Anda di halaman 1dari 50

A.

AMPOEN CHIEK PEUSANGAN


Dalam masa berkecamuknya perang antara Kerajaan Aceh melawan
Belanda (1873-1942), lahirlah seorang bayi sehat dan rupawan. Bayi ini
dilahirkan pada tanggal 25 Juni 1890 didesa Pulo Iboh, di tepi kota Matang
Glumpang Dua. Ibunya, Potjut Unggaih, seorang putri bangsawan, putri
uleebalang Meureudu. Ayahnya, Teuku Tjhik Sjamaun, uleebalang nanggroe
Peusangan. Dua sejoli itu memberi nama anaknya, TEUKU MUHAMMAD
DJOHAN ALAMSJAH Kemudian setelah memegang jabatan uleebalang dan
menunaikan ibadah haji, cucu Teuku Tjhik Muhammad Hasan itu diberi nama,
Teuku Hadji Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah Perkasa Alam. Dalam
perjalanan sejarah Aceh abad ke-XX, Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah
tampil sebagai salah seorang uleebalang Aceh terkemuka. Teuku Muhammad
Djohan Alamsjah merupakan turunan generasi ke-IX pengungsi imperium
Abbasiyah yang terdampar di Bandar Aceh pada abad ke-13 itu.Ampon Tjhik
Peusangan
Teuku Tjhik Sjamaun. Isteri pertamanya, Potjut Salbiah pribumi nanggroe
Peusangan, melahirkan dua orang anak. Anak pertamanya seorang putri diberi
nama Potjut Zahara, karena kecantikannya rakyat Peusangan memberi nama
panggilan untuknya Potjut Buluen. Anak kedua seorang putra diberi nama Teuku
Ali Alamsjah.
Rakyat nanggroe Peusangan menggelari Teuku Ali Alamsjah dengan nama
Panglima Perang (Ampon Prang), karena beliau juga memimpin pasukan
nanggroe Peusangan dalam peperangan melawan tentara Belanda.
Isteri Teuku Tjhik Sjamaun, Potjut Unggaih, melahirkan 3 orang anak. Mereka
terdiri dari 2 orang putra dan seorang putri. Anak pertama Teuku Tjhik Sjamaun
dari putri uleebalang Meureudu ini adalah Potjut Sjaribanun, seorang putri.
Rakyat nanggroe Peusangan menyebut Potjut Sjaribanun dengan nama
kesayangan Potjut Putroue, karena sikapnya yang agung dalam kehidupan sehari-
hari dengan rakyatnya. Anak kedua adalah seorang putra, Teuku Muhammad
Djohan Alamsjah, seorang pemuda yang kelak tampil menjadi “uleebalang
terkemuka” di Aceh. Dan yang ketiga juga seorang putra, Teuku Bustaman.
teuku Tjhik Sjamaun. Isteri pertamanya, Potjut Salbiah pribumi nanggroe
Peusangan, melahirkan dua orang anak. Anak pertamanya seorang putri diberi
nama Potjut Zahara, karena kecantikannya rakyat Peusangan memberi nama
panggilan untuknya Potjut Buluen. Anak kedua seorang putra diberi nama Teuku
Ali Alamsjah.
Rakyat nanggroe Peusangan menggelari Teuku Ali Alamsjah dengan
nama Panglima Perang (Ampon Prang), karena beliau juga memimpin pasukan
nanggroe Peusangan dalam peperangan melawan tentara Belanda.
Isteri Teuku Tjhik Sjamaun, Potjut Unggaih, melahirkan 3 orang anak. Mereka
terdiri dari 2 orang putra dan seorang putri. Anak pertama Teuku Tjhik Sjamaun
dari putri uleebalang Meureudu ini adalah Potjut Sjaribanun, seorang putri.
Rakyat nanggroe Peusangan menyebut Potjut Sjaribanun dengan nama
kesayangan Potjut Putroue, karena sikapnya yang agung dalam kehidupan sehari-
hari dengan rakyatnya. Anak kedua adalah seorang putra, Teuku Muhammad
Djohan Alamsjah, seorang pemuda yang kelak tampil menjadi “uleebalang
terkemuka” di Aceh. Dan yang ketiga juga seorang putra, Teuku Bustaman.
Pulo Iboh, tempat kelahiran dan tempat Teuku Muhammad Djohan
Alamsjah dibesarkan, adalah juga tempat kediaman resmi uleebalang Peusangan.
Pulo Iboh juga disebut kuta uleebalang (istana) nanggroe Peusangan. Desa Iboh
juga memegang kunci penting dalam sejarah revolusi sosial Aceh tahun 1945-
1946.
Menyangkut Iboh ada cerita lainnya. Dari desa inilah orang tua Teungku
Amir Husin Al Mujahid berasal. Ketika perang Aceh dengan Belanda sedang
mencapai puncaknya dipantai utara Aceh, keluarga orang tua Husin al Mujahid
mengungsi ke nanggroe Idi, yang telah menjadi sahabat kerajaan Belanda jauh
hari sebelum Perang Aceh–Belanda dimulai. Orang Aceh memberi gelar yang
agung untuk Amir Husin al Mujahid, Napoleon Bonaparte Aceh, karena
keberhasilannya meruntuhkan dan membantai seluruh uleebalang Aceh hanya
dalam waktu beberapa hari saja. Tanpa pernah bertempur guru sekolah dasar
madrasah di Idi -Aceh Timur ini, dapat mengecoh Residen Aceh/ Jenderal Mayor
TKR/TNI Teuku Njak Arief dan menggiringnya ke kamp tahanan di Takengon.
Napoleon Bonaparte Aceh dengan lasykarnya TPR (tentara perjuangan rakyat)
dengan ganas membantai seluruh uleebalang Aceh beserta pengikutnya.
Rumah Peninggalan Yang terletak Di kota Peusangan
Kemudian Amir Husin al Mujahid mengangkat dirinya sendiri menjadi Jenderal
Mayor, anehnya ketika dia berpangkat Jenderal Mayor tentaranya lenyap bersama
asap revolusi sosial Aceh. Kawan-kawannya sesama orang PUSA menyebutnya
filsuf besar Aceh. Keberhasilan Teungku Amir menggusur Teuku Njak Arief,
Residen- penguasa Negara Republik Indonesia yang baru merdeka di Aceh,
mengantarkan seorang guru madrasah Jamiatul Diniah Abadiyah di Blang Paseh-
Sigli yang bernama Teungku Muhammad Daud Beureueh ke takhta Diktator Aceh
yang baru. Sambil berkacak pinggang, dengan tangan kiri dia menuding kemuka
Teuku Tjhik Daudsjah - Pejabat Residen Aceh. Uleebalang Idi yang bunglon itu
diperintahkannya untuk mengangkat pemilik kios obat Pidie yang bernama, Teuku
Muhammad Amin, menjadi Asisten Residen Aceh Bidang Politik. Terpukau oleh
kebengisan PUSA, dalam sekejap Teuku Tjhik Peusangan yang selama ini
“dimuliakan rakyatnya”, berubah menjadi target tangkapan Teuku Muhammad
Amin pada bulan Maret 1946.
Dalam masa pertempuran dengan Belanda di nanggroe Peusangan, Teuku
Tjhik Sjamaun mengundurkan diri ke daerah hulu sungai Peusangan yang penuh
hutan rimba. Dalam pengungsiannya ini Teuku Tjhik Sjamaun itu mengatur
strategi melawan serangan dan invasi pasukan Jenderal van Heutz. Uleebalang ini
telah bersumpah, tidak akan pernah berjumpa dengan kafir Belanda. Setelah
bergerilya selama 2 tahun, Teuku Tjhik Sjamaun jatuh sakit dan wafat ditengah
hutan rimba Peusangan. Maka, terwujudlah sumpahnya untuk tidak berjumpa
kafir Belanda. Teuku Tjhik Sjamaun yang patrotik itu dimakamkan di markas
komandonya ditengah hutan rimba Peusangan. Pemakaman uleebalang yang
patriotik ini mendapat penghormatan yang megah dari pasukan dan pengikutnya
yang setia. Sayang makam yang bersejarah ini kemudian hari dipindahkan.
Setelah keadaan di Peusangan menjadi damai jenasah Teuku Tjhik Sjamaun
dimakamkan kembali di Matang Glumpang Dua, oleh putranya Teuku Tjhik
Muhammad Djohan Alamsjah.
Ketika Teuku Tjhik Sjamaun sedang bergerilya di rimba Peusangan, Sultan
Aceh Tuwanku Muhamad Daudsjah berkunjung ke Matang Glumpang Dua, ibu
kota nanggroe Peusangan. Sultan Aceh itu bermaksud mengukuhkan kembali
Teuku Tjhik Sjamaun sebagai uleebalang Peusangan dengan gelar kedudukannya
Teuku Keujruen. Sultan Aceh menunggu kedatangan Teuku Tjhik Sjamaun
beberapa hari di Matang Glumpang Dua, tetapi uleebalang Peusangan itu tak
kunjung tiba. Seorang utusan Teuku Tjhik Sjamaun mengabarkan kepada Sultan
Aceh, bahwa uleebalang itu sedang sakit berat di tengah rimba di hulu sungai
Peusangan. Tanpa membuang waktu, sebagai gantinya Sultan Aceh mengukuhkan
putranya, Teuku Muhammad Djohan Alamsjah sebagai uleebalang nanggroe
Peusangan. Pengangkatan itu dimuat diatas surat resmi Keputusan Kerajaan Aceh.
Surat pengangkatan yang disebut “Surat Tjap Sikureung” itu diserahkan langsung
kepada Teuku Muhammad Djohan Alamsjah. Pada hal, pada saat
pengangkatannya, uleebalang muda itu baru berumur 10 tahun.
Beliau bersama Sang Ibu
Usai pelantikan itu, sambil menghindari incaran Jenderal van Heutz
terhadapnya, Sultan Aceh bergegas melanjutkan perjalanan-kerjanya ke wilayah
Pasai, untuk menyusun kembali markas komanandonya. Sunguh ironis,
perjuangan Teuku Tjhik Sjamaun melawan penjajah Belanda kandas dalam waktu
singkat. Beberapa bulan setelah Teuku Tjhik Sjamaun wafat, paman Teuku Tjhik
Djohan Alamsjah yang tertua yang bernama Teuku Maharadja Djeumpa melapor
diri (mel) kepada Belanda minta berdamai. Bagaikan mendapatkan durian runtuh,
Jenderal van Heutz langsung menyambut uluran tangan Teuku Djeumpa itu.
Utusan Belanda datang ke Pulo Iboh menemui Potjut Unggaih. Belanda
membujuk permaisuri uleebalang Peusangan itu untuk mengizinkan putranya
dibawa ke Kutaradja untuk disekolahkan. Belanda bermaksud mendidik
uleebalang muda itu menurut kepentingannya, disekolah model Belanda. Dengan
tegas permintaan Belanda itu ditolaknya, karena Potjut Unggaih tidak ingin
putranya menjadi orang kafir. Berulang kali utusan Belanda datang bersama
dengan Teuku Djeumpa, membujuk Potjut Unggaih.
Setelah bermusyawarah dengan seluruh handai taulannya, Potjut Unggaih
dengan berat hati mengijinkan putranya dibawa Belanda ke Kutaraja, pusat
kekuasaan Belanda di Aceh. Ibunda Teuku Djohan Alamsjah itu mengajukan
syarat. Putranya boleh dibawa, tetapi harus disertai oleh seorang temannya yang
juga harus disekolahkannya. Tentu saja Belanda dengan penuh suka cita
menyambut berita kemenangannya ini. Tanpa perlu berlumuran darah lagi,
nanggroe Peusangan telah menjadi sahabat Kerajaan Belanda.
Sahabat adalah kata berukiran indah yang disamarkan pihak Belanda, sebagai kata
ganti takluknya orang Aceh. Enak didengar bangsa Belanda, tetapi pahit
dirasakan bangsa Aceh. Akhirnya berangkatlah Teuku Muhammad Djohan
Alamsjah ke Kutaraja dengan seorang pengawal dan seorang teman yang
bernama: Abdul Karim. Kelak dikemudian hari, salah seorang putra Abdul Karim
ini yang bernama Drs Adnan, pegawai pemda Kota Medan, hingga bulan Oktober
2006 dengan setia masih menjaga Potjut Maimunah, salah seorang putri Teuku
Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah yang sudah sangat sepuh dirumahnya di Jalan
Sei Belutu Gang Keluarga no. 55i, Medan. Untaian tali kesetiaan anak
manusiapun terputuskan. Dan ajalpun datang menjemput putri bangsawan Aceh
yang agung itu pada tanggal 5 November 2006 jam 16.45 di Bandung.
Selama 3 tahun Teuku Muhammad Djohan Alamsjah bersama Abdul Karim
belajar di sekolah Rakyat Guru Djam di Kutaradja.Guru Muhammad Djam, orang
Minangkabau ini sangat profesional dibidangnya. Secara privat kedua anak muda
Aceh itu dididik dan diajarinya dengan sabar. Mata pelajaran dasar yang diajarkan
terutama matematik, membaca dan menulis huruf Latin, bahasa Melayu, etiket
pergaulan masyarakat Belanda, ilmu sejarah dan politik Hindia Belanda.
Kedua anak muda Aceh itu menyambut kesungguhan gurunya. Keduanya
belajar dengan giat dan mengambil alih seluruh pengetahuan yang diperolehnya.
Gubernur Belanda di Aceh, Jenderal van Heutz sangat puas terhadap kinerja Guru
Djam. Untuk mengenang jasa-jasa Guru Muhammad Djam dalam bidang
pendidikan, pemerintahan Hindia Belanda di Aceh kemudian hari menamai jalan
dimuka sekolah itu, jalan Guru Muhammad Djam. Setelah menjalani masa
pendidikan yang dikehandaki Belanda, Teuku Muhammad Djohan Alamsjah serta
kawan dan pengawalnya yang setia diantar kembali ke nanggroe Peusangan.
Jenderal van Heutz menganggap uleebalang muda Aceh ini sudah cukup berhasil
dijinakkannya. Kepada Teuku Muhammad Djohan Alamsjah dipercayakan
kembali jabatan uleebalang Peusangan yang dipangkunya sesuai sarakata Sultan
Aceh. Dalam pelaksanaan tugasnya uleebalang muda ini dibimbing oleh
pamannya, Teuku Djeumpa. Pada hakekatnya pamannya inilah yang bertindak
selaku uleebalang nanggroe Peusangan.
Teuku Djeumpa dengan cermat mulai memutar roda pemerintahan
nanggroe Peusangan sepeninggal Teuku Tjhik Sjamaun. Kepada kemenakannya,
Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah, dijelaskannya posisi Peusangan dalam peta
politik terbaru tanah Aceh. Walaupun dikemas dalam untaian kata-kata yang
indah, bahwa Kerajaan Belanda bersahabat dengan nanggroe Peusangan melalui
Korte Verklaaring, tak berarti nanggroe Peusangan masih berkedaulatan penuh
seperti yang tercantum dalam surat sarakata cap sikureung Sultan Aceh. Secara
militer, nanggroe Peusangan sudah terkalahkan oleh Kerajaan Belanda. Teuku
Djeumpa juga menjelaskan kepada Teuku Djohan Alamsjah, kekalahan
nanggroe–nanggroe uleebalang lain ditanah Aceh hanya tinggal menunggu waktu
saja. Perlawanan secara terbuka terhadap Belanda akan mengorbankan seluruh
rakyat Peusangan baik harta maupu nyawa, dan cara ini harus dihindari.
Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah yang masih belia itu, duduk terpukau
merenungkan posisi negara Aceh yang lemah berhadapan dengan Belanda.
Uleebalang muda bersama pamannya yang bijak itu berkesimpulan, tak ada jalan
lain menghabisi Belanda kecuali melalui pendekatan diplomatis. Maka,
uleebalang muda itu bertekad akan menghabisi Belanda dengan ilmu Belanda itu
sendiri. Dalam perjalanan sejarah Aceh tercatat, Teuku Tjhik Muhammad Djohan
Alamsjah terkenal selalu bersikap lemah-lembut dan lugas terhadap siapapun,
baik terhadap Belanda sebagai musuh maupun terhadap rakyat Peusangan yang
dibelanya.
Hingga akhir hayatnya, rakyat Peusangan menganggap Teuku Tjhik Muhammad
Djohan Alamsjah sebagai bapaknya, tempatnya berlindung. Sebaliknya Belanda,
sebagai musuhnya, menganggap uleebalang Peusangan ini sebagai sahabatnya.
Sebagai uleebalang di dalam surat “cap sikureung” ditegaskan bahwa Teuku
Muhammad Djohan Alamsjah dengan pangkat Kejreuen berhak mengambil hasil
dari laut, darat dan hutan diwilayah nanggroe Peusangan. Laut lepas pantai
nanggroe Peusangan sungguh kaya dengan kandungan berbagai jenis ikan.
Nelayan nanggroe Peusangan sangat senang bila saat melaut tiba. Hasil tangkapan
ikan melimpah ruah. Sebagai tanda penghormatan kepada uleebalangnya, oleh
nelayan itu dipilihnya beberapa kepala ikan yang terbesar. Dan kepala ikan pilihan
ini dipersembahkan kepada uleebalangnya, Teuku Tjhik Muhammad Djohan
Alamsjah. Persembahan nelayan ini menjadi kenangan manis yang abadi bagi
keluarga besar uleebalang Peusangan terhadap rakyatnya hingga kini.
Tak ada perlakuan istimewa bagi penguasa nanggroe Peusangan itu. Mereka harus
mencari nafkah sendiri. Di atas lahan miliknya sendiri, Teuku Tjhik M. Djohan
Alamsjah harus bercucuran keringat bertani. Selang beberapa tahun, dari hasil
cucuran keringatnya bertani, terutama hasil sawah dan kebun kelapa, Teuku Tjhik
Djohan Alamsjah dapat membangun Rumah Panggung model Aceh dari kayu di
Matang Glumpang Dua pada tahun 1907. Rumah ini berkolong satu meter,
berdinding papan, dan beratap sirap dari daun rumbia.

Setelah mempunyai rumah sederhana tempat berteduh dan merasa sudah akil
balig, Teuku Tjhik Djohan Alamsjah pada tahun 1908 melirik kekiri-kekanan
mencari pasangan hidupnya. Kaum kerabatnya menyarankan kepada uleebalang
muda itu untuk meneguhkan kembali tali persaudaraan antara nanggroe
Peusangan dengan nanggroe Peureulak. Maka, dikirimlah seulangke (utusan)
untuk mempersunting Tjut Njak Asiah, putri uleebalang Peureulak -Teuku Tjhik
Abubakar Sidik. Sungguh beruntung, lamaran uleebalang Peusangan yang masih
belia itu diterima dengan penuh kegembiraan oleh uleebalang Peureulak. Maka,
Teuku Tjhik Djohan Alamsjah telah mendapat status baru, adik ipar Teuku
Muhammad Thajeb Peureulak yang juga merupakan salah seorang patriot
kemerdekaan terkemuka. Teuku Tjhik Muhammad Thajeb dengan gigih berusaha
mewujudkan impian Indonesia Merdeka.
Didampingi oleh Tjut Njak Asiah Peureulak yang sangat bijak, Teuku Tjhik
Muhammad Djohan Alamsjah dapat mengarungi kehidupan dengan penuh
kebahagian. Anak pertamanya, seorang putri lahir pada bulan April 1912. Kedua
sejoli yang diliputi kebahagian itu menganugrahkan nama, Potjut Ramlah, untuk
putri mungilnya. Potjut Ramlah tumbuh dewasa menjadi seorang putri yang cantik
jelita. Banyak pemuda, putra-putra uleebalang Aceh bermimpi ingin melamarnya.
Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah telah mewarisi wasiat ayahnya, bahwa
kelak putri pertamanya menjadi pengikat tali persaudaraan dengan nanggroe
Keureutau. Pada usia 16 tahun putri jelita itu menyelesaikan pendidikan formal
Belanda pada ELS di Kutaraja. Kemudian dia selama setahun memperdalam ilmu
Islam bersama guru pribadinya di kediaman ayahnya di Matang Glumpang Dua.
Tatkala berusia 17 tahun, Potjut Ramlah dipersandingkan dengan Teuku
Muhammad Basjah, putra tunggal Teuku Tjhik Sjam Sjarif, uleebalang
Keureutau.
Tahun 1929 adalah masa yang paling menyibukkan bagi rakyat nanggroe
Keureutau dan nanggroe Peusangan. Perkawinan kedua anak uleebalang Aceh
terkemuka itu dilakukan dalam upacara yang megah. Gubernur Belanda dan
pejabat tinggi Belanda di Aceh harus tercantum dalam daftar utama undangan
pernikahan itu, karena Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah tak mau
tertimpa nasib yang sama dengan abang iparnya, Teuku Tjhik Muhammad Thajeb
dibuang ke Boven Digul. Dalam masa pendudukan Belanda di Aceh, setiap
uleebalang wajib mengundang Gubernur Belanda dalam setiap perlehatan apapun
yang diselenggarakannya.

Pasangan pengantin muda-belia itu tampak sangat anggun. Dalam pakaian


kebesaran, Teuku Muhammad Basjah yang baru berumur 20 tahun dan masih
murid sekolah MULO (SMP) di Kutaraja, tampil di atas panggung pelaminan
yang penuh pernak-pernik hiasan. Gubernur Belanda di Aceh beserta pembesar
lainnya berbaris mengucapkan selamat kepada pengantin yang putra-putri
uleebalang Aceh itu. Belanda sangat senang melihat keluarga uleebalang Aceh
yang sudah jinak ini. Walaupun demikian, Belanda dalam kebijakan politiknya
tetap memperlakukan seluruh uleebalang Aceh bagaikan harimau ganas bagi
kekuasaannya.
Setelah lama menunggu, pada tahun 1935 pasangan muda bangsawan Aceh itu
dianugrahi Tuhan seorang putri. Putri mungil ini dinamai Potjut Zubaidah. Selang
tiga tahun kemudian Potjut Ramlah melahirkan seorang putra yang sangat
diharapkan oleh keluarga besar uleebalang Peusangan dan Keureutau. Dr. Ida
Bagus Bagiastra, seorang dokter lepasan NIAS–Surabaya, menolong persalinan
permaisuri Teuku Tjhik M. Basjah di Rumah Sakit pemerintah Hindia Belanda di
Lhok Sukon. Kelahiran calon putra-mahkota nanggroe Keureutau disambut
dengan penuh kegembiraan oleh seluruh rakyatnya. Meriam puntung ditembakan,
kembang api dinyalakan menerangi langit malam hari nanggroe Keureutau. Para
ulama mengantarkan doa di surau dan mesjid. Bedug di mesjid, surau, dan
meunasah dipukul bertalu- talu. Pendek kata seluruh lapisan rakyat, merayakan
kelahiran putra mahkota Keureutau menurut cara dan kemampuannya masing-
masing.

Diselimuti oleh kegembiraan yang berlebihan, menantu kesayangan Teuku Tjhik


Peusangan ini pada tahun 1936 lepas kendali. Teuku Tjhik Muhammad Basjah
dan kontrolir Lhok Sukon- Swart Junior, putra Mantan Gubernur Belanda di
Aceh, bercengkrama gembira sambil menunggu kepulangan Potjut Ramlah dari
rumah orang tuanya di Peusangan. Untuk mempererat tanda persahabatan, kedua
pejabat yang berbeda asal dan berbeda tujuan hidup itu, meneguk minuman
whisky, seloki perseloki. Hari sudah menjelang malam, permaisuri Teuku Tjhik
Muhammad Basjah belum juga muncul di Lhok Sukon.
Karena terpengaruh minuman beralkohol, tiba-tiba uleebalang Keureutau itu
terkejut oleh suara deruman mobil Chrysler. Permaisuri uleebalang Keureutau itu
melangkah turun dari tangga mobilnya menuju ke pintu utama rumahnya sambil
ditatapi oleh kedua lelaki yang sedang duduk di beranda. Sesuai adat-kebiasaan
bangsa Belanda, saat melihat Potjut Ramlah yang cantik jelita, kontrolir Belanda
itu langsung memuji kecantikannya. Mendengar ocehan Swart Jr., Teuku Tjhik
Keureutau merasa terhina, karena perbuatan orang Belanda itu dianggap
pantangan besar dikalangan bangsa Aceh. Dan perbuatan tercela itu, dianggap
menghina tuan rumahnya, Teuku Tjhik Muhammad Basjah.
Sambil berkata kepada Swart Jr., coba kamu ulangi perkataanmu itu sekali lagi,
Swart Jr. mendapat hujan bogem mentah bertubi-tubi dari menantu Teuku Tjhik
Peusangan itu. Dalam keadaan babak-belur, Swart Jr. lari ke tangsi serdadu
Belanda, di samping rumah dinas Teuku Tjhik Keureutau di Lhok Sukon. Malam
itu juga, Swart Jr. dilarikan oleh Komandan Bataliyon Marsose di Lhok Sukon ke
Kutaraja, melaporkan dirinya kepada Gubernur Belanda di Aceh, Dr.van Aken.

Gubernur Belanda sangat marah atas perbuatan uleebalang Aceh itu. Setelah
berfikir sejenak, diambil keputusan, Teuku Tjhik Muhammad Basjah –uleebalang
Keureutau dikenakan hukuman pengasingan selama setahun di Kutaradja.
Jabatannya selaku uleebalang dialihkan kepada saudara sepupunya, Teuku Radja
Sabi, putra Tjut Mutia -sang pahlawan- Perang Aceh. Dan Swart Jr. itu,
dipersilahkan kembali ke negeri Belanda untuk memperdalam ilmu pemerintahan,
terutama studi tentang Aceh.
Teuku Tjhik Muhammad Basjah, menamai calon putra mahkotanya, Teuku
Ramsjah. Nama Ramsjah merupakan kependekan dari nama ibunya, Ram- lah dan
nama ayahnya, Ba-syah. Ayah–bunda itu mewariskan namanya kepada putra
tunggalnya, dengan harapan calon putra mahkota ini dapat mewariskan
kemegahan dan keagungan leluhurnya uleebalang Peusangan dan uleebalang
Keureutau. Tetapi bagaikan embun pagi diterpa panasnya sinar matahari, Revolusi
Sosial Aceh tahun 1945 telah melenyapkan harapan suami-isteri bangsawan Aceh
itu tanpa bekas. Teuku Tjhik Muhammad Basjah menemui ajalnya di Blang
Siguci, dipancung oleh algojo PUSA yang bernama Mandoe Eit, mantan
ajudannya sendiri..
Mantan ajudan ini berani berbuat lancang karena disuruh oleh Teuku Hasan
Ibrahim Krueng Pase, anak pungut Tjut Njak Bah -ibu kandung Teuku Tjhik
Muhammad Basjah. Selaku panglima Markas Rakyat di Lhok Sukon, Teuku
Hasan Ibrahim Krueng Pase memerintahkan Kapten Hasbi Wahidi -komandan
bataliyon TKR- Lhok Sukon melakukan penangkapan resmi terhadap seluruh
uleebalang dan pejabat negara RI di wilayah kewedanaan (gun-cho) Lhok Sukon.
Terutama terhadap dua orang musuh bebuyutannya, yaitu Teuku Bentara Puteh-
uleebalang Seuleumak dan Teuku Tjhik Muhammad Basjah, karena kedua orang
ini telah berani menolak lamaran Teuku Hasan Ibrahim Krueng Pase untuk
mengawini seorang janda kaya. Dan janda kaya yang menjadi incerannya adalah
Tjut Njak Nur- adik kandung Teuku Tjhik Muhammad Basjah, janda putra Teuku
Sri Maharadja Mangkubumi -uleebalang Lhok Seumawe.

Setelah kedua musuh bebuyutannya itu menjadi mangsa algojo PUSA, impian
panglima Markas Rakyat di Lhok Sukon untuk menjadi suami janda kayapun
menjadi kenyataan. Harta sijanda kaya itupun dikuras habis, bekal dia mengawini
seorang gadis -putri uleebalang Meuraxa- Kutaraja. Nasib anak manusia berjalan
menurut suratan-tangannya masing-masing. Demikian pula dengan nasib Teuku
Ramsjah, calon putra mahkota Keureutau ini. Pada tahun 1978 dikeramaian Pasar
Glodok, di Jakarta tanpa terduga dua anak manusia bertemu kembali. Tiba-tiba
seorang anak muda dengan wajah dan dalam pakaian kumuh, merangkul Dr. Ida
Bagus Bagiastra. Orang muda ini memperkenalkan dirinya, Teuku Ramsjah putra
Teuku Tjhik Muhammad Basjah -uleebalang Keureutau.
Teuku Ramsjah sungguh berperi laku aneh. Ketika kerabat ibunya Letnan Jenderal
Polisi Teuku Abdul Aziz, Wapangab RI dan Letnan Jenderal TNI Dr. Teuku Sjarif
Thajeb, Menteri P&K RI masa orde-baru yang sangat terkemuka, menawarkan
pilihan jabatan bupati di wilayah NKRI, dengan senyum dikulum ditolaknya
kebaikan hati kedua orang petinggi Republik itu. Rupanya kedua petinggi
Republik Indonesia tak tahu, bahwa Teuku Ramsjah, putra mahkota nanggroe
Keureutau telah berubah menjadi seorang sufi yang bermakam tinggi.
Akhirnya cucu kesayangan Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah ini mengembuskan
nafas terakhir pada tanggal 11 Maret 1990 di rumahnya di Medan, setelah
beberapa saat menderita sakit gagal ginjal. Putra mahkota nanggroe Keureutau itu
dimakamkan disamping kakeknya, Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah,
dipekuburan keluarga Sultan Deli -disamping Mesjid Raya Sultan Deli- Al
Maksum, Medan.
Setelah Teuku Muhammad Djohan Alamsjah dianggap dewasa dan cukup cakap
untuk memimpin nanggroe Peusangan, Teuku Djeumpa merasa sudah saatnya
mengundurkan diri dari panggung politik nanggroe Peusangan. Gubernur Belanda
di Aceh juga setuju dengan kebijakan Teuku Maharadja Djeumpa tersebut.

Dihadiri pejabat tinggi sipil dan militer, serta didahuli tembakan meriam sebanyak
7 kali dan iringan musik pasukan militer, Gubernur Belanda di Aceh melantik
Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah menjadi Zelfbestuurder (penguasa
daerah swapraja) nanggroe Peusangan. Upacara pelantikan ini dilangsungkan di
halaman rumah kediaman uleebalang Peusangan itu, di Matang Glumpang Dua,
pada tanggal 25 November 1912.
Sejak pelantikannya itu, pejabat Belanda maupun rakyat nanggroe Peusangan,
menyebut Teuku Muhammad Djohan Alamsjah dengan panggilan kehormatan,
Ampon Tjhik. Maka, selanjutnya hak Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah
sebagai Keujruen Peusangan yang tercantum dalam surat cap sikureung (cap
sembilan) Sultan Aceh, dikukuhkan kembali oleh Gubernur Jenderal Hidia
Belanda.
Sejak saat itu nanggroe Peusangan yang terdiri atas 3 uleebalang-cut (uleebalang-
kecil), yaitu Jeumpa, Jangka, dan Matang Glumpang Dua resmi menjadi sahabat
Kerajaan Belanda. Penduduk nanggroe ini sekitar 20.000. Menjelang Perang
Dunia ke-II penduduk nanggroe Peusangan meningkat mencapai
50.000 orang. Rakyat nanggroe Peusangan sejak saat itu juga dinyatakan ikut
menjadi kawula Kerajaan Belanda.
Dibalik kemegahan upacara pelantikan zelfbestuurder itu, hak kedaulatan
nanggroe Peusangan dalam bidang militer-ekonomi-hukum langsung dimasukan
kedalam kantong Belanda. Di nanggroe Peusangan dilakukan demiliterisasi,
artinya uleebalang Peusangan tak diperkenankan memiliki pasukan tentara sendiri.

Haknya selaku panglima lasykar Kerajaan Aceh di nanggroe Peusangan dianulir


oleh Belanda.
Bagaimana dengan hak mengatur ekonomi? Belanda menguncinya didalam
perdagangan. Perdangangan lokal dalam kontrol Belanda. Export-import menjadi
hak monopoli Belanda. Peraturan baru dikenakan terhadap rakyat Aceh, yaitu
wajib bayar pajak kepada Hindia Belanda. Teuku Tjhik Peusangan beserta ulama
dan tokoh masyarakat dengan tawakkal menerima beban dipundaknya. Secara
tertib pajak dikumpulkan untuk penguasa baru tanah Aceh. Bila ada diantara
rakyatnya tak mampu bayar pajak, maka kewajiban rakyatnya itu diambil alih, dan
beban pajak itu dilunasi oleh Teuku Tjhik Peusangan pribadi.
Pengaturan hukum menjadi hak Belanda. Uleebalang boleh menunjuk kadhi
(ulama) untuk medampinginya dalam memutuskan perkara kecil sesuai syariat
Islam. Tetapi hasil keputusan pengadilan tingkat nanggroe ini baru mendapat
kekuatan hukum setelah mendapat pengesahan controlleur Belanda. Perkara yang
dianggap besar disidangkan dipengadilan Meusapat (musyawarah). Pengadilan
jenis ini dipimpin langsung oleh controleur Belanda. Anggota pengadilan
meusapat terdiri dari beberapa uleebalang dan ulama yang ditunjuk oleh Belanda.
Controleur Belanda mempunyai hak menganulir keputusan pengadilan meusapat
ini, bila dianggapnya berbahaya bagi kelestarian kekuasaan Belanda.
Hak koreksi terakhir ada ditangan Gubernur Belanda di Aceh.

Terakhir hak veto berada ditangan Gubernur Hindia Belanda di Istana Buitenzorg
(Bogor). Pajak dan kerja rodi diberlakukan. Pada akhirnya hak yang tersisa untuk
uleebalang, hanya sebagai kolektor pajak dan sebagai mandor kerja rodi untuk
Belanda. Belanda tidak punya kepentingan terhadap pembinaan dan keselamatan
rakyat di nanggroe Peusangan.
Itulah fakta sejarah yang dihadapi dan digeluti oleh Teuku Tjhik M. Djohan
Alamsjah. Uleebalang Peusangan tak diperkenankan berdagang. Untuk
menguncinya dalam sangkar emas “Uleebalang Ompong”, Belanda berbaik hati
memberi tunjangan bulanan f.800,-. Tunjangan bulanan uleebalang Peusangan
ini sama besarnya dengan honorarium bulanan dokter pribadi Sri Susuhunan
Paku Buwono X , Radja Djawa.
Setelah resmi menjadi zelfbestuur Peusangan, Teuku Tjhik Peusangan
memantapkan hati untuk tetap bertekad menghadapi Belanda dengan cara
diplomatis. Sungguh pahit rasanya berada sebagai orang yang terpojokkan dalam
berhadapan dengan kekuasaan Belanda.
Walaupun demikian, segala pahit getir yang sudah dialami bangsa Aceh dalam
perang bangsa Aceh melawan Belanda, disimpan dilubuk hatinya yang sangat
dalam. Uleebalang Peusangan ini sudah bertekad menggusur Belanda melalui
ilmunya sendiri.

Maka, tak ada jalan lain kecuali secara sungguh-sungguh mengambil-alih


ilmunya sebanyak-banyaknya. Jalan terbuka secara legal yang diakui Belanda
adalah melalui pendidikan formal.
Untuk menembus rasa kecurigaan dan kebencian yang sudah berurat-akar dalam
hati sanubari rakyat Aceh akibat ulah Belanda dalam perang Aceh melawan
Belanda, maka Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah segera mengambil jalan pintas.
Uleebalang ini menunjukkan sendiri contoh tauladan cara menghadapi penjajah
Belanda kepada rakyatnya. Orang Aceh pasti dapat mengusir Belanda bilamana
mampu mengambil alih ilmunya. Langkah pertama adalah dengan cara membina
dan mendidik putra-putri serta kerabat terdekatnya, dengan cara langsung
mempelajari dari sumbernya yakni Belanda.
Maka, seluruh putra-putri Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah yang terdiri atas 3
orang putra dan 4 orang putri bergembira melangkahkan kakinya ke pundi-pundi
ilmu pengetahuan milik Belanda. Putra-putrinya diajak bertamasya ke alam
pendidikan Belanda. Mereka sangat senang, dan terbuai dalam cita-cita
ayahandanya. Seluruh putra-putri uleebalang Peusangan inipun disekolahkan di
sekolah dasar Belanda, ELS di Kutaraja.

Sekolah ini menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Maka, putra-
putri uleebalang Peusangan tersebut terpaksa ditempatkan di lingkungan yang
memaksa mereka menggunakan bahasa Belanda. Akhirnya, mereka mondok di
Kutaradja pada seorang Belanda totok, seorang sersan tentara Belanda yang
pernah bertugas di nanggroe Peusangan. Orang Belanda ini sudah dikenal baik
sebelumnya oleh uleebalang Peusangan itu. Semua putra-putri Teuku Tjhik
Peusangan berhasil sepenuhnya menyadap ilmu orang Belanda. Disamping itu
mereka tetap bertingkah laku yang agung, baik dalam pandangan budaya Belanda
maupun dalam pandangan budaya bangsa Aceh. Tak seorangpun dari putra-putri
uleebalang ini hanyut dalam arus negatif budaya Belanda, apalagi menjadi
pecandu minuman keras atau yang lainnya.
Keberhasilan putra-putrinya dalam menempuh pendidikan, sangat
membahagiakan Teuku Tjhik Peusangan. Semua putra Teuku Tjhik M. Djohan
Alamsjah, yaitu Teuku M. Hasan, Teuku M. Saleh dan T. Abubakar serta
putrinya, Potjut Ramlah, Potjut Fatimah Zohra, Potjut Maimunah dan Potjut
Aminahdapat menyesaikan pendidikannya di ELS–Kutaraja dengan baik.
Kecuali Potjut Ramlah, putri tertuanya yang calon permaisuri uleebalang
Keureutau, seluruh putra-putri Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah menyelesaikan
pendidikan menengah di HBS di kota Medan.
Kemudian putra tertuanya, Teuku Muhammad Hasan, putra mahkota nanggroe
Peusangan, melanjutkan pendidikan tingginya di RHS (sekolah tinggi hukum) di
Batavia atau Betawi. Studen RHS ini belajar dengan tekun dan dia menjauhi
hiruk-pikuk kehidupan politik yang sedang bergelora di tanah Jawa. Ayahnya
membekalinya f.200,- setiap bulan. Untuk kenyamanan tinggal dan belajar, putra
Teuku Tjhik Peusangan ini membeli sebuah rumah sederhana seharga f. 200,- di
Jalan Gereja Theresia.

Pada akhir minggu kediaman Teuku M. Hasan menjadi tempat berkumpul kawan-
kawannya. Diantara kawannya yang sering bertandang adalah Teuku Jusuf Muda
Dalam, putra uleebalang Bambi-Unoe yang sedang belajar di Landbouwschool-
Bogor. Putra uleebalang Bambi-Unoe ini hanya mendapat f.15,- perbulan dari
ayahnya. Terdesak oleh kebutuhan hidup sehari-hari, putra uleebalang Bambi-
Unoe sering minta pinjam uang pada putra Teuku Tjhik Peusangan yang hidup
dalam kecukupan.
Tentu saja kebiasan anak manusia yang sulit dihilangkan hinggap pula pada anak
muda studen Landbouwschool itu, yaitu mudah meminjam sulit melunasi. Satu
saat Teuku Jusuf Muda Dalam ditegur keras oleh Teuku M. Hasan, karena
kebiasan buruknya yang tak mau melunasi hutang. Peristiwa ini menjadi
kenangan pahit bagi studen Landbouwshool itu. Akhirnya peristiwa ini merubah
jalan hidup Teuku Jusuf Muda Dalam. Dirundung rasa malu yang sangat dalam
karena kemiskinannya, dia bertekad akan mengumpulkan uang sebanyak-
banyaknya.
Usai belajar di Landbouwschool, tanpa banyak pertimbangan dia memutuskan
untuk belajar ilmu dagang di Handelshogeschool di Rotterdam-Belanda. Dia ingin
membuktikan, bahwa ia mampu mengumpulkan uang sebanyak banyaknya. Di era
Presiden Soekarno, Jusuf Muda Dalam terpilih menjadi direktur utama Bank
Negara Indonesia 1946. Mendengar Teuku M. Hasan telah manjadi pegawai BNI
1946 di Medan, maka Jusuf Muda Dalam segera melucur ke Medan.

Sungguh diluar dugaan, Teuku M. Hasan, putra Teuku Tjhik Peusangan yang
sudah ternista oleh kaum ulama PUSA, menjadi sasaran dendam kesumat Jusuf
Muda Dalam. Ketika berhasil menjumpai Teuku M. Hasan, saat itu
juga dipecatnya putra uleebalang Peusangan itu dari BNI 1946. Dalam keadaan
lunglai putra mahkota nanggroe Peusangan, yang hidup flamboyan di era Hindia
Belanda, kembali ke asalnya, keluarga besar Peusangan. Itulah hasil pergaulannya
dengan seorang studen Landbouwschool-Bogor.
Akan hal rumahnya di Jalan Gereja Theresia, Weltervreden (daerah elite
Menteng–Jakarta), menjelang pendaratan tentara Jepang di Jawa, dihadiahkannya
kepada Teuku Jusuf – cucu uleebalang Seuleumak, kerabat iparnya Teuku Tjhik
M. Basjah Keureutau. Sayang rumah ini dijual oleh Teuku Jusuf Seuleumak,
studen GHS (sekolah dokter Belanda), pada masa penjajahan Jepang. Padahal di
era Orde-Baru rumah ini bernilai tak kurang dari satu juta dollar Amerika Serikat.

Seorang kakak perempuan Teuku M. Hasan, Potjut Fatimah Zohra melanjutkan


pelajaran di Sekolah Guru Tinggi di Lembang–Bandung. Adik perempuan
lainnya, Potjut Maimunah belajar di Sekolah Akademi Guru –PAMS. Potjut
Maimunah, semasa belajar di HBS–Medan, merasa perlu memperbaiki bahasa
Jermannya. Maka, dia memilih kost pada sebuah keluarga orang Jerman bernama
Schipper. Selama belajar di HBS dia mencatat pengeluaran bulanannya. Untuk
uang sekolah f.22.50, untuk kost f.50, untuk uang saku f.10, total pengeluaran
minimal f.82.50. Sungguh berat beban yang harus dipikul oleh Teuku Tjhik
Muhammad Djohan Alamsjah untuk membiayai ke 7 orang putra-
putrinya. Walaupun demikian, Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah melangkah
terus. Dirangkulnya seorang kemenakannya yang bernama Teuku Abdul Aziz.
Kemenakannya itu di dorongnya maju kemedan juang yang baru.
Disekolahkannya pemuda itu di HIS, kemudian T.A. Aziz melanjutkan studi di
MULO Kutaraja dan AMS–B di Jogyakarta.
Sesuai dengan kebanggaan pada zaman itu, putra-putra uleebalang Aceh dan
kerabatnya berlomba menembus benteng aturan Belanda untuk menjadi kadet
Akademi Militer Kerajaan Belanda di Breda, Negeri Belanda. Pada masa Hindia
Belanda ada aturan tak tertulis, orang Aceh tak diperkenankan masuk militer
Belanda. Apalagi masuk KMA Breda, di negeri Belanda. Walaupun demikian,
kaum bangsawan muda Aceh tetap berusaha mereguk ilmu militer Belanda
sedalam-dalamnya. Tentu saja target terakhirnya orang bangsawan ini adalah
merebut kembali kemerdekaan tanah Aceh.

Terbawa oleh arus zamannya setamat AMS di Jogyakarta, Teuku Abdul Aziz
bersama 3 orang putra bangsawan Aceh lainnya, yaitu: Teuku Teungoh Hanafiah,
putra Teuku Muda Jusuf, uleebalang Simpang Ulim, Teuku Akbar, putra seorang
uleebalang didaerah pantai barat Aceh, dan Teuku Jusuf, cucu Teuku Bentara
Seuntang uleebalang Seuleumak. Keempat mereka menempuh ujian masuk KMA
(Koninklijke Militairie Academie) di Breda. Semua perintang dalam ujian itu
dapat dilalui putra bangsawan itu dengan hasil sangat memuaskan. Apakah masih
ada alasan “Panitia Ujian Seleksi” masuk KMA itu menolaknya? Secara
profesional dan administratif, jawabnya tidak. Alhasil ke-4 orang pemuda Aceh
itu diterima menjadi kadet KMA. Hasil ini sungguh mengejutkan bagi putra-putra
terbaik Aceh itu, maka meledaklah kegembiraan mereka.
Jenderal Berenschot, panglima KNIL (tentara Hindia Belanda) dengan tenang
masuk ke ruang kerjanya, di Markas Besar KNIL, di Bandung. Ajudannya telah
menyiapkan laporan rahasia dari Kantor BB (departemen dalam negeri Hindia
Belanda) di meja panglima KNIL itu. Jenderal Berenschot membaca seluruh
laporan itu dengan teliti, kasus demi kasus. Sungguh terperanjat Jenderal KNIL
itu. Lebih terperanjat lagi dibuatnya, ketika menyaksikan bocah Aceh -mantan
tawanannya yang saat itu berumur 8 tahun- lulus ujian kadet KMA. Dipendamnya
dilubuk hati terdalam segala pengalaman pahit di medan pertempuran Aceh.
Terlintas dibenaknya, Angkatan Perang Kerajaan Belanda di masa akan datang
harus berhadapan lagi dengan orang muda reinkarnasi Teuku Umar, sang
pahlawan Kerajaan Aceh. Walaupun demikian, ajudannya diperintahkannya untuk
mempersilahkan ke-4 orang anak muda Aceh itu masuk ke ruang kerjanya.

Dengan kesopanan seorang Jenderal Kerajaan Belanda, Jenderal Berenschot


mempersilahkan ke-4 orang putra bangsawan Aceh itu untuk mengambil tempat
duduknya masing-masing di hadapan meja kerjanya. Pembicaraanpun dibukanya,
Jenderal Belanda itu atas nama Angkatan Perang Hindia Belanda dan atas nama
Sri Ratu Belanda mengucapkan kata-kata terima kasihnya atas kesediaan mereka
bergabung dengan angkatan perang Kerajaan Belanda, serta mengucapkan selamat
atas kelulusan mereka menjadi kadet KMA–Breda di Negeri Belanda.
Pada akhir ukiran kata-kata yang indah itu, Jenderal Berenschot menutup dengan
kalimat pendek yang sangat menyejukan bagi Kerajaan Belanda. Ledakan kalimat
pendek itu, sungguh bagaikan sejuta kali kekuatan letusan Gunung Krakatau
tahun 1883 bagi ke-4 bangsawan muda Aceh itu. Seluruh impian cucu Teuku
Tjhik Sjamaun bersama ke 3 bangsawan Aceh itu, laksana terlempar kesisi kursi
pemilik alam semesta dilapisan langit ke-7.
Panglima KNIL itu berkata: “Sungguh sayang, saya terpaksa menyatakan dengan
berat hati, tuan-tuan Teuku Abdul Aziz, Teuku Teungoh Hanafiah, Teuku Akbar,
Teuku Jusuf, tidak dapat kami terima di Akademi Militer Kerajaan Belanda”.
Dihelanya dalam-dalam nafasnya, kemudian disambungnya kata-kata yang
terputus oleh rasa lelahnya . “Karena tuan-tuan ber ‘BANGSA ACEH’, itu saja
alasannya”. “Kecuali satu hal, jika tuan-tuan dapat memperoleh surat jaminan
tertulis dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda, maka tuan-tuan akan kami terima
di Akademi Militer Kerajaan Belanda di Breda”.
“Walaupun demikian”, sambung Jenderal Belanda itu lagi. “Tuan-tuan dapat
diterima di sekolah tinggi kedokteran, atau hukum, atau pertanian, ataupun
pamongpraja”. Jenderal Berenshot menyudahi pembicaraannya dengan penuh
kesopanan Belanda: “Saya sangat senang telah bertemu dengan tuan-tuan hari ini,
dan saya menunggu dengan sangat jaminan tertulis untuk tuan-tuan dari Gubernur
Jenderal Hindia Belanda”.

Dalam keadaan gontai ke-4 orang anak muda Aceh itu keluar dari kamar kerja
panglima KNIL itu. Dengan bibir gemetar ke-4 anak muda itu segera menelpon
handai-tolannya masing–masing, melaporkan hasil ujian seleksi masuk KMA di
Breda. Mereka mendesak kaum kerabatnya masing-masing untuk datang
menghadap Gubernur Jenderal Hindia Belanda, untuk mendapat rekomendasi
masuk KMA-Breda bagi mereka.
Kecuali Teuku Tjhik Peusangan, seluruh kerabat uleebalang Aceh yang putranya
tergila-gila akan kadet KMA-Breda itu, menjawab singkat permintaan putranya
itu: “Apakah kamu anakku akan mati kelaparan, kalau tidak menjadi serdadu
Belanda?”. Kerabat uleebalang Aceh sangat menginsafi posisinya masing-masing
berhadapan dengan musuh bebuyutannya itu. Mereka tidak mau larut dalam buih
sopan-santun Belanda.
Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah yang rendah hati itu dan sudah
bertekad mengabisi Belanda dengan ilmunya sediri, segera berusaha memenuhi
permintaan T.A. Aziz – kemenakannya itu. Gayungpun bersambut, Teuku Tjhik
Peusangan datang menemui Dr. Van Aken. Permintaan Teuku Tjhik Peusangan
disambut baik oleh Gubernur Belanda di Aceh. Dr. Van Aken segera mengirim
surat kawat (telegram) rahasia kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda,
mengabarkan perihal permintaan Teuku Tjhik Peusangan, sekutu Belanda di
Peusangan.

Gubernur Jenderal Hindia Belanda bersama dengan beberapa penasehatnya


membahas dengan cermat surat kawat Dr. Van Aken yang juga menjabat anggota
Dewan Hindia. Akhirnya permintaan Teuku M. Djohan Alamsjah, sahabat pribadi
Dr. Van Aken, oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda diberi formula baru.
Permintaan Teuku Tjhik Peusangan tidak dinyatakan ditolak. Dalam formula baru
ciptaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, T.A. Aziz dipaksa berangkat ke kota
Sukabumi, menjadi kadet Akademi Polisi Kerajaan Belanda. Artinya, Akademi
Militer Belanda tetap tertutup bagi bangsa Aceh.
Jenderal Berenschoot, Panglima KNIL merasa sangat puas, karena dapat
menyingkirkan ke-4 orang muda bangsawan Aceh, musuh potensial Kerajaan
Belanda dari arena gudang ilmu militer. Sungguh sayang, rasa puas sang jenderal
tak dapat berlangsung lama. Tanpa terduga seorang bangsawan Aceh lainnya
berhasil menyusup ke kamar tidurnya. Bangsawan muda Aceh itu adalah, Teuku
Tjhik Ali Akbar -uleebalang Kaway XVI- Aceh Barat, murid OSVIA Bandung.

Dengan senyum pahit, Teuku Tjhik Ali Akbar terpaksa diterimanya menjadi
menantunya. Rupanya putri sang jenderal yang dibesarkan dalam medan
pertempuran militer Belanda di wilayah Aceh Barat, sudah tak dapat lagi
melepaskan diri dari kenikmatan menu para gerilyawan Kerajaan Aceh. Akhirnya,
ketika serdadu Jepang mendarat di pantai Barat Aceh tahun 1942, menantu
Jenderal Belanda ini menjadi tumbal kebengisan serdadu Jepang. Sayed
Abubakar, kader PUSA yang menjadi anggota Fujiwara Kikan memberi petunjuk
khusus kepada serdadu Jepang untuk mengantarkan uleebalang Kaway XVI
menemui Sang Penciptanya di langit ke-7.
Seorang uleebalang lain di pantai barat Aceh, uleebalang nanggroe Trumon
(Bakongan) juga ikut tergaet noni Belanda. Maka, noni Belanda itupun menjadi
isteri uleebalang Trumon (Bakongan). Kenyataan beberapa uleebalang Aceh
beristerikan perempuan Belanda tentu saja menjadi bumerang bagi kaum
uleebalang. Untuk meningkatkan kebencian rakyat Aceh terhadap kaum
uleebalang, dalam kurun waktu hegemoni kaum ulama PUSA tahun 1945-1950,
yel-yel bertajuk uleebalang = menantu Belanda berkumandang dengan dahsyat di
seluruh pelosok Aceh. ***
Dengan bekal ilmu pengetahuan yang diperoleh dari Belanda. Maka, Teuku Tjhik
Muhammad Djohan Alamsjah dengan langkah yang ringan, tanpa membuang
waktu langsung mengayunkan langkah berikut ke proyek besarnya. Yaitu,
mencerdaskan seluruh rakyatnya, rakyat nanggroe Peusangan.

Rakyatnya ditariknya segera dari dalam gua kegelapan serta kebodohan dengan
obor ilmu pengetahuan Belanda. Pendidikan rakyat model Belanda
dikembangkannya. Secara bertahap dan pasti putra-putri rakyatnya
dicerdaskannya melalui pendidikan formal. Gedung sekolah didirikannya,
walaupun hanya dalam kondisi serba darurat, sesuai dengan uang yang berdering
dikoceknya. Maka dalam waktu singkat berdirilah sekolah-sekolah yang sangat
dasar di Matang Glumpang Dua. Orang Belanda menyebut sekolah itu volkschool.
Orang Aceh menamainya -sekolah rakyat- kelas 3. Pemerintah Hindia Belanda di
Aceh dengan senang hati membantu mewujudkan mimpi indah Teuku Tjhik M.
Djohan Alamsjah itu.
Kelangkaan tenaga guru memaksa uleebalang Peusangan mencari jalan pintas.
Guru-guru diimport dari Negeri Minangkabau yang sudah lebih dahulu maju
dalam pendidikan. Orang Minangkabau pertama yang membawa obor ilmu-
pengetahuan Belanda ke Peusangan adalah pasangan suami isteri guru, Sutan
Mangkudun dan isterinya Encik Rukiah. Suami-isteri guru ini berasal dari
Maninjau. Dengan penuh dedikasi kedua suami-isteri guru ini mengajar
membaca-menulis, ilmu berhitung, dan bahasa Melayu kepada anak-anak bangsa
Aceh di Peusangan. Selang beberapa tahun kemudian, uleebalang Peusangan
meminta kepada Sutan Mangkudun untuk mendirikan sekolah lanjutan bagi anak-
anak tamatan vervolkschool.
Melalui kesungguhan orang Maninjau suami-isteri itu, muncul lagi di Peusangan
sekolah baru, vervolkschool – sekolah rakyat kelas 5. Untuk memenuhi tenaga
guru yang sangat mendesak, uleebalang Peusangan itu mengirim putra-putra
Peusangan tamatan volkschool, belajar disekolah guru di kota Padang. Sementara
itu muncul seorang guru yang sudah siap pakai, dia tamatannormalschool (sekolah
guru berbahasa Melayu) di Pematangsiantar, namanya Sjamaun Gaharu.
Uleebalang Peusangan sangat senang dibuatnya, dan langsung menempatkannya
menjadi guru volkschool di Matang Glumpang Dua.
Guru muda itu sangat kreatif dalam mendidik anak muridnya yang hampir
seluruhnya terdiri dari anak petani. Melihat prestasi kerja guru muda itu yang
sangat menonjol, maka Sutan Mangkudun mengusulkan kepada uleebalang
Peusangan, supaya Sjamaun Gaharu diberi kesempatan belajar
diLandbouwschool di Bogor. Teuku Tjhik Peusangan sangat setuju dengan usul
Sutan Mangkudun yang bijak itu. Orang Minangkabau itu menambahkan catatan
khusus, bahwa ilmu pertanian yang diperoleh di Landbouwschool itu dapat
ditularkan kepada anak-anak didiknya. “Bukankah Ampon Tjhik berkehendak
membangun proyek raksasa, membangun pertanian rakyat Peusangan secara
besar-besaran?”, tambah Sutan Mangkudun menguatkan usulnya itu.

Mengajak putra-putri rakyat Peusangan untuk bersekolah tidak selalu mulus.


Sebagian rakyatnya menyatakan keberatannya untuk mengizinkan anaknya belajar
disekolah kafir ini. Satu persatu orang tua murid tersebut diyakinkan oleh Teuku
Tjhik Peusangan akan manfaat ilmu pengetahuan, guna melenyapkan kebodohan.
Uleebalang itu menambahkan lagi, setelah kebodohan lenyap baru kemakmuran
dan kesejahteraan datang menyongsong rakyat Peusangan. Pendekatan yang
dilakukan Teuku Tjhik Peusangan sangat menyentuh hati rakyatnya. Namun
kemudian giliran anak-anak orang Aceh yang menyatakan penolakannya, mereka
melarikan diri dari sekolah.
Teuku Tjhik Peusangan dengan penuh tawakal berusaha menghadapi tingkah-
polah bocah-bocah Peusangan. Diantara bocah liar ini terdapat seorang bocah
yang terlalu liar, namanya Muhammad Insya. Dia anak salah seorang petani di
Matang Glumpang Dua. Dijinakkannya anak terliar orang desa itu, serupa dengan
cara menjinakkan sapi-liar Aceh yang baru tertangkap dihutan rimba. Setiap hari
bocah itu dijemput paksa oleh opas uleebalang Peusangan. Ditangannya
dipasangkan borgol, sebelah lagi borgol dipasangkan pada lengan opas itu. Mata
si bocah itu ditutup rapat dengan kain selendang berwarna hitam. Dalam keadaan
mata tertutup dan tangan terborgol bocah Aceh itu setiap hari diantar
kesekolahnya. Sesampai di sekolah sang bocah duduk dibangkunya didampingi
pengawalnya, opas uleebalang itu.
Waktu berjalan terus, dan si bocahpun berangsur menjadi jinak, seperti sapi liar
Aceh yang akhirnya terjinakan oleh waktu. Diluar dugaan, Muhammd Insya, anak
liar ini akhirnya menjadi murid terpandai dikelasnya. Sutan Mangkudun, gurunya
sungguh terperangah dibuatnya. Atas usul gurunya, anak liar yang cerdas itu,
disekolahkan oleh Teuku Tjhik Peusangan ke sekolah berbahasa Belanda.
Kemudian atas jaminan dan ongkos Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah pribadi,
diapun menjadi studen di sekolah Akademi Kepolisian Kerajaan Belanda di
Sukabumi, mengikuti jejak-kemenakan uleebalangnya- Teuku Abdul Aziz. Di
awal revolusi kemerdekaan Indonesia, Muhammad Insya menjadi Panglima
BKR/TKR/TNI pertama di Kresidenan Jambi. Kemudian dia ditunjuk menjadi
Kepala Kepolisian Kresidenan Aceh pada tahun 1946.

Merasa sudah cukup lama bekerja untuk Teuku Tjhik Peusangan, dan anak-
anaknya sendiri sudah tumbuh besar, maka guru Sutan Mangkudun
memberanikan diri untuk pindah kembali ke negeri Minangkabau. Uleebalang
Peusangan itu sungguh terperanjat dibuatnya. Berbagai alasan dikemukakan guru
Sutan Mangkudun, dan alasan yang paling utama adalah anak-anaknya butuh
bersekolah di sekolah berbahasa Belanda. Dengan berbagai alasan guru itu tetap
dibujuk oleh uleebalang Peusangan untuk bekerja mencerdaskan anak-anak
pribumi nanggroe Peusangan. Hati suami-isteri guru itu sungguh luluh dibuatnya.
Alibi keluarga Sutan Mangkudun sungguh sangat mengilhami uleebalang
Peusangan itu. Tak lama kemudian Teuku Tjhik Peusangan mendesak Gubernur
Belanda di Aceh untuk mendirikan HIS, sekolah dasar berbahasa Belanda, di kota
Bireuen yang banyak dihuni tentara Belanda. Kini anak-anak kecil yang selama
ini harus bersusah payah ke HIS Lhok Seumawe dengan kereta api ASS yang
kuno itu, dapat belajar dengan nyaman di HIS Bireuen. Anak-anak guru Sutan
Mangkudun juga belajar di sekolah Belanda itu. Akhirnya suami-isteri guru yang
penuh dedikasi dan sangat profesional itu menghabiskan seluruh sisa umurya di
Peusangan. Dan Sutan Mangkudun beserta isterinya Encik Rukiah dimakamkan di
nanggroe Peusangan.
Setelah Teuku Tjhik Peusangan merasa dirinya sudah mulai berhasil membimbing
rakyatnya keluar dari gua kegelapan dan kebodohan dengan menggapai ilmu
duniawi orang Belanda walau dalam kadar yang sangat minimal, maka uleebalang
Peusangan itu berusaha mengembalikan marwah-martabat bangsa Aceh melalui
ilmunya sendiri, ilmu dunia-akhirat, yaitu ilmu agama Islam.
Seluruh ulama nanggroe Peusangan dirangkulnya, dan diajaknya menyokong
mendirikan sekolah pendidikan agama Islam. Bagaikan tarikan magnit raksasa,
dalam sekejap seluruh rakyat nanggroe Peusangan tersedot keterpihakkannya oleh
ajakan uleebalang dan ulamanya membangun kembali syiar Islam di Peusangan.
Dalam waktu singkat berdirilah sebuah gedung sederhana, tempat lembaga
pendidikan formal agama Islam mewujudkan cita-citanya di Matang Glumpang
Dua, ibu kota nanggroe Peusangan.

Lembaga pendidikan ini diberi nama Al Muslim. Dalam upacara yang cukup
meriah pada tahun 1929, Perguruan Islam Al Muslim tersebut dibuka resmi oleh
uleebalang dan ulama-ulama di nanggroe Peusangan. Dalam kemeriahan upacara
itu, dengan penuh keceriaan tampil seorang putri berumur 14 tahun yang cantik
jelita, memotong pita peresmian Perguruan Islam Al Muslim. Putri jelita itu
adalah Potjut Ramlah, putri sulung Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah.
Berbeda dengan Perguruan Normaal Islam milik kaum PUSA di Bireuen yang
lenyap ditelan oleh waktu, Perguruan Islam Al Muslim berkembang dengan baik.
Bangunan barupun perlu terus ditambah untuk memenuhi tuntutan anak didik
yang semakin bertambah banyak. Derajat perguruan Al Muslim inipun terus
meningkat hingga sekarang ini.
Dengan berbekal ilmu pengetahuan duniawi milik Belanda dan ilmu duniawi-
ukhrawi Islamnya orang Aceh, Teuku Tjhik Peusangan memberanikan dirinya
untuk mengajak rakyat Peusangan mengarungi kehidupan nyata untuk mencari
nafkah yang halal. Maka, roda ekonomi rakyat harus dihidupkan kembali.
Perhatian utama ditujukan ke bidang pertanian rakyat.
Pertanian model onderneming (perkebunan) yang telah mencelakakan rakyat
Aceh di nanggroe Tamyang dan nanggroe Langsa dijauhinya. Seluruh rakyat
Peusangan digugahnya untuk memperluas area persawahan. Ternyata persawahan
yang luas menyedot air yang sangat banyak pula. Persedian air untuk persawahan
tak mencukupi lagi. Melihat kenyataan ketidak mampuan masyarakat Peusangan
untuk memecahkan masalah perairan bagi sawah mereka yang sangat luas itu,
Teuku Tjhik Peusangan terpaksa berpaling pada penguasa Hindia Belanda.

Ternyata Belanda juga sangat senang dengan proyek raksasa uleebalang


Peusangan itu. Belanda langsung mendatangkan tenaga ahli persawahannya dari
Pulau Jawa. Mereka ditugaskan mendampingi uleebalang Peusangan
memodernisir pertanian rakyat Peusangan. Soko guru persawahan, yaitu dam
(bendungan) dan irigasi (lueng) untuk mengatur aliran air Krueng Peusangan
dibangunnya.
Hingga kini buah tangan Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah beserta
rakyatnya itu masih menjadi monumen abadi untuk nanggroe Peusangan. Proyek
persawahan nanggroe Peusangan sangat sukses, dan produksi padi sangat
melimpah. Nanggroe Peusangan menjadi lumbung padi tanah Aceh. Dr. A. Ph.
van Aken, Gubernur Belanda di Aceh (1932-1936) sangat senang akan
keberhasilan uleebalang Peusangan itu memakmurkan rakyatnya.
Gubernur Belanda itu menyebut Peusangan anggota VIER P (empat P) tanah
Aceh, yaitu P pertama adalah nanggroe Peureulak yang terkenal keberhasilan
petroleumnya, P kedua – nanggroe Pase yang terkenal dengan produksi kopranya,
P ketiga – nanggroe Pidie dengan produksi ikannya, dan P keempat adalah
nanggroe Peusangan dengan produksi padinya.
Usai keberhasilan meningkatkan produksi padi, uleebalang Peusangan mengajak
rakyatnya untuk bergiat dalam agro bisnis buah-buahan. Merasakan nikmatnya
deringan ringgit emas berdering dikantongnya dari hasil produksi padi, rakyat
Peusangan dengan suka-cita menyambut gagasan uleebalangnya. Sekali lagi
Teuku Tjhik Peusangan berpaling ke penguasa Belanda di Aceh untuk membantu
rakyat Peusangan.
Penguasa Belanda dengan senang hati memenuhi keinginan uleebalang Peusangan
itu. Gubernur Belanda di Aceh telah menaikkan derajat Teuku Tjhik Peusangan
menjadi, sahabatnya. Maka, dalam waktu singkat berdatangan ahli pertanian dari
Bogor, Jawa Barat atas perintah penguasa Belanda di Batavia. Penyuluh pertanian
itu membawa segala bibit unggul buah-buahan yang dikehendaki uleebalang
Peusangan itu.
Waktupun berlalu terus, dan hingga hari ini nanggroe Peusangan dipenuhi pohon
buah-buahan sawo, manggis, mangga yang berlimpah. Bahkan buah jeruk Bali,
bila di Jakarta berharga mahal, maka di Peusangan hanya dijadikan bola-sepak
anak-anak petani gurem. Untuk menunjang keberhasilan pertanian rakyat,
perniagaan digiatkannya. Pusat perniagaan dan ruko (rumah-toko) bermunculan
diberbagai pelosok Peusangan. Hari pasar model Minangkabau usulan guru Sutan
Mangkudun dipraktekkan diseluruh nanggroe Peusangan. Maka, kota Bireuen
muncul menjadi pusat perdagangan terpenting di pantai utara Aceh.

Seiring dengan invasi Jepang ke negeri Tiongkok, maka imigran Tionghoa baik
kaya maupun miskin membanjiri berbagai pelosok nanggroe Peusangan untuk
mendapatkan perlindungan dan nafkah.
Usai mengantar rakyatnya ke lubuk kemakmuran duniawinya, dengan langkah
pasti Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah mengantarkan rakyat Peusangan
ke gerbang rumah Tuhan, menuju ukhrowi. Uleebalang ini mengajak rakyatnya
kembali mendekatkan diri kepada Khaliknya, dan mensyukuri nikmat yang
dianugrahi Sang Maha Pencipta alam semesta itu.
Dengan kemakmuran yang telah dinikmatinya, rakyat Peusangan bangkit
membangun rumah ibadahnya. Mesjid besar dan kecil serta surau barupun
bermunculan diberbagai pelosok nanggroe Peusangan. Mesjid dan surau lamapun
dipugar, sehingga membuat uleebalang-uleebalang ditanah lain sungguh
terperangah.
Mereka juga mencoba meraih keberhasilan yang telah dicapai nanggroe
Peusangan. Caranya, para uleebalang itu mengirim puteranya untuk dididik oleh
Teuku Tjhik Peusangan. Maka, jadilah uleebalang Peusangan tutor (guru pribadi)
dalam ilmu pemeritahan dan politik Aceh bagi putra para uleebalang Aceh
lainnya.
Kurikulum sekolah model uleebalang Peusangan sungguh sangat khas. Setiap hari
usai sholat subuh putra-putra uleebalang dibawa ketengah sawah, diajaknya
membajak sawah bersama-sama meniru rakyat Peusangan yang sedang
mengerjakan sawahnya sendiri. Azan sholat dzuhur memanggil, pelajaran
bersawah bagi putra-putra dihentikan sementara. Usai sholat dzuhur dan makan
siang dengan cara petani yang sangat sederhana bersama Teuku Tjhik Peusangan,
murid dan guru itu berkumpul lagi membahas pelajaran berikutnya.
Dalam pelajaran ini sang guru memperlihatkan cara menebang dan memotong
pohon bambu. Dengan berderai air mata dan bermandikan keringat para putra
uleebalang yang telah menjadi anak manja itu, terpaksa mempraktekkan ilmu
yang diberikan oleh gurunya itu. Tak lupa pula diajarkan cara menuai dan
menumbuk padi. Bila ada kegiatan menggali dan memperbaiki irigasi sawah,
anak-anak manja itu diikutkan serta bekerja bersama rakyat Peusangan. Usai
sholat Insya murid dan guru berdiskusi membahas bahan pelajaran yang telah
dikerjakannya.
Sebelum diskusi ditutup menjelang waktu tidur malam, Teuku Tjhik Peusangan
selalu bertanya kepada murid-muridnya itu: “Apakah ampon-ampon lelah
mengerjakan latihan tadi siang? Dengan serempak para muridnya menjawab :
“Ya, Ampon Tjhik, kami sungguh lelah”. Sang guru melanjutkan: “Oleh karena
itu, bila ampon-ampon nanti sudah menjadi uleebalang, jangan menyuruh rakyat
nanggroe ampon-ampon semena-mena”. Itulah salah satu inti pelajaran ilmu
pemerintahan dan politik dari Teuku Tjhik Peusangan yang hingga kini masih
dikenang oleh rakyat Peusangan dan menjadi romantika sejarah sepanjang masa
untuk rakyat Peusangan sampai anak cucu kelak.

B. TGK AWE GEUTAH


kehadiran Teungku Awe Geutah ke Aceh tidak terlepas bila ditinjau hubungan
ulama-ulama pada abad ke -17 dan 18. Nama asli Teungku Awe Geutah adalah
Abdurrahman Bawarith Al-Asyi beliau adalah anak syeikh Jamaluddin Al-
Bawaris, yang sampai saat sekarang ini seluruh keturunan Teungku Awe Geutah
masih berkediaman disekitar kuburan beliau di Awe Geutah, Kecamatan
Peusangan.Berawal dari sinilah syiar Islam berkembang ke seluruh Seuramoe
Makkah yang meniti keilmuan di antaranya tafsir, hadist, Fiqah dan tasawof.
Disisi lain adek beliau menetap di Samalanga, hingga akhirnya mendirikan sebuah
dayah Cot Meurak di Samalanga. Tgk Chik Awe Geutah yang nama aslinya
Syaikh ëAbdurrahim Bawarith al-Asyi adalah anak Syaikh Jamaluddin al-Bawaris
dari Zabid Yaman. Bersama adiknya Syaikh Abdussalam Bawarith al-Asyi, dan
tujuh ulama lain, di antaranya Teungku di Kandang dan Syaikh Daud Ar Rumi,
mereka berangkat ke Aceh.
Sampai sekarang, keturunan Chik Awe Geutah bermukim di sekitar kuburannya
di Awe Geutah, Peusangan. Dari wilayah itu beliau menyiarkan Isl‚m ke seluruh
pelosok Serambi Mekkah dengan berkonsentrasi pada ilmu tafsir, hadits, fiqah
dan tassauf. Sedangkan adiknya yang menetap di Samalanga, mendirikan Dayah
Cot Meurak di Samalanga.
Catatan sejarah, kedua cendekia muslim itu (Syaikh Abdurrahim dan Syaikh
Abdussalam) sebelum merantau ke kerajaan Aceh dititipkan oleh orangtua mereka
pada Ali ibn Az-Zain Al-Mizjaji di Zabid, Yaman yang kemudian belajar di
Mekkah dan Madinah. Pengajian beliau pada Syaikh Al-Mizjaji di Zabid, dapat
diketahui dari salah satu manuskrip di Awe Geutah. Terdapat catatan-catatan
sanad Al-Azkar dan Riyadh al-Shalihin karya Imam an-Nawawi tentang sanad
hadits pengalihan kiblat (hadits musalsal), dan juga di dalam silsilah ratib Haddad
yang terdapat di antara lembaran-lembaran manuskrip tersebut.
Prof. Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama menyebutkan, Syaikah Al-
Mizjaji ini juga guru dari Murthadha Az-Zabidi (wafat 1205 H), pengarang Taj
Al-ëUrus min Jawahir Al-Qamus dan Ithaf As-Saadah AlTaj Al-íUrus min
Jawahir Al-Qamus dan Ithaf As-Sadah Al-Muttaqin . Murthadha Az-Zabidi
kemudian merantau ke Mesir dan menjadi ulama terkemuka di sana.
Untuk mengetahui hubungan al-Mijazi dengan kedua Ulama besar ini, dapat
dilihat dalam satu naskah yang kini masih tersimpang di Awe Geutah; tertulis ì
Wa baíd, maka inilah sanad Al-Azkar dan Riyadh Ash-Shalihin bagi Al-Imam
Syaraf Ad-Din An-Nawawi Rahimahullah. Faqir kepada Allah, `Ali ibn Az-Zain
Al-Mizjaji, semoga Allah memanjangkan umurnya, berkata: sesungguhnya aku
telah meijazahkan ananda yang shalih, `Abd Ar-Rahim Al-Asyi sebagaimana
telah diijazahkan kepadaku keduanya (Al-Azkar dan Riyadh Ash-Shalihin)
Ayahanda, wali yang sempurna lagi menyempurnakan, dan Al-íArif bi-lLah, Az-
Zain bin Muhammad Al-Mizjajiî dan ini menjadi bukti sejarah menunjukkan
bagaimanan hubungan intelektual Aceh dengan para ulama besar di jazirah Arab.
Ijazah ilmu menjadi tradisi intelektual Isl‚m. Keharusan guru memberikan kepada
muridnya agar ilmu yang disebarkan oleh murid memiliki dasar yang kuat.
Pemberian Ijazah ini merupakan tradisi keilmuan di timur tengah yang sampai
sekarang masih dilakukan.
Bila ditelusuri pengakuan ijazah ilmu, maka sampai pada Chik Awe Geutah juga
mendapatkan sanad ilmu dari ulama besar, yang memiliki murid yang amat
dikenal di rantau Asia Tenggara, yaitu Ibrahim al-Kurani. Seperti pengakuan
berikut; ìWa baíd, maka sungguh telah di-ijazah-kan kepadaku oleh syaikhiy lagi
quduwwatiy, seorang yang utama dan sempurna, `Ali ibn Az-Zain Al-Mizjaji dari
Asy-Syaikh Mulla Ibrahim Al-Kurdi Al-Kuraniy.î Dari jaringan keilmuan ini,
maka dapat diketahui bahwa guru-guru al-Kurani adalah Ahmad Qushashi,
Ahmad Shinawi, dan `Abd Karim al-Kurani, yang mengembangkan tarekat
Shattariyyah di Haramayn. Karena itu, tidak mengejutkan jika Chik Awe Geutah
dan adiknya pengembang tarekat Syattariah di Aceh. Buktinya, di Awe Geutah
dan Samalanga para pengikut tarekat ini sangat banyak, untuk tidak menyebutkan
di beberapa wilayah Aceh lainnya.
Disebutkan setelah di Aceh, Chik Awe Geutah bersama adiknya Syaikh
Abdussalam menetap di Lamkabeu Seulimum Aceh Besar. Namun, Sultan Badrul
memintanya untuk pergi ke pantai timur karena di Aceh Besar telah ada Teungku
Chik Tanoh Abe yang berasal dari Baghdad dan pengembang tarekat
Syattariyyah. Syaikh Abdussalam memutuskan menetap di Cot Meurak
Samalanga. Dia akhirnya membuka Zawiyah di sana yang sampai sekarang masih
ada bukti sejarahnya. Adapun abangnya, Chik Awe Geutah ke Peusangan dan
membuka Zawiyah di Awe Geutah dengan berkonsentrasi pada pengajian
Alquran, hadis, fiqh dan tasawwuf. Samalanga dan Peusangan dan telah menjadi
pusat pendidikan dayah sampai hari ini.
Maka kita bisa memahami ilmu Isl‚m yang dikembangkan oleh para ulama
terdahulu sangatlah tidak mudah dan menuntut mujahadah yang amat besar. Ilmu
Isl‚m yang berkembang di Aceh saat ini, memang tidak terlepas dari jasa kedua
ulama besar ini, walaupun semangat mereka tidak begitu diperhatikan oleh
generasi Aceh sekarang. Minat untuk mencari ilmu Isl‚m memang sudah tidak
begitu popular, apalagi ingin mengembangkan ilmu-ilmu yang pernah disemaikan
oleh kedua ulama tersebut.
Sisi lain, hubungan Aceh dengan Haramayn tidak bisa dipandang sebelah mata.
Munculnya dayah-dayah di penjuru Aceh adalah sinar pengembangan ilmu Isl‚m
saat itu. Melihat dari kedatangan dan jaringan intelektual keislaman Chik Awe
Geutah dan adiknya, saya beranggapan bahwa ilmu merupakan hal yang sangat
penting bagi orang Aceh pada abad ke-17. Sultan selalu memanggil dan
memerintahkan ulama untuk aktif mengembangkan ilmu bagi rakyat Aceh.
C. HABIB BUGAK
Asal Usul Habib Bugak Al Asyi, Ulama Dermawan Pewakaf Tanah Abadi Untuk
Rakyat Aceh yang Berhaji di Mekkah. Habib Bugak Asyi telah mewariskan
kepada masyarakat Aceh harta berharga lebih 300 juta Riyal Saudi atau sekitar Rp
7,5 triliun“Apabila anak cucu Adam meninggal dunia, putuslah segala amal
kebaikannya kecuali tiga perkara, sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan doa
anak yang saleh,” (HR. Muslim no. 1631)
Musim Haji 1438 Hijriyah baru saja usai. Namun selalu ada cerita menarik dari
setiap penyelenggraan haji tiap tahunnya. Salah satunya adalah soal tambahan
bonus selain living cost khusus untuk jamaah Haji asal Provinsi Aceh. jika jemaah
Haji Indonesia sebelum berangkat ke Arab Saudi menerima uang saku (living
cost) sebesar Saudi Arabian Ryal (SAR) 1.500 atau sektar Rp 5,25 juta dari
komponen Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang telah dibayarkan,
jamaah asal Aceh akan menerima tambahan uang sebesar SAR 1.200 (Rp 4,2
juta)Saudi. Dana wakaf itu hanya diberikan kepada jemaah haji asal Aceh, yang
tahun ini memberangkatkan 4.357 orang ke Tanah Suci."Dua hari setelah jemaah
kita tiba di Makkah, maka nazir waqaf Baitul Asyi langsung berikan uang 1.200
riyal Arab Saudi per orang," ucap Koordinator Humas Panitia Penyelenggara
Ibadah Haji PPIH Embarkasi Aceh Rusli di Banda Aceh, Minggu (20/8) lalu,
seperti dikutip Antara.
Ketua PPIH Embarkasi Aceh Daud Pakeh menambahkan, pembagian dana wakaf
berlangsung di Maktab 37 di wilayah Misfalah, Makkah, Sabtu (19/8), dan
dihadiri Nazir Wakaf Baitul Asyi Prof Dr Abdurrahman Abdullah Asyi."Agar
proses pembagian lancar, maka jemaah diharuskan menunjukkan kartu Baitul
Asyi yang telah diberikan oleh panitia," tuturnya.Kok bisa, ada tambahan khusus
buat jamaah asal Aceh? Ternyata, keberuntungan buat jamaah asal Aceh tersebut
erat kaitannya dengan sejarah ulama Aceh di tanah suci.Adalah Habib Bugak Al-
Asyi, yang bernama lengkap Habib Abdurrahman Bin Alwi Al-Habsyi. Ialah
sosok darmawan yang telah mewakafkan tanahnya untuk dimanfaatkan warga
Aceh yang pergi berhaji atau menempuh pendidikan di tanah suci.
Habib Bugak asal Aceh yang datang ke Makkah tahun 1223 hijriah itu membeli
tanah sekitar daerah Qusyasyiah yang sekarang berada di sekitar Bab Al Fath
(antara Marwah dan Mesjid Haram). Saat itu, masa Kerajaan Ustmaniah.Namun,
kemudian, pemerintah Arab Saudi pada masa Raja Malik Sa’ud bin Abdul Azis,
melakukan pengembangan Masjidil Haram. Tanah wakaf Habib Bugak untuk
masyarakat Aceh terkena proyek tersebut. Rumah Habib Bugak digusur dengan
pemberian ganti rugi.
Badan pengelola tanah wakaf itu kemudian menggunakan uang tersebut untuk
membeli dua lokasi lahan yakni di daerah Ajyad sekitar, 500 dan 700 meter dari
Masjidil Haram. Kedua tanah ini kemudian menjadi aset wakaf.Lahan pertama
dengan jarak 500 meter dari Masjidil Haram dibangun hotel bintang lima dengan
kamar sekitar 350-an unit. Di lahan kedua dengan jarak 700 meter dari Haram,
dibangun hotel bintang lima dengan kamar sekitar 1.000 unit.
Dari keuntungan lainnya, Nazhir membeli dua areal lahan seluas 1.600 meter
persegi dan 850 meter persegi di Kawasan Aziziah. Tahun 2009 di kedua lahan ini
dibangun pemondokan khusus untuk jamaah asal Embarkasi Aceh.Hasil
keuntungan pengelolaan hata wakaf inilah yang sejak tahun 2006 dibagikan ke
jamaah haji asal Aceh. Pada tahun 2008, Pemerintah Aceh menerima Rp14,54
miliar dari Baitul Asyi sebagai uang pengganti sewa rumah bagi 3.635 jamaah
haji asal Aceh. Per jamaah mendapat sekitar Rp4 juta-an.
Asal Muasal Wakaf
Dua tokoh Aceh, Dr. Al Yasa’ Abubakar (Kepala Dinas Syariat Islam NAD) dan
Dr. Azman Isma’il, MA (Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh)
telah mengeluarkan surat pernyataan tentang asal muasal Waqaf Habib Bugak
Asyi.Menurut akta ikrar Waqaf yang disimpan dengan baik oleh Nadzir, waqaf
tersebut diikrarkan oleh Habib Bugak Asyi pada tahun 1222 Hijriyah (sekitar
tahun 1800Masehi) di depan Hakim Mahkamah Syar’iyah Mekkah. Di dalamnya
disebutkan bahwa rumah tersebut diwaqafkan untuk penginapan orang yang
datang dari Aceh untuk menunaikan haji, serta orang Aceh yang menetap di
Mekkah.
Dalam ikrar wakaf disebutkan, “Sekiranya karena sesuatu sebab tidak ada lagi
orang Aceh yang datang ke Mekkah untuk naik haji maka rumah wakaf ini
digunakan untuk tempat tinggal para pelajar (santri, mahasiswa) Jawi (nusantara)
yang belajar di Mekkah. Sekiranya karena sesuatu sebab mahasiswa dari
Nusantara pun tidak ada lagi yang belajar di Mekkah maka rumah wakaf ini
digunakan untuk tempat tinggal mahasiswa Mekkah yang belajar di Masjid
Haram. Sekiranya mereka ini pun tidak ada juga maka wakaf ini diserahkan
kepada Imam Masjid Haram untuk membiayai kebutuhan Masjidil Haram,”
Habib Bugak telah menunjuk Nadzir (pengelola) salah seorang ulama asal Aceh
yang telah menetap diMekkah. Nadzir diberi hak sesuai dengan tuntunan syariah
Islam.Pada tahun 1420 H (1999 M) Mahkamah Syar’iyah Mekkah mengukuhkan
Syekh Abdul Ghani bin Mahmudbin Abdul Ghani Asyi (generasi keempat
pengelola wakaf) sebagai Nadzir yang baru. Sejak tahun 1424 H (2004 M) tugas
Nadzir dilanjutkan oleh sebuah tim yang dipimpin anaknya bernama Munir bin
Abdul Ghani Asyi (generasi kelima) serta Dr. Abdul Lathif Baltho.
Siapa sebenarnya Habib Bugak Al-Asyi? Banyak orang Indonesia, bahkan warga
Aceh terutama generasi saat ini yang mungkin tak mengenal sosok ini. Apalagi,
tak banyak pula literatur yang menuliskan soal Ulama keturunan langsung Nabi
Muhammad Sahallallahu 'Alaihi Wa Sallam ini.Untuk mengetahu siapa sosok
sebenarnya Habib Bugak Asyi. sejak tahun 2007, Ustadz Hilmy Bakar Alhasany
Almascaty, Direktur Nasional Red Crescent telah membentuk tim peneliti untuk
mengungkap sejarah hidup dan perjuangan Habib Bugak. Di bulan Ramadan 1431
H lalu, ia juga sempat menemui langsung dengan Syekh Munir Abdul Ghani Ashi
yang menjabat Direktur Pengelola (Nadzir) Wakaf Habib Bugak di Mekkah.
Menurut Hilmi, Habib Bugak hanya nama samaran yang digunakan oleh Pewakaf
untuk menjaga keikhlasan hati dalam beribadah. Syekh Munir menyebutkan
Habib adalah gelar untuk Sayyid atau keturunan Rasulullah yang umum
digunakan di Mekkah pada masa itu, yakni sebelum berkuasanya Dinasti Ibnu
Saud, penguasa Kerajaan Saudi sekarang. Sementara Bugak Asyi adalah nama
sebuah daerah di Kerajaan Aceh pada tahun 1800 M lalu, ketika wakaf diikrarkan.
Sehingga adanya simpang siurnya sosok HabibAsyi ini, mulai ada oknum yang
merekayasa berbagai cerita untuk keuntungan pribadi.
Bugak Asyi dalam bahasa Arab artinya daerah Bugak dalam wilayah Aceh.
Dalam tulisan Arab, Bugak terdiri atas huruf:ba, waw, jim dan a’in sebagaimana
ditulis dalam ikrar wakaf, sementara dalam tulisan Arab-Melayu Aceh: ba, waw,
kaf, alif dan hamzah sebagaimana tertulis dalam Sarakata Sultan Kerajaan
Aceh.Maka harus ditelusuri sebuah wilayah, daerah, kampong atau mukim yang
bernama Bugak dengan huruf-huruf di atas dalam seluruh Aceh, terutama yang
termasuk dalam wilayah Kerajaan Aceh Darussalam pada sekitar tahun 1800-an,
atau tahun dibuatnya ikrar wakaf.
“Setelah penelitian, saya dan tim peneliti lebih cenderung memilih Bugak yang
masuk dalam wilayah Peusangan, Matang Glumpangdua, Kabupaten Bireuen,”
kata Hilmi.Dari sejarah, nama Bugak— jadi bagian Kecamatan Jangka—
dahulunya adalah sebuah pusat kota berdekatan dengan daerah pesisir Kuala
Peusangan dan Monklayu. Bugak menjadi pertemuan dari kedua kota pelabuhan
tersebut dan berkembang menjadi kota maju yang dapat dilihat bekas-bekas
peninggalannya hingga kini berupa rumah besar dan mewah serta toko tua yang
menjadi tempat tinggal para hartawan yang berprofesi sebagai tuan tanah,
saudagar, dan lainnya.
Menurut dokumen yang dikeluarkan Sultan Mansyur Syah bertahun 1278 H
lengkap dengan cop sikureng, disebutkan satu wilayah bernama Bugak menjadi
wilayah Kerajaan Aceh Darussalam. Di antara kata Bugak disebutkan pula
beberapa nama wilayah lain seperti Glumpang Dua, Kejrun Kuala, Bugak, Pante
Sidom, Peusangan, Monklayu dan lainnya. Sebagian nama-nama tersebut
memang masih eksis sampai kini dan menjadi bagian dari wilayah Kecamatan
Peusangan, Kecamatan Jangka, dan Kecamatan Gandapura yang terletak di sekitar
Matang atau Kabupaten Bireuen.

Keturunan di Bugak
Gelar Habib sejatinya hanya disematkan untuk ahlul bait (keturunan) Rasulullah
dari keturunan Sayyidina Husein bin Ali ataupun dari keturunan Sayyidina Hasan
bin Ali. Biasa juga disebut dengan Sayyid atau Syarief.
Gelar Habib biasanya hanya diberikan kepada para pemuka atau tokoh yang
memiliki pengetahuan serta keistimewaan dalam masyarakatnya. Di sekitar daerah
Bugak, terdapat banyak sayyid, terutama dari keturunan Jamalullayl, al-Mahdali,
Alaydrus dan mayoritasnya adalah Al-Habsyi. Keturunan Al-Habsyi sangat
mendominasi, terutama yang berasal dari sekitar Monklayu.
Menurut penelitian dan penelusuran, kebanyakan Sayyid di sekitar Bugak adalah
dari keturunan Al-Habsyi. Keturunan ini berasal dari Habib Abdurrahman bin
Alwi Al-Habsyi yang hingga saat ini sudah turun temurun menjadi delapan
generasi.
Menurut Urueng Tuha di sekitar Bugak, Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi
adalah seorang yang pertama membuka Bugak dan memiliki kedudukan terhormat
sebagai wakil Sultan. Hal ini diperkuat dokumen yang dikeluarkan Sultan
Mansyur Syah bertahun 1270 H yang menyebutkan dengan terang nama Habib
Abdurrahman dengan Bugak.
Menurut tradisi kaum Hadramiyin (bangsa Arab) yang datang ke Nusantara,
biasanya mereka memiliki kunyah (nama gelar) yang kadangkala dinisbatkan
kepada tempat tinggal ataupun makamnya seperti misalnya Sunan Bonang, Sunan
Ampel, Pangeran Jayakarta, Habib Chik Dianjong dan dikuti oleh ulama,
termasuk di Aceh seperti Maulana Syiah Kuala dan lainnya. Demikian pula
dengan Habib Abdurrahman, menurut tradisi memiliki nama gelar yang dikenal
oleh kaum keluarganya sebagai Habib Bugak, karena beliau tinggal di Bugak.
Hasil penelitian di sekitar Bugak dan wilayah yang berdekatan dengannya, tidak
ada seorang Habib yang melebihi kemasyhuran Habib Abdurrahman bin Alwi Al-
Habsyi. Beliau adalah Tengku Chik atau Tengku Habib dan kepercayaan Sultan
Aceh untuk wilayah Bugak dan sekitarnya yang memiliki wewenang
pemerintahan sekaligus wewenang keagamaan, yang jarang diperoleh seorang
pembesar sebagaimana tercantum dalam dokumen sultan tahun 1206 H dan
lainnya.
Adapun ikrar wakaf Habib Bugak di Mekkah terjadi pada tahun 1222 H.
Sementara dokumen Kerajaan Aceh yang ditandatangani oleh Sultan
Mahmudsyah pada tahun 1206 H dan dokumen Kerajaan Aceh yang
ditandatangani oleh Sultan Mansyur Syah pada tahun 1270 H menyebutkan
dengan tegas nama dan tugas Sayyid Abdurrahman bin Alwi atau Habib
Abdurrahman bin Alwi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Habib
Abdurrahman pernah hidup di Bugak sebagai orang kepercayaan Sultan Aceh
Darussalam antara tahun 1206 H sampai dengan tahun 1270 H, hampir
bersesuaian dengan tahun wakaf dibuat pada tahun 1222 H.
Setelah mewakafkan hartanya, Habib Bugak Asyi menunjuk Nadzir pertama
bernama Syeikh Muhammad Shalih bin Abdussalam Asyi yang diketahui dari
keturunan Ulama ternama Syeikh Abdullah al-Baid. Syeikh ini dan penerusnya
Syeikh Abdurrahim bin Abdullah al-Baid Asyi dikenal sebagai Tgk. Chik Awe
Geutah yang kompleks dayahnya masih terpelihara di Awe Geutah Peusangan,
Bireuen.
Tempat ini berdekatan dengan Bugak yang menjadi asal dari Habib Bugak Asyi.
Menurut catatan Rabithah Alawiyah Kerajaan Aceh, Syekh Abdullah al-Baid
adalah Ulama dari Mekkah yang datang serombongan bersama dengan Habib
Abdurrahman Al-Habsyi dari Mekkah, bertugas di Bandar Aceh Darussalam dan
kemudian menetap di sekitar daerah Bireuen atas titah Sultan Aceh Darussalam.
Hal ini sebagaimana disebutkan Sarakata Sultan Aceh yang tersimpan rapi pada
keturunan Habib Abdurrahman Al-Habsyi. Kemudian, Habib Abdurrahman Al-
Habsyi bermukim di Monklayu dan wafat di Bugak, sementara Syekh Abdullah
al-Baid bermukim di Awe Geutah mendirikan dayah dan wafat di sana.
Itulah sebabnya tidak mengherankan apabila Habib Bugak Asyi, setelah
mewakafkan hartanya kemudian menunjuk Nadzir dari kalangan ulama yang
sangat dekat hubungan dengannya, bahkan tinggal satu daerah yang berdekatan.
Menurut anak cucu Habib Abdurrahman Al-Habsyi, mereka memiliki hubungan
yang sangat dekat dengan Tgk. Chik Awe Geutah, bahkan memiliki hubungan
kekerabatan karena tali perkawinan. Fakta ini secara jelas menunjukkan siapa
sebenarnya Habib Bugak Asyi itu, yang tidak diragukan adalah seorang Habib
yang berasal dari Bugak yang berdekatan dengan asal Nadzir di Awe Geutah
Peusangan.
Selain mewakafkah hartanya, Habib Abdurrahman bin Alwi bin Syekh Al-Habsyi
atau Habib Bugak Asyi sejatinya juga salah seorang tokoh Aceh yang memiliki
peranan penting dalam sejarah rekonsiliasi masyarakat Aceh. Terutama saat
terjadinya ketegangan yang timbul pada awal abad ke 18 Masehi.Ketegangan tak
terlepas dari pemberhentian Sultanah Kamalat Ziatuddinsyah pada tahun 1699
yang digantikan oleh suaminya Sultan Badrul Alam Sayyid Ibrahim Syarif
Hasyim Jamaluddin Syah Jamalullayl (1699-1702) atas fatwa dari Ketua Mufti
Syarief Mekkah setelah wafatnya Mufti-Qadhi Malikul Adil Maulana Syiah
Kuala.Fatwa ini telah mengantarkan para Sayyid sebagai Sultan Aceh selama
hampir 30 tahun. Naiknya kembali keturunan garis Sultan asal Pasai dari
keturunannya di Bugis, Sultan Alaidin Ahmad Shah (1733) dan para pelanjutnya
telah menimbulkan kegusaran dan ketakutan dari keturunan para sayyid, terutama
keturunan dari garis Sultan yang dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik.Saat
imperialisme kolonial barat masuk ke Aceh, para tokoh sayyid di Aceh meminta
Syarief Mekkah yang masih memiliki otoritas keagamaan atas Aceh agar
mengirim para tokoh kharismatis, Habib dan Ulama yang dapat membawa
kedamaian dan rekonsiliasi masyarakat Aceh. Di antara utusan yang datang dari
Mekkah adalah Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi yang kemudian dikenal
dengan Habib Teuku Chik Monklayu, yang juga dikenal dengan Habib Bugak
Aceh, karena beliau tinggal di Pante Sidom, Bugak, Bireuen.Habib Abdurrahman
Al-Habsyi Bugak adalah seorang ulama faqih, sufi dan seorang bentara-laksamana
serta pemimpin masyarakat yang dipercaya oleh Sultan Aceh sebagai Teuku Chik
yang kekuasaannya terbentang dari desa-desa di sekitar Jeumpa, Peusangan,
Monklayu, Bugak sampai Cunda dan Nisam sebagaimana yang dituangkan dalam
surat keputusan Sultan Mahmudsyah dalam surat bertahun 1224 H (1800 M)

Menurut Syekh Munir, kini Habib Bugak Asyi telah mewariskan kepada
masyarakat Aceh harta wakaf berharga lebih 300 juta Riyal Saudi atau sekitar Rp
7,5 triliun. Aset yang ada berupa 2 buah hotel, Ajyad (Funduk Ajyad) bertingkat
25 sekitar 500 meter dari Masjidil Haram dan Menara Ajyad (Burj Ajyad)
bertingkat 28 sekitar 600 meter dari Masjidil Haram.Kedua hotel besar ini mampu
menampung lebih 7000 jamaah yang dilengkapi dengan infrastruktur lengkap.
Selain hotel, ada juga apartemen dan tanah kosong berjumlah lebih 10 unit.
Pada musim haji tahun 1427 lalu, Nadzir (pengelola) Wakaf Habib Bugak Asyi
telah mengganti sewa rumah jamaah haji asal Aceh selama di Mekkah sebesar
sewa yang telah dibayar Pemerintah Indonesia kepada pemilik pemondokan atau
hotel yang ditempati para jamaah haji asal Aceh. Besarnya sekitar antara SR 1.100
sampai SR 2.000, dengan jumlah total Rp 13,5 milyar rupiah.Nadzir Waqaf Habib
Bugak juga sedianya akan membangun Kompleks Pemondokan Haji yang mampu
menampung 5.000 jamaah yang berasal dari Aceh. Hasil wakaf juga digunakan
untuk menyewakan beberapa bangunan lainnya untuk kepentingan masyarakat
Aceh.Menurut catatan, setelah kembali dari Mekkah, Habib Bugas Asyi
bermukim dan dimakamkan di Pante Sidom, Kemukiman Bugak, Kecamatan
Jangka, Kabupaten Bireuen. Terlepas dari catatan sejarah yang masih perlu
disempurnakan, sosok Habib Bugak ini memang menjadi sesuatu yang
dirindukan.
D. PUCOT MEULIGOE
Samalanga ketika itu termasuk wilayah otonom yang diberi kuasa penuh oleh
Sulthan Aceh kepada raja Teuku Chik Bugis, tapi dalam menjalankan
pemerentahan Teuku Chik Bugis mempercayakan pada seorang tokoh wanita
bernama Pocut Meuligoe. Mendengar nama kedua tokoh ini saja, Belanda keder
karena keberanian mereka. Belanda sendiri ingin menguasai Samalanga karena
wilayah ini sangat strategis dan maju dalam bidang perdagangan.
Ketika Van Der Heijden diangkat Pemerintah Hindia Belanda menjadi
Gubernur/Panglima Perang untuk Aceh, sasaran pertamanya adalah
menaklukkan Samalanga. Tahun 1876 Van Heijden menyerang Samalanga
dengan mengerahkan kekuatan tiga Batalion tentara. Tiap Batalion terdiri tiga
Kompi yang masing-masing kompi berjumlah 150 pasukan. Namun sekian kali
mereka menyerang, tak berhasil menguasai Samalanga. Serdadu Belanda mati,
termasuk seorang Letnan bernama Aj. Richello yang dipancung kepalanya oleh
seorang ulama besar Haji Ahmad. Namun ulama ini juga syahid dalam agresi
pertama Belanda ke Samalanga. Pejuang Samalanga tak dapat dikalahkan, maka
tahun 1877 Belanda kembali menyusun kekuatan menyerbu dengan melibatkan
tiga Batalion tentara, pasukan marenir dan pasukan meriam ditambah 900 orang
hukuman yang diikutkan dalam penyerangan. Setelah sebulan pertempuran,
Belanda hanya bisa menguasai Blang Temulir dekat kota Samalanga. Ratusan
serdadu colonial mati, dan Van Der Heijden sendiri luka berat, bahkan mata
kirinya mengalami kebutaan akibat terkena peluru pasukan Aceh. Ini kemudian
si Belanda Van Der Haijden disebut orang Aceh dengan nama Jendral buta
siblsah. Raja Samalanga Teuku Chik Bugis dan Pocut Meuligoe masih berkuasa
penuh, meskipun Belanda sudah menguasai. Belanda tidak berani mendekati
bentenguta Gle Batee Iliek. Seperti ditulis Paul Van ‘T Veer dalam bukunya De
Atjeh Oorloq (Perang Aceh: 1985) mencatat, Benteng Kuta Gle Batee Iliek
adaah pusat perlawanan Aceh yang sangat tangguh bagi Belanda. Dan Batee
Iliek sendiri adalah sebuah “dusun kramat” dan pemukiman para ulama yang
sangat fanatik dalam menentang perluasan kekuasaan Belanda.
Satu ketika setelah tiga tahun Samalanga sepi dari peperangan, taba-tiba tanggal
30 Juni 1880, Letna Van Woortman dengan 65 orang pasukannya mencoba
menyusup ke Bneteng Kuta Gle Batee Iliek. Namun sampai di Cot Meureak
(kira-kita sekitar 2 Km ke arah Utara Betee Iliek) ke 65 pasukan Belanda itu di
hadang oleh gerilia pasukan Aceh.
Dalam insiden itu banyak serdadu Belanda mati dan terluka parah. Peristiwa ini
segera disampaikan ke Banda Aceh sehingga. Gubernur Van Der Heijden berang
karena serdadunya kalah. Maka tanggl 13 Juli 1880, Van Der Heijden kembali
mengirimkan ekspedisinya secara besar-besaran ke Samalanga untuk menyerang
Banteng Kuta Gle Betee Iliek.
Ekpedisi ini Belanda mengerahkan satu kompi Belanda, 1 kompi Inlander dari
Batalion 14 dan 1 kompi Ambon dari Batalion 3, serta 1 kompi garnizun dari
Batalion campuran, juga dilengkapi 32 perwira dengan 1200 bawahannya
diberangkatkan ke Samalanga. Dalam ekspedisi ini juga turut serta Panglima
Tibang, bekas pembesar Sultan yang menyeleweng dengan Teuku Nyak Lehman
sebagai juru bahasa dan penunjuk jalan bagi Belanda.
Beberapa kali Belanda melakukan serbuan menaklukkan Kuta Gle Batee Iliek
tidak berhasil. Belanda terpaksa memundurkan pasukannya ke Cot Meurak. Di
sini sambil mereka istirahat dan menyusun strategi penyerangan kedua ke Kuta
Gle, Belanda juga harus menguburkan mayat-mayat serdadu mereka. Tepatnya
tanggal 17 Juli 1880, Belanda kembali menyerang Kuta Gle. Dalam serbuan
kedua ini rupanya Teuku Chik Bugis (raja Samalanga) minta disertakan bersama
dalam pasukan Belanda, dengan tujuan untuk menyesatkan arah pasukan
Belanda hingga terjebak dengan pasukan Aceh dalam jumlah yang sangat besar.
Strategi Teuku Chik Bugis lagi-lagi mebuat serangan Belanda ke Kuta Gle Batee
Iliek menjadi konyol. Belanda harus buru-buru mundur dan banyak sekali
tentaranya yang tewas akibat dikibul Teuku Chik Bugis. Hari itu juga Chik
Bugis ditangkap olen Belanda dan dibawa ke Banda Aceh. Namun begitu,
benteng Kuta Gle Batee Iliek tetap berdiri kokoh dengan kekuatan pasukan Aceh
yang sangat ditakuti Belanda.
Benteng Kuta Gle Batee Iliek, tak pernah direbut. Itu sebabnya Paul Van ‘T
Veer mencatat dalam bukunya “Perang Aceh” bahwa Batee Iliek adalah sebuah
kampung kramat yang sangat sulit dihadapi oleh Belanda. Bidikan tembakan-
tembakan marsose, ditangkis hebat para ahli Alquran (yang dimaksudkan Van ‘T
Veer para ahli Al-Quran adalah para ulama pejuang Aceh) yang sangat lancar
membuat serangan perang terhadap Belanda-selancar mereka membaca ayat-
ayat Alquran, tulis Van ‘T Veer.
Setelah 30 tahun lebih Benteng Kuta Gle Batee Iliek bertahan dari serangan-
serangan besar Belanda, pada tahun 1901 Jenderal Van Heutsz kembali
memimpin ekspedisi barunya ke Batee Iliek. Sehari sebelum penyerangan Van
Heutsz ke Batee Iliek ini, Van Heutsz lebih dulu merayakan Ultah ke 50 (tanggal
3 Februari 1901).
Untuk membakar semangat perang bagi serdadu Belanda, Van Heutsz, seorang
tokoh legendaries perang Belanda Izaak Thenu sengaja mengubah sebuah syair
khusus untuk perang Samalanga. Bunyinya: mari sobat, mari saudara Pergi
perang di Samalanga, Mari kumpul bersuara Lalu menyanyi bersama-sama.
Namun ekspedisi ini berhasil dilumpuhkan, hingga Van Heutsz baru berhasil
menaklukkan Kuta Gle Batee Iliek pada tahun 1904, setelah tiga tahun
melakukan peperangan melawan pejuang Aceh di wilayah Batee Iliek. Bahkan
menurut sebagian cerita sejarah yang difahami penduduk Samalanga, Van
Heutsz sendiri tewas di Batee Iliek, yang kuburannya sekarang terdapat di atas
bukit Betee Iliek tak jauh dari Benteng Kuta Gle.
Paling tidak sejak lima ratus tahun lalu, menjadi pemimpin bukan hal baru bagi
perempuan Aceh. Pada saat Belanda hendak memasuki Samalanga, seorang
pemimpin wanita pewaris kerajaan Samalanga bernama Pocut Meuligo yang
masih remaja belia telah berhasil mempertahankan wilayahnya. Ia bertindak
tegas kepada setiap pria yang mangkir dan kewajiban perang.
Pocut Meuligo termasuk dalam deretan wanita pejuang seperti Cut Nyak Dien,
Cut Nyak Meutiah, dan Tengku Fakinah. Wanita yang juga dipanggil dengan
Pocut Maligai ini dengan gagah berani telah mempertahankan Samalanga dan
serangan Belanda selama beberapa tahun bahkan seorang jenderal Belanda harus
kehilangan satu matanya ketika berusaha merebut Samalanga. Adalah Jenderal
van der Heijden yang menjadi korban kegagahan pasukan Pocut Meuligo. Mata
kirinya tertembak pejuang Samalanga yang dipimpin seorang remaja Puteri
Pocut Meuligo.
Keberanian Pocut Meuligo ditulis oleh seorang kapten Belanda yang bernama
Schumacher bahwa Pocut Meuligo sangat benci Belanda sampai-sampai ia
memerintahkan semua rakyatnya berperang sekalipun meninggalkan sawah dan
ladang. Bila mangkir mereka dihukum berat. Pengaruh perempuan muda ini
tidak hanya di Samalanga, ia sering mengirim bantuan dana, keperluan logistik
dan senjata ke Aceh Besar membantu pasukan Aceh. Samalanga bisa
memberikan kontribusi finansial yang besar bagi perjuangan Aceh karena
perdagangan ekspor Samalanga berkembang baik.
Schumacher melanjutkan bahwa pada tahun 1876 Belanda berusaha keras agar
Samalanga mengakui pemerintahan Belanda, tetapi dijawab Samalanga dengan
menembaki kapal-kapal Belanda bahkan bila perlu merompaknya.
Pada tahun yang sama, Gubernur Belanda Kolonel Karel van der Heijden
merancang serangan ke Samalanga dengan menyiapkan tiga batalion dan semua
kapal perang Belanda seperti Matelan Kuis, Amboina, Citade van Antwerpen,
banda, Borneo, Sambas, Palembang, Watergeus, Semarang dan Sumatera.
Pasukan darat dipimpin van der Hegge-Spies.
Ketika pasukan Belanda mendarat, pasuka Aceh telah siap menanti kedatangan
mereka di Kiran dan Kuala Tambora. Di sebuah hutan yang telah dipasangi
ranjau, satu batalion pasukan Belanda dibantai dengan mudah hanya oleh 40
pejuang Aceh.
Tak lama kemudian bala bantuan Belanda datang, dan pasukan Aceh mundur
sambil mengumpulkan tenaga ke Pengit Tunong. Di kawasan ini, perang sengit
kemudian terjadi, pasukan Belanda amat tertekan dan banyak yang lari lintang-
pukang sambil membuang senjata begitu saja. Kejadian ini tidak lepas dan peran
seorang ulama setempat yang bernama Haji Ahmad. Diceritakan bahwa salah
seorang pemimpin pejuang Aceh, Haji Ahmad, yang berbadan tinggi besar dan
tegap melompat dan menyerang Letenan Ajudan Richello dan memancung
kepalanya.
Haji Ahmad ditahan Belanda sementara Pocut Meuligo berusaha
membebaskannya dengan cara berunding dengan Belanda namun ulama Aceh
itu tidak bisa diselamatkan dan menjadi salah satu syahid dalam serangan
pertama Belanda ke Samalanga itu.
Berhasil mempertahankan Samalanga dan serangan Belanda pertama, pasukan
Pocut Meuligo kembali memperkuat Benteng Batee Ilie yang terletak di sebuah
bukit tak jauh dan Samalanga.
Dalam serangan berikutnya, Kolonel van der Heijden menyusun serangan untuk
menaklukkan benteng Samalanga yang telah dipasang ranjau, dan kawat dan
berbagai perangkap lainnya. Tiga batalion pasukan darat dan marinir telah
disiapkan dibawah kendali Kapten Kauffman. Pasukan ini dibekali dengan
pelontar meriam dan 900 buah meriam. Penyerangan Belanda ke Samalanga kali
ini harus dibayar mahal karena Kolonel van der Heijden tertembak mata sebelah
kirinya sehingga diberi gelar Jenderal Mata Satu oleh orang Aceh.
Selain itu, beberapa pimpinan pasukan Belanda seperti mayor Dompselar dan
Letnan Kolonel Meijar dan ratusan prajurit Belanda terluka parah. Bagi Belanda,
penyerangan mereka ke wilayah yang dipimpin Pocut Meuligo ini merupakan
penyerangan yang menyeramkan dalam ingatan prajurit Belanda.
Belanda beberapa kali menyerang Samalanga mulai 1 Agustus 1877 dan
berakhir pada tanggal 17 September di meja perundingan ketika kakak Pocut
Meuligo yang bernama Teuku Cik Bugis tiba dan misinya ke luar negeri
membeli senjata. Hasil dan perundingan yang diselenggarakan di markas
Belanda itu adalah Belanda diperbolehkan menaikkan Benderanya di Samalanga
tetapi tidak berkuasa atas wilayah itu sementara kegiatan perdagangan ekspor-
impor Samalanga tetap berjalan tanpa ada gangguan dari pihak manapun
termasuk Belanda dan Benteng Batee llie tidak boleh diganggu gugat, tetap
bendaulat dan bebas mengibarkan bendera di puncak bukit tersebut.
Kemenangan tetap di pihak Samalanga.
Belanda belum puas dengan hasil perjanjian tersebut dan berusaha merebut
Samalanga. Pada tanggal 30 Juni 1880, sebanyak 65 prajurit yang dipimpin
Letnan van Woontman secara diam-diam memasuki kampung dan sesampainya
di Cot Merak, mereka dikepung penduduk setempat dan pertempunan sengit pun
terjadi. Prajurit Belanda itu tendesak dan lari menyelamatkan diri kembali ke
markas.
Pihak Belanda tersinggung dengan peristiwa di Cok Merak. Akhirnya, van
Heijden melanggar penjanjian yang telah disepakati bersama. Ia mengirim satu
ekspedisi yang terdiri dari 32 pegawai dan 1200 prajurit dengan alat tempur
lengkap di bawah pimpinan Mayor Schilau dan Mayor van Steenvelt. Turut
bersama pasukan Belanda itu adalah Panglima Tibang, bekas orang kepercayaan
Sultan, dan Teuku Nyak Lehman sebagai juru bahasa dan penunjuk jalan.
Pada tanggai 14 Juli kapal yang membawa pasukan Belanda merapat di Kuala
Samalanga. Belanda mengundang Teuku Cik Bugis, Pocut Meuligo, Teuku
Bentara Cut (keponakan Pocut Meuligo) dan beberapa tokoh Samalanga, namun
mereka tidak sudih datang karena telah bersiap-siap menghadapi kedatangan
Belanda di Benteng Batee llie.
Sehari kemudian tepatnya tanggal 15 Juli Belanda menyerang Batee llie.
Pertempuran sengit terjadi. Pasukan Belanda tidak berhasil menembus
pertahanan Benteng Batee llie meskipun menyerang dan berbagai jurusan
sebaliknya mereka dihujani tembakan pejuang Samalanga dengan peluru dan
batu-batuan dan prajurit Belanda pun banyak yang mati.
Tidak hanya itu, pasukan induk Belanda pun diserang dengan kelewang dari
belakang bukit. Schumacher mencatat Belanda terus maju dan menyerang tetapi
setiap kali maju mereka terpaksa mundur meskipun bersenjata lengkap.
Perang berlangsung beberapa hari. Dalam suatu serangan, Teuku Cik Bugis juga
turun tangan yang menyebabkan pasukan Belanda lari lintang-pukang. Karena
peristiwa ini Belanda kemudian menangkap Teuku Cik Bugis namun tetap
menyerang Samalanga. Karena setiap serangan selalu dapat dipatahkan pejuang
Samalanga, Belanda akhirnya menghentikan penyerangan ke Samalanga
Pocut Meuligo kemudian menemui van der Heijden yang membawa Teuku Cik
Bugis dan Banda Aceh. Mereka kemudian dibebaskan tanpa syarat apapun.
Lagi dengan 900 prajurit bersenjata lengkap untuk kali ketiga van der Heijden
memimpin serangan ke Samalanga. Namun usahanya gagal total. Penasaran
dengan usahanya yang selalu gagal, akhirnya pada tahun 1904 van der Heijden
mengerahkan pasukan meriam. Usahanya kali ini mengakhiri perlawanan
pejuang Samalanga selama lebih dan tiga puluh tahun melawan Belanda.
E. MAKAM SYUHADA LAPAN
Makam ini merupakan situs sejarah yang familiar bagi masyarakat lokal
Kabupaten Bireuen, maupun pelintas jalur Banda Aceh-Medan. Para pelintas
jalur Banda Aceh - Medan pasti melewati “Makam Syuhada Lapan” di Cot
Batee Geulungku, Kecamatan Simpang Mamplam, Kabupaten Bireuen.
Sejumlah literatur sejarah menyebutkan, keberadaan Makam Syuhada Lapan
merupakan pejuang yang gugur dalam pertempuran melawan serdadu Marsose
Belanda, awal tahun 1902. Lebih kurang 116 tahun silam, ke delapan pejuang
yang dikubur di makam ini. Dinamakan makam Syahid Lapan, karena di situ
dimakamkan delapan pejuang yang gugur melawan Belanda. Mereka adalah Tgk
Panglima Prang Rayeuk Jurong Binje, Tgk Muda Lem Mamplam, Tgk Nyak
Balee Ishak Blang Mane, Tgk Meureudu Tambue, Tgk Balee Tambue, Apa
Syehk Lancok Mamplam, Muhammad Sabi Blang Mane, dan Nyak Ben Matang
Salem Blang Teumulek. Kisah keheroikan para Syuhada Lapan sangat jelas
tertulis pada dinding makam. Peristiwa heroik itu terjadi ketika para Syuhada
Lapan menghadang pasukan Belanda. Pasukan Belanda itu berjumlah 24 orang.
Mereka semuanya bersenjata api, sedangkan pasukan delapan pejuang Aceh
tersebut hanya bersenjatakan pedang. Tapi berkat semangat juang yang tinggi,
mereka berhasil menewaskan semua marsose tersebut. Namun karena larut
dalam euphoria kemenangan. Tanpa disadari tiba-tiba sejumlah serdadu marsose
lain datang dari arah Jeunieb memberi bantuan. Kedelapan pejuang itu diserang
dan gugur bersimbah darah. Jasad para syuhada tersebut kemudian dikebumikan
dalam satu liang sebab serdadu marsose mencincang-cincang bagian tubuh para
pejuang tersebut dengan pedang milik mereka sendiri. Sebagai generasi yang
mencintai sejarah, mari kita mendo'akan para syuhada yang telah berjuang
sehingga kita bisa hidup damai seperti saat ini.
F. MAKAM SYUHADA 44

Makam Syuhada 44 bertempat di Desa Lheue Simpang, Jeunieb, Bireuen, Aceh


Peristiwa tersebut terjadi tidak terlepas dari sikap perlawanan terhadap Jepang
yang terjadi tanggal 2 Mei 1945.
Makam Syuhada 44 menjadi salah satu bukti sejarah semangat juang masyarakat
Aceh dalam membela tanah air. Khususnya bagi rakyat Aceh yang berada Desa
Lheue Simpang dan Pandrah, Bireuen. Dikenal sebagai bukti bahwa gigihnya
rakyat aceh dalam membela agama Islam dan tanah airnya, yaitu Indonesia.
Pemberontakan ini terjadi pada 2 mei 1945, yang saat itu pasukan Aceh di
pimpin oleh Teungku Pang Akob bersama 40 pasukannya dari lheue simpang
menyerbu pangkalan jepang di pandrah. Peristiwa ini dikenal dengan
Pembrontakan Pandrah. asukan jepang pada saat itu memperlakukan kerja paksa
ke masyarakat aceh, serta pelecehan seksual yang dilakukan jepang kepada
wanita2 aceh, hal itu menuai kebencian dari masyarakat. Sehingga Teungku
Pang Akob pun memimpin rakyat untuk memberontak kepada jepang. Pada
tanggal 3 mei 1945. Pasukan Pang Akob melancarkan serangan dadakan kepada
pasukan jepang di malam hari menjelang pagi. Singkat cerita
Para syuhada berhasil menewaskan para pewira jepang dan serdadunya. Beserta
pasukan mujahidin yang ikut meninggal 44 orang. Sampai saat ini Teungku
Pang Akob dan pasukannya dikenang dengan Syuhada 44. Sementara 44 orang
syahid dalam peristiwa perang Pandrah di Meunasah Lheu Simpang, pada 5 Mei
1945 adalah: Teungku Siti Aminah, Teungku Ibrahim Meulaboh (suami
Teungku Siti Aminah), Teungku Mahmud Ben, Teungku Ismail Rahman,
Teungku Sabon Piah, Teungku Usman Lheu, Teungku Muhammad Adam
Rifin.Teungku Ibrahim Yusuf, Teungku Muhammad Yusuf Gagap, Nyak Abu
Bakar Amin, Teungku Muhammad Amin, Teungku Mohd. Kasim, Teungku
Meulaboh, Teungku Muhammad Hasan Banta, Teungku Sulaiman Ali, Teuku
Nyak Isa, Teungku Kasim, Teungku Muhammad Yakob, Petua Jalil, Teungku
Muhammad Yusuf Ben Dayah, Teungku Jalil Ben. Keuchik Johan, Abu Keuchik
Lheu, Muhammad Gam, Teungku Saleh Ismail, Teungku Ismail Ahmad,
Teungku Mahmud Bin Abdurrahman, Teungku Ahmad Itam, Teungku Ibrahim
Ali, Nyak Umar Adam, Teungku Abdullah Ben, Teungku Sulaiman Lheu,
Teungku Ahmad Gampong Blang, Teungku Ahmad Usman.Teungku Ibrahim
Yusuf, Teungku Ismail Rifin, Teungku Abdullah Gampong Blang, Teungku
Saleh Ben Tulot, Teungku Ibrahim Husin, Teungku Su’ud Tringgadeng,
Teungku Saleh Gampong Blang, Teungku Nyak Zulkifli Yusuf, Teungku Saleh
Bin Abdurrahman dan satu orang bayi dalam kandungan Teungku Siti Aminah.

G. TUGU BATEE KUREUENG


Pada awalnya Tugu Batee Kureng diletakkan di halaman dalam lingkungan
Meuligoe, namun kemudian dipindahkan ke jantung Kota persis di depan
Meuligoe. Batee Krueng merupakan nama salah satu batalyon Tentara Islam
Indonesia (TII) dibawah pimpinan Abdul Hamid yang bermarkas di daerah Juli
wilayah kewedanaan Bireuen (ketika masih berada dibawah Aceh Utara). Ketika
bersatunya TII dalam NKRI, untuk mengenang namanya oleh Pemerintah
Bireuen di lambangkan dengan sebuah batu besar yang diambil dari pedalaman
Kecamatan Juli. Pada Rabu, tanggal 8 April 1987 diadakan “Apel Angkatan 45”
di halaman rumah mantan Panglima Divisi Gajah I/Divisi X TNI Komandemen
Sumatera. Acara dimulai dengan mengheningkan cipta dan lagu Indonesia Raya
diteruskan sambutan Sesepuh Masyarakat Aceh/Menteri Koperasi/Ka. Bulog.
H . Bustanil Arifin, SH., Mayjen A.R. Ramly (Dubes RI di Washington DC) dan
Gubernur Aceh, Prof. Dr. Ibrahim Hasan, MBA. Dalam apel tersebut dilakukan
peletakan batu pertama tugu oleh Letnan Jenderal (Purn) H. Bustanil Arifin.
Hampir seluruh pejuang Angkatan 45 terwakili dalam “apel kejuangan” itu,
seperti Mayjen (Purn) Sjamaun Gaharu, T.A. Hamid Azwar, Prof. A . Hasjmy, A
. Muzakkir Walad, Prof. Ir. Isjrin Nurdin, Alwin Nurdin, Gedong, Ali Hasan AS,
Hasan Saleh dan lainnya. Pada tugu Batee Kureng ketika itu bertuliskan
"Gemilang Datang Padamu Bila Tekad Kukuh Berpadu"

H. TUGU PERJUANGAN RAKYAT MELAWAN BELANDA


Garnisun Jepang di Lhok Seumawe segera bereaksi, setelah mendengar terjadinya
pelucutan senjata Jepang di Bireuen. Jarak antara Lhok Seumawe-Bireun sekitar
45 km. Satu batalyon Jepang berasal dari Lhok Seumawe dan sekitarnya—tadinya
sedang menunggu untuk dipulangkan—ditambah tiga kompi lengkap persenjataan
bergerak menuju Bireuen untuk merebut dan menduduki kembali kota Bireuen
yang strategis itu.
Ini terjadi pada 24 November 1945. Kendaraan digunakan untuk mengangkut
tentara Jepang adalah sembilan gerbong dan tiga gerobak kereta api.
Kesibukan Jepang menyiapkan logistiknya itu, telah dipantau sejak dua hari
sebelunmya. Pimpinan API di Bireuen memeroleh informasi bahwa Jepang akan
merebut kembali senjata yang telah jatuh ke tangan API dan kelaskaran.
Disinyalir juga serdadu Jepang akan menduduki kembali tempat-tempat yang
strategis lainya seperti Teupin Mane, Gelanggang Labu, Tambo, Cot Gapu, Blang
Pulo dan kota Bireuen sendiri.
Gerakan tentara Jepang ini segera dilaporkan kepada Markas Daerah API di
Banda Aceh, yang kemudian diperintahkan untuk mengkonsinyir seluruh pasukan
API dan barisan kelaskaran di Kabupaten Aceh Utara.
Sebuah pasukan komando dibentuk di Bireuen, yang menghimpun pasukan API
dan barisan kelaskaran dengan Komandan Operasi Kapten T. Hamzah. Pasukan
dilengkapi Kompi I pimpinan Letnan Agus Husin, Kompi II pimpinan Letnan T.
A. Hamdani, Kompi III pimpinan Letnan Nyak Do dan Kompi IV pimpinan
Letnan Jusuf Ahmad.
Persenjataan mereka ini cukup memadai sebagai hasil rampasan yang dilakukan
sebelumnya. Pasukan rakyat yang dikerahkan terdiri dari: 1. Barisan Juli pimpinan
Keuchik Ibrahim. 2. Barisan Gelanggang Labu pimpinan Utoh Husin dan A. R.
Mahmudi. 3. Barisan Samalanga pimpinan Tgk. Syahbudin. 4. Barisan Jeunib
pimpinan Peutua Ali. 5. Barisan Geurugok pimpinan Tgk. Zamzam. 6. Barisan
Peusangan pimpinan T. M. Hasan Alamsyah. 7. Barisan Krueng Pandjo pimpinan
Tgk. Abd. Rahman Meunasah Meucap. 8. Barisan Bireuen pimpinan Na'am
Rasmadin, H. Afan, H. Marzuki Abu Bakar. 9. Barisan Lhok Seumawe pimpinan
T. A. Bakar. 10. Barisan TPI (Tentara Pelajar Islam) pimpinan M. Nur Nekmat/M.
Sabi/Hasry. 11. Barisan Takengon dipimpin Tgk. M. Soleh Adry dan Letnan Dua
Ibnu Hajar.
Setelah pasukan API dan Barisan Kelaskaran disiapkan, mereka diperintahkan
menduduki pos-pos yang telah ditetapkan.
Kapten T. Hamzah menetapkan kota Matang Gelumpang Dua sebagai Pos
Komando dan Krueng Pandjo dipilih sebagai tempat penghadangan. Serentak
dengan itu dilakukanlah pembongkaran rel kereta api di kampung Pante Gajah
lokasi yang tepat untuk dihadang, sekitar 3 km,sebelum masuk stasiun Matang
Gelumpang Dua.
24 November 1945, tepat pukul 12.30, kereta api yang naas itu meluncur
memasuki area yang telah ditentukan. Masinisnya orang kita segera melompat
setelah melihat bahwa ia telah berada dalam sasaran tembak para pejuang di
kampung Pante Gajah. Serdadu Jepang segera menembak sang Masinis, tapi
bidikannya meleset jauh. Tentara Jepang yang lainnya segera mengambil alih
kemudi kereta api dan serta merta menyetopnya.
Berbarengan dengan kejadian yang serba cepat itu, para pejuang pun mulai
menyiram kereta api dengan tembakan yang gencar, sehingga membuat serdadu
Jepang agak kebingungan. Sementara Barisan Kelaskaran secara kilat
membongkar rel kereta api di bagian belakang, sehingga serdadu Jepang terpaku
di tempat.
Maju kena tembak, mundur kena lantak. Pertempuran berkobar dari siang sampai
malam. Pasukan kita dengan moril yang tinggal tetap mengepung Jepang yang
terkurung di gerbong-gerbong itu. Korban banyak berjatuhan dari kedua belah
pihak.
Sementara nasi bungkus mengalir dari kampung-kampung terdekat yang telah
disiapkan para ibu dan anak-anak gadis yang bertugas di dapur umum sekitarnya.
Tengah malam menjelang subuh terlihat kesibukan serdadu Jepang. Pengintai kita
melaporkan, Jepang sedang menggali lubang perlindungan.
Besok paginya, 25 November 1945, pasukan Jepang berlindung dalam lubang
seraya memperkuat pertahanannya dengan lapisan kayu dan pohon kelapa.
Tembak menembak terus berkobar sejak pagi, sore, dan malamnya. Saat baku
tembak sedang gencarnya malam itu, muncullah dari Banda Aceh, Kepala Staf
Markas Daerah API, Mayor T. A. Hamid Azwar disertai Mura Moto, seorang juru
bicara Jepang. Mayor Hamid Azwar khusus datang ke Krueng Pandjo atas
instruksi Komandan Markas Daerah API di Banda Aceh, Kolonel Syamaun
Gaharu, untuk mengambil langkah-langkah penyelesaian yang menguntungkan
bagi Indonesia.
Mura Moto segera ditugaskan menghubungi Komandan Pasukan Jepang, Mayor
Ibi Hara dan disarankan untuk menyerah dengan seluruh persenjataan diserahkan
kepada pihak Indonesia.
Mayor Ibi Hara dapat menerima usul yang disampaikan Mura Moto, tapi
tampaknya ia mendapat kesukaran dalam meyakinkan Komandan Kompi serta
pasukannya. Untuk beberapa saat proses perundingan agak buntu. Jawaban yang
kongkret dari Mayor Ibi Hara belum juga menjadi kenyataan.
Pasukan kita memberi batas waktu sampai lewat zuhur, sementara Barisan
Kelaskaran telah diperintahkan untuk mengamankan pintu air irigasi yang ada di
lokasi tersebut.
Tepat pukul 14.00 belum juga ada tanda-tanda ke arah penyelesaian. Mura Moto
ditugaskan untuk melakukan kontak terakhir. Setelah diketahui pihak Jepang
masih bertahan dengan sikapnya yang keras, maka mulailah pasukan kita
menggempur kembali serdadu Jepang yang terkurung itu.
Bersamaan dengan gempuran itu, bendungan pintu air irigasi pun dilepaskan,
sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama membuyarkan pasukan Jepang
yang terendam dalam persembunyiannya di lubang- lubang perlindungan. Senjata
dan logistik mereka terendam air. Namun pertempuran terus berkobar sampai sore
harinya.
Pada hari ketiga, 26 November 1945, pagi, tampak serdadu Jepang tetap dalam
keadaan siaga, tapi satu peluru pun belum meletus. Sementara penyelidikan dan
pengintaian terus dilakukan dari jarak jauh.
Tepat pukul 12.40/siang, tampak bendera putih berkibar tanda menyerah.
Pimpinan Komando yang tadinya diambil alih Kepala Staf Mayor T. A. Hamid
Azwar dikembalikan kepada Komandan Operasi Kapten T. Hamzah yang
selanjutnya melakukan perundingan dengan Ibi Hara.
Dalam perundingan dicapai kesepakatan, Kapten T. Hamzah menerima 320 pucuk
senjata api serta alat-alat perlengkapan lainnya. Sedangkan serdadu Jepang
kembali ke Lhok Seumawe menanti datangnya kapal laut yang akan membawa
mereka ke negerinya.
Berapa besar jumlah korban yang jatuh pada kedua belah pihak tidak diperoleh
angka yang pasti. Tapi diperkirakan tidak kurang dari 20-an masing-masing pihak
tewas dan gugur. Yang pasti Komandan Batalyon Jepang, Mayor Ibi Hara sendiri
tewas bunuh diri (harakiri).
“Pertempuran Krueng Pandjo dinilai kalangan militer sebagai pertempuran yang
bersejarah, karena ia telah mampu membangkitkan kepercayaan diri yang besar di
kalangan rakyat untuk mengusir Jepang dari Tanah Air,” tulis Tgk. A. K. Jakobi.[]
(idg)

Anda mungkin juga menyukai