Tun Sri Lanang adalah orang yang membangun Mesjid Raya Samalanga
pada abad XVII. Peletakan batu pertama untuk Mesjid tersebut
dilakukan oleh Sultan Aceh Darussalam ke-22, Sultan Iskandar Muda
Meukuta Alam. Mesjid raya ini sekarang dikembangkan oleh lembaga
MUDI MESRA (Ma'had 'Ulumul Diniyah Mesjid Raya) Pimpinan Tgk.
Hasan Noel yang pada saat ini memiliki sekitar 3.000 santri.
Tun Sri Lanang, sang pengarang kitab Sulalatus Salatin, bacaan wajib di
sekolah-sekolah Melayu, dikenang juga dengan gelaran tidak resmi
"Gajah Mada Dunia Melayu". Di antara kesamaan Tun Sri Lanang
dengan Gadjah Mada (sepertinya nama sebenarnya) adalah, 1)
penyatuan, Gajah Mada menyatukan pulau-pulau di Nusantara,
sementara Tun Sri "menyatukan" Melayu karena menurunkan garis
keturunan bangsawan di Malaysia dan di Aceh. Di Malaysia, garis
keturunannya di antaranya adalah Sultan-sultan Pahang, Johor, dan
Selangor. Sedangkan di Aceh, telah ada keturunan ke – 8 Beliau yang
saat ini juga Ketua Yayasan Tun Sri Lanang, Pocut Haslinda Syahrul;
dan 2) ajal: sama-sama meninggal di Aceh, Tun Sri meninggal di
Samalanga pada 1659 M, sementara Gadjah Mada di Manyak Payet,
Tualang Cut, Kuala Simpang.
Pulo Iboh, tempat kelahiran dan tempat Teuku Muhammad Djohan Alamsjah
dibesarkan, adalah juga tempat kediaman resmi uleebalang Peusangan. Pulo
Iboh juga disebut kuta uleebalang (istana) nanggroe Peusangan. Desa Iboh
juga memegang kunci penting dalam sejarah revolusi sosial Aceh tahun 1945-
1946.
Menyangkut Iboh ada cerita lainnya. Dari desa inilah orang tua Teungku Amir
Husin Al Mujahid berasal. Ketika perang Aceh dengan Belanda sedang
mencapai puncaknya dipantai utara Aceh, keluarga orang tua Husin al
Mujahid mengungsi ke nanggroe Idi, yang telah menjadi sahabat kerajaan
Belanda jauh hari sebelum Perang Aceh–Belanda dimulai. Orang Aceh
memberi gelar yang agung untuk Amir Husin al Mujahid, Napoleon Bonaparte
Aceh, karena keberhasilannya meruntuhkan dan membantai seluruh
uleebalang Aceh hanya dalam waktu beberapa hari saja. Tanpa pernah
bertempur guru sekolah dasar madrasah di Idi -Aceh Timur ini, dapat
mengecoh Residen Aceh/ Jenderal Mayor TKR/TNI Teuku Njak Arief dan
menggiringnya ke kamp tahanan di Takengon. Napoleon Bonaparte Aceh
dengan lasykarnya TPR (tentara perjuangan rakyat) dengan ganas
membantai seluruh uleebalang Aceh beserta pengikutnya.
Gubernur Belanda sangat marah atas perbuatan uleebalang Aceh itu. Setelah
berfikir sejenak, diambil keputusan, Teuku Tjhik Muhammad Basjah –
uleebalang Keureutau dikenakan hukuman pengasingan selama setahun di
Kutaradja. Jabatannya selaku uleebalang dialihkan kepada saudara
sepupunya, Teuku Radja Sabi, putra Tjut Mutia -sang pahlawan- Perang
Aceh. Dan Swart Jr. itu, dipersilahkan kembali ke negeri Belanda untuk
memperdalam ilmu pemerintahan, terutama studi tentang Aceh.
Teuku Tjhik Muhammad Basjah, menamai calon putra mahkotanya, Teuku
Ramsjah. Nama Ramsjah merupakan kependekan dari nama ibunya, Ram-
lah dan nama ayahnya, Ba-syah. Ayah–bunda itu mewariskan namanya
kepada putra tunggalnya, dengan harapan calon putra mahkota ini dapat
mewariskan kemegahan dan keagungan leluhurnya uleebalang Peusangan
dan uleebalang Keureutau. Tetapi bagaikan embun pagi diterpa panasnya
sinar matahari, Revolusi Sosial Aceh tahun 1945 telah melenyapkan harapan
suami-isteri bangsawan Aceh itu tanpa bekas. Teuku Tjhik Muhammad
Basjah menemui ajalnya di Blang Siguci, dipancung oleh algojo PUSA yang
bernama Mandoe Eit, mantan ajudannya sendiri..
Mantan ajudan ini berani berbuat lancang karena disuruh oleh Teuku Hasan
Ibrahim Krueng Pase, anak pungut Tjut Njak Bah -ibu kandung Teuku Tjhik
Muhammad Basjah. Selaku panglima Markas Rakyat di Lhok Sukon, Teuku
Hasan Ibrahim Krueng Pase memerintahkan Kapten Hasbi Wahidi -komandan
bataliyon TKR- Lhok Sukon melakukan penangkapan resmi terhadap seluruh
uleebalang dan pejabat negara RI di wilayah kewedanaan (gun-cho) Lhok
Sukon. Terutama terhadap dua orang musuh bebuyutannya, yaitu Teuku
Bentara Puteh-uleebalang Seuleumak dan Teuku Tjhik Muhammad Basjah,
karena kedua orang ini telah berani menolak lamaran Teuku Hasan Ibrahim
Krueng Pase untuk mengawini seorang janda kaya. Dan janda kaya yang
menjadi incerannya adalah Tjut Njak Nur- adik kandung Teuku Tjhik
Muhammad Basjah, janda putra Teuku Sri Maharadja Mangkubumi
-uleebalang Lhok Seumawe.
Setelah kedua musuh bebuyutannya itu menjadi mangsa algojo PUSA, impian
panglima Markas Rakyat di Lhok Sukon untuk menjadi suami janda kayapun
menjadi kenyataan. Harta sijanda kaya itupun dikuras habis, bekal dia
mengawini seorang gadis -putri uleebalang Meuraxa- Kutaraja. Nasib anak
manusia berjalan menurut suratan-tangannya masing-masing. Demikian
pula dengan nasib Teuku Ramsjah, calon putra mahkota Keureutau ini. Pada
tahun 1978 dikeramaian Pasar Glodok, di Jakarta tanpa terduga dua anak
manusia bertemu kembali. Tiba-tiba seorang anak muda dengan wajah dan
dalam pakaian kumuh, merangkul Dr. Ida Bagus Bagiastra. Orang muda ini
memperkenalkan dirinya, Teuku Ramsjah putra Teuku Tjhik Muhammad
Basjah -uleebalang Keureutau.
Teuku Ramsjah sungguh berperi laku aneh. Ketika kerabat ibunya Letnan
Jenderal Polisi Teuku Abdul Aziz, Wapangab RI dan Letnan Jenderal TNI Dr.
Teuku Sjarif Thajeb, Menteri P&K RI masa orde-baru yang sangat terkemuka,
menawarkan pilihan jabatan bupati di wilayah NKRI, dengan senyum
dikulum ditolaknya kebaikan hati kedua orang petinggi Republik itu.
Rupanya kedua petinggi Republik Indonesia tak tahu, bahwa Teuku Ramsjah,
putra mahkota nanggroe Keureutau telah berubah menjadi seorang sufi yang
bermakam tinggi.
Akhirnya cucu kesayangan Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah
ini mengembuskan nafas terakhir pada tanggal 11 Maret 1990 di rumahnya
di Medan, setelah beberapa saat menderita sakit gagal ginjal. Putra mahkota
nanggroe Keureutau itu dimakamkan disamping kakeknya, Teuku Tjhik M.
Djohan Alamsjah, dipekuburan keluarga Sultan Deli -disamping Mesjid Raya
Sultan Deli- Al Maksum, Medan.
Setelah Teuku Muhammad Djohan Alamsjah dianggap dewasa dan cukup
cakap untuk memimpin nanggroe Peusangan, Teuku Djeumpa merasa sudah
saatnya mengundurkan diri dari panggung politik nanggroe Peusangan.
Gubernur Belanda di Aceh juga setuju dengan kebijakan Teuku Maharadja
Djeumpa tersebut.
Dihadiri pejabat tinggi sipil dan militer, serta didahuli tembakan meriam
sebanyak 7 kali dan iringan musik pasukan militer, Gubernur Belanda di
Aceh melantik Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah menjadi
Zelfbestuurder (penguasa daerah swapraja) nanggroe Peusangan. Upacara
pelantikan ini dilangsungkan di halaman rumah kediaman uleebalang
Peusangan itu, di Matang Glumpang Dua, pada tanggal 25 November 1912.
Sejak pelantikannya itu, pejabat Belanda maupun rakyat nanggroe
Peusangan, menyebut Teuku Muhammad Djohan Alamsjah dengan panggilan
kehormatan, Ampon Tjhik. Maka, selanjutnya hak Teuku Tjhik Muhammad
Djohan Alamsjah sebagai Keujruen Peusangan yang tercantum dalam surat
cap sikureung (cap sembilan) Sultan Aceh, dikukuhkan kembali oleh
Gubernur Jenderal Hidia Belanda.
Sejak saat itu nanggroe Peusangan yang terdiri atas 3 uleebalang-cut
(uleebalang-kecil), yaitu Jeumpa, Jangka, dan Matang Glumpang Dua resmi
menjadi sahabat Kerajaan Belanda. Penduduk nanggroe ini sekitar 20.000.
Menjelang Perang Dunia ke-II penduduk nanggroe Peusangan meningkat
mencapai 50.000 orang. Rakyat nanggroe Peusangan sejak saat itu juga
dinyatakan ikut menjadi kawula Kerajaan Belanda.
Dibalik kemegahan upacara pelantikan zelfbestuurder itu, hak kedaulatan
nanggroe Peusangan dalam bidang militer-ekonomi-hukum langsung
dimasukan kedalam kantong Belanda. Di nanggroe Peusangan dilakukan
demiliterisasi, artinya uleebalang Peusangan tak diperkenankan memiliki
pasukan tentara sendiri.
Sungguh diluar dugaan, Teuku M. Hasan, putra Teuku Tjhik Peusangan yang
sudah ternista oleh kaum ulama PUSA, menjadi sasaran dendam kesumat
Jusuf Muda Dalam. Ketika berhasil menjumpai Teuku M. Hasan, saat itu
juga dipecatnya putra uleebalang Peusangan itu dari BNI 1946. Dalam
keadaan lunglai putra mahkota nanggroe Peusangan, yang hidup flamboyan
di era Hindia Belanda, kembali ke asalnya, keluarga besar Peusangan. Itulah
hasil pergaulannya dengan seorang studen Landbouwschool-Bogor.
Akan hal rumahnya di Jalan Gereja Theresia, Weltervreden (daerah elite
Menteng–Jakarta), menjelang pendaratan tentara Jepang di Jawa,
dihadiahkannya kepada Teuku Jusuf – cucu uleebalang Seuleumak, kerabat
iparnya Teuku Tjhik M. Basjah Keureutau. Sayang rumah ini dijual oleh
Teuku Jusuf Seuleumak, studen GHS (sekolah dokter Belanda), pada masa
penjajahan Jepang. Padahal di era Orde-Baru rumah ini bernilai tak kurang
dari satu juta dollar Amerika Serikat.
Terbawa oleh arus zamannya setamat AMS di Jogyakarta, Teuku Abdul Aziz
bersama 3 orang putra bangsawan Aceh lainnya, yaitu: Teuku Teungoh
Hanafiah, putra Teuku Muda Jusuf, uleebalang Simpang Ulim, Teuku Akbar,
putra seorang uleebalang didaerah pantai barat Aceh, dan Teuku Jusuf, cucu
Teuku Bentara Seuntang uleebalang Seuleumak. Keempat mereka
menempuh ujian masuk KMA (Koninklijke Militairie Academie) di Breda.
Semua perintang dalam ujian itu dapat dilalui putra bangsawan itu dengan
hasil sangat memuaskan. Apakah masih ada alasan “Panitia Ujian Seleksi”
masuk KMA itu menolaknya? Secara profesional dan administratif, jawabnya
tidak. Alhasil ke-4 orang pemuda Aceh itu diterima menjadi kadet KMA. Hasil
ini sungguh mengejutkan bagi putra-putra terbaik Aceh itu, maka meledaklah
kegembiraan mereka.
Jenderal Berenschot, panglima KNIL (tentara Hindia Belanda) dengan tenang
masuk ke ruang kerjanya, di Markas Besar KNIL, di Bandung. Ajudannya
telah menyiapkan laporan rahasia dari Kantor BB (departemen dalam negeri
Hindia Belanda) di meja panglima KNIL itu. Jenderal Berenschot membaca
seluruh laporan itu dengan teliti, kasus demi kasus. Sungguh terperanjat
Jenderal KNIL itu. Lebih terperanjat lagi dibuatnya, ketika menyaksikan
bocah Aceh -mantan tawanannya yang saat itu berumur 8 tahun- lulus ujian
kadet KMA. Dipendamnya dilubuk hati terdalam segala pengalaman pahit di
medan pertempuran Aceh. Terlintas dibenaknya, Angkatan Perang Kerajaan
Belanda di masa akan datang harus berhadapan lagi dengan orang muda
reinkarnasi Teuku Umar, sang pahlawan Kerajaan Aceh. Walaupun demikian,
ajudannya diperintahkannya untuk mempersilahkan ke-4 orang anak muda
Aceh itu masuk ke ruang kerjanya.
Dalam keadaan gontai ke-4 orang anak muda Aceh itu keluar dari kamar
kerja panglima KNIL itu. Dengan bibir gemetar ke-4 anak muda itu segera
menelpon handai-tolannya masing–masing, melaporkan hasil ujian seleksi
masuk KMA di Breda. Mereka mendesak kaum kerabatnya masing-masing
untuk datang menghadap Gubernur Jenderal Hindia Belanda, untuk
mendapat rekomendasi masuk KMA-Breda bagi mereka.
Kecuali Teuku Tjhik Peusangan, seluruh kerabat uleebalang Aceh yang
putranya tergila-gila akan kadet KMA-Breda itu, menjawab singkat
permintaan putranya itu: “Apakah kamu anakku akan mati kelaparan, kalau
tidak menjadi serdadu Belanda?”. Kerabat uleebalang Aceh sangat menginsafi
posisinya masing-masing berhadapan dengan musuh bebuyutannya itu.
Mereka tidak mau larut dalam buih sopan-santun Belanda.
Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah yang rendah hati itu dan sudah
bertekad mengabisi Belanda dengan ilmunya sediri, segera berusaha
memenuhi permintaan T.A. Aziz – kemenakannya itu. Gayungpun bersambut,
Teuku Tjhik Peusangan datang menemui Dr. Van Aken. Permintaan Teuku
Tjhik Peusangan disambut baik oleh Gubernur Belanda di Aceh. Dr. Van
Aken segera mengirim surat kawat (telegram) rahasia kepada Gubernur
Jenderal Hindia Belanda, mengabarkan perihal permintaan Teuku Tjhik
Peusangan, sekutu Belanda di Peusangan.
Dengan senyum pahit, Teuku Tjhik Ali Akbar terpaksa diterimanya menjadi
menantunya. Rupanya putri sang jenderal yang dibesarkan dalam medan
pertempuran militer Belanda di wilayah Aceh Barat, sudah tak dapat lagi
melepaskan diri dari kenikmatan menu para gerilyawan Kerajaan Aceh.
Akhirnya, ketika serdadu Jepang mendarat di pantai Barat Aceh tahun 1942,
menantu Jenderal Belanda ini menjadi tumbal kebengisan serdadu Jepang.
Sayed Abubakar, kader PUSA yang menjadi anggota Fujiwara Kikan memberi
petunjuk khusus kepada serdadu Jepang untuk mengantarkan uleebalang
Kaway XVI menemui Sang Penciptanya di langit ke-7.
Seorang uleebalang lain di pantai barat Aceh, uleebalang nanggroe Trumon
(Bakongan) juga ikut tergaet noni Belanda. Maka, noni Belanda itupun
menjadi isteri uleebalang Trumon (Bakongan). Kenyataan beberapa
uleebalang Aceh beristerikan perempuan Belanda tentu saja menjadi
bumerang bagi kaum uleebalang. Untuk meningkatkan kebencian rakyat
Aceh terhadap kaum uleebalang, dalam kurun waktu hegemoni kaum ulama
PUSA tahun 1945-1950, yel-yel bertajuk uleebalang = menantu Belanda
berkumandang dengan dahsyat di seluruh pelosok Aceh. ***
Dengan bekal ilmu pengetahuan yang diperoleh dari Belanda. Maka, Teuku
Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah dengan langkah yang ringan, tanpa
membuang waktu langsung mengayunkan langkah berikut ke proyek
besarnya. Yaitu, mencerdaskan seluruh rakyatnya, rakyat nanggroe
Peusangan.
Guru muda itu sangat kreatif dalam mendidik anak muridnya yang hampir
seluruhnya terdiri dari anak petani. Melihat prestasi kerja guru muda itu
yang sangat menonjol, maka Sutan Mangkudun mengusulkan kepada
uleebalang Peusangan, supaya Sjamaun Gaharu diberi kesempatan belajar
diLandbouwschool di Bogor. Teuku Tjhik Peusangan sangat setuju dengan
usul Sutan Mangkudun yang bijak itu. Orang Minangkabau itu
menambahkan catatan khusus, bahwa ilmu pertanian yang diperoleh
di Landbouwschool itu dapat ditularkan kepada anak-anak didiknya.
“Bukankah Ampon Tjhik berkehendak membangun proyek raksasa,
membangun pertanian rakyat Peusangan secara besar-besaran?”, tambah
Sutan Mangkudun menguatkan usulnya itu.
Merasa sudah cukup lama bekerja untuk Teuku Tjhik Peusangan, dan anak-
anaknya sendiri sudah tumbuh besar, maka guru Sutan Mangkudun
memberanikan diri untuk pindah kembali ke negeri Minangkabau. Uleebalang
Peusangan itu sungguh terperanjat dibuatnya. Berbagai alasan dikemukakan
guru Sutan Mangkudun, dan alasan yang paling utama adalah anak-
anaknya butuh bersekolah di sekolah berbahasa Belanda. Dengan berbagai
alasan guru itu tetap dibujuk oleh uleebalang Peusangan untuk bekerja
mencerdaskan anak-anak pribumi nanggroe Peusangan. Hati suami-isteri
guru itu sungguh luluh dibuatnya.
Alibi keluarga Sutan Mangkudun sungguh sangat mengilhami uleebalang
Peusangan itu. Tak lama kemudian Teuku Tjhik Peusangan mendesak
Gubernur Belanda di Aceh untuk mendirikan HIS, sekolah dasar berbahasa
Belanda, di kota Bireuen yang banyak dihuni tentara Belanda. Kini anak-
anak kecil yang selama ini harus bersusah payah ke HIS Lhok Seumawe
dengan kereta api ASS yang kuno itu, dapat belajar dengan nyaman di HIS
Bireuen. Anak-anak guru Sutan Mangkudun juga belajar di sekolah Belanda
itu. Akhirnya suami-isteri guru yang penuh dedikasi dan sangat profesional
itu menghabiskan seluruh sisa umurya di Peusangan. Dan Sutan
Mangkudun beserta isterinya Encik Rukiah dimakamkan di nanggroe
Peusangan.
Setelah Teuku Tjhik Peusangan merasa dirinya sudah mulai berhasil
membimbing rakyatnya keluar dari gua kegelapan dan kebodohan dengan
menggapai ilmu duniawi orang Belanda walau dalam kadar yang sangat
minimal, maka uleebalang Peusangan itu berusaha mengembalikan marwah-
martabat bangsa Aceh melalui ilmunya sendiri, ilmu dunia-akhirat, yaitu
ilmu agama Islam.
Seluruh ulama nanggroe Peusangan dirangkulnya, dan diajaknya menyokong
mendirikan sekolah pendidikan agama Islam. Bagaikan tarikan magnit
raksasa, dalam sekejap seluruh rakyat nanggroe Peusangan tersedot
keterpihakkannya oleh ajakan uleebalang dan ulamanya membangun kembali
syiar Islam di Peusangan. Dalam waktu singkat berdirilah sebuah gedung
sederhana, tempat lembaga pendidikan formal agama Islam mewujudkan
cita-citanya di Matang Glumpang Dua, ibu kota nanggroe Peusangan.
Lembaga pendidikan ini diberi nama Al Muslim. Dalam upacara yang cukup
meriah pada tahun 1929, Perguruan Islam Al Muslim tersebut dibuka resmi
oleh uleebalang dan ulama-ulama di nanggroe Peusangan. Dalam kemeriahan
upacara itu, dengan penuh keceriaan tampil seorang putri berumur 14 tahun
yang cantik jelita, memotong pita peresmian Perguruan Islam Al Muslim.
Putri jelita itu adalah Potjut Ramlah, putri sulung Teuku Tjhik Muhammad
Djohan Alamsjah.
Berbeda dengan Perguruan Normaal Islam milik kaum PUSA di Bireuen yang
lenyap ditelan oleh waktu, Perguruan Islam Al Muslim berkembang dengan
baik. Bangunan barupun perlu terus ditambah untuk memenuhi tuntutan
anak didik yang semakin bertambah banyak. Derajat perguruan Al Muslim
inipun terus meningkat hingga sekarang ini.
Dengan berbekal ilmu pengetahuan duniawi milik Belanda dan ilmu duniawi-
ukhrawi Islamnya orang Aceh, Teuku Tjhik Peusangan memberanikan dirinya
untuk mengajak rakyat Peusangan mengarungi kehidupan nyata untuk
mencari nafkah yang halal. Maka, roda ekonomi rakyat harus dihidupkan
kembali. Perhatian utama ditujukan ke bidang pertanian rakyat.
Pertanian model onderneming (perkebunan) yang telah mencelakakan rakyat
Aceh di nanggroe Tamyang dan nanggroe Langsa dijauhinya. Seluruh rakyat
Peusangan digugahnya untuk memperluas area persawahan. Ternyata
persawahan yang luas menyedot air yang sangat banyak pula. Persedian air
untuk persawahan tak mencukupi lagi. Melihat kenyataan ketidak mampuan
masyarakat Peusangan untuk memecahkan masalah perairan bagi sawah
mereka yang sangat luas itu, Teuku Tjhik Peusangan terpaksa berpaling pada
penguasa Hindia Belanda.
4. HABIB BUGAK
Asal Usul Habib Bugak Al Asyi, Ulama Dermawan Pewakaf Tanah Abadi
Untuk Rakyat Aceh yang Berhaji di Mekkah. Habib Bugak Asyi telah
mewariskan kepada masyarakat Aceh harta berharga lebih 300 juta Riyal
Saudi atau sekitar Rp 7,5 triliun“Apabila anak cucu Adam meninggal dunia,
putuslah segala amal kebaikannya kecuali tiga perkara, sedekah jariah, ilmu
yang bermanfaat, dan doa anak yang saleh,” (HR. Muslim no. 1631)
Musim Haji 1438 Hijriyah baru saja usai. Namun selalu ada cerita menarik
dari setiap penyelenggraan haji tiap tahunnya. Salah satunya adalah soal
tambahan bonus selain living cost khusus untuk jamaah Haji asal Provinsi
Aceh. jika jemaah Haji Indonesia sebelum berangkat ke Arab Saudi menerima
uang saku (living cost) sebesar Saudi Arabian Ryal (SAR) 1.500 atau sektar Rp
5,25 juta dari komponen Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang
telah dibayarkan, jamaah asal Aceh akan menerima tambahan uang sebesar
SAR 1.200 (Rp 4,2 juta)Saudi. Dana wakaf itu hanya diberikan kepada
jemaah haji asal Aceh, yang tahun ini memberangkatkan 4.357 orang ke
Tanah Suci."Dua hari setelah jemaah kita tiba di Makkah, maka nazir waqaf
Baitul Asyi langsung berikan uang 1.200 riyal Arab Saudi per orang," ucap
Koordinator Humas Panitia Penyelenggara Ibadah Haji PPIH Embarkasi Aceh
Rusli di Banda Aceh, Minggu (20/8) lalu, seperti dikutip Antara.
Habib Bugak asal Aceh yang datang ke Makkah tahun 1223 hijriah itu
membeli tanah sekitar daerah Qusyasyiah yang sekarang berada di sekitar
Bab Al Fath (antara Marwah dan Mesjid Haram). Saat itu, masa Kerajaan
Ustmaniah.Namun, kemudian, pemerintah Arab Saudi pada masa Raja Malik
Sa’ud bin Abdul Azis, melakukan pengembangan Masjidil Haram. Tanah
wakaf Habib Bugak untuk masyarakat Aceh terkena proyek tersebut. Rumah
Habib Bugak digusur dengan pemberian ganti rugi.
Dari keuntungan lainnya, Nazhir membeli dua areal lahan seluas 1.600 meter
persegi dan 850 meter persegi di Kawasan Aziziah. Tahun 2009 di kedua
lahan ini dibangun pemondokan khusus untuk jamaah asal Embarkasi
Aceh.Hasil keuntungan pengelolaan hata wakaf inilah yang sejak tahun 2006
dibagikan ke jamaah haji asal Aceh. Pada tahun 2008, Pemerintah Aceh
menerima Rp14,54 miliar dari Baitul Asyi sebagai uang pengganti sewa
rumah bagi 3.635 jamaah haji asal Aceh. Per jamaah mendapat sekitar Rp4
juta-an.
Dua tokoh Aceh, Dr. Al Yasa’ Abubakar (Kepala Dinas Syariat Islam NAD) dan
Dr. Azman Isma’il, MA (Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh)
telah mengeluarkan surat pernyataan tentang asal muasal Waqaf Habib
Bugak Asyi.Menurut akta ikrar Waqaf yang disimpan dengan baik oleh
Nadzir, waqaf tersebut diikrarkan oleh Habib Bugak Asyi pada tahun 1222
Hijriyah (sekitar tahun 1800Masehi) di depan Hakim Mahkamah Syar’iyah
Mekkah. Di dalamnya disebutkan bahwa rumah tersebut diwaqafkan untuk
penginapan orang yang datang dari Aceh untuk menunaikan haji, serta orang
Aceh yang menetap di Mekkah.
Dalam ikrar wakaf disebutkan, “Sekiranya karena sesuatu sebab tidak ada
lagi orang Aceh yang datang ke Mekkah untuk naik haji maka rumah wakaf
ini digunakan untuk tempat tinggal para pelajar (santri, mahasiswa) Jawi
(nusantara) yang belajar di Mekkah. Sekiranya karena sesuatu sebab
mahasiswa dari Nusantara pun tidak ada lagi yang belajar di Mekkah maka
rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal mahasiswa Mekkah yang
belajar di Masjid Haram. Sekiranya mereka ini pun tidak ada juga maka
wakaf ini diserahkan kepada Imam Masjid Haram untuk membiayai
kebutuhan Masjidil Haram,”
Habib Bugak telah menunjuk Nadzir (pengelola) salah seorang ulama asal
Aceh yang telah menetap diMekkah. Nadzir diberi hak sesuai dengan
tuntunan syariah Islam.Pada tahun 1420 H (1999 M) Mahkamah Syar’iyah
Mekkah mengukuhkan Syekh Abdul Ghani bin Mahmudbin Abdul Ghani Asyi
(generasi keempat pengelola wakaf) sebagai Nadzir yang baru. Sejak tahun
1424 H (2004 M) tugas Nadzir dilanjutkan oleh sebuah tim yang dipimpin
anaknya bernama Munir bin Abdul Ghani Asyi (generasi kelima) serta Dr.
Abdul Lathif Baltho.
Menurut Hilmi, Habib Bugak hanya nama samaran yang digunakan oleh
Pewakaf untuk menjaga keikhlasan hati dalam beribadah. Syekh Munir
menyebutkan Habib adalah gelar untuk Sayyid atau keturunan Rasulullah
yang umum digunakan di Mekkah pada masa itu, yakni sebelum
berkuasanya Dinasti Ibnu Saud, penguasa Kerajaan Saudi sekarang.
Sementara Bugak Asyi adalah nama sebuah daerah di Kerajaan Aceh pada
tahun 1800 M lalu, ketika wakaf diikrarkan. Sehingga adanya simpang
siurnya sosok HabibAsyi ini, mulai ada oknum yang merekayasa berbagai
cerita untuk keuntungan pribadi.
Bugak Asyi dalam bahasa Arab artinya daerah Bugak dalam wilayah Aceh.
Dalam tulisan Arab, Bugak terdiri atas huruf:ba, waw, jim dan a’in
sebagaimana ditulis dalam ikrar wakaf, sementara dalam tulisan Arab-Melayu
Aceh: ba, waw, kaf, alif dan hamzah sebagaimana tertulis dalam Sarakata
Sultan Kerajaan Aceh.Maka harus ditelusuri sebuah wilayah, daerah,
kampong atau mukim yang bernama Bugak dengan huruf-huruf di atas
dalam seluruh Aceh, terutama yang termasuk dalam wilayah Kerajaan Aceh
Darussalam pada sekitar tahun 1800-an, atau tahun dibuatnya ikrar wakaf.
“Setelah penelitian, saya dan tim peneliti lebih cenderung memilih Bugak
yang masuk dalam wilayah Peusangan, Matang Glumpangdua, Kabupaten
Bireuen,” kata Hilmi.Dari sejarah, nama Bugak— jadi bagian Kecamatan
Jangka—dahulunya adalah sebuah pusat kota berdekatan dengan daerah
pesisir Kuala Peusangan dan Monklayu. Bugak menjadi pertemuan dari
kedua kota pelabuhan tersebut dan berkembang menjadi kota maju yang
dapat dilihat bekas-bekas peninggalannya hingga kini berupa rumah besar
dan mewah serta toko tua yang menjadi tempat tinggal para hartawan yang
berprofesi sebagai tuan tanah, saudagar, dan lainnya.
Keturunan di Bugak
Gelar Habib biasanya hanya diberikan kepada para pemuka atau tokoh yang
memiliki pengetahuan serta keistimewaan dalam masyarakatnya. Di sekitar
daerah Bugak, terdapat banyak sayyid, terutama dari keturunan Jamalullayl,
al-Mahdali, Alaydrus dan mayoritasnya adalah Al-Habsyi. Keturunan Al-
Habsyi sangat mendominasi, terutama yang berasal dari sekitar Monklayu.
Menurut Urueng Tuha di sekitar Bugak, Habib Abdurrahman bin Alwi Al-
Habsyi adalah seorang yang pertama membuka Bugak dan memiliki
kedudukan terhormat sebagai wakil Sultan. Hal ini diperkuat dokumen yang
dikeluarkan Sultan Mansyur Syah bertahun 1270 H yang menyebutkan
dengan terang nama Habib Abdurrahman dengan Bugak.
Adapun ikrar wakaf Habib Bugak di Mekkah terjadi pada tahun 1222 H.
Sementara dokumen Kerajaan Aceh yang ditandatangani oleh Sultan
Mahmudsyah pada tahun 1206 H dan dokumen Kerajaan Aceh yang
ditandatangani oleh Sultan Mansyur Syah pada tahun 1270 H menyebutkan
dengan tegas nama dan tugas Sayyid Abdurrahman bin Alwi atau Habib
Abdurrahman bin Alwi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Habib
Abdurrahman pernah hidup di Bugak sebagai orang kepercayaan Sultan Aceh
Darussalam antara tahun 1206 H sampai dengan tahun 1270 H, hampir
bersesuaian dengan tahun wakaf dibuat pada tahun 1222 H.
Tempat ini berdekatan dengan Bugak yang menjadi asal dari Habib Bugak
Asyi. Menurut catatan Rabithah Alawiyah Kerajaan Aceh, Syekh Abdullah al-
Baid adalah Ulama dari Mekkah yang datang serombongan bersama dengan
Habib Abdurrahman Al-Habsyi dari Mekkah, bertugas di Bandar Aceh
Darussalam dan kemudian menetap di sekitar daerah Bireuen atas titah
Sultan Aceh Darussalam.
Hal ini sebagaimana disebutkan Sarakata Sultan Aceh yang tersimpan rapi
pada keturunan Habib Abdurrahman Al-Habsyi. Kemudian, Habib
Abdurrahman Al-Habsyi bermukim di Monklayu dan wafat di Bugak,
sementara Syekh Abdullah al-Baid bermukim di Awe Geutah mendirikan
dayah dan wafat di sana.
Selain mewakafkah hartanya, Habib Abdurrahman bin Alwi bin Syekh Al-
Habsyi atau Habib Bugak Asyi sejatinya juga salah seorang tokoh Aceh yang
memiliki peranan penting dalam sejarah rekonsiliasi masyarakat Aceh.
Terutama saat terjadinya ketegangan yang timbul pada awal abad ke 18
Masehi.Ketegangan tak terlepas dari pemberhentian Sultanah Kamalat
Ziatuddinsyah pada tahun 1699 yang digantikan oleh suaminya Sultan
Badrul Alam Sayyid Ibrahim Syarif Hasyim Jamaluddin Syah Jamalullayl
(1699-1702) atas fatwa dari Ketua Mufti Syarief Mekkah setelah wafatnya
Mufti-Qadhi Malikul Adil Maulana Syiah Kuala.Fatwa ini telah mengantarkan
para Sayyid sebagai Sultan Aceh selama hampir 30 tahun. Naiknya kembali
keturunan garis Sultan asal Pasai dari keturunannya di Bugis, Sultan Alaidin
Ahmad Shah (1733) dan para pelanjutnya telah menimbulkan kegusaran dan
ketakutan dari keturunan para sayyid, terutama keturunan dari garis Sultan
yang dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik.Saat imperialisme kolonial
barat masuk ke Aceh, para tokoh sayyid di Aceh meminta Syarief Mekkah
yang masih memiliki otoritas keagamaan atas Aceh agar mengirim para tokoh
kharismatis, Habib dan Ulama yang dapat membawa kedamaian dan
rekonsiliasi masyarakat Aceh. Di antara utusan yang datang dari Mekkah
adalah Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi yang kemudian dikenal
dengan Habib Teuku Chik Monklayu, yang juga dikenal dengan Habib Bugak
Aceh, karena beliau tinggal di Pante Sidom, Bugak, Bireuen.Habib
Abdurrahman Al-Habsyi Bugak adalah seorang ulama faqih, sufi dan seorang
bentara-laksamana serta pemimpin masyarakat yang dipercaya oleh Sultan
Aceh sebagai Teuku Chik yang kekuasaannya terbentang dari desa-desa di
sekitar Jeumpa, Peusangan, Monklayu, Bugak sampai Cunda dan Nisam
sebagaimana yang dituangkan dalam surat keputusan Sultan Mahmudsyah
dalam surat bertahun 1224 H (1800 M)
Menurut Syekh Munir, kini Habib Bugak Asyi telah mewariskan kepada
masyarakat Aceh harta wakaf berharga lebih 300 juta Riyal Saudi atau
sekitar Rp 7,5 triliun. Aset yang ada berupa 2 buah hotel, Ajyad (Funduk
Ajyad) bertingkat 25 sekitar 500 meter dari Masjidil Haram dan Menara Ajyad
(Burj Ajyad) bertingkat 28 sekitar 600 meter dari Masjidil Haram.Kedua hotel
besar ini mampu menampung lebih 7000 jamaah yang dilengkapi dengan
infrastruktur lengkap. Selain hotel, ada juga apartemen dan tanah kosong
berjumlah lebih 10 unit.
Pada musim haji tahun 1427 lalu, Nadzir (pengelola) Wakaf Habib Bugak Asyi
telah mengganti sewa rumah jamaah haji asal Aceh selama di Mekkah
sebesar sewa yang telah dibayar Pemerintah Indonesia kepada pemilik
pemondokan atau hotel yang ditempati para jamaah haji asal Aceh. Besarnya
sekitar antara SR 1.100 sampai SR 2.000, dengan jumlah total Rp 13,5 milyar
rupiah.Nadzir Waqaf Habib Bugak juga sedianya akan membangun Kompleks
Pemondokan Haji yang mampu menampung 5.000 jamaah yang berasal dari
Aceh. Hasil wakaf juga digunakan untuk menyewakan beberapa bangunan
lainnya untuk kepentingan masyarakat Aceh.Menurut catatan, setelah
kembali dari Mekkah, Habib Bugas Asyi bermukim dan dimakamkan di Pante
Sidom, Kemukiman Bugak, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen. Terlepas
dari catatan sejarah yang masih perlu disempurnakan, sosok Habib Bugak ini
memang menjadi sesuatu yang dirindukan.
5. PUCOT MEULIGOE
Samalanga ketika itu termasuk wilayah otonom yang diberi kuasa penuh
oleh Sulthan Aceh kepada raja Teuku Chik Bugis, tapi dalam menjalankan
pemerentahan Teuku Chik Bugis mempercayakan pada seorang tokoh
wanita bernama Pocut Meuligoe. Mendengar nama kedua tokoh ini saja,
Belanda keder karena keberanian mereka. Belanda sendiri ingin menguasai
Samalanga karena wilayah ini sangat strategis dan maju dalam bidang
perdagangan.
Ketika Van Der Heijden diangkat Pemerintah Hindia Belanda menjadi
Gubernur/Panglima Perang untuk Aceh, sasaran pertamanya adalah
menaklukkan Samalanga. Tahun 1876 Van Heijden menyerang Samalanga
dengan mengerahkan kekuatan tiga Batalion tentara. Tiap Batalion terdiri
tiga Kompi yang masing-masing kompi berjumlah 150 pasukan. Namun
sekian kali mereka menyerang, tak berhasil menguasai Samalanga. Serdadu
Belanda mati, termasuk seorang Letnan bernama Aj. Richello yang
dipancung kepalanya oleh seorang ulama besar Haji Ahmad. Namun ulama
ini juga syahid dalam agresi pertama Belanda ke Samalanga. Pejuang
Samalanga tak dapat dikalahkan, maka tahun 1877 Belanda kembali
menyusun kekuatan menyerbu dengan melibatkan tiga Batalion tentara,
pasukan marenir dan pasukan meriam ditambah 900 orang hukuman yang
diikutkan dalam penyerangan. Setelah sebulan pertempuran, Belanda hanya
bisa menguasai Blang Temulir dekat kota Samalanga. Ratusan serdadu
colonial mati, dan Van Der Heijden sendiri luka berat, bahkan mata kirinya
mengalami kebutaan akibat terkena peluru pasukan Aceh. Ini kemudian si
Belanda Van Der Haijden disebut orang Aceh dengan nama Jendral buta
siblsah. Raja Samalanga Teuku Chik Bugis dan Pocut Meuligoe masih
berkuasa penuh, meskipun Belanda sudah menguasai. Belanda tidak berani
mendekati bentenguta Gle Batee Iliek. Seperti ditulis Paul Van ‘T Veer dalam
bukunya De Atjeh Oorloq (Perang Aceh: 1985) mencatat, Benteng Kuta Gle
Batee Iliek adaah pusat perlawanan Aceh yang sangat tangguh bagi Belanda.
Dan Batee Iliek sendiri adalah sebuah “dusun kramat” dan pemukiman para
ulama yang sangat fanatik dalam menentang perluasan kekuasaan Belanda.
Satu ketika setelah tiga tahun Samalanga sepi dari peperangan, taba-tiba
tanggal 30 Juni 1880, Letna Van Woortman dengan 65 orang pasukannya
mencoba menyusup ke Bneteng Kuta Gle Batee Iliek. Namun sampai di Cot
Meureak (kira-kita sekitar 2 Km ke arah Utara Betee Iliek) ke 65 pasukan
Belanda itu di hadang oleh gerilia pasukan Aceh.
Dalam insiden itu banyak serdadu Belanda mati dan terluka parah.
Peristiwa ini segera disampaikan ke Banda Aceh sehingga. Gubernur Van
Der Heijden berang karena serdadunya kalah. Maka tanggl 13 Juli 1880,
Van Der Heijden kembali mengirimkan ekspedisinya secara besar-besaran ke
Samalanga untuk menyerang Banteng Kuta Gle Betee Iliek.
Ekpedisi ini Belanda mengerahkan satu kompi Belanda, 1 kompi Inlander
dari Batalion 14 dan 1 kompi Ambon dari Batalion 3, serta 1 kompi garnizun
dari Batalion campuran, juga dilengkapi 32 perwira dengan 1200
bawahannya diberangkatkan ke Samalanga. Dalam ekspedisi ini juga turut
serta Panglima Tibang, bekas pembesar Sultan yang menyeleweng dengan
Teuku Nyak Lehman sebagai juru bahasa dan penunjuk jalan bagi Belanda.
Beberapa kali Belanda melakukan serbuan menaklukkan Kuta Gle Batee
Iliek tidak berhasil. Belanda terpaksa memundurkan pasukannya ke Cot
Meurak. Di sini sambil mereka istirahat dan menyusun strategi penyerangan
kedua ke Kuta Gle, Belanda juga harus menguburkan mayat-mayat serdadu
mereka. Tepatnya tanggal 17 Juli 1880, Belanda kembali menyerang Kuta
Gle. Dalam serbuan kedua ini rupanya Teuku Chik Bugis (raja Samalanga)
minta disertakan bersama dalam pasukan Belanda, dengan tujuan untuk
menyesatkan arah pasukan Belanda hingga terjebak dengan pasukan Aceh
dalam jumlah yang sangat besar.
Strategi Teuku Chik Bugis lagi-lagi mebuat serangan Belanda ke Kuta Gle
Batee Iliek menjadi konyol. Belanda harus buru-buru mundur dan banyak
sekali tentaranya yang tewas akibat dikibul Teuku Chik Bugis. Hari itu juga
Chik Bugis ditangkap olen Belanda dan dibawa ke Banda Aceh. Namun
begitu, benteng Kuta Gle Batee Iliek tetap berdiri kokoh dengan kekuatan
pasukan Aceh yang sangat ditakuti Belanda.
Benteng Kuta Gle Batee Iliek, tak pernah direbut. Itu sebabnya Paul Van ‘T
Veer mencatat dalam bukunya “Perang Aceh” bahwa Batee Iliek adalah
sebuah kampung kramat yang sangat sulit dihadapi oleh Belanda. Bidikan
tembakan-tembakan marsose, ditangkis hebat para ahli Alquran (yang
dimaksudkan Van ‘T Veer para ahli Al-Quran adalah para ulama pejuang
Aceh) yang sangat lancar membuat serangan perang terhadap Belanda-
selancar mereka membaca ayat-ayat Alquran, tulis Van ‘T Veer.
Setelah 30 tahun lebih Benteng Kuta Gle Batee Iliek bertahan dari serangan-
serangan besar Belanda, pada tahun 1901 Jenderal Van Heutsz kembali
memimpin ekspedisi barunya ke Batee Iliek. Sehari sebelum penyerangan
Van Heutsz ke Batee Iliek ini, Van Heutsz lebih dulu merayakan Ultah ke 50
(tanggal 3 Februari 1901).
Untuk membakar semangat perang bagi serdadu Belanda, Van Heutsz,
seorang tokoh legendaries perang Belanda Izaak Thenu sengaja mengubah
sebuah syair khusus untuk perang Samalanga. Bunyinya: mari sobat, mari
saudara Pergi perang di Samalanga, Mari kumpul bersuara Lalu menyanyi
bersama-sama.
Namun ekspedisi ini berhasil dilumpuhkan, hingga Van Heutsz baru
berhasil menaklukkan Kuta Gle Batee Iliek pada tahun 1904, setelah tiga
tahun melakukan peperangan melawan pejuang Aceh di wilayah Batee Iliek.
Bahkan menurut sebagian cerita sejarah yang difahami penduduk
Samalanga, Van Heutsz sendiri tewas di Batee Iliek, yang kuburannya
sekarang terdapat di atas bukit Betee Iliek tak jauh dari Benteng Kuta Gle.
Paling tidak sejak lima ratus tahun lalu, menjadi pemimpin bukan hal baru
bagi perempuan Aceh. Pada saat Belanda hendak memasuki Samalanga,
seorang pemimpin wanita pewaris kerajaan Samalanga bernama Pocut
Meuligo yang masih remaja belia telah berhasil mempertahankan
wilayahnya. Ia bertindak tegas kepada setiap pria yang mangkir dan
kewajiban perang.
Pocut Meuligo termasuk dalam deretan wanita pejuang seperti Cut Nyak
Dien, Cut Nyak Meutiah, dan Tengku Fakinah. Wanita yang juga dipanggil
dengan Pocut Maligai ini dengan gagah berani telah mempertahankan
Samalanga dan serangan Belanda selama beberapa tahun bahkan seorang
jenderal Belanda harus kehilangan satu matanya ketika berusaha merebut
Samalanga. Adalah Jenderal van der Heijden yang menjadi korban
kegagahan pasukan Pocut Meuligo. Mata kirinya tertembak pejuang
Samalanga yang dipimpin seorang remaja Puteri Pocut Meuligo.
Keberanian Pocut Meuligo ditulis oleh seorang kapten Belanda yang
bernama Schumacher bahwa Pocut Meuligo sangat benci Belanda sampai-
sampai ia memerintahkan semua rakyatnya berperang sekalipun
meninggalkan sawah dan ladang. Bila mangkir mereka dihukum berat.
Pengaruh perempuan muda ini tidak hanya di Samalanga, ia sering
mengirim bantuan dana, keperluan logistik dan senjata ke Aceh Besar
membantu pasukan Aceh. Samalanga bisa memberikan kontribusi finansial
yang besar bagi perjuangan Aceh karena perdagangan ekspor Samalanga
berkembang baik.
Schumacher melanjutkan bahwa pada tahun 1876 Belanda berusaha keras
agar Samalanga mengakui pemerintahan Belanda, tetapi dijawab Samalanga
dengan menembaki kapal-kapal Belanda bahkan bila perlu merompaknya.
Pada tahun yang sama, Gubernur Belanda Kolonel Karel van der Heijden
merancang serangan ke Samalanga dengan menyiapkan tiga batalion dan
semua kapal perang Belanda seperti Matelan Kuis, Amboina, Citade van
Antwerpen, banda, Borneo, Sambas, Palembang, Watergeus, Semarang dan
Sumatera. Pasukan darat dipimpin van der Hegge-Spies.
Ketika pasukan Belanda mendarat, pasuka Aceh telah siap menanti
kedatangan mereka di Kiran dan Kuala Tambora. Di sebuah hutan yang
telah dipasangi ranjau, satu batalion pasukan Belanda dibantai dengan
mudah hanya oleh 40 pejuang Aceh.
Tak lama kemudian bala bantuan Belanda datang, dan pasukan Aceh
mundur sambil mengumpulkan tenaga ke Pengit Tunong. Di kawasan ini,
perang sengit kemudian terjadi, pasukan Belanda amat tertekan dan banyak
yang lari lintang-pukang sambil membuang senjata begitu saja. Kejadian ini
tidak lepas dan peran seorang ulama setempat yang bernama Haji Ahmad.
Diceritakan bahwa salah seorang pemimpin pejuang Aceh, Haji Ahmad, yang
berbadan tinggi besar dan tegap melompat dan menyerang Letenan Ajudan
Richello dan memancung kepalanya.
Haji Ahmad ditahan Belanda sementara Pocut Meuligo berusaha
membebaskannya dengan cara berunding dengan Belanda namun ulama
Aceh itu tidak bisa diselamatkan dan menjadi salah satu syahid dalam
serangan pertama Belanda ke Samalanga itu.
Berhasil mempertahankan Samalanga dan serangan Belanda pertama,
pasukan Pocut Meuligo kembali memperkuat Benteng Batee Ilie yang
terletak di sebuah bukit tak jauh dan Samalanga.
Dalam serangan berikutnya, Kolonel van der Heijden menyusun serangan
untuk menaklukkan benteng Samalanga yang telah dipasang ranjau, dan
kawat dan berbagai perangkap lainnya. Tiga batalion pasukan darat dan
marinir telah disiapkan dibawah kendali Kapten Kauffman. Pasukan ini
dibekali dengan pelontar meriam dan 900 buah meriam. Penyerangan
Belanda ke Samalanga kali ini harus dibayar mahal karena Kolonel van der
Heijden tertembak mata sebelah kirinya sehingga diberi gelar Jenderal Mata
Satu oleh orang Aceh.
Selain itu, beberapa pimpinan pasukan Belanda seperti mayor Dompselar
dan Letnan Kolonel Meijar dan ratusan prajurit Belanda terluka parah. Bagi
Belanda, penyerangan mereka ke wilayah yang dipimpin Pocut Meuligo ini
merupakan penyerangan yang menyeramkan dalam ingatan prajurit
Belanda.
Belanda beberapa kali menyerang Samalanga mulai 1 Agustus 1877 dan
berakhir pada tanggal 17 September di meja perundingan ketika kakak
Pocut Meuligo yang bernama Teuku Cik Bugis tiba dan misinya ke luar
negeri membeli senjata. Hasil dan perundingan yang diselenggarakan di
markas Belanda itu adalah Belanda diperbolehkan menaikkan Benderanya
di Samalanga tetapi tidak berkuasa atas wilayah itu sementara kegiatan
perdagangan ekspor-impor Samalanga tetap berjalan tanpa ada gangguan
dari pihak manapun termasuk Belanda dan Benteng Batee llie tidak boleh
diganggu gugat, tetap bendaulat dan bebas mengibarkan bendera di puncak
bukit tersebut. Kemenangan tetap di pihak Samalanga.
Belanda belum puas dengan hasil perjanjian tersebut dan berusaha merebut
Samalanga. Pada tanggal 30 Juni 1880, sebanyak 65 prajurit yang dipimpin
Letnan van Woontman secara diam-diam memasuki kampung dan
sesampainya di Cot Merak, mereka dikepung penduduk setempat dan
pertempunan sengit pun terjadi. Prajurit Belanda itu tendesak dan lari
menyelamatkan diri kembali ke markas.
Pihak Belanda tersinggung dengan peristiwa di Cok Merak. Akhirnya, van
Heijden melanggar penjanjian yang telah disepakati bersama. Ia mengirim
satu ekspedisi yang terdiri dari 32 pegawai dan 1200 prajurit dengan alat
tempur lengkap di bawah pimpinan Mayor Schilau dan Mayor van Steenvelt.
Turut bersama pasukan Belanda itu adalah Panglima Tibang, bekas orang
kepercayaan Sultan, dan Teuku Nyak Lehman sebagai juru bahasa dan
penunjuk jalan.
Pada tanggai 14 Juli kapal yang membawa pasukan Belanda merapat di
Kuala Samalanga. Belanda mengundang Teuku Cik Bugis, Pocut Meuligo,
Teuku Bentara Cut (keponakan Pocut Meuligo) dan beberapa tokoh
Samalanga, namun mereka tidak sudih datang karena telah bersiap-siap
menghadapi kedatangan Belanda di Benteng Batee llie.
Sehari kemudian tepatnya tanggal 15 Juli Belanda menyerang Batee llie.
Pertempuran sengit terjadi. Pasukan Belanda tidak berhasil menembus
pertahanan Benteng Batee llie meskipun menyerang dan berbagai jurusan
sebaliknya mereka dihujani tembakan pejuang Samalanga dengan peluru
dan batu-batuan dan prajurit Belanda pun banyak yang mati.
Tidak hanya itu, pasukan induk Belanda pun diserang dengan kelewang dari
belakang bukit. Schumacher mencatat Belanda terus maju dan menyerang
tetapi setiap kali maju mereka terpaksa mundur meskipun bersenjata
lengkap.
Perang berlangsung beberapa hari. Dalam suatu serangan, Teuku Cik Bugis
juga turun tangan yang menyebabkan pasukan Belanda lari lintang-pukang.
Karena peristiwa ini Belanda kemudian menangkap Teuku Cik Bugis namun
tetap menyerang Samalanga. Karena setiap serangan selalu dapat
dipatahkan pejuang Samalanga, Belanda akhirnya menghentikan
penyerangan ke Samalanga
Pocut Meuligo kemudian menemui van der Heijden yang membawa Teuku
Cik Bugis dan Banda Aceh. Mereka kemudian dibebaskan tanpa syarat
apapun.
Lagi dengan 900 prajurit bersenjata lengkap untuk kali ketiga van der
Heijden memimpin serangan ke Samalanga. Namun usahanya gagal total.
Penasaran dengan usahanya yang selalu gagal, akhirnya pada tahun 1904
van der Heijden mengerahkan pasukan meriam. Usahanya kali ini
mengakhiri perlawanan pejuang Samalanga selama lebih dan tiga puluh
tahun melawan Belanda.
6. MAKAM SYUHADA LAPAN
Makam ini merupakan situs sejarah yang familiar bagi masyarakat lokal
Kabupaten Bireuen, maupun pelintas jalur Banda Aceh-Medan. Para
pelintas jalur Banda Aceh - Medan pasti melewati “Makam Syuhada Lapan”
di Cot Batee Geulungku, Kecamatan Simpang Mamplam, Kabupaten
Bireuen. Sejumlah literatur sejarah menyebutkan, keberadaan Makam
Syuhada Lapan merupakan pejuang yang gugur dalam pertempuran
melawan serdadu Marsose Belanda, awal tahun 1902. Lebih kurang 116
tahun silam, ke delapan pejuang yang dikubur di makam ini. Dinamakan
makam Syahid Lapan, karena di situ dimakamkan delapan pejuang yang
gugur melawan Belanda. Mereka adalah Tgk Panglima Prang Rayeuk Jurong
Binje, Tgk Muda Lem Mamplam, Tgk Nyak Balee Ishak Blang Mane, Tgk
Meureudu Tambue, Tgk Balee Tambue, Apa Syehk Lancok Mamplam,
Muhammad Sabi Blang Mane, dan Nyak Ben Matang Salem Blang Teumulek.
Kisah keheroikan para Syuhada Lapan sangat jelas tertulis pada dinding
makam. Peristiwa heroik itu terjadi ketika para Syuhada Lapan menghadang
pasukan Belanda. Pasukan Belanda itu berjumlah 24 orang. Mereka
semuanya bersenjata api, sedangkan pasukan delapan pejuang Aceh
tersebut hanya bersenjatakan pedang. Tapi berkat semangat juang yang
tinggi, mereka berhasil menewaskan semua marsose tersebut. Namun
karena larut dalam euphoria kemenangan. Tanpa disadari tiba-tiba sejumlah
serdadu marsose lain datang dari arah Jeunieb memberi bantuan.
Kedelapan pejuang itu diserang dan gugur bersimbah darah. Jasad para
syuhada tersebut kemudian dikebumikan dalam satu liang sebab serdadu
marsose mencincang-cincang bagian tubuh para pejuang tersebut dengan
pedang milik mereka sendiri. Sebagai generasi yang mencintai sejarah, mari
kita mendo'akan para syuhada yang telah berjuang sehingga kita bisa hidup
damai seperti saat ini.
7. MAKAM SYUHADA 44
Cot Panglima juga memiliki sejarah yang panjang. Pembukaan jalan besar-besaran
menuju Dataran Tinggi Gayo dilakukan oleh Kolonialisme Belanda pada tahun 1902
dengan kerja Rodi penduduk pribumi Gayo dan pesisir utara Aceh. Khusus untuk
Cot Panglima, penamaannya dikarenakan pada masa penjajahan Cot Panglima
sering menjadi tempat beristirahat para Panglima seperti Kodam Teuku Hamzah
Bendahara. Panglima Divisi X Kolonel Husein Yusuf juga pernah beristirahat disini
pada saat melarikan Radio Rimba Raya dari Bireuen ke Pinto Rime Gayo.
Bungker yang terletak dari kawasan Cot Batee Geulungku, Kecamatan Simpang Mamplam, Bireuen berada tepat di
depan komplek Batalyon Infantri. Menurut informasi yang kami dapat, Kepala Bappeda Bireuen, Razuardi Ibrahim yang
mengetahui keberadaan tempat sejarah tersebut dari hasil bincang-bincang bersama rekannya asal negara Jepang.
Daerah perbukitan di Batee Geulungku memang tidak padat penduduk, kawasan ini sempat ingin dijadikan sentral
kawasan industri untuk Kabupaten Bireuen.
Jika kita menuju Banda Aceh atau Medan, disekitaran jalan tersebut akan banyak kita temui para warga yang berjualan
air tebu dan sering orang-orang yang hulu lalang di jalan raya berhenti sejenak untuk menikmati air tebu disana yang
masih diolah dengan cara tradisional tanpa mesin.
Mandor (kiri) saat memberikan penjelasan tentang kondisi dalam bungker yang belum dijamaah semua
Setibanya kami di lokasi bungker yang kini sedang dilakukan pemugaran oleh warga sekitar, bungker yang lebih mirip
gua bawah tanah ini mempunyai arsitektur beton. Dari sinilah kami menggali informasi lebih lanjut dari seorang mandor
pekerja disana yang mengatakan bahwa untuk masuk ke dalam bungker ini memang sedikit mengerikan.
“Beberapa pekerja yang melakukan pemugaran tempat ini, tidak ada satu pun yang berani masuk ke dalam,” kata Mandor
kepada kami. Dari hasil amatan kami untuk memasuki bungker tersebut harus turun ke bawah lewat lebih kurang 15-17
anak tangga.
Pintu masuk yang berukuran 1×1,5 meter hanya bisa dimasuki oleh satu orang, menuju ke bawah mempunyai kedalam
sekitar 5-6 meter dengan kondisi ruangan sangat gelap, tanpa ada penerangan. Namun, jika sudah berada di dasar
bungker kita bisa menemui lubang-lubang cahaya yang sepertinya memang sengaja dirancang sebagai titik utama
menuju jalan lainnya