Setelah mempunyai rumah sederhana tempat berteduh dan merasa sudah akil
balig, Teuku Tjhik Djohan Alamsjah pada tahun 1908 melirik kekiri-kekanan
mencari pasangan hidupnya. Kaum kerabatnya menyarankan kepada uleebalang
muda itu untuk meneguhkan kembali tali persaudaraan antara nanggroe
Peusangan dengan nanggroe Peureulak. Maka, dikirimlah seulangke (utusan)
untuk mempersunting Tjut Njak Asiah, putri uleebalang Peureulak -Teuku Tjhik
Abubakar Sidik. Sungguh beruntung, lamaran uleebalang Peusangan yang masih
belia itu diterima dengan penuh kegembiraan oleh uleebalang Peureulak. Maka,
Teuku Tjhik Djohan Alamsjah telah mendapat status baru, adik ipar Teuku
Muhammad Thajeb Peureulak yang juga merupakan salah seorang patriot
kemerdekaan terkemuka. Teuku Tjhik Muhammad Thajeb dengan gigih berusaha
mewujudkan impian Indonesia Merdeka.
Didampingi oleh Tjut Njak Asiah Peureulak yang sangat bijak, Teuku Tjhik
Muhammad Djohan Alamsjah dapat mengarungi kehidupan dengan penuh
kebahagian. Anak pertamanya, seorang putri lahir pada bulan April 1912. Kedua
sejoli yang diliputi kebahagian itu menganugrahkan nama, Potjut Ramlah, untuk
putri mungilnya. Potjut Ramlah tumbuh dewasa menjadi seorang putri yang cantik
jelita. Banyak pemuda, putra-putra uleebalang Aceh bermimpi ingin melamarnya.
Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah telah mewarisi wasiat ayahnya, bahwa
kelak putri pertamanya menjadi pengikat tali persaudaraan dengan nanggroe
Keureutau. Pada usia 16 tahun putri jelita itu menyelesaikan pendidikan formal
Belanda pada ELS di Kutaraja. Kemudian dia selama setahun memperdalam ilmu
Islam bersama guru pribadinya di kediaman ayahnya di Matang Glumpang Dua.
Tatkala berusia 17 tahun, Potjut Ramlah dipersandingkan dengan Teuku
Muhammad Basjah, putra tunggal Teuku Tjhik Sjam Sjarif, uleebalang
Keureutau.
Tahun 1929 adalah masa yang paling menyibukkan bagi rakyat nanggroe
Keureutau dan nanggroe Peusangan. Perkawinan kedua anak uleebalang Aceh
terkemuka itu dilakukan dalam upacara yang megah. Gubernur Belanda dan
pejabat tinggi Belanda di Aceh harus tercantum dalam daftar utama undangan
pernikahan itu, karena Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah tak mau
tertimpa nasib yang sama dengan abang iparnya, Teuku Tjhik Muhammad Thajeb
dibuang ke Boven Digul. Dalam masa pendudukan Belanda di Aceh, setiap
uleebalang wajib mengundang Gubernur Belanda dalam setiap perlehatan apapun
yang diselenggarakannya.
Gubernur Belanda sangat marah atas perbuatan uleebalang Aceh itu. Setelah
berfikir sejenak, diambil keputusan, Teuku Tjhik Muhammad Basjah –uleebalang
Keureutau dikenakan hukuman pengasingan selama setahun di Kutaradja.
Jabatannya selaku uleebalang dialihkan kepada saudara sepupunya, Teuku Radja
Sabi, putra Tjut Mutia -sang pahlawan- Perang Aceh. Dan Swart Jr. itu,
dipersilahkan kembali ke negeri Belanda untuk memperdalam ilmu pemerintahan,
terutama studi tentang Aceh.
Teuku Tjhik Muhammad Basjah, menamai calon putra mahkotanya, Teuku
Ramsjah. Nama Ramsjah merupakan kependekan dari nama ibunya, Ram- lah dan
nama ayahnya, Ba-syah. Ayah–bunda itu mewariskan namanya kepada putra
tunggalnya, dengan harapan calon putra mahkota ini dapat mewariskan
kemegahan dan keagungan leluhurnya uleebalang Peusangan dan uleebalang
Keureutau. Tetapi bagaikan embun pagi diterpa panasnya sinar matahari, Revolusi
Sosial Aceh tahun 1945 telah melenyapkan harapan suami-isteri bangsawan Aceh
itu tanpa bekas. Teuku Tjhik Muhammad Basjah menemui ajalnya di Blang
Siguci, dipancung oleh algojo PUSA yang bernama Mandoe Eit, mantan
ajudannya sendiri..
Mantan ajudan ini berani berbuat lancang karena disuruh oleh Teuku Hasan
Ibrahim Krueng Pase, anak pungut Tjut Njak Bah -ibu kandung Teuku Tjhik
Muhammad Basjah. Selaku panglima Markas Rakyat di Lhok Sukon, Teuku
Hasan Ibrahim Krueng Pase memerintahkan Kapten Hasbi Wahidi -komandan
bataliyon TKR- Lhok Sukon melakukan penangkapan resmi terhadap seluruh
uleebalang dan pejabat negara RI di wilayah kewedanaan (gun-cho) Lhok Sukon.
Terutama terhadap dua orang musuh bebuyutannya, yaitu Teuku Bentara Puteh-
uleebalang Seuleumak dan Teuku Tjhik Muhammad Basjah, karena kedua orang
ini telah berani menolak lamaran Teuku Hasan Ibrahim Krueng Pase untuk
mengawini seorang janda kaya. Dan janda kaya yang menjadi incerannya adalah
Tjut Njak Nur- adik kandung Teuku Tjhik Muhammad Basjah, janda putra Teuku
Sri Maharadja Mangkubumi -uleebalang Lhok Seumawe.
Setelah kedua musuh bebuyutannya itu menjadi mangsa algojo PUSA, impian
panglima Markas Rakyat di Lhok Sukon untuk menjadi suami janda kayapun
menjadi kenyataan. Harta sijanda kaya itupun dikuras habis, bekal dia mengawini
seorang gadis -putri uleebalang Meuraxa- Kutaraja. Nasib anak manusia berjalan
menurut suratan-tangannya masing-masing. Demikian pula dengan nasib Teuku
Ramsjah, calon putra mahkota Keureutau ini. Pada tahun 1978 dikeramaian Pasar
Glodok, di Jakarta tanpa terduga dua anak manusia bertemu kembali. Tiba-tiba
seorang anak muda dengan wajah dan dalam pakaian kumuh, merangkul Dr. Ida
Bagus Bagiastra. Orang muda ini memperkenalkan dirinya, Teuku Ramsjah putra
Teuku Tjhik Muhammad Basjah -uleebalang Keureutau.
Teuku Ramsjah sungguh berperi laku aneh. Ketika kerabat ibunya Letnan Jenderal
Polisi Teuku Abdul Aziz, Wapangab RI dan Letnan Jenderal TNI Dr. Teuku Sjarif
Thajeb, Menteri P&K RI masa orde-baru yang sangat terkemuka, menawarkan
pilihan jabatan bupati di wilayah NKRI, dengan senyum dikulum ditolaknya
kebaikan hati kedua orang petinggi Republik itu. Rupanya kedua petinggi
Republik Indonesia tak tahu, bahwa Teuku Ramsjah, putra mahkota nanggroe
Keureutau telah berubah menjadi seorang sufi yang bermakam tinggi.
Akhirnya cucu kesayangan Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah ini mengembuskan
nafas terakhir pada tanggal 11 Maret 1990 di rumahnya di Medan, setelah
beberapa saat menderita sakit gagal ginjal. Putra mahkota nanggroe Keureutau itu
dimakamkan disamping kakeknya, Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah,
dipekuburan keluarga Sultan Deli -disamping Mesjid Raya Sultan Deli- Al
Maksum, Medan.
Setelah Teuku Muhammad Djohan Alamsjah dianggap dewasa dan cukup cakap
untuk memimpin nanggroe Peusangan, Teuku Djeumpa merasa sudah saatnya
mengundurkan diri dari panggung politik nanggroe Peusangan. Gubernur Belanda
di Aceh juga setuju dengan kebijakan Teuku Maharadja Djeumpa tersebut.
Dihadiri pejabat tinggi sipil dan militer, serta didahuli tembakan meriam sebanyak
7 kali dan iringan musik pasukan militer, Gubernur Belanda di Aceh melantik
Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah menjadi Zelfbestuurder (penguasa
daerah swapraja) nanggroe Peusangan. Upacara pelantikan ini dilangsungkan di
halaman rumah kediaman uleebalang Peusangan itu, di Matang Glumpang Dua,
pada tanggal 25 November 1912.
Sejak pelantikannya itu, pejabat Belanda maupun rakyat nanggroe Peusangan,
menyebut Teuku Muhammad Djohan Alamsjah dengan panggilan kehormatan,
Ampon Tjhik. Maka, selanjutnya hak Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah
sebagai Keujruen Peusangan yang tercantum dalam surat cap sikureung (cap
sembilan) Sultan Aceh, dikukuhkan kembali oleh Gubernur Jenderal Hidia
Belanda.
Sejak saat itu nanggroe Peusangan yang terdiri atas 3 uleebalang-cut (uleebalang-
kecil), yaitu Jeumpa, Jangka, dan Matang Glumpang Dua resmi menjadi sahabat
Kerajaan Belanda. Penduduk nanggroe ini sekitar 20.000. Menjelang Perang
Dunia ke-II penduduk nanggroe Peusangan meningkat mencapai
50.000 orang. Rakyat nanggroe Peusangan sejak saat itu juga dinyatakan ikut
menjadi kawula Kerajaan Belanda.
Dibalik kemegahan upacara pelantikan zelfbestuurder itu, hak kedaulatan
nanggroe Peusangan dalam bidang militer-ekonomi-hukum langsung dimasukan
kedalam kantong Belanda. Di nanggroe Peusangan dilakukan demiliterisasi,
artinya uleebalang Peusangan tak diperkenankan memiliki pasukan tentara sendiri.
Terakhir hak veto berada ditangan Gubernur Hindia Belanda di Istana Buitenzorg
(Bogor). Pajak dan kerja rodi diberlakukan. Pada akhirnya hak yang tersisa untuk
uleebalang, hanya sebagai kolektor pajak dan sebagai mandor kerja rodi untuk
Belanda. Belanda tidak punya kepentingan terhadap pembinaan dan keselamatan
rakyat di nanggroe Peusangan.
Itulah fakta sejarah yang dihadapi dan digeluti oleh Teuku Tjhik M. Djohan
Alamsjah. Uleebalang Peusangan tak diperkenankan berdagang. Untuk
menguncinya dalam sangkar emas “Uleebalang Ompong”, Belanda berbaik hati
memberi tunjangan bulanan f.800,-. Tunjangan bulanan uleebalang Peusangan
ini sama besarnya dengan honorarium bulanan dokter pribadi Sri Susuhunan
Paku Buwono X , Radja Djawa.
Setelah resmi menjadi zelfbestuur Peusangan, Teuku Tjhik Peusangan
memantapkan hati untuk tetap bertekad menghadapi Belanda dengan cara
diplomatis. Sungguh pahit rasanya berada sebagai orang yang terpojokkan dalam
berhadapan dengan kekuasaan Belanda.
Walaupun demikian, segala pahit getir yang sudah dialami bangsa Aceh dalam
perang bangsa Aceh melawan Belanda, disimpan dilubuk hatinya yang sangat
dalam. Uleebalang Peusangan ini sudah bertekad menggusur Belanda melalui
ilmunya sendiri.
Sekolah ini menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Maka, putra-
putri uleebalang Peusangan tersebut terpaksa ditempatkan di lingkungan yang
memaksa mereka menggunakan bahasa Belanda. Akhirnya, mereka mondok di
Kutaradja pada seorang Belanda totok, seorang sersan tentara Belanda yang
pernah bertugas di nanggroe Peusangan. Orang Belanda ini sudah dikenal baik
sebelumnya oleh uleebalang Peusangan itu. Semua putra-putri Teuku Tjhik
Peusangan berhasil sepenuhnya menyadap ilmu orang Belanda. Disamping itu
mereka tetap bertingkah laku yang agung, baik dalam pandangan budaya Belanda
maupun dalam pandangan budaya bangsa Aceh. Tak seorangpun dari putra-putri
uleebalang ini hanyut dalam arus negatif budaya Belanda, apalagi menjadi
pecandu minuman keras atau yang lainnya.
Keberhasilan putra-putrinya dalam menempuh pendidikan, sangat
membahagiakan Teuku Tjhik Peusangan. Semua putra Teuku Tjhik M. Djohan
Alamsjah, yaitu Teuku M. Hasan, Teuku M. Saleh dan T. Abubakar serta
putrinya, Potjut Ramlah, Potjut Fatimah Zohra, Potjut Maimunah dan Potjut
Aminahdapat menyesaikan pendidikannya di ELS–Kutaraja dengan baik.
Kecuali Potjut Ramlah, putri tertuanya yang calon permaisuri uleebalang
Keureutau, seluruh putra-putri Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah menyelesaikan
pendidikan menengah di HBS di kota Medan.
Kemudian putra tertuanya, Teuku Muhammad Hasan, putra mahkota nanggroe
Peusangan, melanjutkan pendidikan tingginya di RHS (sekolah tinggi hukum) di
Batavia atau Betawi. Studen RHS ini belajar dengan tekun dan dia menjauhi
hiruk-pikuk kehidupan politik yang sedang bergelora di tanah Jawa. Ayahnya
membekalinya f.200,- setiap bulan. Untuk kenyamanan tinggal dan belajar, putra
Teuku Tjhik Peusangan ini membeli sebuah rumah sederhana seharga f. 200,- di
Jalan Gereja Theresia.
Pada akhir minggu kediaman Teuku M. Hasan menjadi tempat berkumpul kawan-
kawannya. Diantara kawannya yang sering bertandang adalah Teuku Jusuf Muda
Dalam, putra uleebalang Bambi-Unoe yang sedang belajar di Landbouwschool-
Bogor. Putra uleebalang Bambi-Unoe ini hanya mendapat f.15,- perbulan dari
ayahnya. Terdesak oleh kebutuhan hidup sehari-hari, putra uleebalang Bambi-
Unoe sering minta pinjam uang pada putra Teuku Tjhik Peusangan yang hidup
dalam kecukupan.
Tentu saja kebiasan anak manusia yang sulit dihilangkan hinggap pula pada anak
muda studen Landbouwschool itu, yaitu mudah meminjam sulit melunasi. Satu
saat Teuku Jusuf Muda Dalam ditegur keras oleh Teuku M. Hasan, karena
kebiasan buruknya yang tak mau melunasi hutang. Peristiwa ini menjadi
kenangan pahit bagi studen Landbouwshool itu. Akhirnya peristiwa ini merubah
jalan hidup Teuku Jusuf Muda Dalam. Dirundung rasa malu yang sangat dalam
karena kemiskinannya, dia bertekad akan mengumpulkan uang sebanyak-
banyaknya.
Usai belajar di Landbouwschool, tanpa banyak pertimbangan dia memutuskan
untuk belajar ilmu dagang di Handelshogeschool di Rotterdam-Belanda. Dia ingin
membuktikan, bahwa ia mampu mengumpulkan uang sebanyak banyaknya. Di era
Presiden Soekarno, Jusuf Muda Dalam terpilih menjadi direktur utama Bank
Negara Indonesia 1946. Mendengar Teuku M. Hasan telah manjadi pegawai BNI
1946 di Medan, maka Jusuf Muda Dalam segera melucur ke Medan.
Sungguh diluar dugaan, Teuku M. Hasan, putra Teuku Tjhik Peusangan yang
sudah ternista oleh kaum ulama PUSA, menjadi sasaran dendam kesumat Jusuf
Muda Dalam. Ketika berhasil menjumpai Teuku M. Hasan, saat itu
juga dipecatnya putra uleebalang Peusangan itu dari BNI 1946. Dalam keadaan
lunglai putra mahkota nanggroe Peusangan, yang hidup flamboyan di era Hindia
Belanda, kembali ke asalnya, keluarga besar Peusangan. Itulah hasil pergaulannya
dengan seorang studen Landbouwschool-Bogor.
Akan hal rumahnya di Jalan Gereja Theresia, Weltervreden (daerah elite
Menteng–Jakarta), menjelang pendaratan tentara Jepang di Jawa, dihadiahkannya
kepada Teuku Jusuf – cucu uleebalang Seuleumak, kerabat iparnya Teuku Tjhik
M. Basjah Keureutau. Sayang rumah ini dijual oleh Teuku Jusuf Seuleumak,
studen GHS (sekolah dokter Belanda), pada masa penjajahan Jepang. Padahal di
era Orde-Baru rumah ini bernilai tak kurang dari satu juta dollar Amerika Serikat.
Terbawa oleh arus zamannya setamat AMS di Jogyakarta, Teuku Abdul Aziz
bersama 3 orang putra bangsawan Aceh lainnya, yaitu: Teuku Teungoh Hanafiah,
putra Teuku Muda Jusuf, uleebalang Simpang Ulim, Teuku Akbar, putra seorang
uleebalang didaerah pantai barat Aceh, dan Teuku Jusuf, cucu Teuku Bentara
Seuntang uleebalang Seuleumak. Keempat mereka menempuh ujian masuk KMA
(Koninklijke Militairie Academie) di Breda. Semua perintang dalam ujian itu
dapat dilalui putra bangsawan itu dengan hasil sangat memuaskan. Apakah masih
ada alasan “Panitia Ujian Seleksi” masuk KMA itu menolaknya? Secara
profesional dan administratif, jawabnya tidak. Alhasil ke-4 orang pemuda Aceh
itu diterima menjadi kadet KMA. Hasil ini sungguh mengejutkan bagi putra-putra
terbaik Aceh itu, maka meledaklah kegembiraan mereka.
Jenderal Berenschot, panglima KNIL (tentara Hindia Belanda) dengan tenang
masuk ke ruang kerjanya, di Markas Besar KNIL, di Bandung. Ajudannya telah
menyiapkan laporan rahasia dari Kantor BB (departemen dalam negeri Hindia
Belanda) di meja panglima KNIL itu. Jenderal Berenschot membaca seluruh
laporan itu dengan teliti, kasus demi kasus. Sungguh terperanjat Jenderal KNIL
itu. Lebih terperanjat lagi dibuatnya, ketika menyaksikan bocah Aceh -mantan
tawanannya yang saat itu berumur 8 tahun- lulus ujian kadet KMA. Dipendamnya
dilubuk hati terdalam segala pengalaman pahit di medan pertempuran Aceh.
Terlintas dibenaknya, Angkatan Perang Kerajaan Belanda di masa akan datang
harus berhadapan lagi dengan orang muda reinkarnasi Teuku Umar, sang
pahlawan Kerajaan Aceh. Walaupun demikian, ajudannya diperintahkannya untuk
mempersilahkan ke-4 orang anak muda Aceh itu masuk ke ruang kerjanya.
Dalam keadaan gontai ke-4 orang anak muda Aceh itu keluar dari kamar kerja
panglima KNIL itu. Dengan bibir gemetar ke-4 anak muda itu segera menelpon
handai-tolannya masing–masing, melaporkan hasil ujian seleksi masuk KMA di
Breda. Mereka mendesak kaum kerabatnya masing-masing untuk datang
menghadap Gubernur Jenderal Hindia Belanda, untuk mendapat rekomendasi
masuk KMA-Breda bagi mereka.
Kecuali Teuku Tjhik Peusangan, seluruh kerabat uleebalang Aceh yang putranya
tergila-gila akan kadet KMA-Breda itu, menjawab singkat permintaan putranya
itu: “Apakah kamu anakku akan mati kelaparan, kalau tidak menjadi serdadu
Belanda?”. Kerabat uleebalang Aceh sangat menginsafi posisinya masing-masing
berhadapan dengan musuh bebuyutannya itu. Mereka tidak mau larut dalam buih
sopan-santun Belanda.
Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah yang rendah hati itu dan sudah
bertekad mengabisi Belanda dengan ilmunya sediri, segera berusaha memenuhi
permintaan T.A. Aziz – kemenakannya itu. Gayungpun bersambut, Teuku Tjhik
Peusangan datang menemui Dr. Van Aken. Permintaan Teuku Tjhik Peusangan
disambut baik oleh Gubernur Belanda di Aceh. Dr. Van Aken segera mengirim
surat kawat (telegram) rahasia kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda,
mengabarkan perihal permintaan Teuku Tjhik Peusangan, sekutu Belanda di
Peusangan.
Dengan senyum pahit, Teuku Tjhik Ali Akbar terpaksa diterimanya menjadi
menantunya. Rupanya putri sang jenderal yang dibesarkan dalam medan
pertempuran militer Belanda di wilayah Aceh Barat, sudah tak dapat lagi
melepaskan diri dari kenikmatan menu para gerilyawan Kerajaan Aceh. Akhirnya,
ketika serdadu Jepang mendarat di pantai Barat Aceh tahun 1942, menantu
Jenderal Belanda ini menjadi tumbal kebengisan serdadu Jepang. Sayed
Abubakar, kader PUSA yang menjadi anggota Fujiwara Kikan memberi petunjuk
khusus kepada serdadu Jepang untuk mengantarkan uleebalang Kaway XVI
menemui Sang Penciptanya di langit ke-7.
Seorang uleebalang lain di pantai barat Aceh, uleebalang nanggroe Trumon
(Bakongan) juga ikut tergaet noni Belanda. Maka, noni Belanda itupun menjadi
isteri uleebalang Trumon (Bakongan). Kenyataan beberapa uleebalang Aceh
beristerikan perempuan Belanda tentu saja menjadi bumerang bagi kaum
uleebalang. Untuk meningkatkan kebencian rakyat Aceh terhadap kaum
uleebalang, dalam kurun waktu hegemoni kaum ulama PUSA tahun 1945-1950,
yel-yel bertajuk uleebalang = menantu Belanda berkumandang dengan dahsyat di
seluruh pelosok Aceh. ***
Dengan bekal ilmu pengetahuan yang diperoleh dari Belanda. Maka, Teuku Tjhik
Muhammad Djohan Alamsjah dengan langkah yang ringan, tanpa membuang
waktu langsung mengayunkan langkah berikut ke proyek besarnya. Yaitu,
mencerdaskan seluruh rakyatnya, rakyat nanggroe Peusangan.
Rakyatnya ditariknya segera dari dalam gua kegelapan serta kebodohan dengan
obor ilmu pengetahuan Belanda. Pendidikan rakyat model Belanda
dikembangkannya. Secara bertahap dan pasti putra-putri rakyatnya
dicerdaskannya melalui pendidikan formal. Gedung sekolah didirikannya,
walaupun hanya dalam kondisi serba darurat, sesuai dengan uang yang berdering
dikoceknya. Maka dalam waktu singkat berdirilah sekolah-sekolah yang sangat
dasar di Matang Glumpang Dua. Orang Belanda menyebut sekolah itu volkschool.
Orang Aceh menamainya -sekolah rakyat- kelas 3. Pemerintah Hindia Belanda di
Aceh dengan senang hati membantu mewujudkan mimpi indah Teuku Tjhik M.
Djohan Alamsjah itu.
Kelangkaan tenaga guru memaksa uleebalang Peusangan mencari jalan pintas.
Guru-guru diimport dari Negeri Minangkabau yang sudah lebih dahulu maju
dalam pendidikan. Orang Minangkabau pertama yang membawa obor ilmu-
pengetahuan Belanda ke Peusangan adalah pasangan suami isteri guru, Sutan
Mangkudun dan isterinya Encik Rukiah. Suami-isteri guru ini berasal dari
Maninjau. Dengan penuh dedikasi kedua suami-isteri guru ini mengajar
membaca-menulis, ilmu berhitung, dan bahasa Melayu kepada anak-anak bangsa
Aceh di Peusangan. Selang beberapa tahun kemudian, uleebalang Peusangan
meminta kepada Sutan Mangkudun untuk mendirikan sekolah lanjutan bagi anak-
anak tamatan vervolkschool.
Melalui kesungguhan orang Maninjau suami-isteri itu, muncul lagi di Peusangan
sekolah baru, vervolkschool – sekolah rakyat kelas 5. Untuk memenuhi tenaga
guru yang sangat mendesak, uleebalang Peusangan itu mengirim putra-putra
Peusangan tamatan volkschool, belajar disekolah guru di kota Padang. Sementara
itu muncul seorang guru yang sudah siap pakai, dia tamatannormalschool (sekolah
guru berbahasa Melayu) di Pematangsiantar, namanya Sjamaun Gaharu.
Uleebalang Peusangan sangat senang dibuatnya, dan langsung menempatkannya
menjadi guru volkschool di Matang Glumpang Dua.
Guru muda itu sangat kreatif dalam mendidik anak muridnya yang hampir
seluruhnya terdiri dari anak petani. Melihat prestasi kerja guru muda itu yang
sangat menonjol, maka Sutan Mangkudun mengusulkan kepada uleebalang
Peusangan, supaya Sjamaun Gaharu diberi kesempatan belajar
diLandbouwschool di Bogor. Teuku Tjhik Peusangan sangat setuju dengan usul
Sutan Mangkudun yang bijak itu. Orang Minangkabau itu menambahkan catatan
khusus, bahwa ilmu pertanian yang diperoleh di Landbouwschool itu dapat
ditularkan kepada anak-anak didiknya. “Bukankah Ampon Tjhik berkehendak
membangun proyek raksasa, membangun pertanian rakyat Peusangan secara
besar-besaran?”, tambah Sutan Mangkudun menguatkan usulnya itu.
Merasa sudah cukup lama bekerja untuk Teuku Tjhik Peusangan, dan anak-
anaknya sendiri sudah tumbuh besar, maka guru Sutan Mangkudun
memberanikan diri untuk pindah kembali ke negeri Minangkabau. Uleebalang
Peusangan itu sungguh terperanjat dibuatnya. Berbagai alasan dikemukakan guru
Sutan Mangkudun, dan alasan yang paling utama adalah anak-anaknya butuh
bersekolah di sekolah berbahasa Belanda. Dengan berbagai alasan guru itu tetap
dibujuk oleh uleebalang Peusangan untuk bekerja mencerdaskan anak-anak
pribumi nanggroe Peusangan. Hati suami-isteri guru itu sungguh luluh dibuatnya.
Alibi keluarga Sutan Mangkudun sungguh sangat mengilhami uleebalang
Peusangan itu. Tak lama kemudian Teuku Tjhik Peusangan mendesak Gubernur
Belanda di Aceh untuk mendirikan HIS, sekolah dasar berbahasa Belanda, di kota
Bireuen yang banyak dihuni tentara Belanda. Kini anak-anak kecil yang selama
ini harus bersusah payah ke HIS Lhok Seumawe dengan kereta api ASS yang
kuno itu, dapat belajar dengan nyaman di HIS Bireuen. Anak-anak guru Sutan
Mangkudun juga belajar di sekolah Belanda itu. Akhirnya suami-isteri guru yang
penuh dedikasi dan sangat profesional itu menghabiskan seluruh sisa umurya di
Peusangan. Dan Sutan Mangkudun beserta isterinya Encik Rukiah dimakamkan di
nanggroe Peusangan.
Setelah Teuku Tjhik Peusangan merasa dirinya sudah mulai berhasil membimbing
rakyatnya keluar dari gua kegelapan dan kebodohan dengan menggapai ilmu
duniawi orang Belanda walau dalam kadar yang sangat minimal, maka uleebalang
Peusangan itu berusaha mengembalikan marwah-martabat bangsa Aceh melalui
ilmunya sendiri, ilmu dunia-akhirat, yaitu ilmu agama Islam.
Seluruh ulama nanggroe Peusangan dirangkulnya, dan diajaknya menyokong
mendirikan sekolah pendidikan agama Islam. Bagaikan tarikan magnit raksasa,
dalam sekejap seluruh rakyat nanggroe Peusangan tersedot keterpihakkannya oleh
ajakan uleebalang dan ulamanya membangun kembali syiar Islam di Peusangan.
Dalam waktu singkat berdirilah sebuah gedung sederhana, tempat lembaga
pendidikan formal agama Islam mewujudkan cita-citanya di Matang Glumpang
Dua, ibu kota nanggroe Peusangan.
Lembaga pendidikan ini diberi nama Al Muslim. Dalam upacara yang cukup
meriah pada tahun 1929, Perguruan Islam Al Muslim tersebut dibuka resmi oleh
uleebalang dan ulama-ulama di nanggroe Peusangan. Dalam kemeriahan upacara
itu, dengan penuh keceriaan tampil seorang putri berumur 14 tahun yang cantik
jelita, memotong pita peresmian Perguruan Islam Al Muslim. Putri jelita itu
adalah Potjut Ramlah, putri sulung Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah.
Berbeda dengan Perguruan Normaal Islam milik kaum PUSA di Bireuen yang
lenyap ditelan oleh waktu, Perguruan Islam Al Muslim berkembang dengan baik.
Bangunan barupun perlu terus ditambah untuk memenuhi tuntutan anak didik
yang semakin bertambah banyak. Derajat perguruan Al Muslim inipun terus
meningkat hingga sekarang ini.
Dengan berbekal ilmu pengetahuan duniawi milik Belanda dan ilmu duniawi-
ukhrawi Islamnya orang Aceh, Teuku Tjhik Peusangan memberanikan dirinya
untuk mengajak rakyat Peusangan mengarungi kehidupan nyata untuk mencari
nafkah yang halal. Maka, roda ekonomi rakyat harus dihidupkan kembali.
Perhatian utama ditujukan ke bidang pertanian rakyat.
Pertanian model onderneming (perkebunan) yang telah mencelakakan rakyat
Aceh di nanggroe Tamyang dan nanggroe Langsa dijauhinya. Seluruh rakyat
Peusangan digugahnya untuk memperluas area persawahan. Ternyata persawahan
yang luas menyedot air yang sangat banyak pula. Persedian air untuk persawahan
tak mencukupi lagi. Melihat kenyataan ketidak mampuan masyarakat Peusangan
untuk memecahkan masalah perairan bagi sawah mereka yang sangat luas itu,
Teuku Tjhik Peusangan terpaksa berpaling pada penguasa Hindia Belanda.
Seiring dengan invasi Jepang ke negeri Tiongkok, maka imigran Tionghoa baik
kaya maupun miskin membanjiri berbagai pelosok nanggroe Peusangan untuk
mendapatkan perlindungan dan nafkah.
Usai mengantar rakyatnya ke lubuk kemakmuran duniawinya, dengan langkah
pasti Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah mengantarkan rakyat Peusangan
ke gerbang rumah Tuhan, menuju ukhrowi. Uleebalang ini mengajak rakyatnya
kembali mendekatkan diri kepada Khaliknya, dan mensyukuri nikmat yang
dianugrahi Sang Maha Pencipta alam semesta itu.
Dengan kemakmuran yang telah dinikmatinya, rakyat Peusangan bangkit
membangun rumah ibadahnya. Mesjid besar dan kecil serta surau barupun
bermunculan diberbagai pelosok nanggroe Peusangan. Mesjid dan surau lamapun
dipugar, sehingga membuat uleebalang-uleebalang ditanah lain sungguh
terperangah.
Mereka juga mencoba meraih keberhasilan yang telah dicapai nanggroe
Peusangan. Caranya, para uleebalang itu mengirim puteranya untuk dididik oleh
Teuku Tjhik Peusangan. Maka, jadilah uleebalang Peusangan tutor (guru pribadi)
dalam ilmu pemeritahan dan politik Aceh bagi putra para uleebalang Aceh
lainnya.
Kurikulum sekolah model uleebalang Peusangan sungguh sangat khas. Setiap hari
usai sholat subuh putra-putra uleebalang dibawa ketengah sawah, diajaknya
membajak sawah bersama-sama meniru rakyat Peusangan yang sedang
mengerjakan sawahnya sendiri. Azan sholat dzuhur memanggil, pelajaran
bersawah bagi putra-putra dihentikan sementara. Usai sholat dzuhur dan makan
siang dengan cara petani yang sangat sederhana bersama Teuku Tjhik Peusangan,
murid dan guru itu berkumpul lagi membahas pelajaran berikutnya.
Dalam pelajaran ini sang guru memperlihatkan cara menebang dan memotong
pohon bambu. Dengan berderai air mata dan bermandikan keringat para putra
uleebalang yang telah menjadi anak manja itu, terpaksa mempraktekkan ilmu
yang diberikan oleh gurunya itu. Tak lupa pula diajarkan cara menuai dan
menumbuk padi. Bila ada kegiatan menggali dan memperbaiki irigasi sawah,
anak-anak manja itu diikutkan serta bekerja bersama rakyat Peusangan. Usai
sholat Insya murid dan guru berdiskusi membahas bahan pelajaran yang telah
dikerjakannya.
Sebelum diskusi ditutup menjelang waktu tidur malam, Teuku Tjhik Peusangan
selalu bertanya kepada murid-muridnya itu: “Apakah ampon-ampon lelah
mengerjakan latihan tadi siang? Dengan serempak para muridnya menjawab :
“Ya, Ampon Tjhik, kami sungguh lelah”. Sang guru melanjutkan: “Oleh karena
itu, bila ampon-ampon nanti sudah menjadi uleebalang, jangan menyuruh rakyat
nanggroe ampon-ampon semena-mena”. Itulah salah satu inti pelajaran ilmu
pemerintahan dan politik dari Teuku Tjhik Peusangan yang hingga kini masih
dikenang oleh rakyat Peusangan dan menjadi romantika sejarah sepanjang masa
untuk rakyat Peusangan sampai anak cucu kelak.
Keturunan di Bugak
Gelar Habib sejatinya hanya disematkan untuk ahlul bait (keturunan) Rasulullah
dari keturunan Sayyidina Husein bin Ali ataupun dari keturunan Sayyidina Hasan
bin Ali. Biasa juga disebut dengan Sayyid atau Syarief.
Gelar Habib biasanya hanya diberikan kepada para pemuka atau tokoh yang
memiliki pengetahuan serta keistimewaan dalam masyarakatnya. Di sekitar daerah
Bugak, terdapat banyak sayyid, terutama dari keturunan Jamalullayl, al-Mahdali,
Alaydrus dan mayoritasnya adalah Al-Habsyi. Keturunan Al-Habsyi sangat
mendominasi, terutama yang berasal dari sekitar Monklayu.
Menurut penelitian dan penelusuran, kebanyakan Sayyid di sekitar Bugak adalah
dari keturunan Al-Habsyi. Keturunan ini berasal dari Habib Abdurrahman bin
Alwi Al-Habsyi yang hingga saat ini sudah turun temurun menjadi delapan
generasi.
Menurut Urueng Tuha di sekitar Bugak, Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi
adalah seorang yang pertama membuka Bugak dan memiliki kedudukan terhormat
sebagai wakil Sultan. Hal ini diperkuat dokumen yang dikeluarkan Sultan
Mansyur Syah bertahun 1270 H yang menyebutkan dengan terang nama Habib
Abdurrahman dengan Bugak.
Menurut tradisi kaum Hadramiyin (bangsa Arab) yang datang ke Nusantara,
biasanya mereka memiliki kunyah (nama gelar) yang kadangkala dinisbatkan
kepada tempat tinggal ataupun makamnya seperti misalnya Sunan Bonang, Sunan
Ampel, Pangeran Jayakarta, Habib Chik Dianjong dan dikuti oleh ulama,
termasuk di Aceh seperti Maulana Syiah Kuala dan lainnya. Demikian pula
dengan Habib Abdurrahman, menurut tradisi memiliki nama gelar yang dikenal
oleh kaum keluarganya sebagai Habib Bugak, karena beliau tinggal di Bugak.
Hasil penelitian di sekitar Bugak dan wilayah yang berdekatan dengannya, tidak
ada seorang Habib yang melebihi kemasyhuran Habib Abdurrahman bin Alwi Al-
Habsyi. Beliau adalah Tengku Chik atau Tengku Habib dan kepercayaan Sultan
Aceh untuk wilayah Bugak dan sekitarnya yang memiliki wewenang
pemerintahan sekaligus wewenang keagamaan, yang jarang diperoleh seorang
pembesar sebagaimana tercantum dalam dokumen sultan tahun 1206 H dan
lainnya.
Adapun ikrar wakaf Habib Bugak di Mekkah terjadi pada tahun 1222 H.
Sementara dokumen Kerajaan Aceh yang ditandatangani oleh Sultan
Mahmudsyah pada tahun 1206 H dan dokumen Kerajaan Aceh yang
ditandatangani oleh Sultan Mansyur Syah pada tahun 1270 H menyebutkan
dengan tegas nama dan tugas Sayyid Abdurrahman bin Alwi atau Habib
Abdurrahman bin Alwi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Habib
Abdurrahman pernah hidup di Bugak sebagai orang kepercayaan Sultan Aceh
Darussalam antara tahun 1206 H sampai dengan tahun 1270 H, hampir
bersesuaian dengan tahun wakaf dibuat pada tahun 1222 H.
Setelah mewakafkan hartanya, Habib Bugak Asyi menunjuk Nadzir pertama
bernama Syeikh Muhammad Shalih bin Abdussalam Asyi yang diketahui dari
keturunan Ulama ternama Syeikh Abdullah al-Baid. Syeikh ini dan penerusnya
Syeikh Abdurrahim bin Abdullah al-Baid Asyi dikenal sebagai Tgk. Chik Awe
Geutah yang kompleks dayahnya masih terpelihara di Awe Geutah Peusangan,
Bireuen.
Tempat ini berdekatan dengan Bugak yang menjadi asal dari Habib Bugak Asyi.
Menurut catatan Rabithah Alawiyah Kerajaan Aceh, Syekh Abdullah al-Baid
adalah Ulama dari Mekkah yang datang serombongan bersama dengan Habib
Abdurrahman Al-Habsyi dari Mekkah, bertugas di Bandar Aceh Darussalam dan
kemudian menetap di sekitar daerah Bireuen atas titah Sultan Aceh Darussalam.
Hal ini sebagaimana disebutkan Sarakata Sultan Aceh yang tersimpan rapi pada
keturunan Habib Abdurrahman Al-Habsyi. Kemudian, Habib Abdurrahman Al-
Habsyi bermukim di Monklayu dan wafat di Bugak, sementara Syekh Abdullah
al-Baid bermukim di Awe Geutah mendirikan dayah dan wafat di sana.
Itulah sebabnya tidak mengherankan apabila Habib Bugak Asyi, setelah
mewakafkan hartanya kemudian menunjuk Nadzir dari kalangan ulama yang
sangat dekat hubungan dengannya, bahkan tinggal satu daerah yang berdekatan.
Menurut anak cucu Habib Abdurrahman Al-Habsyi, mereka memiliki hubungan
yang sangat dekat dengan Tgk. Chik Awe Geutah, bahkan memiliki hubungan
kekerabatan karena tali perkawinan. Fakta ini secara jelas menunjukkan siapa
sebenarnya Habib Bugak Asyi itu, yang tidak diragukan adalah seorang Habib
yang berasal dari Bugak yang berdekatan dengan asal Nadzir di Awe Geutah
Peusangan.
Selain mewakafkah hartanya, Habib Abdurrahman bin Alwi bin Syekh Al-Habsyi
atau Habib Bugak Asyi sejatinya juga salah seorang tokoh Aceh yang memiliki
peranan penting dalam sejarah rekonsiliasi masyarakat Aceh. Terutama saat
terjadinya ketegangan yang timbul pada awal abad ke 18 Masehi.Ketegangan tak
terlepas dari pemberhentian Sultanah Kamalat Ziatuddinsyah pada tahun 1699
yang digantikan oleh suaminya Sultan Badrul Alam Sayyid Ibrahim Syarif
Hasyim Jamaluddin Syah Jamalullayl (1699-1702) atas fatwa dari Ketua Mufti
Syarief Mekkah setelah wafatnya Mufti-Qadhi Malikul Adil Maulana Syiah
Kuala.Fatwa ini telah mengantarkan para Sayyid sebagai Sultan Aceh selama
hampir 30 tahun. Naiknya kembali keturunan garis Sultan asal Pasai dari
keturunannya di Bugis, Sultan Alaidin Ahmad Shah (1733) dan para pelanjutnya
telah menimbulkan kegusaran dan ketakutan dari keturunan para sayyid, terutama
keturunan dari garis Sultan yang dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik.Saat
imperialisme kolonial barat masuk ke Aceh, para tokoh sayyid di Aceh meminta
Syarief Mekkah yang masih memiliki otoritas keagamaan atas Aceh agar
mengirim para tokoh kharismatis, Habib dan Ulama yang dapat membawa
kedamaian dan rekonsiliasi masyarakat Aceh. Di antara utusan yang datang dari
Mekkah adalah Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi yang kemudian dikenal
dengan Habib Teuku Chik Monklayu, yang juga dikenal dengan Habib Bugak
Aceh, karena beliau tinggal di Pante Sidom, Bugak, Bireuen.Habib Abdurrahman
Al-Habsyi Bugak adalah seorang ulama faqih, sufi dan seorang bentara-laksamana
serta pemimpin masyarakat yang dipercaya oleh Sultan Aceh sebagai Teuku Chik
yang kekuasaannya terbentang dari desa-desa di sekitar Jeumpa, Peusangan,
Monklayu, Bugak sampai Cunda dan Nisam sebagaimana yang dituangkan dalam
surat keputusan Sultan Mahmudsyah dalam surat bertahun 1224 H (1800 M)
Menurut Syekh Munir, kini Habib Bugak Asyi telah mewariskan kepada
masyarakat Aceh harta wakaf berharga lebih 300 juta Riyal Saudi atau sekitar Rp
7,5 triliun. Aset yang ada berupa 2 buah hotel, Ajyad (Funduk Ajyad) bertingkat
25 sekitar 500 meter dari Masjidil Haram dan Menara Ajyad (Burj Ajyad)
bertingkat 28 sekitar 600 meter dari Masjidil Haram.Kedua hotel besar ini mampu
menampung lebih 7000 jamaah yang dilengkapi dengan infrastruktur lengkap.
Selain hotel, ada juga apartemen dan tanah kosong berjumlah lebih 10 unit.
Pada musim haji tahun 1427 lalu, Nadzir (pengelola) Wakaf Habib Bugak Asyi
telah mengganti sewa rumah jamaah haji asal Aceh selama di Mekkah sebesar
sewa yang telah dibayar Pemerintah Indonesia kepada pemilik pemondokan atau
hotel yang ditempati para jamaah haji asal Aceh. Besarnya sekitar antara SR 1.100
sampai SR 2.000, dengan jumlah total Rp 13,5 milyar rupiah.Nadzir Waqaf Habib
Bugak juga sedianya akan membangun Kompleks Pemondokan Haji yang mampu
menampung 5.000 jamaah yang berasal dari Aceh. Hasil wakaf juga digunakan
untuk menyewakan beberapa bangunan lainnya untuk kepentingan masyarakat
Aceh.Menurut catatan, setelah kembali dari Mekkah, Habib Bugas Asyi
bermukim dan dimakamkan di Pante Sidom, Kemukiman Bugak, Kecamatan
Jangka, Kabupaten Bireuen. Terlepas dari catatan sejarah yang masih perlu
disempurnakan, sosok Habib Bugak ini memang menjadi sesuatu yang
dirindukan.
D. PUCOT MEULIGOE
Samalanga ketika itu termasuk wilayah otonom yang diberi kuasa penuh oleh
Sulthan Aceh kepada raja Teuku Chik Bugis, tapi dalam menjalankan
pemerentahan Teuku Chik Bugis mempercayakan pada seorang tokoh wanita
bernama Pocut Meuligoe. Mendengar nama kedua tokoh ini saja, Belanda keder
karena keberanian mereka. Belanda sendiri ingin menguasai Samalanga karena
wilayah ini sangat strategis dan maju dalam bidang perdagangan.
Ketika Van Der Heijden diangkat Pemerintah Hindia Belanda menjadi
Gubernur/Panglima Perang untuk Aceh, sasaran pertamanya adalah
menaklukkan Samalanga. Tahun 1876 Van Heijden menyerang Samalanga
dengan mengerahkan kekuatan tiga Batalion tentara. Tiap Batalion terdiri tiga
Kompi yang masing-masing kompi berjumlah 150 pasukan. Namun sekian kali
mereka menyerang, tak berhasil menguasai Samalanga. Serdadu Belanda mati,
termasuk seorang Letnan bernama Aj. Richello yang dipancung kepalanya oleh
seorang ulama besar Haji Ahmad. Namun ulama ini juga syahid dalam agresi
pertama Belanda ke Samalanga. Pejuang Samalanga tak dapat dikalahkan, maka
tahun 1877 Belanda kembali menyusun kekuatan menyerbu dengan melibatkan
tiga Batalion tentara, pasukan marenir dan pasukan meriam ditambah 900 orang
hukuman yang diikutkan dalam penyerangan. Setelah sebulan pertempuran,
Belanda hanya bisa menguasai Blang Temulir dekat kota Samalanga. Ratusan
serdadu colonial mati, dan Van Der Heijden sendiri luka berat, bahkan mata
kirinya mengalami kebutaan akibat terkena peluru pasukan Aceh. Ini kemudian
si Belanda Van Der Haijden disebut orang Aceh dengan nama Jendral buta
siblsah. Raja Samalanga Teuku Chik Bugis dan Pocut Meuligoe masih berkuasa
penuh, meskipun Belanda sudah menguasai. Belanda tidak berani mendekati
bentenguta Gle Batee Iliek. Seperti ditulis Paul Van ‘T Veer dalam bukunya De
Atjeh Oorloq (Perang Aceh: 1985) mencatat, Benteng Kuta Gle Batee Iliek
adaah pusat perlawanan Aceh yang sangat tangguh bagi Belanda. Dan Batee
Iliek sendiri adalah sebuah “dusun kramat” dan pemukiman para ulama yang
sangat fanatik dalam menentang perluasan kekuasaan Belanda.
Satu ketika setelah tiga tahun Samalanga sepi dari peperangan, taba-tiba tanggal
30 Juni 1880, Letna Van Woortman dengan 65 orang pasukannya mencoba
menyusup ke Bneteng Kuta Gle Batee Iliek. Namun sampai di Cot Meureak
(kira-kita sekitar 2 Km ke arah Utara Betee Iliek) ke 65 pasukan Belanda itu di
hadang oleh gerilia pasukan Aceh.
Dalam insiden itu banyak serdadu Belanda mati dan terluka parah. Peristiwa ini
segera disampaikan ke Banda Aceh sehingga. Gubernur Van Der Heijden berang
karena serdadunya kalah. Maka tanggl 13 Juli 1880, Van Der Heijden kembali
mengirimkan ekspedisinya secara besar-besaran ke Samalanga untuk menyerang
Banteng Kuta Gle Betee Iliek.
Ekpedisi ini Belanda mengerahkan satu kompi Belanda, 1 kompi Inlander dari
Batalion 14 dan 1 kompi Ambon dari Batalion 3, serta 1 kompi garnizun dari
Batalion campuran, juga dilengkapi 32 perwira dengan 1200 bawahannya
diberangkatkan ke Samalanga. Dalam ekspedisi ini juga turut serta Panglima
Tibang, bekas pembesar Sultan yang menyeleweng dengan Teuku Nyak Lehman
sebagai juru bahasa dan penunjuk jalan bagi Belanda.
Beberapa kali Belanda melakukan serbuan menaklukkan Kuta Gle Batee Iliek
tidak berhasil. Belanda terpaksa memundurkan pasukannya ke Cot Meurak. Di
sini sambil mereka istirahat dan menyusun strategi penyerangan kedua ke Kuta
Gle, Belanda juga harus menguburkan mayat-mayat serdadu mereka. Tepatnya
tanggal 17 Juli 1880, Belanda kembali menyerang Kuta Gle. Dalam serbuan
kedua ini rupanya Teuku Chik Bugis (raja Samalanga) minta disertakan bersama
dalam pasukan Belanda, dengan tujuan untuk menyesatkan arah pasukan
Belanda hingga terjebak dengan pasukan Aceh dalam jumlah yang sangat besar.
Strategi Teuku Chik Bugis lagi-lagi mebuat serangan Belanda ke Kuta Gle Batee
Iliek menjadi konyol. Belanda harus buru-buru mundur dan banyak sekali
tentaranya yang tewas akibat dikibul Teuku Chik Bugis. Hari itu juga Chik
Bugis ditangkap olen Belanda dan dibawa ke Banda Aceh. Namun begitu,
benteng Kuta Gle Batee Iliek tetap berdiri kokoh dengan kekuatan pasukan Aceh
yang sangat ditakuti Belanda.
Benteng Kuta Gle Batee Iliek, tak pernah direbut. Itu sebabnya Paul Van ‘T
Veer mencatat dalam bukunya “Perang Aceh” bahwa Batee Iliek adalah sebuah
kampung kramat yang sangat sulit dihadapi oleh Belanda. Bidikan tembakan-
tembakan marsose, ditangkis hebat para ahli Alquran (yang dimaksudkan Van ‘T
Veer para ahli Al-Quran adalah para ulama pejuang Aceh) yang sangat lancar
membuat serangan perang terhadap Belanda-selancar mereka membaca ayat-
ayat Alquran, tulis Van ‘T Veer.
Setelah 30 tahun lebih Benteng Kuta Gle Batee Iliek bertahan dari serangan-
serangan besar Belanda, pada tahun 1901 Jenderal Van Heutsz kembali
memimpin ekspedisi barunya ke Batee Iliek. Sehari sebelum penyerangan Van
Heutsz ke Batee Iliek ini, Van Heutsz lebih dulu merayakan Ultah ke 50 (tanggal
3 Februari 1901).
Untuk membakar semangat perang bagi serdadu Belanda, Van Heutsz, seorang
tokoh legendaries perang Belanda Izaak Thenu sengaja mengubah sebuah syair
khusus untuk perang Samalanga. Bunyinya: mari sobat, mari saudara Pergi
perang di Samalanga, Mari kumpul bersuara Lalu menyanyi bersama-sama.
Namun ekspedisi ini berhasil dilumpuhkan, hingga Van Heutsz baru berhasil
menaklukkan Kuta Gle Batee Iliek pada tahun 1904, setelah tiga tahun
melakukan peperangan melawan pejuang Aceh di wilayah Batee Iliek. Bahkan
menurut sebagian cerita sejarah yang difahami penduduk Samalanga, Van
Heutsz sendiri tewas di Batee Iliek, yang kuburannya sekarang terdapat di atas
bukit Betee Iliek tak jauh dari Benteng Kuta Gle.
Paling tidak sejak lima ratus tahun lalu, menjadi pemimpin bukan hal baru bagi
perempuan Aceh. Pada saat Belanda hendak memasuki Samalanga, seorang
pemimpin wanita pewaris kerajaan Samalanga bernama Pocut Meuligo yang
masih remaja belia telah berhasil mempertahankan wilayahnya. Ia bertindak
tegas kepada setiap pria yang mangkir dan kewajiban perang.
Pocut Meuligo termasuk dalam deretan wanita pejuang seperti Cut Nyak Dien,
Cut Nyak Meutiah, dan Tengku Fakinah. Wanita yang juga dipanggil dengan
Pocut Maligai ini dengan gagah berani telah mempertahankan Samalanga dan
serangan Belanda selama beberapa tahun bahkan seorang jenderal Belanda harus
kehilangan satu matanya ketika berusaha merebut Samalanga. Adalah Jenderal
van der Heijden yang menjadi korban kegagahan pasukan Pocut Meuligo. Mata
kirinya tertembak pejuang Samalanga yang dipimpin seorang remaja Puteri
Pocut Meuligo.
Keberanian Pocut Meuligo ditulis oleh seorang kapten Belanda yang bernama
Schumacher bahwa Pocut Meuligo sangat benci Belanda sampai-sampai ia
memerintahkan semua rakyatnya berperang sekalipun meninggalkan sawah dan
ladang. Bila mangkir mereka dihukum berat. Pengaruh perempuan muda ini
tidak hanya di Samalanga, ia sering mengirim bantuan dana, keperluan logistik
dan senjata ke Aceh Besar membantu pasukan Aceh. Samalanga bisa
memberikan kontribusi finansial yang besar bagi perjuangan Aceh karena
perdagangan ekspor Samalanga berkembang baik.
Schumacher melanjutkan bahwa pada tahun 1876 Belanda berusaha keras agar
Samalanga mengakui pemerintahan Belanda, tetapi dijawab Samalanga dengan
menembaki kapal-kapal Belanda bahkan bila perlu merompaknya.
Pada tahun yang sama, Gubernur Belanda Kolonel Karel van der Heijden
merancang serangan ke Samalanga dengan menyiapkan tiga batalion dan semua
kapal perang Belanda seperti Matelan Kuis, Amboina, Citade van Antwerpen,
banda, Borneo, Sambas, Palembang, Watergeus, Semarang dan Sumatera.
Pasukan darat dipimpin van der Hegge-Spies.
Ketika pasukan Belanda mendarat, pasuka Aceh telah siap menanti kedatangan
mereka di Kiran dan Kuala Tambora. Di sebuah hutan yang telah dipasangi
ranjau, satu batalion pasukan Belanda dibantai dengan mudah hanya oleh 40
pejuang Aceh.
Tak lama kemudian bala bantuan Belanda datang, dan pasukan Aceh mundur
sambil mengumpulkan tenaga ke Pengit Tunong. Di kawasan ini, perang sengit
kemudian terjadi, pasukan Belanda amat tertekan dan banyak yang lari lintang-
pukang sambil membuang senjata begitu saja. Kejadian ini tidak lepas dan peran
seorang ulama setempat yang bernama Haji Ahmad. Diceritakan bahwa salah
seorang pemimpin pejuang Aceh, Haji Ahmad, yang berbadan tinggi besar dan
tegap melompat dan menyerang Letenan Ajudan Richello dan memancung
kepalanya.
Haji Ahmad ditahan Belanda sementara Pocut Meuligo berusaha
membebaskannya dengan cara berunding dengan Belanda namun ulama Aceh
itu tidak bisa diselamatkan dan menjadi salah satu syahid dalam serangan
pertama Belanda ke Samalanga itu.
Berhasil mempertahankan Samalanga dan serangan Belanda pertama, pasukan
Pocut Meuligo kembali memperkuat Benteng Batee Ilie yang terletak di sebuah
bukit tak jauh dan Samalanga.
Dalam serangan berikutnya, Kolonel van der Heijden menyusun serangan untuk
menaklukkan benteng Samalanga yang telah dipasang ranjau, dan kawat dan
berbagai perangkap lainnya. Tiga batalion pasukan darat dan marinir telah
disiapkan dibawah kendali Kapten Kauffman. Pasukan ini dibekali dengan
pelontar meriam dan 900 buah meriam. Penyerangan Belanda ke Samalanga kali
ini harus dibayar mahal karena Kolonel van der Heijden tertembak mata sebelah
kirinya sehingga diberi gelar Jenderal Mata Satu oleh orang Aceh.
Selain itu, beberapa pimpinan pasukan Belanda seperti mayor Dompselar dan
Letnan Kolonel Meijar dan ratusan prajurit Belanda terluka parah. Bagi Belanda,
penyerangan mereka ke wilayah yang dipimpin Pocut Meuligo ini merupakan
penyerangan yang menyeramkan dalam ingatan prajurit Belanda.
Belanda beberapa kali menyerang Samalanga mulai 1 Agustus 1877 dan
berakhir pada tanggal 17 September di meja perundingan ketika kakak Pocut
Meuligo yang bernama Teuku Cik Bugis tiba dan misinya ke luar negeri
membeli senjata. Hasil dan perundingan yang diselenggarakan di markas
Belanda itu adalah Belanda diperbolehkan menaikkan Benderanya di Samalanga
tetapi tidak berkuasa atas wilayah itu sementara kegiatan perdagangan ekspor-
impor Samalanga tetap berjalan tanpa ada gangguan dari pihak manapun
termasuk Belanda dan Benteng Batee llie tidak boleh diganggu gugat, tetap
bendaulat dan bebas mengibarkan bendera di puncak bukit tersebut.
Kemenangan tetap di pihak Samalanga.
Belanda belum puas dengan hasil perjanjian tersebut dan berusaha merebut
Samalanga. Pada tanggal 30 Juni 1880, sebanyak 65 prajurit yang dipimpin
Letnan van Woontman secara diam-diam memasuki kampung dan sesampainya
di Cot Merak, mereka dikepung penduduk setempat dan pertempunan sengit pun
terjadi. Prajurit Belanda itu tendesak dan lari menyelamatkan diri kembali ke
markas.
Pihak Belanda tersinggung dengan peristiwa di Cok Merak. Akhirnya, van
Heijden melanggar penjanjian yang telah disepakati bersama. Ia mengirim satu
ekspedisi yang terdiri dari 32 pegawai dan 1200 prajurit dengan alat tempur
lengkap di bawah pimpinan Mayor Schilau dan Mayor van Steenvelt. Turut
bersama pasukan Belanda itu adalah Panglima Tibang, bekas orang kepercayaan
Sultan, dan Teuku Nyak Lehman sebagai juru bahasa dan penunjuk jalan.
Pada tanggai 14 Juli kapal yang membawa pasukan Belanda merapat di Kuala
Samalanga. Belanda mengundang Teuku Cik Bugis, Pocut Meuligo, Teuku
Bentara Cut (keponakan Pocut Meuligo) dan beberapa tokoh Samalanga, namun
mereka tidak sudih datang karena telah bersiap-siap menghadapi kedatangan
Belanda di Benteng Batee llie.
Sehari kemudian tepatnya tanggal 15 Juli Belanda menyerang Batee llie.
Pertempuran sengit terjadi. Pasukan Belanda tidak berhasil menembus
pertahanan Benteng Batee llie meskipun menyerang dan berbagai jurusan
sebaliknya mereka dihujani tembakan pejuang Samalanga dengan peluru dan
batu-batuan dan prajurit Belanda pun banyak yang mati.
Tidak hanya itu, pasukan induk Belanda pun diserang dengan kelewang dari
belakang bukit. Schumacher mencatat Belanda terus maju dan menyerang tetapi
setiap kali maju mereka terpaksa mundur meskipun bersenjata lengkap.
Perang berlangsung beberapa hari. Dalam suatu serangan, Teuku Cik Bugis juga
turun tangan yang menyebabkan pasukan Belanda lari lintang-pukang. Karena
peristiwa ini Belanda kemudian menangkap Teuku Cik Bugis namun tetap
menyerang Samalanga. Karena setiap serangan selalu dapat dipatahkan pejuang
Samalanga, Belanda akhirnya menghentikan penyerangan ke Samalanga
Pocut Meuligo kemudian menemui van der Heijden yang membawa Teuku Cik
Bugis dan Banda Aceh. Mereka kemudian dibebaskan tanpa syarat apapun.
Lagi dengan 900 prajurit bersenjata lengkap untuk kali ketiga van der Heijden
memimpin serangan ke Samalanga. Namun usahanya gagal total. Penasaran
dengan usahanya yang selalu gagal, akhirnya pada tahun 1904 van der Heijden
mengerahkan pasukan meriam. Usahanya kali ini mengakhiri perlawanan
pejuang Samalanga selama lebih dan tiga puluh tahun melawan Belanda.
E. MAKAM SYUHADA LAPAN
Makam ini merupakan situs sejarah yang familiar bagi masyarakat lokal
Kabupaten Bireuen, maupun pelintas jalur Banda Aceh-Medan. Para pelintas
jalur Banda Aceh - Medan pasti melewati “Makam Syuhada Lapan” di Cot
Batee Geulungku, Kecamatan Simpang Mamplam, Kabupaten Bireuen.
Sejumlah literatur sejarah menyebutkan, keberadaan Makam Syuhada Lapan
merupakan pejuang yang gugur dalam pertempuran melawan serdadu Marsose
Belanda, awal tahun 1902. Lebih kurang 116 tahun silam, ke delapan pejuang
yang dikubur di makam ini. Dinamakan makam Syahid Lapan, karena di situ
dimakamkan delapan pejuang yang gugur melawan Belanda. Mereka adalah Tgk
Panglima Prang Rayeuk Jurong Binje, Tgk Muda Lem Mamplam, Tgk Nyak
Balee Ishak Blang Mane, Tgk Meureudu Tambue, Tgk Balee Tambue, Apa
Syehk Lancok Mamplam, Muhammad Sabi Blang Mane, dan Nyak Ben Matang
Salem Blang Teumulek. Kisah keheroikan para Syuhada Lapan sangat jelas
tertulis pada dinding makam. Peristiwa heroik itu terjadi ketika para Syuhada
Lapan menghadang pasukan Belanda. Pasukan Belanda itu berjumlah 24 orang.
Mereka semuanya bersenjata api, sedangkan pasukan delapan pejuang Aceh
tersebut hanya bersenjatakan pedang. Tapi berkat semangat juang yang tinggi,
mereka berhasil menewaskan semua marsose tersebut. Namun karena larut
dalam euphoria kemenangan. Tanpa disadari tiba-tiba sejumlah serdadu marsose
lain datang dari arah Jeunieb memberi bantuan. Kedelapan pejuang itu diserang
dan gugur bersimbah darah. Jasad para syuhada tersebut kemudian dikebumikan
dalam satu liang sebab serdadu marsose mencincang-cincang bagian tubuh para
pejuang tersebut dengan pedang milik mereka sendiri. Sebagai generasi yang
mencintai sejarah, mari kita mendo'akan para syuhada yang telah berjuang
sehingga kita bisa hidup damai seperti saat ini.
F. MAKAM SYUHADA 44