Anda di halaman 1dari 37

1.

TUN SRI LANANG


Tun Sri Lanang (bernama asli Tun Muhammad Anak Tun Ahmad, lahir
di Selayut, Batu Sawah, Johor Lama, pada tahun 1565 M), adalah di
antara sekitar 22.000 tawanan perang yang ditahan pasukan Sulthan
Iskandar Muda (1607-1636) dalam penyerbuan ke Semenanjung Malaya
pada 1613 M dan kemudian dibawa ke Aceh. Menurut Linehan (1936),
Pemerintahan Sultan Iskandar Muda memindahkan sekitar 22.000
penduduk Semenanjung Melayu ke Aceh dikarenakan penduduk Aceh
telah berkurang drastis karena perang selama 130 tahun. “The whole
territory of Acheh was almost depopulated by war. The king endeavoured
to repeople the country by his conquests. He transported the inhabitants
from Johore, Pahang, Kedah, Perak and Deli to Acheh the number of
twenty-two thousand persons.” (Linehan, W. 1936). Sebagian besar dari
ke 22.000 warga pindahan itu ditempatkan di Samalanga (Kab. Bireuen)
dan Seulimuem (Kab. Aceh Besar).

Saat ditawan, Tun Sri Lanang sedang menjabat sebagai Bendahara


kepada Paduka Raja Tun Muhammad Orang Kaya Kerajaan Johor Lama
di Batu Sawar, Pewaris Kerajaan Kesultanan Melaka, 1557 - 1613 M.
Tun Sri Lanang, selain seorang Bendaharawan, juga adalah seorang
penulis. Ketika ditawan dan dibawa ke Aceh pada 1613 M, Tun Sri
Lanang telah menuliskan sebagian dari naskah Sulalatus Sulatin yang
kemudian dirampungkannya di Aceh.

Pada 1613 M, beliau kemudian diangkat oleh Sultan Iskandar Muda


Meukuta Alam menjadi Raja Perdana Ulee Balang Pertama VI Mukim
Negeri Samalanga Aceh Darussalam dengan gelaran Datuk Bendahara
Tun Muhammad Seri Lanang, setelah untuk beberapa lama menjabat
sebagai Penasihat Sultan dengan gelar Orang Kaya Datuk Bendahara Sri
Paduka Tun Sebrang, dan Sulthan Iskandar Muda memberikan wilayah
kekuasaannya di Samalanga yang dibatasi dengan Krueng Ulim dan
Krueng Jempa (AK Yakobi: 1997: 40 – 48).

Tun Sri Lanang adalah orang yang membangun Mesjid Raya Samalanga
pada abad XVII. Peletakan batu pertama untuk Mesjid tersebut
dilakukan oleh Sultan Aceh Darussalam ke-22, Sultan Iskandar Muda
Meukuta Alam. Mesjid raya ini sekarang dikembangkan oleh lembaga
MUDI MESRA (Ma'had 'Ulumul Diniyah Mesjid Raya) Pimpinan Tgk.
Hasan Noel yang pada saat ini memiliki sekitar 3.000 santri.

Rumah bekas kediaman Raja Samalanga pertama ini, dikenal sebagai


“Rumoh Krueng”, telah dipugar meskipun beberapa bagian masih
menggunakan kayu dasarnya dan sudah terlihat keropos dimakan
rayap. Di sebelah kirinya, berjarak sekitar 50 meter, disemayamkan
jasad Tun Sri Lanang dan orang-orang dekatnya, pada satu kompleks
pekuburan yang sederhana.

Tun Sri Lanang, sang pengarang kitab Sulalatus Salatin, bacaan wajib di
sekolah-sekolah Melayu, dikenang juga dengan gelaran tidak resmi
"Gajah Mada Dunia Melayu". Di antara kesamaan Tun Sri Lanang
dengan Gadjah Mada (sepertinya nama sebenarnya) adalah, 1)
penyatuan, Gajah Mada menyatukan pulau-pulau di Nusantara,
sementara Tun Sri "menyatukan" Melayu karena menurunkan garis
keturunan bangsawan di Malaysia dan di Aceh. Di Malaysia, garis
keturunannya di antaranya adalah Sultan-sultan Pahang, Johor, dan
Selangor. Sedangkan di Aceh, telah ada keturunan ke – 8 Beliau yang
saat ini juga Ketua Yayasan Tun Sri Lanang, Pocut Haslinda Syahrul;
dan 2) ajal: sama-sama meninggal di Aceh, Tun Sri meninggal di
Samalanga pada 1659 M, sementara Gadjah Mada di Manyak Payet,
Tualang Cut, Kuala Simpang.

2. AMPOEN CHIEK PEUSANGAN

Dalam masa berkecamuknya perang antara Kerajaan Aceh melawan Belanda


(1873-1942), lahirlah seorang bayi sehat dan rupawan. Bayi ini dilahirkan
pada tanggal 25 Juni 1890 didesa Pulo Iboh, di tepi kota Matang Glumpang
Dua. Ibunya, Potjut Unggaih, seorang putri bangsawan, putri uleebalang
Meureudu. Ayahnya, Teuku Tjhik Sjamaun, uleebalang nanggroe Peusangan.
Dua sejoli itu memberi nama anaknya, TEUKU MUHAMMAD DJOHAN
ALAMSJAH Kemudian setelah memegang jabatan uleebalang dan
menunaikan ibadah haji, cucu Teuku Tjhik Muhammad Hasan itu diberi
nama, Teuku Hadji Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah Perkasa Alam. Dalam
perjalanan sejarah Aceh abad ke-XX, Teuku Tjhik Muhammad Djohan
Alamsjah tampil sebagai salah seorang uleebalang Aceh terkemuka. Teuku
Muhammad Djohan Alamsjah merupakan turunan generasi ke-IX pengungsi
imperium Abbasiyah yang terdampar di Bandar Aceh pada abad ke-13
itu.Ampon Tjhik Peusangan
Teuku Tjhik Sjamaun. Isteri pertamanya, Potjut Salbiah pribumi nanggroe
Peusangan, melahirkan dua orang anak. Anak pertamanya seorang putri
diberi nama Potjut Zahara, karena kecantikannya rakyat Peusangan memberi
nama panggilan untuknya Potjut Buluen. Anak kedua seorang putra diberi
nama Teuku Ali Alamsjah.

Rakyat nanggroe Peusangan menggelari Teuku Ali Alamsjah dengan nama


Panglima Perang (Ampon Prang), karena beliau juga memimpin pasukan
nanggroe Peusangan dalam peperangan melawan tentara Belanda.
Isteri Teuku Tjhik Sjamaun, Potjut Unggaih, melahirkan 3 orang anak.
Mereka terdiri dari 2 orang putra dan seorang putri. Anak pertama Teuku
Tjhik Sjamaun dari putri uleebalang Meureudu ini adalah Potjut Sjaribanun,
seorang putri. Rakyat nanggroe Peusangan menyebut Potjut Sjaribanun
dengan nama kesayangan Potjut Putroue, karena sikapnya yang agung dalam
kehidupan sehari-hari dengan rakyatnya. Anak kedua adalah seorang putra,
Teuku Muhammad Djohan Alamsjah, seorang pemuda yang kelak tampil
menjadi “uleebalang terkemuka” di Aceh. Dan yang ketiga juga seorang putra,
Teuku Bustaman.
teuku Tjhik Sjamaun. Isteri pertamanya, Potjut Salbiah pribumi nanggroe
Peusangan, melahirkan dua orang anak. Anak pertamanya seorang putri
diberi nama Potjut Zahara, karena kecantikannya rakyat Peusangan memberi
nama  panggilan untuknya  Potjut Buluen. Anak kedua seorang putra diberi
nama Teuku Ali Alamsjah.

Rakyat nanggroe Peusangan menggelari Teuku Ali Alamsjah dengan


nama Panglima Perang (Ampon Prang), karena beliau juga memimpin
pasukan nanggroe Peusangan dalam peperangan melawan tentara Belanda.
Isteri Teuku Tjhik Sjamaun, Potjut Unggaih, melahirkan 3 orang anak.
Mereka terdiri dari 2 orang putra dan seorang putri. Anak pertama Teuku
Tjhik Sjamaun dari putri uleebalang Meureudu ini adalah Potjut Sjaribanun,
seorang putri. Rakyat nanggroe Peusangan menyebut Potjut Sjaribanun
dengan nama kesayangan Potjut Putroue, karena sikapnya yang agung dalam
kehidupan sehari-hari dengan rakyatnya. Anak kedua adalah seorang putra,
Teuku Muhammad Djohan Alamsjah, seorang pemuda yang kelak tampil
menjadi “uleebalang terkemuka” di Aceh.  Dan yang ketiga juga seorang
putra,  Teuku Bustaman.

Pulo Iboh, tempat kelahiran dan tempat Teuku Muhammad Djohan Alamsjah
dibesarkan, adalah juga tempat kediaman resmi uleebalang Peusangan. Pulo
Iboh juga disebut kuta uleebalang (istana) nanggroe  Peusangan. Desa Iboh
juga memegang kunci penting dalam sejarah revolusi sosial Aceh tahun 1945-
1946.
Menyangkut Iboh ada cerita lainnya. Dari desa inilah orang tua Teungku Amir
Husin Al Mujahid berasal. Ketika perang Aceh dengan Belanda sedang
mencapai puncaknya dipantai utara Aceh, keluarga orang tua Husin al
Mujahid mengungsi ke nanggroe Idi, yang telah menjadi sahabat kerajaan
Belanda jauh hari sebelum Perang Aceh–Belanda dimulai. Orang Aceh
memberi gelar yang agung untuk Amir Husin al Mujahid, Napoleon Bonaparte
Aceh, karena keberhasilannya meruntuhkan dan membantai seluruh
uleebalang Aceh hanya dalam waktu beberapa hari saja. Tanpa pernah
bertempur guru sekolah dasar  madrasah di Idi -Aceh Timur ini, dapat
mengecoh Residen Aceh/ Jenderal Mayor TKR/TNI Teuku Njak Arief dan
menggiringnya ke kamp tahanan di Takengon. Napoleon Bonaparte Aceh
dengan  lasykarnya TPR (tentara perjuangan rakyat) dengan ganas
membantai seluruh uleebalang Aceh beserta pengikutnya.

Rumah Peninggalan Yang terletak Di kota Peusangan


Kemudian Amir Husin al Mujahid mengangkat dirinya sendiri menjadi
Jenderal Mayor, anehnya ketika dia berpangkat Jenderal Mayor tentaranya
lenyap bersama asap revolusi sosial Aceh. Kawan-kawannya sesama orang
PUSA menyebutnya filsuf besar Aceh. Keberhasilan Teungku Amir menggusur
Teuku Njak Arief,  Residen- penguasa Negara Republik Indonesia yang baru
merdeka di Aceh, mengantarkan seorang guru madrasah Jamiatul Diniah
Abadiyah di Blang Paseh-Sigli yang bernama Teungku Muhammad Daud
Beureueh ke takhta Diktator Aceh yang baru.
Sambil berkacak pinggang, dengan tangan kiri dia menuding kemuka Teuku
Tjhik Daudsjah - Pejabat Residen Aceh. Uleebalang Idi yang bunglon itu
diperintahkannya untuk mengangkat pemilik kios obat Pidie yang bernama,
Teuku Muhammad Amin, menjadi Asisten Residen Aceh Bidang Politik.
Terpukau oleh kebengisan PUSA,  dalam sekejap Teuku Tjhik Peusangan
yang selama ini “dimuliakan rakyatnya”,  berubah menjadi target tangkapan
Teuku Muhammad Amin pada bulan Maret 1946.
Dalam masa pertempuran dengan Belanda di nanggroe Peusangan, Teuku
Tjhik Sjamaun mengundurkan diri ke daerah hulu sungai Peusangan yang
penuh hutan rimba. Dalam pengungsiannya ini Teuku Tjhik Sjamaun itu
mengatur strategi melawan serangan dan invasi pasukan Jenderal van Heutz.
Uleebalang ini telah bersumpah, tidak akan pernah berjumpa dengan kafir
Belanda. Setelah bergerilya selama 2 tahun, Teuku Tjhik Sjamaun jatuh sakit
dan wafat ditengah hutan rimba Peusangan. Maka, terwujudlah sumpahnya
untuk tidak berjumpa kafir Belanda.  Teuku Tjhik Sjamaun yang patrotik itu
dimakamkan di markas komandonya ditengah hutan rimba Peusangan.
Pemakaman uleebalang yang patriotik ini mendapat penghormatan yang
megah dari pasukan dan pengikutnya yang setia. Sayang makam yang
bersejarah ini kemudian hari dipindahkan. Setelah keadaan di Peusangan
menjadi damai jenasah Teuku Tjhik Sjamaun dimakamkan kembali di Matang
Glumpang Dua,  oleh putranya Teuku Tjhik Muhammad  Djohan Alamsjah.
Ketika Teuku Tjhik Sjamaun sedang bergerilya di rimba Peusangan, Sultan
Aceh Tuwanku Muhamad Daudsjah berkunjung ke  Matang Glumpang Dua,
ibu kota nanggroe Peusangan. Sultan Aceh itu bermaksud mengukuhkan
kembali Teuku Tjhik Sjamaun sebagai uleebalang Peusangan dengan gelar
kedudukannya Teuku Keujruen.
Sultan Aceh  menunggu kedatangan Teuku Tjhik Sjamaun beberapa hari di
Matang Glumpang Dua, tetapi uleebalang Peusangan itu tak kunjung tiba.
Seorang utusan Teuku Tjhik Sjamaun mengabarkan kepada Sultan Aceh,
bahwa uleebalang itu sedang  sakit berat di tengah rimba di hulu sungai
Peusangan. Tanpa membuang waktu, sebagai gantinya Sultan Aceh
mengukuhkan putranya,  Teuku Muhammad Djohan Alamsjah sebagai
uleebalang nanggroe Peusangan. Pengangkatan itu dimuat diatas surat resmi
Keputusan Kerajaan Aceh. Surat pengangkatan yang disebut “Surat Tjap
Sikureung” itu diserahkan langsung kepada Teuku Muhammad Djohan
Alamsjah. Pada hal, pada saat pengangkatannya, uleebalang muda itu baru
berumur 10 tahun.
Beliau bersama Sang Ibu

Usai pelantikan itu, sambil menghindari incaran Jenderal van Heutz


terhadapnya, Sultan Aceh bergegas  melanjutkan perjalanan-kerjanya ke
wilayah Pasai, untuk menyusun kembali markas komanandonya. Sunguh
ironis, perjuangan Teuku Tjhik Sjamaun melawan penjajah Belanda kandas
dalam waktu singkat. Beberapa bulan setelah Teuku Tjhik Sjamaun wafat,
paman Teuku Tjhik Djohan Alamsjah   yang tertua yang bernama Teuku
Maharadja Djeumpa melapor diri (mel) kepada Belanda minta berdamai.
Bagaikan mendapatkan durian runtuh, Jenderal van Heutz langsung
menyambut uluran tangan Teuku Djeumpa itu. Utusan Belanda datang ke
Pulo Iboh menemui Potjut Unggaih. Belanda membujuk permaisuri
uleebalang Peusangan itu untuk mengizinkan putranya dibawa ke Kutaradja
untuk disekolahkan. Belanda bermaksud mendidik uleebalang muda itu
menurut kepentingannya, disekolah model Belanda. Dengan tegas
permintaan Belanda itu ditolaknya, karena Potjut Unggaih tidak ingin
putranya menjadi orang kafir. Berulang kali utusan Belanda datang bersama
dengan Teuku Djeumpa, membujuk Potjut Unggaih.

Setelah bermusyawarah dengan seluruh handai taulannya, Potjut Unggaih


dengan berat hati mengijinkan  putranya dibawa Belanda ke Kutaraja, pusat
kekuasaan Belanda di Aceh. Ibunda Teuku Djohan Alamsjah itu mengajukan
syarat. Putranya boleh dibawa, tetapi harus disertai oleh seorang temannya
yang juga harus disekolahkannya. Tentu saja Belanda  dengan penuh suka
cita menyambut berita kemenangannya ini. Tanpa perlu berlumuran darah
lagi, nanggroe Peusangan telah menjadi sahabat Kerajaan Belanda.
Sahabat adalah kata berukiran indah yang disamarkan pihak Belanda,
sebagai kata ganti takluknya orang Aceh. Enak didengar bangsa Belanda, 
tetapi pahit dirasakan bangsa Aceh.  Akhirnya berangkatlah Teuku
Muhammad Djohan Alamsjah ke Kutaraja dengan seorang pengawal dan
seorang teman yang bernama: Abdul Karim. Kelak dikemudian hari, salah
seorang putra Abdul Karim ini yang bernama Drs Adnan, pegawai pemda Kota
Medan, hingga bulan Oktober 2006 dengan setia masih menjaga Potjut
Maimunah, salah seorang putri Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah
yang sudah sangat sepuh dirumahnya di Jalan Sei Belutu Gang Keluarga no.
55i,  Medan. Untaian tali kesetiaan anak manusiapun terputuskan. Dan
ajalpun datang menjemput putri bangsawan Aceh yang agung itu pada
tanggal 5 November 2006 jam 16.45 di Bandung.
Selama 3 tahun Teuku Muhammad Djohan Alamsjah bersama Abdul Karim
belajar di sekolah Rakyat Guru Djam di Kutaradja.Guru Muhammad Djam,
orang Minangkabau ini sangat profesional dibidangnya. Secara privat kedua
anak muda Aceh itu dididik dan diajarinya dengan sabar. Mata pelajaran
dasar yang diajarkan terutama matematik, membaca dan menulis huruf
Latin, bahasa Melayu, etiket pergaulan masyarakat Belanda, ilmu sejarah dan
politik Hindia Belanda.

Kedua anak muda Aceh itu menyambut kesungguhan gurunya. Keduanya


belajar dengan giat dan mengambil alih seluruh pengetahuan yang
diperolehnya. Gubernur Belanda di Aceh, Jenderal van Heutz sangat puas
terhadap kinerja Guru Djam. Untuk mengenang jasa-jasa Guru Muhammad
Djam dalam bidang pendidikan, pemerintahan Hindia Belanda di Aceh
kemudian hari menamai jalan dimuka sekolah itu, jalan Guru Muhammad
Djam.
Setelah menjalani masa pendidikan yang dikehandaki Belanda, Teuku
Muhammad Djohan Alamsjah serta kawan dan pengawalnya yang setia
diantar kembali ke nanggroe Peusangan. Jenderal van Heutz menganggap
uleebalang muda Aceh ini sudah cukup berhasil dijinakkannya. Kepada
Teuku Muhammad Djohan Alamsjah dipercayakan kembali jabatan
uleebalang Peusangan yang dipangkunya sesuai sarakata Sultan Aceh. Dalam
pelaksanaan tugasnya uleebalang muda ini dibimbing oleh pamannya, Teuku
Djeumpa. Pada hakekatnya pamannya inilah yang bertindak selaku
uleebalang nanggroe Peusangan.
Teuku Djeumpa dengan cermat mulai memutar roda pemerintahan nanggroe
Peusangan sepeninggal Teuku Tjhik Sjamaun. Kepada kemenakannya, Teuku
Tjhik M. Djohan Alamsjah, dijelaskannya posisi Peusangan dalam peta politik
terbaru tanah Aceh. Walaupun dikemas dalam untaian kata-kata yang indah,
bahwa Kerajaan Belanda bersahabat dengan nanggroe Peusangan melalui
Korte Verklaaring, tak berarti nanggroe Peusangan masih berkedaulatan
penuh seperti yang tercantum dalam surat sarakata cap sikureung Sultan
Aceh. Secara militer, nanggroe Peusangan sudah terkalahkan oleh Kerajaan
Belanda. Teuku Djeumpa juga menjelaskan kepada Teuku Djohan Alamsjah,
kekalahan nanggroe–nanggroe uleebalang lain ditanah Aceh hanya tinggal
menunggu waktu saja. Perlawanan secara terbuka terhadap Belanda akan 
mengorbankan seluruh rakyat Peusangan baik harta maupu nyawa, dan cara
ini harus dihindari.
Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah yang masih belia itu, duduk
terpukau merenungkan posisi negara Aceh yang lemah berhadapan dengan
Belanda. Uleebalang muda bersama pamannya yang bijak itu berkesimpulan,
tak ada jalan lain menghabisi Belanda kecuali melalui pendekatan diplomatis.
Maka, uleebalang muda itu bertekad akan menghabisi Belanda dengan ilmu
Belanda itu sendiri. Dalam perjalanan sejarah Aceh tercatat, Teuku Tjhik
Muhammad Djohan Alamsjah terkenal selalu bersikap lemah-lembut dan
lugas terhadap siapapun, baik terhadap Belanda sebagai musuh maupun
terhadap rakyat Peusangan yang dibelanya.
Hingga akhir hayatnya, rakyat Peusangan menganggap Teuku Tjhik
Muhammad Djohan Alamsjah sebagai bapaknya, tempatnya berlindung.
Sebaliknya Belanda, sebagai musuhnya, menganggap uleebalang Peusangan
ini sebagai sahabatnya.  Sebagai uleebalang di dalam surat “cap sikureung”
ditegaskan bahwa Teuku Muhammad Djohan Alamsjah dengan pangkat
Kejreuen berhak mengambil hasil dari laut, darat dan hutan diwilayah
nanggroe Peusangan. Laut lepas pantai nanggroe Peusangan sungguh kaya
dengan kandungan berbagai jenis ikan. Nelayan nanggroe Peusangan sangat
senang bila saat melaut tiba. Hasil tangkapan ikan melimpah ruah. Sebagai
tanda penghormatan kepada uleebalangnya, oleh nelayan itu dipilihnya
beberapa kepala ikan yang terbesar. Dan kepala ikan pilihan ini
dipersembahkan  kepada uleebalangnya, Teuku Tjhik Muhammad Djohan
Alamsjah. Persembahan nelayan ini menjadi kenangan manis yang abadi bagi
keluarga besar uleebalang Peusangan terhadap rakyatnya hingga kini.
Tak ada perlakuan istimewa bagi penguasa nanggroe Peusangan itu. Mereka
harus mencari nafkah sendiri. Di atas lahan miliknya sendiri, Teuku Tjhik M.
Djohan Alamsjah harus bercucuran keringat bertani. Selang beberapa tahun,
dari hasil cucuran keringatnya bertani, terutama hasil sawah dan kebun
kelapa, Teuku Tjhik Djohan Alamsjah  dapat membangun Rumah Panggung
model Aceh dari kayu di Matang Glumpang Dua pada tahun 1907. Rumah ini
berkolong satu meter, berdinding papan, dan beratap sirap dari daun rumbia.

Setelah mempunyai rumah sederhana tempat berteduh dan merasa sudah


akil balig, Teuku Tjhik Djohan Alamsjah pada tahun 1908 melirik kekiri-
kekanan mencari pasangan hidupnya. Kaum kerabatnya menyarankan
kepada uleebalang muda itu untuk meneguhkan kembali tali persaudaraan
antara nanggroe Peusangan dengan nanggroe Peureulak. Maka, dikirimlah
seulangke (utusan) untuk mempersunting  Tjut Njak Asiah, putri uleebalang
Peureulak -Teuku Tjhik Abubakar Sidik. Sungguh beruntung, lamaran
uleebalang Peusangan yang masih belia itu diterima dengan penuh
kegembiraan oleh uleebalang Peureulak. Maka, Teuku Tjhik Djohan Alamsjah
telah mendapat status baru, adik ipar Teuku Muhammad Thajeb
Peureulak yang juga merupakan salah seorang patriot kemerdekaan
terkemuka. Teuku Tjhik Muhammad Thajeb dengan gigih berusaha
mewujudkan impian Indonesia Merdeka.
Didampingi oleh Tjut Njak Asiah Peureulak yang sangat bijak, Teuku Tjhik
Muhammad Djohan Alamsjah dapat mengarungi kehidupan dengan penuh
kebahagian. Anak pertamanya, seorang putri lahir pada bulan April 1912.
Kedua sejoli yang diliputi kebahagian itu menganugrahkan nama, Potjut
Ramlah, untuk putri mungilnya. Potjut Ramlah tumbuh dewasa menjadi
seorang putri yang cantik jelita. Banyak pemuda, putra-putra uleebalang
Aceh bermimpi ingin melamarnya.
Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah telah mewarisi wasiat ayahnya,
bahwa kelak putri pertamanya menjadi pengikat tali persaudaraan dengan
nanggroe Keureutau. Pada usia 16 tahun putri jelita itu menyelesaikan
pendidikan formal Belanda pada ELS di Kutaraja. Kemudian dia selama
setahun memperdalam ilmu Islam bersama guru pribadinya di kediaman
ayahnya di Matang Glumpang Dua. Tatkala berusia 17 tahun, Potjut Ramlah
dipersandingkan dengan Teuku  Muhammad  Basjah, putra tunggal Teuku
Tjhik Sjam Sjarif, uleebalang Keureutau.
Tahun 1929 adalah masa yang paling menyibukkan bagi rakyat nanggroe
Keureutau dan nanggroe Peusangan. Perkawinan kedua anak uleebalang
Aceh terkemuka itu dilakukan dalam upacara yang megah. Gubernur
Belanda dan pejabat tinggi Belanda di Aceh harus tercantum dalam daftar
utama undangan pernikahan itu, karena Teuku Tjhik Muhammad Djohan
Alamsjah  tak mau tertimpa nasib yang sama dengan abang iparnya, Teuku
Tjhik Muhammad Thajeb dibuang ke Boven Digul. Dalam masa pendudukan
Belanda di Aceh, setiap  uleebalang wajib mengundang Gubernur Belanda
dalam setiap perlehatan apapun yang diselenggarakannya.

Pasangan pengantin muda-belia itu tampak sangat anggun. Dalam pakaian


kebesaran, Teuku Muhammad Basjah yang baru berumur 20 tahun dan
masih murid sekolah MULO (SMP) di Kutaraja, tampil di atas panggung
pelaminan yang penuh pernak-pernik hiasan. Gubernur Belanda di Aceh
beserta pembesar lainnya berbaris mengucapkan selamat kepada pengantin
yang putra-putri uleebalang Aceh itu. Belanda sangat senang  melihat
keluarga uleebalang Aceh yang sudah jinak ini. Walaupun demikian, Belanda
dalam kebijakan politiknya tetap memperlakukan seluruh uleebalang Aceh
bagaikan harimau ganas bagi kekuasaannya.
Setelah lama menunggu, pada tahun 1935 pasangan muda bangsawan Aceh
itu dianugrahi Tuhan seorang putri.  Putri mungil ini dinamai Potjut
Zubaidah. Selang tiga tahun kemudian Potjut Ramlah melahirkan seorang
putra yang sangat diharapkan oleh keluarga besar uleebalang Peusangan dan
Keureutau.  Dr. Ida Bagus Bagiastra, seorang dokter lepasan NIAS–Surabaya,
menolong persalinan permaisuri Teuku Tjhik M. Basjah di Rumah Sakit
pemerintah Hindia Belanda di Lhok Sukon. Kelahiran calon putra-mahkota
nanggroe Keureutau disambut dengan penuh  kegembiraan oleh seluruh
rakyatnya. Meriam puntung ditembakan, kembang api dinyalakan menerangi
langit malam hari nanggroe Keureutau. Para ulama mengantarkan doa di
surau dan mesjid. Bedug di mesjid, surau, dan meunasah dipukul bertalu-
talu. Pendek kata seluruh lapisan rakyat, merayakan kelahiran putra
mahkota Keureutau menurut cara dan kemampuannya masing-masing.

Diselimuti oleh kegembiraan yang berlebihan, menantu kesayangan Teuku


Tjhik Peusangan ini pada tahun 1936 lepas kendali. Teuku Tjhik Muhammad
Basjah dan kontrolir Lhok Sukon- Swart Junior, putra Mantan Gubernur
Belanda di Aceh, bercengkrama gembira sambil menunggu kepulangan Potjut
Ramlah dari rumah orang tuanya di Peusangan. Untuk mempererat tanda
persahabatan, kedua pejabat yang berbeda asal dan berbeda tujuan hidup
itu, meneguk minuman whisky, seloki perseloki. Hari sudah menjelang
malam, permaisuri Teuku Tjhik Muhammad Basjah belum juga muncul di
Lhok Sukon.
Karena terpengaruh minuman beralkohol, tiba-tiba uleebalang Keureutau itu
terkejut oleh suara deruman mobil Chrysler. Permaisuri uleebalang
Keureutau itu melangkah turun dari tangga mobilnya menuju ke pintu utama
rumahnya sambil ditatapi oleh kedua lelaki yang sedang duduk di beranda.
Sesuai adat-kebiasaan bangsa Belanda, saat melihat Potjut Ramlah yang
cantik jelita, kontrolir Belanda itu langsung memuji kecantikannya.
Mendengar ocehan Swart Jr., Teuku Tjhik Keureutau merasa terhina, karena
perbuatan orang Belanda itu dianggap pantangan besar dikalangan bangsa
Aceh. Dan perbuatan tercela itu, dianggap menghina tuan rumahnya, Teuku
Tjhik Muhammad Basjah.
Sambil berkata kepada Swart Jr., coba kamu ulangi perkataanmu itu sekali
lagi, Swart Jr. mendapat hujan bogem mentah bertubi-tubi dari menantu
Teuku Tjhik Peusangan itu. Dalam keadaan babak-belur, Swart Jr. lari ke
tangsi serdadu Belanda, di samping rumah dinas Teuku Tjhik Keureutau di
Lhok Sukon. Malam itu juga, Swart Jr. dilarikan oleh Komandan Bataliyon
Marsose di Lhok Sukon ke Kutaraja, melaporkan dirinya kepada Gubernur
Belanda di Aceh, Dr.van Aken.

Gubernur Belanda sangat marah atas perbuatan uleebalang Aceh itu. Setelah
berfikir sejenak, diambil keputusan, Teuku Tjhik Muhammad Basjah –
uleebalang Keureutau dikenakan hukuman pengasingan selama setahun di
Kutaradja. Jabatannya selaku uleebalang dialihkan kepada saudara
sepupunya, Teuku Radja Sabi, putra Tjut Mutia -sang pahlawan- Perang
Aceh. Dan Swart Jr. itu, dipersilahkan kembali ke negeri Belanda untuk
memperdalam ilmu pemerintahan, terutama studi tentang Aceh.
Teuku Tjhik Muhammad Basjah, menamai calon putra mahkotanya, Teuku
Ramsjah. Nama Ramsjah merupakan kependekan dari nama ibunya, Ram-
lah dan nama ayahnya, Ba-syah. Ayah–bunda itu mewariskan namanya
kepada putra tunggalnya, dengan harapan calon putra mahkota ini dapat
mewariskan kemegahan dan keagungan leluhurnya uleebalang Peusangan
dan uleebalang Keureutau. Tetapi bagaikan embun pagi diterpa panasnya
sinar matahari, Revolusi Sosial Aceh tahun 1945 telah melenyapkan harapan
suami-isteri bangsawan Aceh itu tanpa bekas. Teuku Tjhik Muhammad
Basjah menemui ajalnya di Blang Siguci, dipancung oleh algojo PUSA yang
bernama Mandoe Eit, mantan ajudannya sendiri..
Mantan ajudan ini berani berbuat lancang karena disuruh oleh Teuku Hasan
Ibrahim Krueng Pase, anak pungut Tjut Njak Bah -ibu kandung Teuku Tjhik
Muhammad Basjah. Selaku panglima Markas Rakyat di Lhok Sukon, Teuku
Hasan Ibrahim Krueng Pase memerintahkan Kapten Hasbi Wahidi -komandan
bataliyon TKR- Lhok Sukon melakukan penangkapan resmi terhadap seluruh
uleebalang dan pejabat negara RI di wilayah kewedanaan (gun-cho) Lhok
Sukon. Terutama terhadap dua orang musuh bebuyutannya, yaitu Teuku
Bentara Puteh-uleebalang Seuleumak dan Teuku Tjhik Muhammad Basjah,
karena kedua orang ini telah berani menolak lamaran Teuku Hasan Ibrahim
Krueng Pase untuk mengawini seorang janda kaya. Dan janda kaya yang
menjadi incerannya adalah Tjut Njak Nur- adik kandung Teuku Tjhik
Muhammad Basjah, janda putra Teuku Sri Maharadja Mangkubumi
-uleebalang Lhok Seumawe.

Setelah kedua musuh bebuyutannya itu menjadi mangsa algojo PUSA, impian
panglima Markas Rakyat di Lhok Sukon untuk menjadi suami janda kayapun
menjadi kenyataan. Harta sijanda kaya itupun dikuras habis, bekal dia
mengawini seorang gadis -putri uleebalang Meuraxa- Kutaraja. Nasib anak
manusia berjalan menurut suratan-tangannya masing-masing. Demikian
pula dengan nasib Teuku Ramsjah, calon putra mahkota Keureutau ini. Pada
tahun 1978 dikeramaian Pasar Glodok, di Jakarta tanpa terduga dua anak
manusia bertemu kembali. Tiba-tiba seorang anak muda dengan wajah dan
dalam pakaian kumuh, merangkul Dr. Ida Bagus Bagiastra. Orang muda ini
memperkenalkan dirinya, Teuku Ramsjah putra Teuku Tjhik Muhammad
Basjah -uleebalang Keureutau.
Teuku Ramsjah sungguh berperi laku aneh. Ketika kerabat ibunya Letnan
Jenderal Polisi Teuku Abdul Aziz, Wapangab RI dan Letnan Jenderal TNI Dr.
Teuku Sjarif Thajeb, Menteri P&K RI masa orde-baru yang sangat terkemuka,
menawarkan pilihan jabatan bupati di wilayah NKRI, dengan senyum
dikulum ditolaknya kebaikan hati kedua orang petinggi Republik itu.
Rupanya kedua petinggi Republik Indonesia tak tahu, bahwa Teuku Ramsjah,
putra mahkota nanggroe Keureutau telah berubah menjadi seorang sufi yang
bermakam tinggi.
Akhirnya cucu kesayangan Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah
ini mengembuskan nafas terakhir pada tanggal 11 Maret 1990 di rumahnya
di Medan, setelah beberapa saat menderita sakit gagal ginjal. Putra mahkota
nanggroe Keureutau itu dimakamkan disamping kakeknya, Teuku Tjhik M.
Djohan Alamsjah, dipekuburan keluarga Sultan Deli -disamping Mesjid Raya
Sultan Deli- Al Maksum, Medan.
Setelah Teuku Muhammad Djohan Alamsjah dianggap dewasa dan cukup
cakap untuk memimpin nanggroe Peusangan, Teuku Djeumpa merasa sudah
saatnya mengundurkan diri dari panggung politik nanggroe Peusangan.
Gubernur Belanda di Aceh juga setuju dengan kebijakan  Teuku Maharadja
Djeumpa tersebut.

Dihadiri pejabat tinggi sipil dan militer, serta didahuli tembakan meriam
sebanyak 7 kali dan iringan musik pasukan militer, Gubernur Belanda di
Aceh melantik Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah menjadi
Zelfbestuurder (penguasa daerah swapraja) nanggroe Peusangan. Upacara
pelantikan ini dilangsungkan di halaman rumah kediaman uleebalang
Peusangan itu, di Matang Glumpang Dua, pada tanggal 25 November 1912.
Sejak pelantikannya itu, pejabat Belanda maupun rakyat nanggroe
Peusangan, menyebut Teuku Muhammad Djohan Alamsjah dengan panggilan
kehormatan, Ampon Tjhik. Maka, selanjutnya  hak Teuku Tjhik Muhammad
Djohan Alamsjah sebagai Keujruen Peusangan yang tercantum dalam surat
cap sikureung (cap sembilan) Sultan Aceh, dikukuhkan kembali oleh
Gubernur Jenderal Hidia Belanda.
Sejak saat itu nanggroe Peusangan yang terdiri atas 3 uleebalang-cut
(uleebalang-kecil), yaitu Jeumpa, Jangka, dan Matang Glumpang Dua resmi
menjadi sahabat Kerajaan Belanda. Penduduk nanggroe ini sekitar 20.000.
Menjelang Perang Dunia ke-II penduduk nanggroe Peusangan meningkat
mencapai 50.000 orang. Rakyat nanggroe Peusangan sejak saat itu juga
dinyatakan ikut menjadi kawula Kerajaan Belanda.
Dibalik kemegahan upacara pelantikan zelfbestuurder itu, hak kedaulatan
nanggroe Peusangan dalam bidang militer-ekonomi-hukum langsung
dimasukan kedalam kantong Belanda. Di nanggroe Peusangan dilakukan
demiliterisasi, artinya uleebalang Peusangan tak diperkenankan memiliki
pasukan tentara sendiri.

Haknya selaku panglima lasykar Kerajaan Aceh di nanggroe Peusangan


dianulir oleh Belanda.
Bagaimana dengan hak mengatur ekonomi? Belanda menguncinya didalam
perdagangan. Perdangangan lokal dalam kontrol Belanda. Export-import
menjadi hak monopoli Belanda. Peraturan baru dikenakan terhadap rakyat
Aceh, yaitu wajib bayar pajak kepada Hindia Belanda. Teuku Tjhik Peusangan
beserta ulama dan tokoh masyarakat dengan tawakkal menerima beban
dipundaknya. Secara tertib pajak dikumpulkan untuk penguasa baru tanah
Aceh. Bila ada diantara rakyatnya tak mampu bayar pajak, maka kewajiban
rakyatnya itu diambil alih, dan beban pajak itu dilunasi oleh Teuku Tjhik
Peusangan pribadi.
Pengaturan hukum menjadi hak Belanda. Uleebalang boleh menunjuk kadhi
(ulama)  untuk medampinginya dalam memutuskan perkara kecil sesuai
syariat Islam. Tetapi hasil keputusan pengadilan tingkat nanggroe ini baru
mendapat kekuatan hukum setelah mendapat pengesahan controlleur
Belanda. Perkara yang dianggap besar disidangkan dipengadilan Meusapat
(musyawarah). Pengadilan jenis ini dipimpin langsung oleh controleur
Belanda. Anggota pengadilan meusapat terdiri dari beberapa uleebalang dan
ulama yang ditunjuk oleh Belanda. Controleur Belanda mempunyai hak
menganulir keputusan pengadilan meusapat ini, bila dianggapnya berbahaya
bagi kelestarian kekuasaan Belanda.
Hak koreksi terakhir ada ditangan Gubernur Belanda di Aceh.

Terakhir hak veto berada ditangan Gubernur Hindia Belanda di Istana


Buitenzorg (Bogor).  Pajak dan kerja rodi diberlakukan. Pada akhirnya hak
yang tersisa untuk uleebalang, hanya sebagai kolektor pajak dan sebagai
mandor kerja rodi untuk Belanda. Belanda tidak punya kepentingan terhadap
pembinaan dan keselamatan rakyat di nanggroe Peusangan.
Itulah fakta sejarah yang dihadapi dan digeluti oleh Teuku Tjhik M. Djohan
Alamsjah. Uleebalang Peusangan tak diperkenankan berdagang. Untuk
menguncinya dalam sangkar emas “Uleebalang Ompong”, Belanda berbaik
hati memberi tunjangan bulanan f.800,-. Tunjangan bulanan uleebalang
Peusangan ini sama besarnya dengan honorarium bulanan dokter pribadi  Sri
Susuhunan Paku Buwono X , Radja Djawa.
Setelah resmi menjadi zelfbestuur Peusangan, Teuku Tjhik Peusangan 
memantapkan  hati untuk tetap bertekad menghadapi Belanda dengan cara
diplomatis. Sungguh pahit rasanya berada sebagai orang yang terpojokkan
dalam berhadapan dengan kekuasaan Belanda.
Walaupun demikian, segala pahit getir yang sudah dialami bangsa Aceh
dalam perang bangsa Aceh melawan Belanda, disimpan dilubuk hatinya yang
sangat dalam. Uleebalang Peusangan ini sudah bertekad menggusur Belanda
melalui ilmunya sendiri.

Maka, tak ada jalan lain kecuali secara sungguh-sungguh  mengambil-alih


ilmunya sebanyak-banyaknya. Jalan  terbuka secara legal yang diakui
Belanda adalah melalui pendidikan formal.
Untuk menembus rasa kecurigaan dan kebencian yang sudah berurat-akar
dalam hati sanubari rakyat Aceh akibat ulah Belanda dalam perang Aceh
melawan Belanda, maka Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah segera mengambil
jalan pintas. Uleebalang ini menunjukkan sendiri contoh tauladan cara
menghadapi penjajah Belanda kepada rakyatnya. Orang Aceh pasti dapat
mengusir Belanda bilamana mampu mengambil alih ilmunya.  Langkah
pertama adalah dengan cara membina dan mendidik putra-putri serta
kerabat terdekatnya, dengan cara langsung mempelajari dari sumbernya
yakni Belanda.
Maka, seluruh putra-putri Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah yang terdiri
atas 3 orang putra dan 4 orang putri bergembira  melangkahkan kakinya ke
pundi-pundi ilmu pengetahuan milik Belanda. Putra-putrinya diajak
bertamasya ke alam pendidikan Belanda. Mereka sangat senang, dan terbuai
dalam cita-cita ayahandanya. Seluruh putra-putri uleebalang Peusangan
inipun disekolahkan di sekolah dasar Belanda, ELS di Kutaraja.

Sekolah ini menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Maka,


putra-putri uleebalang Peusangan tersebut terpaksa ditempatkan di
lingkungan yang memaksa mereka menggunakan bahasa Belanda. Akhirnya,
mereka mondok di Kutaradja pada seorang Belanda totok, seorang sersan
tentara Belanda yang pernah bertugas di nanggroe Peusangan. Orang
Belanda ini sudah dikenal baik sebelumnya oleh uleebalang Peusangan itu.
Semua putra-putri Teuku Tjhik Peusangan berhasil sepenuhnya menyadap
ilmu orang Belanda. Disamping itu mereka tetap bertingkah laku yang agung,
baik dalam pandangan budaya Belanda maupun dalam pandangan budaya
bangsa Aceh. Tak seorangpun dari putra-putri uleebalang ini hanyut dalam
arus negatif budaya Belanda, apalagi menjadi pecandu minuman keras atau
yang lainnya.
Keberhasilan putra-putrinya dalam menempuh pendidikan, sangat
membahagiakan Teuku Tjhik Peusangan. Semua putra Teuku Tjhik M.
Djohan Alamsjah, yaitu Teuku M. Hasan, Teuku M. Saleh dan T.
Abubakar serta putrinya, Potjut Ramlah, Potjut Fatimah Zohra, Potjut
Maimunah dan Potjut Aminahdapat menyesaikan pendidikannya di ELS–
Kutaraja dengan baik. Kecuali Potjut Ramlah, putri tertuanya yang calon
permaisuri uleebalang Keureutau, seluruh putra-putri Teuku Tjhik M. Djohan
Alamsjah menyelesaikan pendidikan menengah di HBS di kota Medan.
Kemudian putra tertuanya, Teuku Muhammad Hasan, putra mahkota
nanggroe Peusangan, melanjutkan pendidikan tingginya di RHS (sekolah
tinggi hukum) di Batavia atau Betawi. Studen RHS ini belajar dengan tekun
dan dia menjauhi hiruk-pikuk kehidupan politik yang sedang bergelora di
tanah Jawa. Ayahnya membekalinya f.200,- setiap bulan. Untuk kenyamanan
tinggal dan belajar, putra Teuku Tjhik Peusangan ini membeli sebuah rumah
sederhana seharga f. 200,- di Jalan Gereja Theresia.

Pada akhir minggu kediaman Teuku M. Hasan menjadi tempat berkumpul


kawan-kawannya. Diantara kawannya yang sering bertandang adalah Teuku
Jusuf Muda Dalam, putra uleebalang Bambi-Unoe yang sedang belajar di
Landbouwschool-Bogor. Putra uleebalang Bambi-Unoe ini hanya mendapat
f.15,- perbulan dari ayahnya. Terdesak oleh kebutuhan hidup sehari-hari,
putra uleebalang Bambi-Unoe sering minta pinjam uang pada putra Teuku
Tjhik Peusangan yang hidup dalam kecukupan.
Tentu saja kebiasan anak manusia yang sulit dihilangkan hinggap pula pada
anak muda studen Landbouwschool itu, yaitu mudah meminjam sulit
melunasi. Satu saat Teuku Jusuf Muda Dalam ditegur keras oleh Teuku M.
Hasan, karena kebiasan buruknya yang tak mau melunasi hutang. Peristiwa
ini menjadi kenangan pahit bagi studen Landbouwshool itu. Akhirnya
peristiwa ini merubah jalan hidup Teuku Jusuf Muda Dalam. Dirundung rasa
malu yang sangat dalam karena kemiskinannya, dia bertekad akan
mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya.
Usai belajar di Landbouwschool, tanpa banyak pertimbangan dia
memutuskan untuk belajar ilmu dagang di Handelshogeschool di Rotterdam-
Belanda. Dia ingin membuktikan, bahwa ia mampu mengumpulkan uang
sebanyak banyaknya. Di era Presiden Soekarno, Jusuf Muda Dalam terpilih
menjadi direktur utama Bank Negara Indonesia 1946. Mendengar Teuku M.
Hasan telah manjadi pegawai BNI 1946 di Medan, maka Jusuf Muda Dalam
segera melucur ke Medan.

Sungguh diluar dugaan, Teuku M. Hasan, putra Teuku Tjhik Peusangan yang
sudah ternista oleh kaum ulama PUSA, menjadi sasaran dendam kesumat
Jusuf Muda Dalam. Ketika berhasil menjumpai Teuku M. Hasan, saat itu
juga dipecatnya putra uleebalang Peusangan itu dari BNI 1946. Dalam
keadaan lunglai putra mahkota nanggroe Peusangan, yang hidup flamboyan
di era Hindia Belanda, kembali ke asalnya, keluarga besar Peusangan. Itulah
hasil pergaulannya dengan seorang studen Landbouwschool-Bogor.
Akan hal rumahnya di Jalan Gereja Theresia, Weltervreden (daerah elite
Menteng–Jakarta), menjelang pendaratan tentara Jepang di Jawa,
dihadiahkannya kepada Teuku Jusuf – cucu uleebalang Seuleumak, kerabat
iparnya Teuku Tjhik M. Basjah Keureutau. Sayang rumah ini dijual oleh
Teuku Jusuf Seuleumak, studen GHS (sekolah dokter  Belanda), pada masa
penjajahan Jepang. Padahal di era Orde-Baru rumah ini bernilai tak kurang
dari satu juta dollar Amerika Serikat.

Seorang kakak perempuan Teuku M. Hasan, Potjut Fatimah


Zohra melanjutkan pelajaran di Sekolah Guru Tinggi di Lembang–Bandung.
Adik perempuan lainnya, Potjut Maimunah belajar di Sekolah Akademi Guru
–PAMS. Potjut Maimunah, semasa belajar di HBS–Medan, merasa perlu
memperbaiki bahasa Jermannya.  Maka, dia memilih kost pada sebuah
keluarga orang Jerman bernama Schipper. Selama belajar di HBS dia
mencatat pengeluaran bulanannya.  Untuk uang sekolah f.22.50, untuk kost
f.50, untuk uang saku f.10, total pengeluaran minimal f.82.50. Sungguh berat
beban yang harus dipikul oleh Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah 
untuk membiayai ke 7 orang putra- putrinya. Walaupun demikian, Teuku
Tjhik M. Djohan Alamsjah melangkah terus. Dirangkulnya seorang
kemenakannya yang bernama Teuku Abdul Aziz. Kemenakannya itu di
dorongnya  maju kemedan juang yang baru. Disekolahkannya pemuda itu di
HIS, kemudian T.A. Aziz melanjutkan studi di MULO  Kutaraja dan AMS–B di
Jogyakarta.
Sesuai dengan kebanggaan pada zaman itu, putra-putra uleebalang Aceh dan
kerabatnya berlomba menembus benteng aturan Belanda untuk menjadi
kadet Akademi Militer Kerajaan Belanda di Breda, Negeri Belanda. Pada masa
Hindia Belanda ada aturan tak tertulis, orang Aceh tak diperkenankan masuk
militer Belanda. Apalagi masuk KMA Breda, di negeri Belanda. Walaupun
demikian, kaum bangsawan muda Aceh tetap berusaha mereguk ilmu militer
Belanda sedalam-dalamnya. Tentu saja target terakhirnya orang bangsawan
ini adalah merebut kembali kemerdekaan tanah Aceh.

Terbawa oleh arus zamannya setamat AMS di Jogyakarta, Teuku Abdul Aziz
bersama 3 orang putra bangsawan Aceh lainnya, yaitu: Teuku Teungoh
Hanafiah, putra Teuku Muda Jusuf, uleebalang Simpang Ulim, Teuku Akbar,
putra seorang uleebalang didaerah pantai barat Aceh, dan Teuku Jusuf, cucu
Teuku Bentara Seuntang uleebalang Seuleumak.  Keempat mereka
menempuh ujian masuk KMA (Koninklijke Militairie Academie) di Breda. 
Semua perintang dalam ujian itu dapat dilalui putra bangsawan itu  dengan
hasil sangat memuaskan. Apakah masih ada alasan “Panitia Ujian Seleksi”
masuk KMA itu menolaknya? Secara profesional dan administratif, jawabnya
tidak. Alhasil ke-4 orang pemuda Aceh itu diterima menjadi kadet KMA. Hasil
ini sungguh mengejutkan bagi putra-putra terbaik Aceh itu, maka meledaklah
kegembiraan mereka.
Jenderal Berenschot, panglima  KNIL (tentara Hindia Belanda) dengan tenang
masuk ke ruang kerjanya, di Markas Besar KNIL, di Bandung. Ajudannya
telah menyiapkan laporan rahasia dari Kantor BB (departemen dalam negeri
Hindia Belanda) di meja panglima KNIL itu. Jenderal Berenschot membaca
seluruh laporan itu dengan teliti, kasus demi kasus. Sungguh terperanjat
Jenderal KNIL itu. Lebih terperanjat lagi dibuatnya, ketika menyaksikan
bocah Aceh -mantan tawanannya yang saat itu berumur 8 tahun- lulus ujian
kadet KMA. Dipendamnya dilubuk hati terdalam segala pengalaman pahit di
medan pertempuran Aceh. Terlintas dibenaknya, Angkatan Perang Kerajaan
Belanda di masa akan datang harus berhadapan lagi dengan orang muda
reinkarnasi Teuku Umar, sang pahlawan Kerajaan Aceh. Walaupun demikian,
ajudannya diperintahkannya untuk mempersilahkan ke-4 orang anak muda
Aceh itu masuk ke ruang kerjanya.

Dengan kesopanan seorang Jenderal Kerajaan Belanda, Jenderal Berenschot


mempersilahkan ke-4 orang putra bangsawan Aceh itu untuk mengambil
tempat duduknya masing-masing di hadapan meja kerjanya.
Pembicaraanpun dibukanya, Jenderal Belanda itu atas nama Angkatan
Perang Hindia Belanda dan atas nama Sri Ratu Belanda mengucapkan kata-
kata terima kasihnya atas kesediaan mereka bergabung dengan angkatan
perang Kerajaan Belanda, serta mengucapkan selamat atas kelulusan 
mereka menjadi kadet KMA–Breda di Negeri Belanda.
Pada akhir ukiran kata-kata yang indah itu, Jenderal Berenschot menutup 
dengan kalimat pendek yang sangat menyejukan bagi Kerajaan Belanda.
Ledakan kalimat pendek itu, sungguh bagaikan  sejuta kali kekuatan letusan
Gunung Krakatau tahun 1883  bagi ke-4 bangsawan muda Aceh itu. Seluruh
impian cucu Teuku Tjhik Sjamaun bersama ke 3 bangsawan Aceh itu,
laksana terlempar kesisi kursi pemilik alam semesta  dilapisan langit ke-7.
Panglima KNIL itu berkata:  “Sungguh sayang, saya terpaksa menyatakan
dengan berat hati, tuan-tuan Teuku Abdul Aziz, Teuku Teungoh Hanafiah,
Teuku Akbar, Teuku Jusuf, tidak dapat kami terima di Akademi Militer
Kerajaan Belanda”. Dihelanya dalam-dalam nafasnya, kemudian
disambungnya kata-kata yang terputus oleh rasa lelahnya . “Karena tuan-
tuan ber ‘BANGSA ACEH’, itu saja alasannya”. “Kecuali satu hal, jika tuan-
tuan dapat memperoleh surat jaminan tertulis dari Gubernur Jenderal Hindia
Belanda, maka tuan-tuan akan kami terima di Akademi Militer Kerajaan
Belanda di Breda”.
“Walaupun demikian”, sambung Jenderal Belanda itu lagi. “Tuan-tuan dapat
diterima di sekolah tinggi kedokteran, atau hukum, atau pertanian, ataupun
pamongpraja”. Jenderal Berenshot menyudahi pembicaraannya dengan
penuh kesopanan Belanda: “Saya sangat senang telah bertemu dengan tuan-
tuan hari ini, dan saya menunggu dengan sangat jaminan tertulis untuk
tuan-tuan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda”.

Dalam keadaan gontai ke-4 orang anak muda Aceh itu keluar dari kamar
kerja panglima KNIL itu. Dengan bibir gemetar ke-4 anak muda itu segera
menelpon handai-tolannya masing–masing, melaporkan hasil ujian seleksi
masuk KMA di Breda. Mereka mendesak kaum kerabatnya masing-masing
untuk datang menghadap Gubernur Jenderal Hindia Belanda, untuk
mendapat rekomendasi masuk KMA-Breda bagi mereka.
Kecuali Teuku Tjhik Peusangan, seluruh kerabat uleebalang Aceh yang
putranya tergila-gila akan kadet KMA-Breda itu, menjawab singkat
permintaan putranya itu: “Apakah kamu anakku akan mati kelaparan, kalau
tidak menjadi serdadu Belanda?”. Kerabat uleebalang Aceh sangat menginsafi
posisinya masing-masing berhadapan dengan musuh bebuyutannya itu.
Mereka tidak mau larut dalam buih sopan-santun Belanda.
Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah yang rendah hati itu dan sudah
bertekad mengabisi Belanda dengan ilmunya sediri, segera berusaha
memenuhi permintaan T.A. Aziz – kemenakannya itu. Gayungpun bersambut,
Teuku Tjhik Peusangan datang menemui Dr. Van Aken. Permintaan Teuku
Tjhik Peusangan disambut baik oleh  Gubernur Belanda di Aceh. Dr. Van
Aken segera mengirim surat kawat (telegram) rahasia kepada Gubernur
Jenderal Hindia Belanda, mengabarkan perihal permintaan Teuku Tjhik
Peusangan, sekutu Belanda di Peusangan.

Gubernur Jenderal Hindia Belanda bersama dengan beberapa penasehatnya


membahas dengan cermat surat kawat Dr. Van Aken yang juga menjabat
anggota Dewan Hindia. Akhirnya permintaan Teuku M. Djohan Alamsjah,
sahabat pribadi Dr. Van Aken, oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda diberi
formula baru. Permintaan Teuku Tjhik Peusangan tidak dinyatakan ditolak.
Dalam formula baru ciptaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, T.A. Aziz
dipaksa berangkat ke kota Sukabumi, menjadi kadet Akademi Polisi Kerajaan
Belanda. Artinya, Akademi Militer Belanda tetap tertutup bagi bangsa Aceh.
Jenderal Berenschoot, Panglima KNIL merasa sangat puas, karena dapat
menyingkirkan ke-4 orang muda bangsawan Aceh, musuh potensial Kerajaan
Belanda dari arena gudang ilmu militer. Sungguh sayang, rasa puas sang
jenderal tak dapat berlangsung lama. Tanpa terduga seorang bangsawan Aceh
lainnya berhasil menyusup ke kamar tidurnya. Bangsawan muda Aceh itu
adalah, Teuku Tjhik Ali Akbar -uleebalang Kaway XVI- Aceh Barat, murid
OSVIA Bandung.

Dengan senyum pahit, Teuku Tjhik Ali Akbar terpaksa diterimanya menjadi
menantunya. Rupanya putri sang jenderal yang dibesarkan dalam medan
pertempuran militer Belanda di wilayah Aceh Barat, sudah tak dapat lagi
melepaskan diri dari kenikmatan menu para gerilyawan Kerajaan Aceh.
Akhirnya, ketika serdadu Jepang mendarat di pantai Barat Aceh tahun 1942,
menantu Jenderal Belanda ini menjadi tumbal kebengisan serdadu Jepang.
Sayed Abubakar, kader PUSA yang menjadi anggota Fujiwara Kikan memberi
petunjuk khusus kepada serdadu Jepang untuk mengantarkan uleebalang
Kaway XVI menemui Sang Penciptanya di langit ke-7.
Seorang uleebalang lain di pantai barat Aceh, uleebalang nanggroe Trumon
(Bakongan) juga ikut tergaet noni Belanda.  Maka, noni Belanda itupun
menjadi isteri  uleebalang Trumon (Bakongan). Kenyataan beberapa
uleebalang Aceh beristerikan perempuan Belanda tentu saja menjadi
bumerang bagi kaum uleebalang. Untuk meningkatkan kebencian rakyat
Aceh terhadap kaum uleebalang, dalam kurun waktu hegemoni kaum ulama
PUSA tahun 1945-1950, yel-yel bertajuk uleebalang = menantu Belanda
berkumandang dengan dahsyat di seluruh pelosok Aceh. ***
Dengan bekal ilmu pengetahuan yang diperoleh dari Belanda. Maka, Teuku
Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah dengan langkah yang ringan, tanpa
membuang waktu langsung mengayunkan langkah berikut ke proyek
besarnya.  Yaitu, mencerdaskan seluruh rakyatnya, rakyat nanggroe
Peusangan.

Rakyatnya ditariknya segera dari dalam gua kegelapan serta kebodohan


dengan obor ilmu pengetahuan Belanda. Pendidikan rakyat model Belanda
dikembangkannya. Secara bertahap dan pasti putra-putri rakyatnya
dicerdaskannya melalui pendidikan formal. Gedung sekolah didirikannya,
walaupun hanya dalam kondisi serba darurat, sesuai dengan uang yang
berdering dikoceknya.  Maka dalam waktu singkat berdirilah sekolah-sekolah
yang sangat dasar di Matang Glumpang Dua. Orang Belanda menyebut
sekolah itu volkschool. Orang Aceh menamainya -sekolah rakyat- kelas 3.
Pemerintah Hindia Belanda di Aceh dengan senang hati membantu
mewujudkan mimpi indah Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah itu.
Kelangkaan tenaga guru memaksa uleebalang Peusangan mencari jalan
pintas. Guru-guru diimport dari Negeri Minangkabau yang sudah lebih
dahulu maju dalam pendidikan. Orang Minangkabau pertama yang membawa
obor ilmu-pengetahuan Belanda ke Peusangan adalah pasangan suami isteri
guru, Sutan Mangkudun dan isterinya Encik Rukiah. Suami-isteri guru ini
berasal dari Maninjau. Dengan penuh dedikasi kedua suami-isteri guru ini
mengajar membaca-menulis, ilmu berhitung, dan bahasa Melayu kepada
anak-anak bangsa Aceh di Peusangan. Selang beberapa tahun kemudian,
uleebalang Peusangan meminta kepada Sutan Mangkudun untuk mendirikan
sekolah lanjutan bagi anak-anak tamatan vervolkschool.
Melalui kesungguhan orang Maninjau suami-isteri itu,  muncul lagi di
Peusangan sekolah baru, vervolkschool – sekolah rakyat kelas 5. Untuk
memenuhi tenaga guru yang sangat mendesak, uleebalang Peusangan itu
mengirim putra-putra Peusangan tamatan volkschool, belajar disekolah guru
di kota Padang. Sementara itu muncul seorang guru yang sudah siap pakai,
dia tamatannormalschool (sekolah guru berbahasa Melayu) di
Pematangsiantar, namanya Sjamaun Gaharu. Uleebalang Peusangan sangat
senang dibuatnya, dan langsung menempatkannya menjadi
guru volkschool di Matang Glumpang Dua.

Guru muda itu sangat kreatif dalam mendidik anak muridnya yang hampir
seluruhnya terdiri dari anak petani. Melihat prestasi kerja guru muda itu
yang sangat menonjol, maka Sutan Mangkudun mengusulkan kepada
uleebalang Peusangan, supaya Sjamaun Gaharu diberi kesempatan belajar
diLandbouwschool di Bogor. Teuku Tjhik Peusangan sangat setuju dengan
usul Sutan Mangkudun yang bijak itu.  Orang Minangkabau itu
menambahkan catatan khusus, bahwa ilmu pertanian yang diperoleh
di Landbouwschool itu dapat ditularkan kepada anak-anak didiknya.
“Bukankah Ampon Tjhik berkehendak membangun proyek raksasa,
membangun pertanian rakyat Peusangan secara besar-besaran?”, tambah
Sutan Mangkudun menguatkan usulnya itu.

Mengajak putra-putri rakyat Peusangan untuk bersekolah tidak selalu mulus.


Sebagian rakyatnya menyatakan keberatannya untuk mengizinkan anaknya
belajar disekolah kafir ini. Satu persatu orang tua murid tersebut diyakinkan
oleh Teuku Tjhik Peusangan akan manfaat ilmu pengetahuan, guna
melenyapkan kebodohan.  Uleebalang itu menambahkan lagi, setelah
kebodohan lenyap baru kemakmuran dan kesejahteraan datang menyongsong
rakyat Peusangan. Pendekatan yang dilakukan Teuku Tjhik Peusangan
sangat menyentuh hati rakyatnya. Namun kemudian giliran anak-anak orang
Aceh yang menyatakan penolakannya, mereka melarikan diri dari sekolah.
Teuku Tjhik Peusangan dengan penuh tawakal berusaha menghadapi
tingkah-polah bocah-bocah Peusangan. Diantara bocah liar ini terdapat
seorang bocah yang terlalu liar, namanya Muhammad Insya. Dia anak salah
seorang petani di Matang Glumpang Dua. Dijinakkannya anak terliar orang
desa itu, serupa dengan cara menjinakkan sapi-liar Aceh yang baru
tertangkap dihutan rimba.  Setiap hari bocah itu dijemput paksa oleh opas
uleebalang Peusangan. Ditangannya dipasangkan borgol, sebelah lagi borgol
dipasangkan pada lengan opas itu. Mata si bocah itu ditutup rapat dengan
kain selendang berwarna hitam. Dalam keadaan mata tertutup dan tangan
terborgol bocah Aceh itu setiap hari diantar kesekolahnya. Sesampai di
sekolah sang bocah duduk dibangkunya didampingi pengawalnya, opas
uleebalang itu.
Waktu berjalan terus, dan si bocahpun berangsur menjadi jinak, seperti sapi
liar Aceh yang akhirnya terjinakan oleh waktu. Diluar dugaan, Muhammd
Insya, anak liar ini akhirnya menjadi murid terpandai dikelasnya. Sutan
Mangkudun, gurunya sungguh terperangah dibuatnya. Atas usul gurunya,
anak liar yang cerdas itu, disekolahkan oleh Teuku Tjhik Peusangan ke
sekolah  berbahasa Belanda.  Kemudian atas jaminan dan ongkos Teuku
Tjhik M. Djohan Alamsjah pribadi, diapun menjadi studen di sekolah Akademi
Kepolisian Kerajaan Belanda di Sukabumi, mengikuti jejak-kemenakan
uleebalangnya- Teuku Abdul Aziz.  Di awal revolusi kemerdekaan Indonesia,
Muhammad Insya menjadi Panglima BKR/TKR/TNI pertama di Kresidenan
Jambi. Kemudian dia ditunjuk menjadi Kepala Kepolisian Kresidenan Aceh
pada tahun 1946.

Merasa sudah cukup lama bekerja untuk Teuku Tjhik Peusangan, dan anak-
anaknya sendiri sudah tumbuh besar, maka guru Sutan Mangkudun
memberanikan diri untuk pindah kembali ke negeri Minangkabau. Uleebalang
Peusangan itu sungguh terperanjat dibuatnya. Berbagai alasan dikemukakan
guru Sutan Mangkudun, dan alasan yang paling utama adalah anak-
anaknya   butuh bersekolah di sekolah berbahasa Belanda. Dengan berbagai
alasan guru itu tetap dibujuk oleh uleebalang Peusangan untuk bekerja
mencerdaskan anak-anak pribumi nanggroe Peusangan. Hati suami-isteri
guru itu sungguh luluh dibuatnya.
Alibi keluarga Sutan Mangkudun sungguh sangat mengilhami uleebalang
Peusangan itu. Tak lama kemudian Teuku Tjhik Peusangan mendesak
Gubernur Belanda di Aceh untuk mendirikan HIS, sekolah dasar berbahasa
Belanda, di kota Bireuen yang banyak dihuni tentara Belanda. Kini anak-
anak kecil yang selama ini harus bersusah payah ke HIS Lhok Seumawe
dengan kereta api ASS yang kuno itu, dapat belajar dengan nyaman di HIS
Bireuen.  Anak-anak guru Sutan Mangkudun juga belajar di sekolah Belanda
itu. Akhirnya suami-isteri  guru yang penuh dedikasi dan sangat profesional
itu menghabiskan seluruh sisa umurya di Peusangan. Dan Sutan
Mangkudun beserta isterinya Encik Rukiah dimakamkan di nanggroe
Peusangan.
Setelah Teuku Tjhik Peusangan merasa dirinya sudah mulai berhasil
membimbing rakyatnya keluar dari gua kegelapan dan  kebodohan dengan
menggapai ilmu duniawi orang Belanda walau dalam kadar yang sangat
minimal, maka uleebalang Peusangan itu berusaha mengembalikan marwah-
martabat bangsa Aceh melalui ilmunya sendiri, ilmu dunia-akhirat, yaitu
ilmu agama Islam.
Seluruh ulama nanggroe Peusangan dirangkulnya, dan diajaknya menyokong
mendirikan sekolah pendidikan agama Islam. Bagaikan tarikan magnit
raksasa, dalam sekejap seluruh rakyat nanggroe Peusangan tersedot
keterpihakkannya oleh ajakan uleebalang dan ulamanya membangun kembali
syiar Islam di Peusangan. Dalam waktu singkat berdirilah sebuah gedung
sederhana, tempat lembaga pendidikan formal agama Islam mewujudkan
cita-citanya di Matang Glumpang Dua, ibu kota nanggroe Peusangan.

Lembaga pendidikan ini diberi nama   Al Muslim. Dalam upacara yang cukup
meriah pada tahun 1929, Perguruan Islam Al Muslim tersebut dibuka resmi
oleh uleebalang dan ulama-ulama di nanggroe Peusangan. Dalam kemeriahan
upacara itu, dengan penuh keceriaan tampil seorang putri berumur 14 tahun
yang cantik jelita, memotong pita peresmian Perguruan Islam Al Muslim.
Putri jelita itu adalah Potjut Ramlah, putri sulung Teuku Tjhik Muhammad
Djohan Alamsjah.
Berbeda dengan Perguruan Normaal Islam milik kaum PUSA di Bireuen yang
lenyap ditelan oleh waktu, Perguruan Islam Al Muslim berkembang dengan
baik. Bangunan barupun perlu terus ditambah untuk memenuhi tuntutan
anak didik yang semakin bertambah banyak. Derajat perguruan Al Muslim
inipun terus meningkat hingga sekarang ini.
Dengan berbekal ilmu pengetahuan duniawi milik Belanda dan ilmu duniawi-
ukhrawi Islamnya orang Aceh, Teuku Tjhik Peusangan memberanikan dirinya
untuk mengajak rakyat Peusangan mengarungi kehidupan nyata untuk
mencari nafkah yang halal. Maka, roda ekonomi rakyat harus dihidupkan
kembali. Perhatian utama ditujukan ke bidang pertanian rakyat.
Pertanian model onderneming (perkebunan) yang telah mencelakakan rakyat
Aceh di nanggroe Tamyang dan nanggroe Langsa dijauhinya. Seluruh rakyat
Peusangan digugahnya untuk memperluas area persawahan. Ternyata
persawahan yang luas menyedot air yang sangat banyak pula. Persedian air
untuk persawahan tak mencukupi lagi. Melihat kenyataan ketidak mampuan
masyarakat Peusangan untuk memecahkan masalah perairan bagi sawah
mereka yang sangat luas itu, Teuku Tjhik Peusangan terpaksa berpaling pada
penguasa Hindia Belanda.

Ternyata Belanda juga sangat senang dengan proyek raksasa uleebalang


Peusangan itu. Belanda langsung mendatangkan tenaga ahli persawahannya
dari Pulau Jawa. Mereka ditugaskan mendampingi uleebalang Peusangan
memodernisir pertanian rakyat Peusangan. Soko guru persawahan, yaitu dam
(bendungan) dan irigasi (lueng) untuk mengatur aliran air Krueng Peusangan
dibangunnya.
Hingga kini buah tangan Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah beserta
rakyatnya itu masih menjadi monumen abadi untuk nanggroe Peusangan.
Proyek persawahan nanggroe Peusangan sangat sukses, dan produksi padi
sangat melimpah. Nanggroe Peusangan menjadi lumbung padi tanah Aceh.
Dr. A. Ph. van Aken, Gubernur Belanda di Aceh (1932-1936) sangat senang
akan keberhasilan uleebalang Peusangan itu memakmurkan rakyatnya.
Gubernur Belanda itu menyebut Peusangan anggota VIER P (empat P) tanah
Aceh, yaitu P pertama adalah nanggroe Peureulak yang terkenal keberhasilan
petroleumnya, P kedua – nanggroe Pase yang terkenal dengan produksi
kopranya, P ketiga – nanggroe Pidie dengan produksi ikannya, dan P keempat
adalah nanggroe Peusangan dengan produksi padinya.
Usai keberhasilan meningkatkan produksi padi, uleebalang Peusangan
mengajak rakyatnya untuk bergiat dalam agro bisnis buah-buahan.
Merasakan nikmatnya deringan ringgit emas berdering dikantongnya dari
hasil produksi padi, rakyat Peusangan dengan suka-cita menyambut gagasan
uleebalangnya. Sekali lagi Teuku Tjhik Peusangan berpaling ke penguasa
Belanda di Aceh untuk membantu rakyat Peusangan.
Penguasa Belanda dengan senang hati memenuhi keinginan uleebalang
Peusangan itu. Gubernur Belanda di Aceh telah menaikkan derajat Teuku
Tjhik Peusangan menjadi, sahabatnya. Maka, dalam waktu singkat
berdatangan ahli pertanian dari Bogor, Jawa Barat atas perintah penguasa
Belanda di Batavia. Penyuluh pertanian itu membawa segala bibit unggul
buah-buahan yang dikehendaki uleebalang Peusangan itu.
Waktupun berlalu terus, dan hingga hari ini nanggroe Peusangan dipenuhi
pohon buah-buahan sawo, manggis, mangga yang berlimpah. Bahkan buah
jeruk Bali, bila di Jakarta berharga mahal, maka di Peusangan hanya
dijadikan bola-sepak anak-anak petani gurem. Untuk menunjang
keberhasilan pertanian rakyat, perniagaan digiatkannya. Pusat perniagaan
dan ruko (rumah-toko) bermunculan diberbagai pelosok Peusangan. Hari
pasar model Minangkabau usulan guru Sutan Mangkudun dipraktekkan
diseluruh nanggroe Peusangan.  Maka, kota Bireuen muncul menjadi pusat
perdagangan terpenting di pantai utara Aceh.

Seiring dengan invasi Jepang ke negeri Tiongkok, maka imigran Tionghoa


baik kaya maupun miskin membanjiri berbagai pelosok nanggroe Peusangan
untuk mendapatkan perlindungan dan nafkah.
Usai mengantar rakyatnya ke lubuk kemakmuran duniawinya, dengan
langkah pasti Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah mengantarkan
rakyat Peusangan ke gerbang rumah Tuhan, menuju ukhrowi. Uleebalang ini
mengajak rakyatnya kembali mendekatkan diri kepada Khaliknya, dan
mensyukuri nikmat yang dianugrahi Sang Maha Pencipta alam semesta itu.
Dengan kemakmuran yang telah dinikmatinya, rakyat Peusangan bangkit
membangun rumah ibadahnya. Mesjid besar dan kecil serta surau barupun
bermunculan diberbagai pelosok nanggroe Peusangan. Mesjid dan surau
lamapun dipugar, sehingga membuat uleebalang-uleebalang ditanah lain
sungguh terperangah.
Mereka juga mencoba meraih keberhasilan yang telah dicapai nanggroe
Peusangan. Caranya, para uleebalang itu mengirim puteranya untuk dididik
oleh Teuku Tjhik Peusangan. Maka, jadilah uleebalang Peusangan tutor (guru
pribadi) dalam ilmu pemeritahan dan politik Aceh bagi putra para uleebalang
Aceh lainnya.

Kurikulum sekolah model uleebalang Peusangan sungguh sangat khas.


Setiap hari usai sholat subuh putra-putra uleebalang dibawa ketengah
sawah, diajaknya membajak sawah bersama-sama meniru rakyat Peusangan
yang sedang mengerjakan sawahnya sendiri. Azan sholat dzuhur memanggil,
pelajaran bersawah bagi putra-putra dihentikan sementara. Usai sholat
dzuhur dan makan siang dengan cara petani yang sangat sederhana bersama
Teuku Tjhik Peusangan, murid dan guru itu berkumpul lagi membahas
pelajaran berikutnya.
Dalam pelajaran ini sang guru memperlihatkan cara menebang dan
memotong pohon bambu. Dengan berderai air mata dan bermandikan
keringat para putra uleebalang yang telah menjadi anak manja itu, terpaksa
mempraktekkan ilmu yang diberikan oleh gurunya itu. Tak lupa pula
diajarkan cara menuai dan menumbuk padi. Bila ada kegiatan menggali dan
memperbaiki irigasi sawah, anak-anak manja itu diikutkan serta bekerja
bersama rakyat Peusangan. Usai sholat Insya murid dan guru berdiskusi
membahas bahan pelajaran yang telah dikerjakannya.
Sebelum diskusi ditutup menjelang waktu tidur malam, Teuku Tjhik
Peusangan selalu bertanya kepada murid-muridnya itu: “Apakah ampon-
ampon lelah mengerjakan latihan tadi siang? Dengan serempak para
muridnya menjawab : “Ya, Ampon Tjhik, kami sungguh lelah”. Sang guru
melanjutkan: “Oleh karena itu, bila ampon-ampon nanti sudah menjadi
uleebalang, jangan menyuruh rakyat nanggroe ampon-ampon semena-mena”.
Itulah salah satu inti pelajaran ilmu pemerintahan dan politik dari Teuku
Tjhik Peusangan yang hingga kini masih dikenang oleh rakyat Peusangan dan
menjadi romantika sejarah sepanjang masa untuk rakyat Peusangan sampai
anak cucu kelak.

3. TGK AWE GEUTAH


kehadiran Teungku Awe Geutah ke Aceh tidak terlepas bila ditinjau
hubungan ulama-ulama pada abad ke -17 dan 18. Nama asli Teungku Awe
Geutah adalah Abdurrahman Bawarith Al-Asyi beliau adalah anak syeikh
Jamaluddin Al-Bawaris, yang sampai saat sekarang ini seluruh keturunan
Teungku Awe Geutah masih berkediaman disekitar kuburan beliau di Awe
Geutah, Kecamatan Peusangan.Berawal dari sinilah syiar Islam berkembang
ke seluruh Seuramoe Makkah yang meniti keilmuan di antaranya tafsir,
hadist, Fiqah dan tasawof. Disisi lain adek beliau menetap di Samalanga,
hingga akhirnya mendirikan sebuah dayah Cot Meurak di Samalanga. Tgk
Chik Awe Geutah yang nama aslinya Syaikh ëAbdurrahim Bawarith al-Asyi
adalah anak Syaikh Jamaluddin al-Bawaris dari Zabid Yaman. Bersama
adiknya Syaikh Abdussalam Bawarith al-Asyi, dan tujuh ulama lain, di
antaranya Teungku di Kandang dan Syaikh Daud Ar Rumi, mereka berangkat
ke Aceh.
Sampai sekarang, keturunan Chik Awe Geutah bermukim di sekitar
kuburannya di Awe Geutah, Peusangan. Dari wilayah itu beliau menyiarkan
Isl‚m  ke seluruh pelosok Serambi Mekkah dengan berkonsentrasi pada ilmu
tafsir, hadits, fiqah dan tassauf. Sedangkan adiknya yang menetap di
Samalanga, mendirikan Dayah Cot Meurak di Samalanga.
Catatan sejarah, kedua cendekia muslim itu (Syaikh Abdurrahim dan Syaikh
Abdussalam) sebelum merantau ke kerajaan Aceh dititipkan oleh orangtua
mereka  pada Ali ibn Az-Zain Al-Mizjaji di Zabid, Yaman yang kemudian
belajar di Mekkah dan Madinah. Pengajian beliau pada Syaikh Al-Mizjaji di
Zabid,  dapat diketahui dari salah satu manuskrip di Awe Geutah.  Terdapat
catatan-catatan sanad Al-Azkar dan Riyadh al-Shalihin karya Imam an-
Nawawi tentang sanad hadits pengalihan kiblat (hadits musalsal), dan juga di
dalam silsilah ratib Haddad yang terdapat di antara lembaran-lembaran
manuskrip tersebut.
Prof. Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama menyebutkan, Syaikah
Al-Mizjaji ini juga guru dari Murthadha Az-Zabidi (wafat 1205 H), pengarang
Taj Al-ëUrus min Jawahir Al-Qamus dan Ithaf As-Saadah AlTaj Al-íUrus min
Jawahir Al-Qamus dan Ithaf As-Sadah Al-Muttaqin . Murthadha Az-Zabidi
kemudian merantau ke Mesir dan menjadi ulama terkemuka di sana.
Untuk mengetahui hubungan al-Mijazi dengan kedua Ulama besar ini, dapat
dilihat dalam satu naskah yang kini masih tersimpang di Awe Geutah; tertulis
ì Wa baíd, maka inilah sanad Al-Azkar dan Riyadh Ash-Shalihin bagi Al-Imam
Syaraf Ad-Din An-Nawawi Rahimahullah. Faqir kepada Allah, `Ali ibn Az-Zain
Al-Mizjaji, semoga Allah memanjangkan umurnya, berkata: sesungguhnya
aku telah meijazahkan ananda yang shalih, `Abd Ar-Rahim Al-Asyi
sebagaimana telah diijazahkan kepadaku keduanya (Al-Azkar dan Riyadh
Ash-Shalihin) Ayahanda, wali yang sempurna lagi menyempurnakan, dan Al-
íArif bi-lLah, Az-Zain bin Muhammad Al-Mizjajiî dan ini menjadi  bukti
sejarah menunjukkan bagaimanan hubungan intelektual Aceh dengan para
ulama besar di jazirah Arab.
Ijazah ilmu menjadi tradisi intelektual Isl‚m. Keharusan guru memberikan
kepada muridnya agar ilmu yang disebarkan oleh murid memiliki dasar yang
kuat. Pemberian Ijazah ini merupakan tradisi keilmuan di timur tengah yang
sampai sekarang masih dilakukan.
Bila ditelusuri pengakuan ijazah ilmu, maka sampai pada Chik Awe Geutah
juga mendapatkan sanad ilmu dari ulama besar, yang memiliki murid yang
amat dikenal di rantau Asia Tenggara, yaitu Ibrahim al-Kurani. Seperti
pengakuan berikut; ìWa baíd, maka sungguh telah di-ijazah-kan kepadaku
oleh syaikhiy lagi quduwwatiy, seorang yang utama dan sempurna, `Ali ibn
Az-Zain Al-Mizjaji  dari Asy-Syaikh Mulla Ibrahim Al-Kurdi Al-Kuraniy.î Dari
jaringan keilmuan ini, maka dapat diketahui bahwa guru-guru al-Kurani
adalah Ahmad Qushashi, Ahmad Shinawi, dan `Abd Karim al-Kurani, yang
mengembangkan tarekat Shattariyyah di Haramayn. Karena itu, tidak
mengejutkan jika Chik Awe Geutah dan adiknya pengembang tarekat
Syattariah di Aceh. Buktinya, di Awe Geutah dan Samalanga para pengikut
tarekat ini sangat banyak, untuk tidak menyebutkan di beberapa wilayah
Aceh lainnya.
Disebutkan setelah di Aceh, Chik Awe Geutah bersama adiknya Syaikh
Abdussalam menetap di Lamkabeu Seulimum Aceh Besar. Namun, Sultan
Badrul memintanya untuk pergi ke pantai timur karena di Aceh Besar telah
ada Teungku Chik Tanoh Abe yang berasal dari Baghdad dan pengembang
tarekat Syattariyyah. Syaikh Abdussalam memutuskan menetap di Cot
Meurak Samalanga. Dia akhirnya membuka Zawiyah di sana yang sampai
sekarang masih ada bukti sejarahnya. Adapun abangnya, Chik Awe Geutah
ke Peusangan dan membuka Zawiyah di Awe Geutah dengan berkonsentrasi
pada pengajian Alquran, hadis, fiqh dan tasawwuf.  Samalanga dan
Peusangan dan  telah menjadi pusat pendidikan dayah sampai hari ini.
Maka kita bisa memahami ilmu Isl‚m yang dikembangkan oleh para ulama
terdahulu sangatlah tidak mudah dan menuntut mujahadah yang amat
besar. Ilmu Isl‚m yang berkembang di Aceh saat ini, memang tidak terlepas
dari jasa kedua ulama besar ini, walaupun semangat mereka tidak begitu
diperhatikan oleh generasi Aceh sekarang. Minat untuk mencari ilmu Isl‚m
memang sudah tidak begitu popular, apalagi ingin mengembangkan ilmu-
ilmu yang pernah disemaikan oleh kedua ulama tersebut.
Sisi lain, hubungan Aceh dengan Haramayn tidak bisa dipandang sebelah
mata. Munculnya dayah-dayah di penjuru Aceh adalah sinar pengembangan
ilmu Isl‚m saat itu. Melihat dari kedatangan dan jaringan intelektual
keislaman Chik Awe Geutah dan adiknya, saya beranggapan bahwa ilmu
merupakan hal yang sangat penting bagi orang Aceh pada abad ke-17. Sultan
selalu memanggil dan memerintahkan ulama untuk aktif mengembangkan
ilmu bagi rakyat Aceh.

4. HABIB BUGAK

Asal Usul Habib Bugak Al Asyi, Ulama Dermawan Pewakaf Tanah Abadi
Untuk Rakyat Aceh yang Berhaji di Mekkah. Habib Bugak Asyi telah
mewariskan kepada masyarakat Aceh harta berharga lebih 300 juta Riyal
Saudi atau sekitar Rp 7,5 triliun“Apabila anak cucu Adam meninggal dunia,
putuslah segala amal kebaikannya kecuali tiga perkara, sedekah jariah, ilmu
yang bermanfaat, dan doa anak yang saleh,” (HR. Muslim no. 1631)

Musim Haji 1438 Hijriyah baru saja usai. Namun selalu ada cerita menarik
dari setiap penyelenggraan haji tiap tahunnya. Salah satunya adalah soal
tambahan bonus selain living cost khusus untuk jamaah Haji asal Provinsi
Aceh. jika jemaah Haji Indonesia sebelum berangkat ke Arab Saudi menerima
uang saku (living cost) sebesar Saudi Arabian Ryal (SAR) 1.500 atau sektar Rp
5,25 juta dari komponen Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang
telah dibayarkan, jamaah asal Aceh akan menerima tambahan uang sebesar
SAR 1.200 (Rp 4,2 juta)Saudi. Dana wakaf itu hanya diberikan kepada
jemaah haji asal Aceh, yang tahun ini memberangkatkan 4.357 orang ke
Tanah Suci."Dua hari setelah jemaah kita tiba di Makkah, maka nazir waqaf
Baitul Asyi langsung berikan uang 1.200 riyal Arab Saudi per orang," ucap
Koordinator Humas Panitia Penyelenggara Ibadah Haji PPIH Embarkasi Aceh
Rusli di Banda Aceh, Minggu (20/8) lalu, seperti dikutip Antara.

Ketua PPIH Embarkasi Aceh Daud Pakeh menambahkan, pembagian dana


wakaf berlangsung di Maktab 37 di wilayah Misfalah, Makkah, Sabtu (19/8),
dan dihadiri Nazir Wakaf Baitul Asyi Prof Dr Abdurrahman Abdullah
Asyi."Agar proses pembagian lancar, maka jemaah diharuskan menunjukkan
kartu Baitul Asyi yang telah diberikan oleh panitia," tuturnya.Kok bisa, ada
tambahan khusus buat jamaah asal Aceh? Ternyata, keberuntungan buat
jamaah asal Aceh tersebut erat kaitannya dengan sejarah ulama Aceh di
tanah suci.Adalah Habib Bugak Al-Asyi, yang bernama lengkap Habib
Abdurrahman Bin Alwi Al-Habsyi. Ialah sosok darmawan yang telah
mewakafkan tanahnya untuk dimanfaatkan warga Aceh yang pergi berhaji
atau menempuh pendidikan di tanah suci.

Habib Bugak asal Aceh yang datang ke Makkah tahun 1223 hijriah itu
membeli tanah sekitar daerah Qusyasyiah yang sekarang berada di sekitar
Bab Al Fath (antara Marwah dan Mesjid Haram). Saat itu, masa Kerajaan
Ustmaniah.Namun, kemudian, pemerintah Arab Saudi pada masa Raja Malik
Sa’ud bin Abdul Azis, melakukan pengembangan Masjidil Haram. Tanah
wakaf Habib Bugak untuk masyarakat Aceh terkena proyek tersebut. Rumah
Habib Bugak digusur dengan pemberian ganti rugi.

Badan pengelola tanah wakaf itu kemudian menggunakan uang tersebut


untuk membeli dua lokasi lahan yakni di daerah Ajyad sekitar, 500 dan 700
meter dari Masjidil Haram. Kedua tanah ini kemudian menjadi aset
wakaf.Lahan pertama dengan jarak 500 meter dari Masjidil Haram dibangun
hotel bintang lima dengan kamar sekitar 350-an unit. Di lahan kedua dengan
jarak 700 meter dari Haram, dibangun hotel bintang lima dengan kamar
sekitar 1.000 unit.

Dari keuntungan lainnya, Nazhir membeli dua areal lahan seluas 1.600 meter
persegi dan 850 meter persegi di Kawasan Aziziah. Tahun 2009 di kedua
lahan ini dibangun pemondokan khusus untuk jamaah asal Embarkasi
Aceh.Hasil keuntungan pengelolaan hata wakaf inilah yang sejak tahun 2006
dibagikan ke jamaah haji asal Aceh. Pada tahun 2008, Pemerintah Aceh
menerima Rp14,54 miliar dari Baitul Asyi sebagai uang pengganti sewa
rumah bagi 3.635 jamaah haji asal Aceh. Per jamaah mendapat sekitar Rp4
juta-an.

Asal Muasal Wakaf

Dua tokoh Aceh, Dr. Al Yasa’ Abubakar (Kepala Dinas Syariat Islam NAD) dan
Dr. Azman Isma’il, MA (Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh)
telah mengeluarkan surat pernyataan tentang asal muasal Waqaf Habib
Bugak Asyi.Menurut akta ikrar Waqaf yang disimpan dengan baik oleh
Nadzir, waqaf tersebut diikrarkan oleh Habib Bugak Asyi pada tahun 1222
Hijriyah (sekitar tahun 1800Masehi) di depan Hakim Mahkamah Syar’iyah
Mekkah. Di dalamnya disebutkan bahwa rumah tersebut diwaqafkan untuk
penginapan orang yang datang dari Aceh untuk menunaikan haji, serta orang
Aceh yang menetap di Mekkah.

Dalam ikrar wakaf disebutkan, “Sekiranya karena sesuatu sebab tidak ada
lagi orang Aceh yang datang ke Mekkah untuk naik haji maka rumah wakaf
ini digunakan untuk tempat tinggal para pelajar (santri, mahasiswa) Jawi
(nusantara) yang belajar di Mekkah. Sekiranya karena sesuatu sebab
mahasiswa dari Nusantara pun tidak ada lagi yang belajar di Mekkah maka
rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal mahasiswa Mekkah yang
belajar di Masjid Haram. Sekiranya mereka ini pun tidak ada juga maka
wakaf ini diserahkan kepada Imam Masjid Haram untuk membiayai
kebutuhan Masjidil Haram,”

Habib Bugak telah menunjuk Nadzir (pengelola) salah seorang ulama asal
Aceh yang telah menetap diMekkah. Nadzir diberi hak sesuai dengan
tuntunan syariah Islam.Pada tahun 1420 H (1999 M) Mahkamah Syar’iyah
Mekkah mengukuhkan Syekh Abdul Ghani bin Mahmudbin Abdul Ghani Asyi
(generasi keempat pengelola wakaf) sebagai Nadzir yang baru. Sejak tahun
1424 H (2004 M) tugas Nadzir dilanjutkan oleh sebuah tim yang dipimpin
anaknya bernama Munir bin Abdul Ghani Asyi (generasi kelima) serta Dr.
Abdul Lathif Baltho.

Siapa sebenarnya Habib Bugak Al-Asyi? Banyak orang Indonesia, bahkan


warga Aceh terutama generasi saat ini yang mungkin tak mengenal sosok ini.
Apalagi, tak banyak pula literatur yang menuliskan soal Ulama keturunan
langsung Nabi Muhammad Sahallallahu 'Alaihi Wa Sallam ini.Untuk
mengetahu siapa sosok sebenarnya Habib Bugak Asyi. sejak tahun 2007,
Ustadz Hilmy Bakar Alhasany Almascaty, Direktur Nasional Red Crescent
telah membentuk tim peneliti untuk mengungkap sejarah hidup dan
perjuangan Habib Bugak. Di bulan Ramadan 1431 H lalu, ia juga sempat
menemui langsung dengan Syekh Munir Abdul Ghani Ashi yang menjabat
Direktur Pengelola (Nadzir) Wakaf Habib Bugak di Mekkah.

Menurut Hilmi, Habib Bugak hanya nama samaran yang digunakan oleh
Pewakaf untuk menjaga keikhlasan hati dalam beribadah. Syekh Munir
menyebutkan Habib adalah gelar untuk Sayyid atau keturunan Rasulullah
yang umum digunakan di Mekkah pada masa itu, yakni sebelum
berkuasanya Dinasti Ibnu Saud, penguasa Kerajaan Saudi sekarang.
Sementara Bugak Asyi adalah nama sebuah daerah di Kerajaan Aceh pada
tahun 1800 M lalu, ketika wakaf diikrarkan. Sehingga adanya simpang
siurnya sosok HabibAsyi ini, mulai ada oknum yang merekayasa berbagai
cerita untuk keuntungan pribadi.

Bugak Asyi dalam bahasa Arab artinya daerah Bugak dalam wilayah Aceh.
Dalam tulisan Arab, Bugak terdiri atas huruf:ba, waw, jim dan a’in
sebagaimana ditulis dalam ikrar wakaf, sementara dalam tulisan Arab-Melayu
Aceh: ba, waw, kaf, alif dan hamzah sebagaimana tertulis dalam Sarakata
Sultan Kerajaan Aceh.Maka harus ditelusuri sebuah wilayah, daerah,
kampong atau mukim yang bernama Bugak dengan huruf-huruf di atas
dalam seluruh Aceh, terutama yang termasuk dalam wilayah Kerajaan Aceh
Darussalam pada sekitar tahun 1800-an, atau tahun dibuatnya ikrar wakaf.

“Setelah penelitian, saya dan tim peneliti lebih cenderung memilih Bugak
yang masuk dalam wilayah Peusangan, Matang Glumpangdua, Kabupaten
Bireuen,” kata Hilmi.Dari sejarah, nama Bugak— jadi bagian Kecamatan
Jangka—dahulunya adalah sebuah pusat kota berdekatan dengan daerah
pesisir Kuala Peusangan dan Monklayu. Bugak menjadi pertemuan dari
kedua kota pelabuhan tersebut dan berkembang menjadi kota maju yang
dapat dilihat bekas-bekas peninggalannya hingga kini berupa rumah besar
dan mewah serta toko tua yang menjadi tempat tinggal para hartawan yang
berprofesi sebagai tuan tanah, saudagar, dan lainnya.

Menurut dokumen yang dikeluarkan Sultan Mansyur Syah bertahun 1278 H


lengkap dengan cop sikureng, disebutkan satu wilayah bernama Bugak
menjadi wilayah Kerajaan Aceh Darussalam. Di antara kata Bugak
disebutkan pula beberapa nama wilayah lain seperti Glumpang Dua, Kejrun
Kuala, Bugak, Pante Sidom, Peusangan, Monklayu dan lainnya. Sebagian
nama-nama tersebut memang masih eksis sampai kini dan menjadi bagian
dari wilayah Kecamatan Peusangan, Kecamatan Jangka, dan Kecamatan
Gandapura yang terletak di sekitar Matang atau Kabupaten Bireuen.

Keturunan di Bugak

Gelar Habib sejatinya hanya disematkan untuk ahlul bait (keturunan)


Rasulullah dari keturunan Sayyidina Husein bin Ali ataupun dari keturunan
Sayyidina Hasan bin Ali. Biasa juga disebut dengan Sayyid atau Syarief.

Gelar Habib biasanya hanya diberikan kepada para pemuka atau tokoh yang
memiliki pengetahuan serta keistimewaan dalam masyarakatnya. Di sekitar
daerah Bugak, terdapat banyak sayyid, terutama dari keturunan Jamalullayl,
al-Mahdali, Alaydrus dan mayoritasnya adalah Al-Habsyi. Keturunan Al-
Habsyi sangat mendominasi, terutama yang berasal dari sekitar Monklayu.

Menurut penelitian dan penelusuran, kebanyakan Sayyid di sekitar Bugak


adalah dari keturunan Al-Habsyi. Keturunan ini berasal dari Habib
Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi yang hingga saat ini sudah turun temurun
menjadi delapan generasi.

Menurut Urueng Tuha di sekitar Bugak, Habib Abdurrahman bin Alwi Al-
Habsyi adalah seorang yang pertama membuka Bugak dan memiliki
kedudukan terhormat sebagai wakil Sultan. Hal ini diperkuat dokumen yang
dikeluarkan Sultan Mansyur Syah bertahun 1270 H yang menyebutkan
dengan terang nama Habib Abdurrahman dengan Bugak.

Menurut tradisi kaum Hadramiyin (bangsa Arab) yang datang ke Nusantara,


biasanya mereka memiliki kunyah (nama gelar) yang kadangkala dinisbatkan
kepada tempat tinggal ataupun makamnya seperti misalnya Sunan Bonang,
Sunan Ampel, Pangeran Jayakarta, Habib Chik Dianjong dan dikuti oleh
ulama, termasuk di Aceh seperti Maulana Syiah Kuala dan lainnya. Demikian
pula dengan Habib Abdurrahman, menurut tradisi memiliki nama gelar yang
dikenal oleh kaum keluarganya sebagai Habib Bugak, karena beliau tinggal di
Bugak.

Hasil penelitian di sekitar Bugak dan wilayah yang berdekatan dengannya,


tidak ada seorang Habib yang melebihi kemasyhuran Habib Abdurrahman bin
Alwi Al-Habsyi. Beliau adalah Tengku Chik atau Tengku Habib dan
kepercayaan Sultan Aceh untuk wilayah Bugak dan sekitarnya yang memiliki
wewenang pemerintahan sekaligus wewenang keagamaan, yang jarang
diperoleh seorang pembesar sebagaimana tercantum dalam dokumen sultan
tahun 1206 H dan lainnya.

Adapun ikrar wakaf Habib Bugak di Mekkah terjadi pada tahun 1222 H.
Sementara dokumen Kerajaan Aceh yang ditandatangani oleh Sultan
Mahmudsyah pada tahun 1206 H dan dokumen Kerajaan Aceh yang
ditandatangani oleh Sultan Mansyur Syah pada tahun 1270 H menyebutkan
dengan tegas nama dan tugas Sayyid Abdurrahman bin Alwi atau Habib
Abdurrahman bin Alwi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Habib
Abdurrahman pernah hidup di Bugak sebagai orang kepercayaan Sultan Aceh
Darussalam antara tahun 1206 H sampai dengan tahun 1270 H, hampir
bersesuaian dengan tahun wakaf dibuat pada tahun 1222 H.

Setelah mewakafkan hartanya, Habib Bugak Asyi menunjuk Nadzir pertama


bernama Syeikh Muhammad Shalih bin Abdussalam Asyi yang diketahui dari
keturunan Ulama ternama Syeikh Abdullah al-Baid. Syeikh ini dan
penerusnya Syeikh Abdurrahim bin Abdullah al-Baid Asyi dikenal sebagai
Tgk. Chik Awe Geutah yang kompleks dayahnya masih terpelihara di Awe
Geutah Peusangan, Bireuen.

Tempat ini berdekatan dengan Bugak yang menjadi asal dari Habib Bugak
Asyi. Menurut catatan Rabithah Alawiyah Kerajaan Aceh, Syekh Abdullah al-
Baid adalah Ulama dari Mekkah yang datang serombongan bersama dengan
Habib Abdurrahman Al-Habsyi dari Mekkah, bertugas di Bandar Aceh
Darussalam dan kemudian menetap di sekitar daerah Bireuen atas titah
Sultan Aceh Darussalam.

Hal ini sebagaimana disebutkan Sarakata Sultan Aceh yang tersimpan rapi
pada keturunan Habib Abdurrahman Al-Habsyi. Kemudian, Habib
Abdurrahman Al-Habsyi bermukim di Monklayu dan wafat di Bugak,
sementara Syekh Abdullah al-Baid bermukim di Awe Geutah mendirikan
dayah dan wafat di sana.

Itulah sebabnya tidak mengherankan apabila Habib Bugak Asyi, setelah


mewakafkan hartanya kemudian menunjuk Nadzir dari kalangan ulama yang
sangat dekat hubungan dengannya, bahkan tinggal satu daerah yang
berdekatan.

Menurut anak cucu Habib Abdurrahman Al-Habsyi, mereka memiliki


hubungan yang sangat dekat dengan Tgk. Chik Awe Geutah, bahkan memiliki
hubungan kekerabatan karena tali perkawinan. Fakta ini secara jelas
menunjukkan siapa sebenarnya Habib Bugak Asyi itu, yang tidak diragukan
adalah seorang Habib yang berasal dari Bugak yang berdekatan dengan asal
Nadzir di Awe Geutah Peusangan.

Selain mewakafkah hartanya, Habib Abdurrahman bin Alwi bin Syekh Al-
Habsyi atau Habib Bugak Asyi sejatinya juga salah seorang tokoh Aceh yang
memiliki peranan penting dalam sejarah rekonsiliasi masyarakat Aceh.
Terutama saat terjadinya ketegangan yang timbul pada awal abad ke 18
Masehi.Ketegangan tak terlepas dari pemberhentian Sultanah Kamalat
Ziatuddinsyah pada tahun 1699 yang digantikan oleh suaminya Sultan
Badrul Alam Sayyid Ibrahim Syarif Hasyim Jamaluddin Syah Jamalullayl
(1699-1702) atas fatwa dari Ketua Mufti Syarief Mekkah setelah wafatnya
Mufti-Qadhi Malikul Adil Maulana Syiah Kuala.Fatwa ini telah mengantarkan
para Sayyid sebagai Sultan Aceh selama hampir 30 tahun. Naiknya kembali
keturunan garis Sultan asal Pasai dari keturunannya di Bugis, Sultan Alaidin
Ahmad Shah (1733) dan para pelanjutnya telah menimbulkan kegusaran dan
ketakutan dari keturunan para sayyid, terutama keturunan dari garis Sultan
yang dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik.Saat imperialisme kolonial
barat masuk ke Aceh, para tokoh sayyid di Aceh meminta Syarief Mekkah
yang masih memiliki otoritas keagamaan atas Aceh agar mengirim para tokoh
kharismatis, Habib dan Ulama yang dapat membawa kedamaian dan
rekonsiliasi masyarakat Aceh. Di antara utusan yang datang dari Mekkah
adalah Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi yang kemudian dikenal
dengan Habib Teuku Chik Monklayu, yang juga dikenal dengan Habib Bugak
Aceh, karena beliau tinggal di Pante Sidom, Bugak, Bireuen.Habib
Abdurrahman Al-Habsyi Bugak adalah seorang ulama faqih, sufi dan seorang
bentara-laksamana serta pemimpin masyarakat yang dipercaya oleh Sultan
Aceh sebagai Teuku Chik yang kekuasaannya terbentang dari desa-desa di
sekitar Jeumpa, Peusangan, Monklayu, Bugak sampai Cunda dan Nisam
sebagaimana yang dituangkan dalam surat keputusan Sultan Mahmudsyah
dalam surat bertahun 1224 H (1800 M)

Menurut Syekh Munir, kini Habib Bugak Asyi telah mewariskan kepada
masyarakat Aceh harta wakaf berharga lebih 300 juta Riyal Saudi atau
sekitar Rp 7,5 triliun. Aset yang ada berupa 2 buah hotel, Ajyad (Funduk
Ajyad) bertingkat 25 sekitar 500 meter dari Masjidil Haram dan Menara Ajyad
(Burj Ajyad) bertingkat 28 sekitar 600 meter dari Masjidil Haram.Kedua hotel
besar ini mampu menampung lebih 7000 jamaah yang dilengkapi dengan
infrastruktur lengkap. Selain hotel, ada juga apartemen dan tanah kosong
berjumlah lebih 10 unit.

Pada musim haji tahun 1427 lalu, Nadzir (pengelola) Wakaf Habib Bugak Asyi
telah mengganti sewa rumah jamaah haji asal Aceh selama di Mekkah
sebesar sewa yang telah dibayar Pemerintah Indonesia kepada pemilik
pemondokan atau hotel yang ditempati para jamaah haji asal Aceh. Besarnya
sekitar antara SR 1.100 sampai SR 2.000, dengan jumlah total Rp 13,5 milyar
rupiah.Nadzir Waqaf Habib Bugak juga sedianya akan membangun Kompleks
Pemondokan Haji yang mampu menampung 5.000 jamaah yang berasal dari
Aceh. Hasil wakaf juga digunakan untuk menyewakan beberapa bangunan
lainnya untuk kepentingan masyarakat Aceh.Menurut catatan, setelah
kembali dari Mekkah, Habib Bugas Asyi bermukim dan dimakamkan di Pante
Sidom, Kemukiman Bugak, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen. Terlepas
dari catatan sejarah yang masih perlu disempurnakan, sosok Habib Bugak ini
memang menjadi sesuatu yang dirindukan.

5. PUCOT MEULIGOE
Samalanga ketika itu termasuk wilayah otonom yang diberi kuasa penuh
oleh Sulthan Aceh kepada raja Teuku Chik Bugis, tapi dalam menjalankan
pemerentahan Teuku Chik Bugis mempercayakan pada seorang tokoh
wanita bernama Pocut Meuligoe. Mendengar nama kedua tokoh ini saja,
Belanda keder karena keberanian mereka. Belanda sendiri ingin menguasai
Samalanga karena wilayah ini sangat strategis dan maju dalam bidang
perdagangan.
Ketika Van Der Heijden diangkat Pemerintah Hindia Belanda menjadi
Gubernur/Panglima Perang untuk Aceh, sasaran pertamanya adalah
menaklukkan Samalanga. Tahun 1876 Van Heijden menyerang Samalanga
dengan mengerahkan kekuatan tiga Batalion tentara. Tiap Batalion terdiri
tiga Kompi yang masing-masing kompi berjumlah 150 pasukan. Namun
sekian kali mereka menyerang, tak berhasil menguasai Samalanga. Serdadu
Belanda mati, termasuk seorang Letnan bernama Aj. Richello yang
dipancung kepalanya oleh seorang ulama besar Haji Ahmad. Namun ulama
ini juga syahid dalam agresi pertama Belanda ke Samalanga. Pejuang
Samalanga tak dapat dikalahkan, maka tahun 1877 Belanda kembali
menyusun kekuatan menyerbu dengan melibatkan tiga Batalion tentara,
pasukan marenir dan pasukan meriam ditambah 900 orang hukuman yang
diikutkan dalam penyerangan. Setelah sebulan pertempuran, Belanda hanya
bisa menguasai Blang Temulir dekat kota Samalanga. Ratusan serdadu
colonial mati, dan Van Der Heijden sendiri luka berat, bahkan mata kirinya
mengalami kebutaan akibat terkena peluru pasukan Aceh. Ini kemudian si
Belanda Van Der Haijden disebut orang Aceh dengan nama Jendral buta
siblsah. Raja Samalanga Teuku Chik Bugis dan Pocut Meuligoe masih
berkuasa penuh, meskipun Belanda sudah menguasai. Belanda tidak berani
mendekati bentenguta Gle Batee Iliek. Seperti ditulis Paul Van ‘T Veer dalam
bukunya De Atjeh Oorloq (Perang Aceh: 1985) mencatat, Benteng Kuta Gle
Batee Iliek adaah pusat perlawanan Aceh yang sangat tangguh bagi Belanda.
Dan Batee Iliek sendiri adalah sebuah “dusun kramat” dan pemukiman para
ulama yang sangat fanatik dalam menentang perluasan kekuasaan Belanda.
Satu ketika setelah tiga tahun Samalanga sepi dari peperangan, taba-tiba
tanggal 30 Juni 1880, Letna Van Woortman dengan 65 orang pasukannya
mencoba menyusup ke Bneteng Kuta Gle Batee Iliek. Namun sampai di Cot
Meureak (kira-kita sekitar 2 Km ke arah Utara Betee Iliek) ke 65 pasukan
Belanda itu di hadang oleh gerilia pasukan Aceh.
Dalam insiden itu banyak serdadu Belanda mati dan terluka parah.
Peristiwa ini segera disampaikan ke Banda Aceh sehingga. Gubernur Van
Der Heijden berang karena serdadunya kalah. Maka tanggl 13 Juli 1880,
Van Der Heijden kembali mengirimkan ekspedisinya secara besar-besaran ke
Samalanga untuk menyerang Banteng Kuta Gle Betee Iliek.
Ekpedisi ini Belanda mengerahkan satu kompi Belanda, 1 kompi Inlander
dari Batalion 14 dan 1 kompi Ambon dari Batalion 3, serta 1 kompi garnizun
dari Batalion campuran, juga dilengkapi 32 perwira dengan 1200
bawahannya diberangkatkan ke Samalanga. Dalam ekspedisi ini juga turut
serta Panglima Tibang, bekas pembesar Sultan yang menyeleweng dengan
Teuku Nyak Lehman sebagai juru bahasa dan penunjuk jalan bagi Belanda.
Beberapa kali Belanda melakukan serbuan menaklukkan Kuta Gle Batee
Iliek tidak berhasil. Belanda terpaksa memundurkan pasukannya ke Cot
Meurak. Di sini sambil mereka istirahat dan menyusun strategi penyerangan
kedua ke Kuta Gle, Belanda juga harus menguburkan mayat-mayat serdadu
mereka. Tepatnya tanggal 17 Juli 1880, Belanda kembali menyerang Kuta
Gle. Dalam serbuan kedua ini rupanya Teuku Chik Bugis (raja Samalanga)
minta disertakan bersama dalam pasukan Belanda, dengan tujuan untuk
menyesatkan arah pasukan Belanda hingga terjebak dengan pasukan Aceh
dalam jumlah yang sangat besar.
Strategi Teuku Chik Bugis lagi-lagi mebuat serangan Belanda ke Kuta Gle
Batee Iliek menjadi konyol. Belanda harus buru-buru mundur dan banyak
sekali tentaranya yang tewas akibat dikibul Teuku Chik Bugis. Hari itu juga
Chik Bugis ditangkap olen Belanda dan dibawa ke Banda Aceh. Namun
begitu, benteng Kuta Gle Batee Iliek tetap berdiri kokoh dengan kekuatan
pasukan Aceh yang sangat ditakuti Belanda.
Benteng Kuta Gle Batee Iliek, tak pernah direbut. Itu sebabnya Paul Van ‘T
Veer mencatat dalam bukunya “Perang Aceh” bahwa Batee Iliek adalah
sebuah kampung kramat yang sangat sulit dihadapi oleh Belanda. Bidikan
tembakan-tembakan marsose, ditangkis hebat para ahli Alquran (yang
dimaksudkan Van ‘T Veer para ahli Al-Quran adalah para ulama pejuang
Aceh) yang sangat lancar membuat serangan perang terhadap Belanda-
selancar mereka membaca ayat-ayat Alquran, tulis Van ‘T Veer.
Setelah 30 tahun lebih Benteng Kuta Gle Batee Iliek bertahan dari serangan-
serangan besar Belanda, pada tahun 1901 Jenderal Van Heutsz kembali
memimpin ekspedisi barunya ke Batee Iliek. Sehari sebelum penyerangan
Van Heutsz ke Batee Iliek ini, Van Heutsz lebih dulu merayakan Ultah ke 50
(tanggal 3 Februari 1901).
Untuk membakar semangat perang bagi serdadu Belanda, Van Heutsz,
seorang tokoh legendaries perang Belanda Izaak Thenu sengaja mengubah
sebuah syair khusus untuk perang Samalanga. Bunyinya: mari sobat, mari
saudara Pergi perang di Samalanga, Mari kumpul bersuara Lalu menyanyi
bersama-sama.
Namun ekspedisi ini berhasil dilumpuhkan, hingga Van Heutsz baru
berhasil menaklukkan Kuta Gle Batee Iliek pada tahun 1904, setelah tiga
tahun melakukan peperangan melawan pejuang Aceh di wilayah Batee Iliek.
Bahkan menurut sebagian cerita sejarah yang difahami penduduk
Samalanga, Van Heutsz sendiri tewas di Batee Iliek, yang kuburannya
sekarang terdapat di atas bukit Betee Iliek tak jauh dari Benteng Kuta Gle.
Paling tidak sejak lima ratus tahun lalu, menjadi pemimpin bukan hal baru
bagi perempuan Aceh. Pada saat Belanda hendak memasuki Samalanga,
seorang pemimpin wanita pewaris kerajaan Samalanga bernama Pocut
Meuligo yang masih remaja belia telah berhasil mempertahankan
wilayahnya. Ia bertindak tegas kepada setiap pria yang mangkir dan
kewajiban perang.
Pocut Meuligo termasuk dalam deretan wanita pejuang seperti Cut Nyak
Dien, Cut Nyak Meutiah, dan Tengku Fakinah. Wanita yang juga dipanggil
dengan Pocut Maligai ini dengan gagah berani telah mempertahankan
Samalanga dan serangan Belanda selama beberapa tahun bahkan seorang
jenderal Belanda harus kehilangan satu matanya ketika berusaha merebut
Samalanga. Adalah Jenderal van der Heijden yang menjadi korban
kegagahan pasukan Pocut Meuligo. Mata kirinya tertembak pejuang
Samalanga yang dipimpin seorang remaja Puteri Pocut Meuligo.
Keberanian Pocut Meuligo ditulis oleh seorang kapten Belanda yang
bernama Schumacher bahwa Pocut Meuligo sangat benci Belanda sampai-
sampai ia memerintahkan semua rakyatnya berperang sekalipun
meninggalkan sawah dan ladang. Bila mangkir mereka dihukum berat.
Pengaruh perempuan muda ini tidak hanya di Samalanga, ia sering
mengirim bantuan dana, keperluan logistik dan senjata ke Aceh Besar
membantu pasukan Aceh. Samalanga bisa memberikan kontribusi finansial
yang besar bagi perjuangan Aceh karena perdagangan ekspor Samalanga
berkembang baik.
Schumacher melanjutkan bahwa pada tahun 1876 Belanda berusaha keras
agar Samalanga mengakui pemerintahan Belanda, tetapi dijawab Samalanga
dengan menembaki kapal-kapal Belanda bahkan bila perlu merompaknya.
Pada tahun yang sama, Gubernur Belanda Kolonel Karel van der Heijden
merancang serangan ke Samalanga dengan menyiapkan tiga batalion dan
semua kapal perang Belanda seperti Matelan Kuis, Amboina, Citade van
Antwerpen, banda, Borneo, Sambas, Palembang, Watergeus, Semarang dan
Sumatera. Pasukan darat dipimpin van der Hegge-Spies.
Ketika pasukan Belanda mendarat, pasuka Aceh telah siap menanti
kedatangan mereka di Kiran dan Kuala Tambora. Di sebuah hutan yang
telah dipasangi ranjau, satu batalion pasukan Belanda dibantai dengan
mudah hanya oleh 40 pejuang Aceh.
Tak lama kemudian bala bantuan Belanda datang, dan pasukan Aceh
mundur sambil mengumpulkan tenaga ke Pengit Tunong. Di kawasan ini,
perang sengit kemudian terjadi, pasukan Belanda amat tertekan dan banyak
yang lari lintang-pukang sambil membuang senjata begitu saja. Kejadian ini
tidak lepas dan peran seorang ulama setempat yang bernama Haji Ahmad.
Diceritakan bahwa salah seorang pemimpin pejuang Aceh, Haji Ahmad, yang
berbadan tinggi besar dan tegap melompat dan menyerang Letenan Ajudan
Richello dan memancung kepalanya.
Haji Ahmad ditahan Belanda sementara Pocut Meuligo berusaha
membebaskannya dengan cara berunding dengan Belanda namun ulama
Aceh itu tidak bisa diselamatkan dan menjadi salah satu syahid dalam
serangan pertama Belanda ke Samalanga itu.
Berhasil mempertahankan Samalanga dan serangan Belanda pertama,
pasukan Pocut Meuligo kembali memperkuat Benteng Batee Ilie yang
terletak di sebuah bukit tak jauh dan Samalanga.
Dalam serangan berikutnya, Kolonel van der Heijden menyusun serangan
untuk menaklukkan benteng Samalanga yang telah dipasang ranjau, dan
kawat dan berbagai perangkap lainnya. Tiga batalion pasukan darat dan
marinir telah disiapkan dibawah kendali Kapten Kauffman. Pasukan ini
dibekali dengan pelontar meriam dan 900 buah meriam. Penyerangan
Belanda ke Samalanga kali ini harus dibayar mahal karena Kolonel van der
Heijden tertembak mata sebelah kirinya sehingga diberi gelar Jenderal Mata
Satu oleh orang Aceh.
Selain itu, beberapa pimpinan pasukan Belanda seperti mayor Dompselar
dan Letnan Kolonel Meijar dan ratusan prajurit Belanda terluka parah. Bagi
Belanda, penyerangan mereka ke wilayah yang dipimpin Pocut Meuligo ini
merupakan penyerangan yang menyeramkan dalam ingatan prajurit
Belanda.
Belanda beberapa kali menyerang Samalanga mulai 1 Agustus 1877 dan
berakhir pada tanggal 17 September di meja perundingan ketika kakak
Pocut Meuligo yang bernama Teuku Cik Bugis tiba dan misinya ke luar
negeri membeli senjata. Hasil dan perundingan yang diselenggarakan di
markas Belanda itu adalah Belanda diperbolehkan menaikkan Benderanya
di Samalanga tetapi tidak berkuasa atas wilayah itu sementara kegiatan
perdagangan ekspor-impor Samalanga tetap berjalan tanpa ada gangguan
dari pihak manapun termasuk Belanda dan Benteng Batee llie tidak boleh
diganggu gugat, tetap bendaulat dan bebas mengibarkan bendera di puncak
bukit tersebut. Kemenangan tetap di pihak Samalanga.
Belanda belum puas dengan hasil perjanjian tersebut dan berusaha merebut
Samalanga. Pada tanggal 30 Juni 1880, sebanyak 65 prajurit yang dipimpin
Letnan van Woontman secara diam-diam memasuki kampung dan
sesampainya di Cot Merak, mereka dikepung penduduk setempat dan
pertempunan sengit pun terjadi. Prajurit Belanda itu tendesak dan lari
menyelamatkan diri kembali ke markas.
Pihak Belanda tersinggung dengan peristiwa di Cok Merak. Akhirnya, van
Heijden melanggar penjanjian yang telah disepakati bersama. Ia mengirim
satu ekspedisi yang terdiri dari 32 pegawai dan 1200 prajurit dengan alat
tempur lengkap di bawah pimpinan Mayor Schilau dan Mayor van Steenvelt.
Turut bersama pasukan Belanda itu adalah Panglima Tibang, bekas orang
kepercayaan Sultan, dan Teuku Nyak Lehman sebagai juru bahasa dan
penunjuk jalan.
Pada tanggai 14 Juli kapal yang membawa pasukan Belanda merapat di
Kuala Samalanga. Belanda mengundang Teuku Cik Bugis, Pocut Meuligo,
Teuku Bentara Cut (keponakan Pocut Meuligo) dan beberapa tokoh
Samalanga, namun mereka tidak sudih datang karena telah bersiap-siap
menghadapi kedatangan Belanda di Benteng Batee llie.
Sehari kemudian tepatnya tanggal 15 Juli Belanda menyerang Batee llie.
Pertempuran sengit terjadi. Pasukan Belanda tidak berhasil menembus
pertahanan Benteng Batee llie meskipun menyerang dan berbagai jurusan
sebaliknya mereka dihujani tembakan pejuang Samalanga dengan peluru
dan batu-batuan dan prajurit Belanda pun banyak yang mati.
Tidak hanya itu, pasukan induk Belanda pun diserang dengan kelewang dari
belakang bukit. Schumacher mencatat Belanda terus maju dan menyerang
tetapi setiap kali maju mereka terpaksa mundur meskipun bersenjata
lengkap.
Perang berlangsung beberapa hari. Dalam suatu serangan, Teuku Cik Bugis
juga turun tangan yang menyebabkan pasukan Belanda lari lintang-pukang.
Karena peristiwa ini Belanda kemudian menangkap Teuku Cik Bugis namun
tetap menyerang Samalanga. Karena setiap serangan selalu dapat
dipatahkan pejuang Samalanga, Belanda akhirnya menghentikan
penyerangan ke Samalanga
Pocut Meuligo kemudian menemui van der Heijden yang membawa Teuku
Cik Bugis dan Banda Aceh. Mereka kemudian dibebaskan tanpa syarat
apapun.
Lagi dengan 900 prajurit bersenjata lengkap untuk kali ketiga van der
Heijden memimpin serangan ke Samalanga. Namun usahanya gagal total.
Penasaran dengan usahanya yang selalu gagal, akhirnya pada tahun 1904
van der Heijden mengerahkan pasukan meriam. Usahanya kali ini
mengakhiri perlawanan pejuang Samalanga selama lebih dan tiga puluh
tahun melawan Belanda.
6. MAKAM SYUHADA LAPAN
Makam ini merupakan situs sejarah yang familiar bagi masyarakat lokal
Kabupaten Bireuen, maupun pelintas jalur Banda Aceh-Medan. Para
pelintas jalur Banda Aceh - Medan pasti melewati “Makam Syuhada Lapan”
di Cot Batee Geulungku, Kecamatan Simpang Mamplam, Kabupaten
Bireuen. Sejumlah literatur sejarah menyebutkan, keberadaan Makam
Syuhada Lapan merupakan pejuang yang gugur dalam pertempuran
melawan serdadu Marsose Belanda, awal tahun 1902. Lebih kurang 116
tahun silam, ke delapan pejuang yang dikubur di makam ini. Dinamakan
makam Syahid Lapan, karena di situ dimakamkan delapan pejuang yang
gugur melawan Belanda. Mereka adalah Tgk Panglima Prang Rayeuk Jurong
Binje, Tgk Muda Lem Mamplam, Tgk Nyak Balee Ishak Blang Mane, Tgk
Meureudu Tambue, Tgk Balee Tambue, Apa Syehk Lancok Mamplam,
Muhammad Sabi Blang Mane, dan Nyak Ben Matang Salem Blang Teumulek.
Kisah keheroikan para Syuhada Lapan sangat jelas tertulis pada dinding
makam. Peristiwa heroik itu terjadi ketika para Syuhada Lapan menghadang
pasukan Belanda. Pasukan Belanda itu berjumlah 24 orang. Mereka
semuanya bersenjata api, sedangkan pasukan delapan pejuang Aceh
tersebut hanya bersenjatakan pedang. Tapi berkat semangat juang yang
tinggi, mereka berhasil menewaskan semua marsose tersebut. Namun
karena larut dalam euphoria kemenangan. Tanpa disadari tiba-tiba sejumlah
serdadu marsose lain datang dari arah Jeunieb memberi bantuan.
Kedelapan pejuang itu diserang dan gugur bersimbah darah. Jasad para
syuhada tersebut kemudian dikebumikan dalam satu liang sebab serdadu
marsose mencincang-cincang bagian tubuh para pejuang tersebut dengan
pedang milik mereka sendiri. Sebagai generasi yang mencintai sejarah, mari
kita mendo'akan para syuhada yang telah berjuang sehingga kita bisa hidup
damai seperti saat ini.

7. MAKAM SYUHADA 44

Makam Syuhada 44 bertempat di Desa Lheue Simpang, Jeunieb, Bireuen,


Aceh
Peristiwa tersebut terjadi tidak terlepas dari sikap perlawanan terhadap
Jepang yang terjadi tanggal 2 Mei 1945.
Makam Syuhada 44 menjadi salah satu bukti sejarah semangat juang
masyarakat Aceh dalam membela tanah air. Khususnya bagi rakyat Aceh
yang berada Desa Lheue Simpang dan Pandrah, Bireuen. Dikenal sebagai
bukti bahwa gigihnya rakyat aceh dalam membela agama Islam dan tanah
airnya, yaitu Indonesia. Pemberontakan ini terjadi pada 2 mei 1945, yang
saat itu pasukan Aceh di pimpin oleh Teungku Pang Akob bersama 40
pasukannya dari lheue simpang menyerbu pangkalan jepang di pandrah.
Peristiwa ini dikenal dengan Pembrontakan Pandrah. asukan jepang pada
saat itu memperlakukan kerja paksa ke masyarakat aceh, serta pelecehan
seksual yang dilakukan jepang kepada wanita2 aceh, hal itu menuai
kebencian dari masyarakat. Sehingga Teungku Pang Akob pun memimpin
rakyat untuk memberontak kepada jepang. Pada tanggal 3 mei 1945.
Pasukan Pang Akob melancarkan serangan dadakan kepada pasukan jepang
di malam hari menjelang pagi. Singkat cerita
Para syuhada berhasil menewaskan para pewira jepang dan serdadunya.
Beserta pasukan mujahidin yang ikut meninggal 44 orang. Sampai saat ini
Teungku Pang Akob dan pasukannya dikenang dengan Syuhada 44.
Sementara 44 orang syahid dalam peristiwa perang Pandrah di Meunasah
Lheu Simpang, pada 5 Mei 1945 adalah: Teungku Siti Aminah, Teungku
Ibrahim Meulaboh (suami Teungku Siti Aminah), Teungku Mahmud Ben,
Teungku Ismail Rahman, Teungku Sabon Piah, Teungku Usman Lheu,
Teungku Muhammad Adam Rifin.Teungku Ibrahim Yusuf, Teungku
Muhammad Yusuf Gagap, Nyak Abu Bakar Amin, Teungku Muhammad
Amin, Teungku Mohd. Kasim, Teungku Meulaboh, Teungku Muhammad
Hasan Banta, Teungku Sulaiman Ali, Teuku Nyak Isa, Teungku Kasim,
Teungku Muhammad Yakob, Petua Jalil, Teungku Muhammad Yusuf Ben
Dayah, Teungku Jalil Ben. Keuchik Johan, Abu Keuchik Lheu, Muhammad
Gam, Teungku Saleh Ismail, Teungku Ismail Ahmad, Teungku Mahmud Bin
Abdurrahman, Teungku Ahmad Itam, Teungku Ibrahim Ali, Nyak Umar
Adam, Teungku Abdullah Ben, Teungku Sulaiman Lheu, Teungku Ahmad
Gampong Blang, Teungku Ahmad Usman.Teungku Ibrahim Yusuf, Teungku
Ismail Rifin, Teungku Abdullah Gampong Blang, Teungku Saleh Ben Tulot,
Teungku Ibrahim Husin, Teungku Su’ud Tringgadeng, Teungku Saleh
Gampong Blang, Teungku Nyak Zulkifli Yusuf, Teungku Saleh Bin
Abdurrahman dan satu orang bayi dalam kandungan Teungku Siti Aminah.

8. TUGU BATEE KUREUENG


Pada awalnya Tugu Batee Kureng diletakkan di halaman dalam lingkungan
Meuligoe, namun kemudian dipindahkan ke jantung Kota persis di depan
Meuligoe. Batee Krueng merupakan nama salah satu batalyon Tentara Islam
Indonesia (TII) dibawah pimpinan Abdul Hamid yang bermarkas di daerah
Juli wilayah kewedanaan Bireuen (ketika masih berada dibawah Aceh
Utara). Ketika bersatunya TII dalam NKRI, untuk mengenang namanya oleh
Pemerintah Bireuen di lambangkan dengan sebuah batu besar yang diambil
dari pedalaman Kecamatan Juli. Pada Rabu, tanggal 8 April 1987 diadakan
“Apel Angkatan 45” di halaman rumah mantan Panglima Divisi Gajah
I/Divisi X TNI Komandemen Sumatera. Acara dimulai dengan
mengheningkan cipta dan lagu Indonesia Raya diteruskan sambutan
Sesepuh Masyarakat Aceh/Menteri Koperasi/Ka. Bulog. H . Bustanil Arifin,
SH., Mayjen A.R. Ramly (Dubes RI di Washington DC) dan Gubernur Aceh,
Prof. Dr. Ibrahim Hasan, MBA. Dalam apel tersebut dilakukan peletakan
batu pertama tugu oleh Letnan Jenderal (Purn) H. Bustanil Arifin. Hampir
seluruh pejuang Angkatan 45 terwakili dalam “apel kejuangan” itu, seperti
Mayjen (Purn) Sjamaun Gaharu, T.A. Hamid Azwar, Prof. A . Hasjmy, A .
Muzakkir Walad, Prof. Ir. Isjrin Nurdin, Alwin Nurdin, Gedong, Ali Hasan AS,
Hasan Saleh dan lainnya. Pada tugu Batee Kureng ketika itu bertuliskan
"Gemilang Datang Padamu Bila Tekad Kukuh Berpadu"

9. TUGU PERJUANGAN RAKYAT MELAWAN BELANDA

Garnisun Jepang di Lhok Seumawe segera bereaksi, setelah mendengar


terjadinya pelucutan senjata Jepang di Bireuen. Jarak antara Lhok Seumawe-
Bireun sekitar 45 km. Satu batalyon Jepang berasal dari Lhok Seumawe dan
sekitarnya—tadinya sedang menunggu untuk dipulangkan—ditambah tiga
kompi lengkap persenjataan bergerak menuju Bireuen untuk merebut dan
menduduki kembali kota Bireuen yang strategis itu.
Ini terjadi pada 24 November 1945. Kendaraan digunakan untuk mengangkut
tentara Jepang adalah sembilan gerbong dan tiga gerobak kereta api.
Kesibukan Jepang menyiapkan logistiknya itu, telah dipantau sejak dua hari
sebelunmya. Pimpinan API di Bireuen memeroleh informasi bahwa Jepang
akan merebut kembali senjata yang telah jatuh ke tangan API dan
kelaskaran.
Disinyalir juga serdadu Jepang akan menduduki kembali tempat-tempat yang
strategis lainya seperti Teupin Mane, Gelanggang Labu, Tambo, Cot Gapu,
Blang Pulo dan kota Bireuen sendiri.
Gerakan tentara Jepang ini segera dilaporkan kepada Markas Daerah API di
Banda Aceh, yang kemudian diperintahkan untuk mengkonsinyir seluruh
pasukan API dan barisan kelaskaran di Kabupaten Aceh Utara.
Sebuah pasukan komando dibentuk di Bireuen, yang menghimpun pasukan
API dan barisan kelaskaran dengan Komandan Operasi Kapten T. Hamzah.
Pasukan dilengkapi Kompi I pimpinan Letnan Agus Husin, Kompi II pimpinan
Letnan T. A. Hamdani, Kompi III pimpinan Letnan Nyak Do dan Kompi IV
pimpinan Letnan Jusuf Ahmad.
Persenjataan mereka ini cukup memadai sebagai hasil rampasan yang
dilakukan sebelumnya. Pasukan rakyat yang dikerahkan terdiri dari: 1.
Barisan Juli pimpinan Keuchik Ibrahim. 2. Barisan Gelanggang Labu
pimpinan Utoh Husin dan A. R. Mahmudi. 3. Barisan Samalanga pimpinan
Tgk. Syahbudin. 4. Barisan Jeunib pimpinan Peutua Ali. 5. Barisan Geurugok
pimpinan Tgk. Zamzam. 6. Barisan Peusangan pimpinan T. M. Hasan
Alamsyah. 7. Barisan Krueng Pandjo pimpinan Tgk. Abd. Rahman Meunasah
Meucap. 8. Barisan Bireuen pimpinan Na'am Rasmadin, H. Afan, H. Marzuki
Abu Bakar.  9. Barisan Lhok Seumawe pimpinan T. A. Bakar. 10. Barisan TPI
(Tentara Pelajar Islam) pimpinan M. Nur Nekmat/M. Sabi/Hasry. 11. Barisan
Takengon dipimpin Tgk. M. Soleh Adry dan Letnan Dua Ibnu Hajar.
Setelah pasukan API dan Barisan Kelaskaran disiapkan, mereka
diperintahkan menduduki pos-pos yang telah ditetapkan.
Kapten T. Hamzah menetapkan kota Matang Gelumpang Dua sebagai Pos
Komando dan Krueng Pandjo dipilih sebagai tempat penghadangan. Serentak
dengan itu dilakukanlah pembongkaran rel kereta api di kampung Pante
Gajah lokasi yang tepat untuk dihadang, sekitar 3 km,sebelum masuk
stasiun Matang Gelumpang Dua.
24 November 1945, tepat pukul 12.30, kereta api yang naas itu meluncur
memasuki area yang telah ditentukan. Masinisnya orang kita segera
melompat setelah melihat bahwa ia telah berada dalam sasaran tembak para
pejuang di kampung Pante Gajah. Serdadu Jepang segera menembak sang
Masinis, tapi bidikannya meleset jauh. Tentara Jepang yang lainnya segera
mengambil alih kemudi kereta api dan serta merta menyetopnya.
Berbarengan dengan kejadian yang serba cepat itu, para pejuang pun mulai
menyiram kereta api dengan tembakan yang gencar, sehingga membuat
serdadu Jepang agak kebingungan. Sementara Barisan Kelaskaran secara
kilat membongkar rel kereta api di bagian belakang, sehingga serdadu Jepang
terpaku di tempat.
Maju kena tembak, mundur kena lantak. Pertempuran berkobar dari siang
sampai malam. Pasukan kita dengan moril yang tinggal tetap mengepung
Jepang yang terkurung di gerbong-gerbong itu. Korban banyak berjatuhan
dari kedua belah pihak.
Sementara nasi bungkus mengalir dari kampung-kampung terdekat yang
telah disiapkan para ibu dan anak-anak gadis yang bertugas di dapur umum
sekitarnya.
Tengah malam menjelang subuh terlihat kesibukan serdadu Jepang.
Pengintai kita melaporkan, Jepang sedang menggali lubang perlindungan.
Besok paginya, 25 November 1945, pasukan Jepang berlindung dalam lubang
seraya memperkuat pertahanannya dengan lapisan kayu dan pohon kelapa.
Tembak menembak terus berkobar sejak pagi, sore, dan malamnya. Saat
baku tembak sedang gencarnya malam itu, muncullah dari Banda Aceh,
Kepala Staf Markas Daerah API, Mayor T. A. Hamid Azwar disertai Mura Moto,
seorang juru bicara Jepang. Mayor Hamid Azwar khusus datang ke Krueng
Pandjo atas instruksi Komandan Markas Daerah API di Banda Aceh, Kolonel
Syamaun Gaharu, untuk mengambil langkah-langkah penyelesaian yang
menguntungkan bagi Indonesia.
Mura Moto segera ditugaskan menghubungi Komandan Pasukan Jepang,
Mayor Ibi Hara dan disarankan untuk menyerah dengan seluruh
persenjataan diserahkan kepada pihak Indonesia.
Mayor Ibi Hara dapat menerima usul yang disampaikan Mura Moto, tapi
tampaknya ia mendapat kesukaran dalam meyakinkan Komandan Kompi
serta pasukannya. Untuk beberapa saat proses perundingan agak buntu.
Jawaban yang kongkret dari Mayor Ibi Hara belum juga menjadi kenyataan.
Pasukan kita memberi batas waktu sampai lewat zuhur, sementara Barisan
Kelaskaran telah diperintahkan untuk mengamankan pintu air irigasi yang
ada di lokasi tersebut.
Tepat pukul 14.00 belum juga ada tanda-tanda ke arah penyelesaian. Mura
Moto ditugaskan untuk melakukan kontak terakhir. Setelah diketahui pihak
Jepang masih bertahan dengan sikapnya yang keras, maka mulailah pasukan
kita menggempur kembali serdadu Jepang yang terkurung itu.
Bersamaan dengan gempuran itu, bendungan pintu air irigasi pun
dilepaskan, sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama membuyarkan
pasukan Jepang yang terendam dalam persembunyiannya di lubang- lubang
perlindungan. Senjata dan logistik mereka terendam air. Namun pertempuran
terus berkobar sampai sore harinya.
Pada hari ketiga, 26 November 1945, pagi, tampak serdadu Jepang tetap
dalam keadaan siaga, tapi satu peluru pun belum meletus. Sementara
penyelidikan dan pengintaian terus dilakukan dari jarak jauh.
Tepat pukul 12.40/siang, tampak bendera putih berkibar tanda menyerah.
Pimpinan Komando yang tadinya diambil alih Kepala Staf Mayor T. A. Hamid
Azwar dikembalikan kepada Komandan Operasi Kapten T. Hamzah yang
selanjutnya melakukan perundingan dengan Ibi Hara.
Dalam perundingan dicapai kesepakatan, Kapten T. Hamzah menerima 320
pucuk senjata api serta alat-alat perlengkapan lainnya. Sedangkan serdadu
Jepang kembali ke Lhok Seumawe menanti datangnya kapal laut yang akan
membawa mereka ke negerinya.
Berapa besar jumlah korban yang jatuh pada kedua belah pihak tidak
diperoleh angka yang pasti. Tapi diperkirakan tidak kurang dari 20-an
masing-masing pihak tewas dan gugur. Yang pasti Komandan Batalyon
Jepang, Mayor Ibi Hara sendiri tewas bunuh diri (harakiri).
“Pertempuran Krueng Pandjo dinilai kalangan militer sebagai pertempuran
yang bersejarah, karena ia telah mampu membangkitkan kepercayaan diri
yang besar di kalangan rakyat untuk mengusir Jepang dari Tanah Air,” tulis
Tgk. A. K. Jakobi.[] (idg)
10. KAPAL PORTUGIS
Kapal itu sendiri menggunakan mesin penggerak yang dihasilkan dari tenaga uap.
Hal ini dibuktikan dengan adanya perapian yang juga terbuat dari besi. Itupun juga
masih bisa disaksikan hingga saat ini. Jadi kecil kemungkinan kapal tersebut adalah
peninggalan Kerajaan Jeumpa. keberadaannya di sana diperkirakan telah
mencapai 500 tahun. kapal berjenis uap diciptakan didaerah Eropa bisa di
Perancis, Portugis, Inggris atau negara lainnya, sekitar awal abad 19 Masehi,
sekitar tahun 1800 sekian. Jenis kapal ini tergolong kapal uap karena memiliki
kabin uap yang masih bisa dilihat dibawah ini.

11. COT PANGLIMA

Cot Panglima juga memiliki sejarah yang panjang. Pembukaan jalan besar-besaran
menuju Dataran Tinggi Gayo dilakukan oleh Kolonialisme Belanda pada tahun 1902
dengan kerja Rodi penduduk pribumi Gayo dan pesisir utara Aceh. Khusus untuk
Cot Panglima, penamaannya dikarenakan pada masa penjajahan Cot Panglima
sering menjadi tempat beristirahat para Panglima seperti Kodam Teuku Hamzah
Bendahara. Panglima Divisi X Kolonel Husein Yusuf juga pernah beristirahat disini
pada saat melarikan Radio Rimba Raya dari Bireuen ke Pinto Rime Gayo.

12. BUNGKER JEPANG


lubang-lubang mirip gua ini adalah bunker peninggalan Jepang. Seperti diketahui bahwa bunker merupakan
jenis bangunan pertahanan militer yang dibangun di bawah tanah. Posisi bunker-bunker tersebut
membelakangi arah laut. Kami pun memasuki beberapa bunker yang terlihat gelap. Dengan bermodalkan
senter kecil kami mencoba melihat bangunan tersebut dari dalam. Sesekali kelelawar kecil terlihat terbang
di atas kepala kami. Bunker-bunker ini nampaknya masih sangat kokoh meskipun sudah berusia puluhan
tahun. Di kawasan ini terdapat belasan bunker yang sebagiannya sudah dibersihkan oleh Tu Lem. Dilihat
dari ukuranya, bunker ini memiliki luas yang berbeda-beda. Ada beberapa bunker dengan ukuran kecil
menyerupai tempat persembunyian. Sementara bunker-bunker lainnya berukuran agak luas dan terdapat
beberapa ruangan di dalamnya. Bahkan ada bunker yang memanjang seperti terowongan menembus ke
luar. Sebagian bunker juga dilengkapi dengan beberapa lubang udara mirip cerobong. Sampai saat ini
belum diketahui apakah bunker-bunker tersebut merupakan peninggalan Jepang atau Belanda, karena tidak
ditemukan tulisan apa pun di bunker tersebut. Tapi jika merujuk pada keterangan ahli dalam beberapa
literatur, karakteristik bunker yang memiliki lorong, kamar dan lubang di bagian atas pada umumnya
dibangun oleh Jepang.

13. BUNGKER JEPANG COT GEULUNGKU


sebuah benteng atau bisa disebut dengan bungker peninggalan Jepang pasca Perang Dunia II, yang sempat mendarat
ke Aceh sekitar tahun 1942-1945.
Perjalanan ke Cot Batee Geulungku

Bungker yang terletak dari kawasan Cot Batee Geulungku, Kecamatan Simpang Mamplam, Bireuen berada tepat di
depan komplek Batalyon Infantri. Menurut informasi yang kami dapat, Kepala Bappeda Bireuen, Razuardi Ibrahim yang
mengetahui keberadaan tempat sejarah tersebut dari hasil bincang-bincang bersama rekannya asal negara Jepang.
Daerah perbukitan di Batee Geulungku memang tidak padat penduduk, kawasan ini sempat ingin dijadikan sentral
kawasan industri untuk Kabupaten Bireuen.
Jika kita menuju Banda Aceh atau Medan, disekitaran jalan tersebut akan banyak kita temui para warga yang berjualan
air tebu dan sering orang-orang yang hulu lalang di jalan raya berhenti sejenak untuk menikmati air tebu disana yang
masih diolah dengan cara tradisional tanpa mesin.

Mandor (kiri) saat memberikan penjelasan tentang kondisi dalam bungker yang belum dijamaah semua

Setibanya kami di lokasi bungker yang kini sedang dilakukan pemugaran oleh warga sekitar, bungker yang lebih mirip
gua bawah tanah ini mempunyai arsitektur beton. Dari sinilah kami menggali informasi lebih lanjut dari seorang mandor
pekerja disana yang mengatakan bahwa untuk masuk ke dalam bungker ini memang sedikit mengerikan.
“Beberapa pekerja yang melakukan pemugaran tempat ini, tidak ada satu pun yang berani masuk ke dalam,” kata Mandor
kepada kami. Dari hasil amatan kami untuk memasuki bungker tersebut harus turun ke bawah lewat lebih kurang 15-17
anak tangga.
Pintu masuk yang berukuran 1×1,5 meter hanya bisa dimasuki oleh satu orang, menuju ke bawah mempunyai kedalam
sekitar 5-6 meter dengan kondisi ruangan sangat gelap, tanpa ada penerangan. Namun, jika sudah berada di dasar
bungker kita bisa menemui lubang-lubang cahaya yang sepertinya memang sengaja dirancang sebagai titik utama
menuju jalan lainnya

Anda mungkin juga menyukai