasaan di Timor. Putra Dominggus da Costa III yang bernama Simao da Costa kawin
dengan bi Noni Nope. Kekejaman Simao Louis diimbangi dengan membagi bagikan tongkat kepada Raja yang
tunduk kepada Portugis sebagai tanda pengenal untuk boleh mengumpulkan cendana dan lilin untuk dijual
kepada Portugis. Antonio de Ornay kemudian menggantikan Simao Louis sebagai capitao mor di Timor.
Dalam surat Kaiser Sonbai tanggal 23 September 1703 yang dikirim ke Batavia menyebutkan bahwa
Sonbai sedang menghadapi masalah dengan Ambenu, Amanuban, Asem, Mina, Likusaen. Kemudian terjadi
pertempuran antara Molo dengan Amakono, Amfoang serta Amanuban dimana dalam pertempuran itu di pihak
Amanuban tewas 5000 orang. Batu bertulis ANNO 1709 ( secara jelas batu tersebut tertulis DRB dan tulisan
ANNO 1709, batu berbentuk bujur sangkar dengan ukuran panjang 30 cm dan lebar 31 cm dengan tebal batu 13
cm).
Setahun setelah Perang Penfui dalam dokumen VoC 1750, menyebutkan bahwa Raja pemimpin
Amanuban saat itu adalah Don Michel ( Don Migil ) bersama Don Bernando dari Amfoang datang ke Kupang
bersama Kaiser dari Amakono dengan harapan hidup berdamai dengan Belanda. Karena sebelum pecahnya
perang Penfui Amanuban bersama Amakono, Sorbian, Amanatun, Amarasi-Amanesi adalah sekutu Portugis dan
Topas.
Pada tahun 1756 Raja Amanuban Don Louis II juga ikut menandatangani trakta kontrak Paravicini
bersama raja-raja Timor lainnya. Contract Paravicini yang di buat oleh Komisaris Johanies Andreas Pavicini pada
9 Juni 1756 menurut catatan VOC 2941 itu selain di tanda tangani oleh Raja Don Louis juga di tanda tangani oleh
Don Bastian fettor dari Amanuban dan temukun dari Amanuban.
Pada tahun 1786 suku Amanuban yang anti Belanda menyerang sonaf Raja Jacobus Albertus dari
Amanuban di Kobenu yang letaknya setengah hari perjalanan dari Kupang. Jacobus Albertus pada tengah
malam harus menyelamatkan diri bersama dua putranya kemudian menuju tanah tumpah darahnya Amanuban-
Banam yang berjarak tiga hari perjalanan. Sepupu Jacobus Albertus yang bernama Tobani diakui sebagai Raja
Amanuban.
Perpindahan ke Niki-niki
Raja Don Louis III kemudian memindahkan pusat kerajaan Amanuban ( Banam) dari Pili
Besabnao ke Niki-niki hingga sekarang. Raja Don Louis III bertakhta tahun 1808-1824 dan dikenal sebagai
pendiri kota Niki-niki dan menetapkan nama Nope ( awan ) sebagai marga dinasti Nope selanjutnya. Adik dari
Raja Don Louis III yakni Tanelab di Babuin dan Taifa di Mei. Raja Baki Nope-Baki Klus mempunyai saudari bi Bia
Nope ( Oenino) dan bi Nino Telnoni (Ofu). Raja Don Louis III wafat di Niki-niki tahun 1824 dan dimakamkan di
Niki-niki, sekarang pemakaman Cina - Son Leu. Bi Lese Nenosae adalah istri dari Raja Don Louis III.
Latar belakang perpindahan ke Niki-Niki karena tempat ini sangat strategis untuk pertahanan terhadap
serangan musuh dan layak sebagai istana raja. Perkataan Niki-niki berasal dari kata Nik Nik yang berarti
menjilat-jilat dan melihat ke belakang.
Digambarkan dalam laporan Belanda Raja Sufa Leu sebagai kekuasaan yang berdiri secara kuat bebas
dari pengaruh dan tekanan colonial yang memerintah dengan keras saling mencurigai, selalu kuatir dan semua
rakyatnya tunduk dan patuh kepadanya dengan rasa hormat dan takut. Setiap rakyat Amanuban yang
berhadapan dengan Raja Sufa Leu dilarang keras menentang dan memandang wajah raja ini ( harus menutup
mata / na bil ). Raja Sufa Leu pada tanggal 1 Juli 1908 menandatangani Korte Verklaring sebagai landschapen
Amanuban dan Koko Sufa Leu sebagai Kaiser Muda Amanuban dan Zanu Nakamnanu.
Setelah Raja Sufa Leu alias Raja Bil Nope gugur sebagai pahlawan dengan membakar dirinya ( Lan
Ai) Oktober 1910 maka diangkatlah adik kandungnya Noni Nope sebagai penggantinya oleh Belanda. Raja Noni
Nope sebagai kepala zelf bestuur Amanuban dengan dibantu oleh dua orang fettor yakni fetoor Noe Liu Zanu
Nakamnanu ( Noe Nakan) dan Fettor Noe Bunu Boi Isu ( Noe Haen) dengan satu mafefa Tua Isu. Raja Noni
Nope menandatangani Korte Verklaring Maret 1912.
Menurut Arsip Nasional di Den Hag Belanda tentang Raja-raja Amanuban menyebutkan bahwasannya
Raja Baki Nope melahirkan putra sulung bernama Raja Zanu Nope dengan saudaranya Pa'e. Menurut catatan
Kruseman tentang Timor menyebutkan Raja Louis Nope baru meninggal pada tahun 1824 berusia lanjut dan
putranya bertakhta menggantikannya tetapi bertentangan dengan pamannya. Adik kandung dari Hau Sufa Leu
gelar Bil Nope ada dua orang laki-laki yaitu Kusa Nope ( Fatu Auni) dan Raja Noni Nope (Neke), dan seorang
perempuan bi Natu Nope.
Raja Pae Nope
Raja Pae Nope menggantikan ayahnya Raja Noni Nope sebagai Raja Amanuban 1920. Raja Pae
memekarkan dua kefetoran utama Amanuban menjadi tiga kefetoran dengan menambah lagi kefetoran Noe
Beba yang dipimpin oleh keluarga Nope sendiri. Pada tahun 1939 Raja Pae Nope memekarkan lagi kefetoran di
Amanubang menjadi tujuh kefetoran yakni Noe Bunu, Noe Hombet, Noe Siu, Noe Liu, Noe Muke, Noe Beba, dan
Noe Meto.
Permaisuri dari Raja Pae Nope bernama Ratu bi Siki Nitibani berdiam di istana kerajaan Amanuban
(Sonaf Naek) yang melahirkan putera mahkota raja Amanuban Johan Paulus Nope (1946-1949) dengan ketiga
adiknya yaitu Kusa Nope ( fettor Noe Meto), bi Feti Nope, dan Kela Nope ( juga menjadi fetor Noemeto). Raja
Pae Nope juga mempunyai beberapa orang istri seperti bi Fanu Tnunai, Bi Kohe Nitbani ( ibunda dari Raja Kusa
Nope), bi Oba Sonbai, bi Tipe Asbanu, bi Oko Tuke, bi Koin Tunu, bi Kohe Babis, bi Bene Boimau, bi Seong
Wun. Bi Kohe Nitbani adalah anak dari bi Oki pelayan (ata) tinggal di dalam sonaf Neke.
Putra Mahkota Johan Paulus Nope atau Raja Leu Nope menggantikan ayahnya sebagai Raja
Amanuban 1946 karena raja Pae Nope sudah berusia lanjut dan tak kuat melaksanakan tugas pemerintahan
kerajaan. Raja Johan Paulus Nope juga memiliki banyak istri yakni bi Nino Selan, bi Kohe Nitbani, bi Obe
Banamtuan, bi Fenu Selan, bi Muke Tse, bi Liu Tse, bi Sufa Asbanu, bi sabet Abanat, bi Kaes Beti. Raja Leu
Nope atau Johan Paulus Nope kemudian dibaptis menjadi Kristen Protestan dan bersama seluruh rakyat
Amanuban menjadi penganut agama Protestan. Seluruh rakyat Amanuban sering juga menyebut Raja Leu Nope
dengan sebutan-sebutan seperti Usi Anesit ( Raja yang mempunyai kelebihan - kelebihan dalam kalangan
bangsawan Nope), Raja berambut panjang ( Usi Nakfunmanu), Usi Tata ( Raja yang juga adalah seorang kakak
dalam kalangan keluarga sonaf-istana Amanuban).
Pada tanggal 21 Oktober 1946 Raja-Raja seluruh keresidenan Timor mengadakan sidang konferensi di
Kota Kefamenanu guna membentuk Timor Eiland Federatie atau (gabungan kerajaan afdelling Timor - Dewan
Raja-raja Timor). Dalam sidang tersebut, H. A. Koroh (Raja Amarasi) dan A. Nisnoni (Raja Kupang) terpilih
masing-masing sebagai ketua dan ketua muda Timor Eiland Federatie.
Raja Amanuban Johan Paulus Nope yang hadir dalam sidang tersebut dari Kerajaan Amanuban. Masih
dalam forum yang sama berhasil dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Timor Eiland Federatie Amanuban
mendudukan S. L Selan mewakili Kerajaan Amanuban, Ch. Tallo mewakili Kerajaan Amanatun dan T Benufinit
mewakili kerajaan Mollo, sebagai DPRD Timor dan Kepulauannya.
Karena faktor kesehatan Raja Johan Paulus Nope yang terganggu maka kontroleur Belanda
mengusulkan adiknya Kusa Nope yang baru tamat sekolah praja di Makasar untuk melaksanakan pemerintahan
sehari-hari kerajaan sambil menantikan dewasanya Putra Mahkota kerajaan Amanuban anak laki-laki dari Raja
Johan Paulus Nope yang bernama Louis Nope dan Mahteos Nino Nope untuk dinobatkan menjadi Raja
Amanuban. Raja Pae Nope dan Raja Johan Paulus Nope wafat pada tahun 1959 di Niki-niki.
Kusa Nope kemudian menjadi Kepala Daerah Swapraja Amanuban dan diangkat sebagai Bupati
Timor Tengah Selatan pertama. Istri pertama Kusa Nope bernama bi Malo Nitibani dan disusul bi Kina dan bi
Sole. Ada tujuh raja Amanuban yang dimakamkan di Son Nain Niki-niki. Kedudukan raja adalah turun temurun,
dan putera mahkota berhak menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja. Putra mahkota adalah putra sulung
raja yang lahir dari permaisuri.
Raja-Raja
Raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Amanuban adalah :
1. Olak Mali.
2. Ol Banu.
3. Bil Banu.
4. Tu Banu.
5. Louis I ( Tunbes).
6. Bill ( Pili).
7. Don Louis II, dimakamkan di Boti.
8. Tubani (1786-1808).
9. Don Louis III. 1808-1824, pusat kerajaan ke Niki-niki, dimakamkan di Pekuburan Cina Niki-niki.
10. Baki Nope / Baki Klus 1824-1862.makam Son Nain
11. Sanu Nope 1862-1870, dimakamkan di Son Nain.
12. Bil Nope - Sufa Leu (1870-1910).
13. Noni Nope (1911-1920).
14. Pae Nope ( 1920-1946).
15. Leu - Johan Paulus Nope ( 1946-1949).
16. Kusa Nope (1950-1958).
Disarikan dari buku Sejarah Pemerintahan Kabupaten TTS: Studi tentang Pemerintahan Kabupaten TTS dari
masa ke Masa. Ditulis oleh Jacob Wadu, David Pandie, Nua Sinu Gabriel, Jacob Frans, Joni Ninu, Melkisedek
Neolaka. Diterbitkan atas kerjasama Lembaga Penelitian Univ. Nusa Cendana dengan Pemkab TTS). Cetakan
Pertama, Desember 2003
Kerajaan Mollo
Kerajaan Mollo merupakan salah satu bagian dari wilayah bekas Kerajaan OEnam. Adapun yang menjadi raja
pertamanya adalah To Oematan (To Luke’mtasa). Pada saat itu To Oematan merupakan fetor Mollo, tapi ketika
kerajaan Mollo dibentuk, maka ia langsung diangkat sebagai raja dan menandatangani Korte Verklaring pada 10
Mei 1916. Tetapi sebelumnya To Oematan bersama-sama dengan Usif Nunbena Bait Oematan (Bait Kaunan)
dan Moeb Baki Fobia telah menandatangani ikrar kesetiaan pada Ratu Welhelmina dan dipertuan Gubernur
Jenderal Belanda di Batavia pada tanggal 19 April 1907 bertempat di Kapan.
Akan tetapi, bilamana sampai kapan Raja To Oematan memerintah di Kerajaan Mollo belum dikatahui dengan
pasti. Namun, diperkirakan ia mulai berkuasa sesudah Perang Nefo Besak sekitar tahun 1906. Salah satu hal
penting dan sangat bermanfaat bagi rakyat Mollo yang dilakukan oleh Raja To Oematan selama masa
pemerintahannya adalah didirikannya Sekolah Rakyat (Volks School) pada tahun 1908 di Nefokoko yang
kemudian dipindahkan ke Kapan tahun 1910. Setelah beberapa lama Raja To Oematan memerintah, ia
menyerahkan jabatannya kepada juru bahasanya yaitu Lay A Koen (Tabelak Oematan) atau Wellem Fredik
Hendrik Oematan untuk menjalankan tugas sebagai Raja Mollo.
1. Menurut juru bicara (mafefa) dari desa Bes’ana nama Mollo berasal dari kata ‘na molok’ artinya
‘berbicara’, yaitu pembicaraan antara seorang pemburu dan seekor musang (anseko). Informasi yg mirip
juga dikemukan oleh para mafefa dari desa Oelbubuk, Binaus dan Kuale’u, yaitu ‘molok’ yg artinya
berbicara, bersepakat, berjanji, atau bermusyawarah. Namun yang dimaksud adalah pembicaraan dan
perjanjiaan antara marga Lassa yg meminta bantuan marga Oematan untuk memerangi Jabi-Uf.
2. Informasi dari mafefa desa Laob, nama Mollo berasal dari kata ‘’noni (noin) molo’’ yg artinya uang
kuningan yg ditemukan oleh seorang wanita bernama Bi Tae-Neno dipuncak sebuah gunung yang
sekarang disebut gunung Mollo.
3. Informasi dari mafefa desa Netpala, nama Mollo berasal dari kata ‘molfa-mate’ yg artinya menguning
amat sangat. Asal usul mollo dari pemahaman ini mengacu pada nama dua marga yaitu Lassa dan Toto
yg konon disebut sebagai penghuni pertama gunung Mollo, yg sebelumnya bernama ‘Matahas’ artinya
menyinari. Karena kedua marga ini sudah cukup alam bermukim di gunung Mollo maka kedua marga ini
mendapat julukan sebagai ‘molo-oki atau oik molo’. (informasi dari mafefa desa Fatukoko)
4. Informasi dari mafefa Fatumnutu, nama Mollo sendiri disesuaikan dengan kondisi alam, yaitu sinar
matahari yg condong ke ufuk barat dan tampaknya seperti menyuruk ke bawah kaki langit, warna
cahayanya berubah menjadi kekuning-kuningan yg menyinari seluruh gunung Mollo sehingga tampak
menguning seluruhnya.
1. Oenam berasal dari kata ‘Oe’ yang artinya air dan ‘Nam’ artinya bahagian atau pahala. Dalam tuturan
adat, wilayah kerajaan Oenam biasanya disebut ‘Mutis Babnai, Paeneno Oenam’
2. Tentang arti kata Mutis mengandung makna bahwa semua warga yang datang ke Timor bagian barat
berhimpun disana sebelum menyebar keseluruh wilayah Timor bagian barat. Makna lainnya bahwa
gunung mutis sebagai sumber air dan merupakan sumber aliran sungai-sungai terbesar di wilayah Timor
barat.
Beberapa Raja dari Kerajaan Mollo
1. To Oematan
Setelah kerajaan Oenam runtuh pada tahun 1905, Belanda kemudian membentuk kerajan-kerajaan kecil pada
bekas kerajaan Oenam, salah satunya kerjaan Mollo. Sebagai fetor Mollo, To Oematan(to Luke’mtasa) langsung
diangkat sebagai raja pertama pada tanggal 10 Mei 1916. Karya penting raja To Oematan adalah mendirikan
Sekolah RAKYAT (SR- volks school) pada tahun 1908 di Nefokoko dan kemudian berpindah ke Kapan tahun
1910.
2. Tabelak Oematan
Raja kedua Mollo, Tabelak Oematan (nama baptisnya Welem Frederick Henderik Oematan), yang adalah anak
angkat juga kemenakan dari To Oematan. Tabelak sendiri bernama asli Lay A Koen (anak saudara
perempuan To Oematan yang menikah dengan seorang keturunan Cina (Seang Lay). Penobatan Lay A Koen
sebagai raja Mollo sendiri dilakukan di atas puncak gunung Mollo dalam sebuah upacara adat selama tujuh hari
tujuh malam (pengangkatan sumpah dan pemotongan rambut). Penobatan ini disepakati juga oleh fetor Nun
Bena, fetor Netpala, fetor Bes-Ana dan fetor Tobu.
Raja Tabelak menikah dengan putri Raja Korbafo (dari Rote) bernama Luisa Manubulu dan mempunyai anak:
Welem Cornelis Henderik Oematan (mantan bupati Kupang pertama) dan Semuel Soleman Henderik Oematan
(mantan camat Mollo Utara pertama). Karena kejam juga pada rakyat, Raja Tabelak diadili pemerintah Belanda
dan dijatuhi hukuman dan pembuangan di Ende-Flores.
3. Kono Oematan
Sebelum menjadi raja Mollo Tua Sonba’i adalah temukung besar di Fatumnutu. Memerintah Mollo selama 26
tahun.
1. Mewajibkan setiap kefetoran untuk menentukan kawasan hutan lindung dan suaka margasatwa, dengan
penetapan hukum adat Bonu, dimana ada kesepakatan adat terkait aturan dalam memetik dan
mengambil hasil kebun, jika dilanggar ada hukuman tertentu. Artinya juga masyarakat tidak
sembarangan dalam menebang hutan untuk dijadikan kebun. Selain juga ada anjuran RAJA Tua untuk
melakukan penghijauan dan mentapkan hutan perlindungan suaka margasatwa Kniti-Naek sejak tahun
1933
2. Dibidang pendidikan, raja Tua membuka sekolah rakyat di Mollo dan membuka SMP PGRI pertama
tahun 1955 di SoE
3. Pada masa pemerintahannya Mollo terkenal sebagai penghasil bawang putih terbesar di Pulau Timor
4. Membangun jalan Kapan-Fatumnasi tahun 1955
5. Mengembangkan kefetoran yang ada dari empat menjadi enam kefetoran. Dua kefetoran baru itu yakni
kefetoran Bes’ana tahun 1946 dan kefetoran Paeneno tahun 1956. kefetoran lain yg sudah lebih dulu
ada antara lain: kefetoran Netpala, kefetoran Nunbena, Kefetoran Mutis, dan kefetoran Bijeli.
6. Raja Edison Richard Ferdinand Oematan (dinobatkan di Sonaf Ajaobaki, 12 Juli 2001)
Disarikan dari buku Sejarah Pemerintahan Kabupaten TTS: Studi tentang Pemerintahan Kabupaten TTS dari
masa ke Masa. Ditulis oleh Jacob Wadu, David Pandie, Nua Sinu Gabriel, Jacob Frans, Joni Ninu, Melkisedek
Neolaka. Diterbitkan atas kerjasama Lembaga Penelitian Univ. Nusa Cendana dengan Pemkab TTS). Cetakan
Pertama, Desember 2003
Kerajaan Amanatun
Kerajaan Amanatun (onam) merupakan salah satu kerajaan tua yang terletak di Pulau Timor bagian barat
wilayah Indonesia. Dalam buku “Raja-Raja Amanatun Yang Berkuasa” karya Don Yesriel Yohan Kusa Banunaek
(1965), menceritakan asal usul sejarah kerajaan Amanatun berasal dari tiga orang bersaudara yang menjelajahi
Timor.
Ketiga saudara tersebut adalah Tei Liu Lai, Kaes Sonbai, Tnai Pah Banunaek. Salah satu saudara tersebut yaitu
Tnai Pah Banunaek mendirikan kerajaan Amanatun dan menjadi pemimpin pertama kerajaan Amanatun di
ibukota Nunkolo yang terletak di wilayah Timor Tengah Selatan.
Nama Amanatun berasal dari kata Ama dan Mnatu yang memiliki arti Bapak dan emas. Konon nama ini
bermula dari raja Tnai pah Banunaek yang senang mengenakan busana dan perhiasan dari emas.
Penjelajah dari Cina yang menulis teks Dao Zhi dari tahun 1350, bahkan sejak Dinasti Sung sudah mengenal
Timor. Ada beberapa jalur pelayaran dan pintu gerbang pelabuhan laut untuk menuju Timor saat itu. Salah
satunya adalah di Batumiao-Batumean Fatumean Tun Am (Tun Am). Pelabuhan di Timor saat itu ramai
dikunjungi oleh pedagang-pedagang Makasar, Malaka, Jawa, China, dan kemudian –pada abad ke-17 dan 18–
Eropa seperti Spanyol, Inggris, Portugis, dan Belanda turut memeriahkan perdagangan.
Awal mula kerajaan Amanatun meliputi wilayah-wilayah kecil yang tersebar, yaitu Noebone dan Noebanu
(wilayah Anas). Pada tahun 1913, berdasarkan keputusan pemerintah Hindia Belanda wilayah Anas bergabung
dengan wilayah Timor Tengah Selatan dan menjadi bagian dari kerajaan Amanatun.
Kerajaan Amanatun memiliki masa kejayaan dan keemasan yang membuat kerajaan tersebut menjadi terkenal
karena kemakmurannya. Kemakmuran tersebut berasal dari hasil produksi jagung, cendana dan lilin. Cendana
merupakan komoditas paling populer dan dicari orang di daerah tersebut.
Setengah hasil produksi cendana dan lilin ditukar dengan emas. Produksi cendana yang melimpah serta kualitas-
nya yang bagus terdengar sampai ke luar negeri. Portugal, Spanyol, Inggris dan Belanda adalah negara yang
datang ke kerajaan Amanatun untuk mencari cendana.
Kedatangan orang asing di kerajaan Amanatun ternyata membawa malapetaka. Belanda menjajah kerajaan
Amanatun dan nusantara. Penjajahan Belanda terhadap kerajaan Amanatun dilakukan dengan membatasi
kekuasaan raja Amanatun. Salah satu pembatasan yang dilakukan oleh penjajah Belanda kepada kerajaan
Amanatun adalah membagi Timor kepada beberapa daerah kekuasaan kerajaan. Adapun hal lainnya adalah
terjadi kesepakatan antara kerajaan Amanatun dengan pihak Belanda yang mengakibatkan kerugian bagi
Kerajaan Amanatun.
Tercatat dalam arsip kuno Portugis “Summaria relaçam do Que Obrerao os relegiozas dan ordem dos
pregadores” bahwa pada tahun 1641 ketika bangsa Portugis dan balatentaranya tiba di Kerajaan Amanatun,
seorang Padri bernama Frey Lucas da Cruz berhasil membaptiskan (mengkristenkan) seorang raja Amanatun.
Pada tahun 1641 kerajaaan yang terletak di Gunung Sunu (Sonaf Plikuna – Sonaf Ni Fanu) ini kemudian tercatat
mendapat serangan dari armada tentara Makassar dibawah pimpinan Raja Tallo dari Kerajaan Gowa-Tallo.
Terjadi perang Penfui pada tanggal 11 Nopember 1749 maka kerajaan Amantun menjadi sekutu Portugis. Salah
satu alasan terjadi perang Penfui karena para Raja yang pro kepada Portugis tidak menghendaki adanya
pembagian wilayah di Timor khususnya wilayah Timor Barat antara Belanda dengan Portugis.
Residen J A Hazart merupakan residen Timor kelahiran Timor 8 agustus 1873. Saat resident Hazart menjadi
residet di Timor maka raja Amanatun pada saat itu adalah raja Muti Banunaek I (atau biasa disebut Raja Kusat
Muti ). Residen Hazart memerintah antara tahun 1810-1811, dan pada tahun 1811 Nusantara diserahkan ke
Inggris dan baru dikembalikan kepada Belanda pada tahun 1816 dan residen Hazart kembali berkuasa.
Banyak hal yang diperbuat Hazart saat menjadi residen Timor seperti : – Daerah pertahanan VOC di pantai utara
Timor ( Manulae hingga Pariti pada tahun 1819 dipenuhi oleh orang-orang Rote yang didatangkan oleh Belanda
sebagai pagar hidup Belanda untuk mencegah serangan dari raja-raja Timor sepeti Amarasi, Amanuban dan
Amanatun.
Belanda melakukan politik adu domba (devide et empera) sebagai upaya membatasi kekuasaan kerajaan
Amanatun. Bekas wilayah Kerajaan Amanatun dibagi menjadi kerajaan-kerajaan kecil, yakni; Miomaffo, Mollo,
dan Fatule’u. Ketiga kerajaan ini berada di bawah onderafdeeling (pemerintahan setingkat kabupaten) yang
berbeda.
Kerajaan Miomaffo berada di bawah Onderafdeeling Noord Midden Timor (Timor Tengah Utara). Kerajaan Mollo
dimasukkan ke dalam Onderafdeeling Zuid Midden Timor (Timor Tengah Selatan). Dan Kerajaan Fatule’u di
bawah Onderafdeeling Kupang (Wadu, 2003:63). Sedangkan Onderafdeeling Zuid Midden Timor (Timor Tengah
Selatan) hanya meliputi tiga landscappen (kerajaan kecil) yakni; Kerajaan Mollo, Amanuban, dan Amanatun
(Fobia, 1995: 48).
Pada saat Raja Muti Banunaek II diasingkan ke Flores, pemerintah kolonial Hindia Belanda melakukan
pemindahan batas kerajaan yang sudah ditetapkan oleh Raja Liurai (Belu) dengan Raja Banunaek (Amanatun).
Adapun pemindahan tersebut berlangsung pada bulan Juni 1917 (zaman Raja Kusa Banunaek).
Dengan memindahkan batas antara kedua kerajaan tua, yaitu perpindahan batas dari Betun ke We Baria Mata,
Malaka. Disahkan dengan penandatanganan persehatian perbatasan ini oleh Belanda pada 25 Juli 1917.
Perpindahan batas ini sebagai reaksi balas dendam pemerintah kolonial Belanda terhadap Raja Amanatun
karena gugurnya tentara Belanda saat melakukan infasi ke Amanatun.
Tanggal 8 Maret 1942 Belanda menyerah kalah kepada Jepang dan pemerintah Nipoon mulai berkuasa.
Kekuasaan Jepang di wilayah Indonesia Timur dibawa kekuasaan Kaigun dan berpusat di Makasar. Khususnya
di wilayah Indonesia Timur –Sunda Kecil –Nusa Tenggara dipimpin oleh Minseifu Cocan di Singaraja. Di dalam
Mainsebu Cokan terdapat dewan perwakilan yang mewakili raja-raja.
Leluhur Amanatun yang dikenal dengan “sebutan Banunaek” itu memasuki wilayah Amanatun dengan bantuan
suku Nokas, Kobi, Nitbani dan Bana serta sejumlah tokoh adat lainnya. Kedatangan Banunaek ke wilayah ini
mendapat sambutan baik dari semua pemimpin kesatuan kelompok (suku) yang ada di Amanatun. Kemudian
atas kesepakatan semua pemimpin suku tersebut, maka Banunaek diakui sebagai raja (Usif) di wilayah
Amanatun. Banunaek dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya selalu dibantu oleh suku-suku Bana,
Nokas, Liunokas, Kobi, Benu, Tahun, Nenabu dan Misa.
Leluhur Banunaek di Amanatun saat dilahirkan terdiri atas dua putra (kembar) yakni seorang yang dilahirkan
pada siang hari dan seorang yang dilahirkan pada malam hari. Yang dilahirkan pada siang hari dinamai “Neno”
(Siang) sedangkan yang dilahirkan pada malam hari tepat pada bulan purnama dinamai “Funan” (Bulan).
Dalam perjalanan selanjutnya, yang menjadi raja di Amanatun turun temurun adalah Banunaek yang berasal dari
garis keturunan Neno yang berperan sebagai kakak (Tataf) yang ditempatkan dipusat kerajaan di Nunkolo.
Sementara keturunan Funan yang berperan sebagai adik (Olif) ditempatkan di Menu.
Atas kehendak dari Raja Lodoweyk Lourens Don Louis Banunaek (Raja Laka Banunaek) –raja terakhir kerajaan
Amanatun– pada tahun 1951 daerah Oinlasi dipilih dan ditetapkan menjadi ibukota dan pusat pemerintahan
swapraja Amanatun. Dengan pertimbangan aksesibilitas dengan kota SoE. Kota Oinlasi letaknya berjarak 46 km
dari Kota SoE dan hingga kini menjadi ibu kota kecamatan Amanatun Selatan.
Memasuki masa kemerdekaan Indonesia maka Raja Lodoweyk Lourens Don Louis Banunaek kemudian menjadi
Kepala Daerah Swapraja Amanatun. Yang menjadi Kepala Daerah Swapraja adalah Raja, sedangkan kalau
Rajanya sudah wafat maka diangkat seorang Wakil Kepala Daerah Swapraja dari keturunan bangsawan, tetapi
dia bukan seorang Raja.
Raja Lodoweyk Lourens Don Louis Banunaek bersama dengan Raja-Raja di Nusa Tenggara Timur lainya
kemudian tergabung dalam Dewan Raja-Raja. Mereka memiliki peranan yang penting dalam pembentukan
Propinsi Nusa Tenggara Timur. Sebuah wilayah yang sebelumnya termasuk ke dalam Propinsi Sunda Kecil.
17. Raja Lodoweyk Lourens Don Louis Banunaek (Raja Laka Banunaek)
Memerintah di kerajaan Amanatun pada tahun 1946-1965, Raja ini lahir di Nunkolo 18 agustus 1925
mangkat di sonaf Niki-niki (sonaf Amanuban) 26 april 1990, dikebumikan tanggal 1 mei 1990 di Oinlasi
depan sonaf Amanatun, ayahnya bernama Follo Banunaek adik dari Raja Loit Banunaek(generasi ke
empatbelas dari Raja-raja Amanatun). Dinobatkan menjadi Raja pada tanggal 1 april 1947. Permaisurinya
bernama kato Fransina Afliana Nope (kato Funan Nope) melahirkan seorang Putra yang bernama Usif Don
Yesriel Yohan Kusa Banunaek (Kusa Banunaek) sarjana Teknik, Master Teknik Arsitektur yang bekerja di
Pemerintahan Daerah Kabupeten Timor Tengah Selatan. Kato Funan Nope wafat pada tanggal 11 oktober
2005 di soe, dikebumikan di Oinlasi.
Disarikan dari buku Sejarah Pemerintahan Kabupaten TTS: Studi tentang Pemerintahan Kabupaten TTS dari
masa ke Masa. Ditulis oleh Jacob Wadu, David Pandie, Nua Sinu Gabriel, Jacob Frans, Joni Ninu, Melkisedek
Neolaka. Diterbitkan atas kerjasama Lembaga Penelitian Univ. Nusa Cendana dengan Pemkab TTS). Cetakan
Pertama, Desember 2003