Sejarah mesjid kuno tosora terdapat beberapa makam kuno yang disebut dalam silsila salah
satu diantaranya ada makam cucu Nabi Muhammad yang ke 19.
Salah satu diantaranya adalah makam penghulu para Wali. Dengan mengunakan nisan setengah
bulat, makam setengah bulat ini adalah makam Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain yang juga
penggagas mesjid kuno tosora itu.
Sementara sesuai dengan keterangan yang didapatkan penulis mengatakan bahwa dalam
silsilanya, Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain masih merupakan keturunan Nabi Muhammad
yang ke 19.
Sementara makam kuno lainnya adalah Makam Arung Benteng Lagau dengan mengunakan
nisan tipe merian. Arung Benteng Lagau adalah salah seorang mantan ketua majelis dan
makam ini ditandai dengan dua buah nisan merian.
Disamping ada makam Arung Benteng Lagau, ada nisan tipe pion. Tipe makam ini menyerupai
dengan bantuk pion yang terdiri atas tiga bagian yakni dasar,badan dan kepala.
Sesuai dengan sejarah, bahwa para pengunjung khususnya dari Jawa menggaku jika setelah
dirinya melakukan siarah ke beberapa makam itu, reskinya bertambah dan siarah ke makam itu
bagi sebagian orang seakan dijadikan sebagai rutinitas khusunya pengunjung dari pulau Jawa.
Kepada penulis, Alan salah seorang masyarakat desa tosora menuturkan bahwa pada tiap
tahunnya banyak pengurus pesantren dari pulau jawa yang berkunjung kemakam ini karena
mereka yakini kalau Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain yang dimakamkan di lokasi mesjid ini
adalah bagian dari keluarga mereka.
Menurutnya, kata Alan Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain adalah penghulu para wali dipulau
jawa termasuk Almarhum Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain berumur lebih tua dari wali
songo.
Dan bahkan pengunjung yang datang kemakam ini papar Alan, adalah pengunjung dari
berbagai daerah diluar pulau sulawesi dan meyakini kalau dirinya adalah keturunan dari
Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain.
Bahkan menurut keterangan yang kami dapatkan ketika ada pengunjung datang dari jawa,
sebelum keindonesia, Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain perna berada di india dan membantu
penduduk india pada suatu peran untuk memenangkan pasukan islam dan pada ujung perang,
Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain menghilang tanpa jejak, Jelasnya
Pantauan penulis saat menelusuri halaman makam, memerlukan perhatian khusus dari
pemerintah terkait pemeliharaan baik pagar maupun beberapa arsitektur lain yang kini
tergolong mempertihatinkan termasuk pagar yang saat ini terlihat mulai rapuh.
Selain itu, beberapa arsitektur lainnya yang ada didalam kawasan mesjid Tua Tosora juga
memerlukan perhatian utamanya anggaran pemeliharaan agar mendapatkan kesan kalau cagar
budaya yang bisa dijadikan sebagai wisata sejara itu masih terawat.
1. Sumur Jodoh
Sumur jodoh adalah sumur yang dipercaya apabila kita mandi atau membasuh muka dengan
air dari sumur itu maka cepat atau lambat akan mendapatkan jodoh. Namun, menurut salah satu
warga disana mengatakan bahwa sebagian warga di tosora tidak atau kurang mempercayai sumur
jodoh ini, hanya orang yang dari luar pulau terutama orang dari pulau Jawa saja yang banyak
datang ke sumur jodoh ini dan meminta untuk mendapatkan jodoh.
2. Geddonge
eddongnge (Gedug Mesiu). Timbul beberapa pendapat tentang nama Geddongnge. Ada
yang mengatakan bahwa Geddongnge adalah sebuah bangunan tempat menyimpan barang-
barang seperti alat-alat perang dan hasil bumi penduduk. Sebagian lagi mengatakan bahwa
bangunan tersbut adalah bank(tempat menyimpang uang).Geddongnge dibangun pada saman
pemerintahan Lasalewangeng To Tenriruwa sekitar tahun 1718 M. Pada saat itu perekonomian
lancar dan awal dicetuskannya pasukan bersenjata. Bahan baku bangunannya masih berasal dari
batu gunung, pasir, dan telur.
3. Benteng
Benteng pertahanan yang dibuat pada masa pemeeintahan, Awal pelaksanaanya setelah diadakan
musyawarahantara arung matoa latentilai dengan penduduk negeri mengenai rencena
penyerangan belanda terhadap tosora. Pada abad ke-16 dan 17 terjadi persaingan antara Kerajaan
Makassar (Gowa Tallo) dengan Kerajaan Bugis (Bone, Wajo dan Soppeng) yang membentuk
aliansi tellumpoccoe untuk membendung ekspansi Gowa. Aliansi ini kemudian pecah saat Wajo berpihak ke
Gowa dengan alasan Bone dan Soppeng berpihak ke Belanda. Saat Gowa dikalahkan oleh armada gabungan
Bone, Soppeng, VOC dan Buton, Arung Matowa Wajo pada saat itu, La Tenri Lai To Sengngeng tidak ingin
menandatangani Perjanjian Bungayya. Akibatnya pertempuran dilanjutkan dengan drama pengepungan
Wajo, tepatnya Benteng Tosora selama 3 bulan oleh armada gabungan Bone, dibawah pimpinan Arung
Palakka
4. Mushallah Tua Menge
Mushollah Tua Menge dibangun sekitar tahun 1621 M. Setelah selesai mesjid Tua Tosora dibangun.
Perjalanan sejarah Islam sejak masuknya hingga sekarang cukup banyak mencatat kenangan yang tak mudah
dilupakan. Dalam sejarah masuknya Islam di Wajo sekitar tahin1610 M. Agama islam berkembang terus
sampai sekarang. Mushollah Tua yang dibangun pada tahun yang sama masa pembangunan mesjidnya Tua
Tosora tercatat ada tujuh buah dengan bahan baku yang sama yaitu batu gunung, pasir, dan telur.
Besarnya animo masyarakat menerima agama Islam tanpa mengalami hambatan. Mereka menerima
kebenaran Islam sesungguhnya. Bangunan Mushollah selalu dimanfaatkan setiap waktu sholat, mereka
berjamaah bersama.
Mushollah Tua Menge ukuran bangunannya lebih kecil dari ukuran bangunan Mesjid Tua. Fisik
bangunan Mushollah Tua ini hanya berukuran 10m x 9,5m. Jarak antara Mesjid Tua dengan Mushollah
kurang lebih 100m dari arah Timur.
5. Makam Lasalewangeng Tenriruwa
makam Lasalewangeng Tenriruwa beliau merupakan arung matoa Wajo ke 30. Beliau pernah
menjadi raja di Limpo atau Negeri Kampiri (arung Kampiri). Lasalewangeng memperkuat
persenjataan Wajo dan memprsiapkan peperangan terhadap Bone dan Belanda kira-kira tahun
1715 sampai 1736.
WAJO merupakan salah satu daerah yang pernah dipimpinan oleh kerajaan. Berbagai
tradisi kerajaan pun masih dipertahankan hingga kini, salah satunya adalah pencucian benda
pusakapeninggalan kerajaan.
Benda pusaka peninggalan kerajaan tersebut disimpan di Saoraja atau rumah raja (istana).
Salah satu Saoraja yang dijadikan museum d kabupaten berjuluk Bumi Lamaddukelleng ini,
yakni Saoraja Mallangga museum simettengpola.
Keberadaan Saoraja ini menjadi bukti sejarah kerajaan Wajo. Tidak sulit untuk menemukan
museum ini. Terletak di Jl Ahmad Yani Kota Sengkang Kabupaten Wajo.
Arsitektur Saoraja Malangga cukup unik, bangunan berlantai dua ini merupakan perpaduan
bangunan rumah khas bugis atau rumah panggung dengan bangunan khas Belanda.
Saoraja ini dibangun sekitar tahun 1930, pada era kerajaan Ranreng Bettengpola ke-26, Datu
Makkaraka yang juga dikenal sebagai ahli lontara.
Pembangunannya membutuhkan waktu sekitar 2 tahun lebih. Sebagai bangunan peninggalan
sejarah, Saoraja Mallangga kemudian diusul menjadi museum pada tahun 1993, dan
diresmikan oleh Gubernur Sulsel, HM Amin Syam sebagai museum pada tahun 2004.
Keunikan arsitektur bangunan ini menjadi daya tarik bagi pengunjung, terutama bagi para
pendatang yang baru berkunjung ke kota santri.
Ketika FAJAR bertandang ke Museum ini, tanpak pekarangan museum ini cukup asri dan
bersih, dengan balutan cat berwarna coklat, saoraja ini menggunakan lantai dan dinding yang
terbuat dari pilihan.
Staf Bidang Kebudayaan Disporabudpar Kabupaten Wajo, Aldi M.P Badja mengatakan dalam
bukunya Wajo dalam perspektif arsitektur, bentuk Saoraja di Kabupaten Wajo umumnya tidak
seperti bangunan Saoraja yang ada di daerah lain. Bangunan ini kata dia memiliki filosofi yang
menggambarkan kedekatan seorang raja dengan rakyatnya.
Hal itu katanya dibuktikan dengan tidak diperkenankannya ada pagar pembatas bangunan ini,
tidak boleh menampilkan kemegahan atau terlalu besar, dan tidak boleh tinggi serta pintu harus
selalu terbuka lebar.
"Maknanya, rumah raja ini selalu terbuka untuk siapa saja.
Bentuk bangunannya pun secara umum masih dipertahankan seperti pada awal didirikannya,
hanya bagian atapnya yang telah 7 kali diganti," ujarnya.
Saat ini, Saoraja tersebut di huni oleh salah seorang putra Datu Makkaraka, yakni H Datu
Sangkuru,79 yang bergelar Ranreng Bettengpola ke-27 bersama beberapa orang anaknya.
Salah seorang putri Datu Sangkuru yang juga staf di Disporabudpar Wajo, Andi Cidda Minasa
mengatakan, alasan awal Saoraja ini dijadikan museum karena khawatir peninggalan sejarah
arung bettengpola musnah, sehingga Saoraja ini dijadikan museum untuk melestarikan barang-
barang peninggalan kerajaan terdahulu.
Kini di Museum ini sering pula dimanfaatkan sebagai tempat untuk pagelaran seni tradisional
Wajo, seperti Massure yaitu seni yang bercerita dalam bahasa bugis lontara dan diiringi musik
tradisional.
Berbagai barang-barang peninggalan Arung Bettengpola yang dipajang di museum ini, seperti
peralatan upacara adat, peralatan dapur, keramik antik, Serta berbagai jenis keris dan tombak.
10. Makam La Maddukkelleng
La Maddukkelleng adalah putera dari arung peneki La Mataesso To Madettia dan We
Tenriangka Arung Singkang, saudara Arung Matowa La salewengeng To Tenrirua.Komplek
makam Pahlawan Nasional Lamaddukelleng yang terletak sekitar 200-an meter arah selatan
Lapangan Merdeka di Kota Sengkang, ibukota Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, sekaligus
merupakan lokasi pusara Raja Kutai Kertanegara Ing Martadipura Ke-14, Sultan Adji
Muhammad Idris.Di dalam komplek makam yang baru saja mengalami pemugaran atas
bantuan Pemerintah Kabupaten Kutai Kertanegara (Kukar), Provinsi Kalimantan Timur
tersebut, keseluruhan terdapat lima makam selain makam Arung Siengkang Lamaddukkelleng
yang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres No.109/TK/1998 tanggal 6
Nopember 1998.
Bentuk nisan kelima makam tersebut berbeda satu dengan lainnya. Nisan Lamaddukelleng
yang wafat tahun 1765 hanya berupa bongkahan batu yang digeletakkan di atas makam.
Sedangkan makam Sultan Adji Muhammad Idris yang berdinding batu ditinggikan, nisannya
menyerupai kelopak daun berukir.
Makam La Tombong To Massekutta yang diperkirakan wafat tahun 1762, salah seorang
putera Lamaddukkelleng, batu nisannya dibentuk menyerupai hulu keris (badik) berukir. Nisan
dua makam lainnya yang juga tebuat dari batu alam, satu berbentuk perisai, dan satunya segi
empat.
Dari Komplek Makam Lamaddukkelleng yang telah berlantai marmer ini kita dapat
memandang vieuw indah pusat Kota Sengkang dengan Masjid Agung Ummul Qura yang
menaranya dibangun berada di areal Lapangan Merdeka, dipisah jalur jalan poros menuju ke
arah Kabupaten Soppeng.
Berada persis di tepi jalur utama Kota Sengkang, sepanjang waktu lingkungan komplek
makam Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng tak pernah sepi. Apalagi hanya sekitar 25 meter
di seberang jalan, terletak sejumlah kantor dinas dalam lingkup Pemkab Wajo. Sedangkan di
bagian belakang serta sisi kiri-kanan komplek diapit bangunan perkantoran dan perumahan
penduduk.
Pemugaran makam Lamaddukkelleng yang menggunakan konstruksi atap tradisional
Bugis tersebut, tampak menambah menawan kawasan pusat Kota Sengkang yang beberapa kali
berturut dianugerahi penghargaan Piala Adipura untuk kategori Kota Kecil. Kota Sengkang
sendiri dikenal dengan julukan sebagai Kota Sutera, lantaran wilayah di pesisir Danau Tempe
inilah pusatnya pertenunan sarung sutera di Provinsi Sulawesi Selatan.
Dalam riwayat perjuangan Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng, sangat jelas paparan
dengan bukti kesejarahan yang kuat bahwa anak dari pasangan Mata Esso Lamadettia Arung
Peneki (ayah) dan We Tenri Ampa (ibu) ini kawin dengan seorang puteri bangsawan Kutai.
Lamaddukkelleng diperkirakan sudah menjelajah di wilayah Pasir, Kutai tahun 1714.
Mungkin itulah sebabnya Lamaddukelleng yang pasukan armada lautnya sangat ditakuti
pihak Belanda pada abad XVII di perairan Indonesia Timur, perairan Filipina dan Selat Malaka,
juga dapat diangkat sebagai Sultan Pasir alias Arung Pasere. Memerintah selama sekitar 10
tahun (1726 1736), sebelum ia kembali menjadi Arung Wajo (Raja Wajo) di kampung
halamannnya (kini wilayah Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan) dari tahun 1736 1740.
Sultan Adji Muhammad Idris yang memerintah sebagai Sultan Kutai tahun 1732 1739
merupakan anak mantu, lantaran mempersunting salah seorang anak, puteri dari
Lamaddukkelleng.
Ketika mertuanya, Lamaddukkelleng terdesak oleh serangan Belanda saat menjadi Arung
Wajo, Sultan Adji Muhammad Idris meninggalkan tahtanya di Kutai datang ke Wajo bersama
pasukannya untuk membantu perlawanan terhadap kolonialis Belanda. Diiperkirakan pada
awal tahun 1739.
Belum ditemukan data yang pasti apa penyebab Sultan Adji Muhammad Idris wafat. Namun
sejarawan Unhas, Prof.Dr.H.A.Zainal Abidin Farid (alm) dalam bukunya Kiat-kiat
Kepahlawanan La Maddukkelleng Arung Matoa Wajo dalam Usaha Mengusir Orang-orang
Belanda dari Makassar dalam peperangan melawan Belanda di Makassar terbitan Pemkab
Wajo (1994), memperkirakan Sultan terluka dalam suatu perang ketika dilakukan penyerangan
terhadap Belanda di Makassar, lalu dibawa kembali ke Wajo, kemudian wafat serta
dimakamkan di kampung halaman mertuanya.
Almarhum Sultan Adji Muhammad Idris yang kemudian tercatat dalam catatan lama di
Sulawesi Selatan dengan gelar Darise Daenna Parasi Petta Kutai Petta Matinro ri Kawanne.
Ada juga catatan yang menyebut Titian Aji dikaitkan dengan wafatnya Sultan Adji Muhammad
Idris. Apakah nama itu merupakan sebutan lama yang menjadi lokasi tempat pemakaman yang
kini menjadi komplek pemakaman Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng di Kota Sengkang
atau lokasi dimana Sultan wafat ketika melakukan perlawanan terhadap tentara Belanda, masih
dibutuhkan penelusuran data yang pasti.
Jika diperhatikan dari bentuk kelima makam yang ada di komplek pemakaman Pahlawan
Nasional Lamaddukkelleng, maka boleh jadi makam Raja Kutai Sultan Adji Muhammad Idris
yang pertama dikebumikan di lokasi tersebut. Tak hanya dilihat dari deretan makam Sultan
yang letaknya paling utara, tapi juga dari bentuk makam yang terlihat dibuat lebih istimewa
dari bentuk makam lainnya. Hal itu boleh terjadi, dengan asumsi, ketika Sultan Adji
Muhammad Idris dimakamkan, sang mertua yang berkuasa sebagai Arung (Raja) Wajo,
Lamaddukkelleng masih hidup.
11. Goa Nippon
Keberadaan Goa Nippon merupakan bukti sejarah peninggalan tentara Jepang pada perang
dunia II, ada goa yang berbentuk huruf L, I, U dan lainnya. Bagi pengunjung yang ingin
berimajinasi dan bernostalgia untuk mengenang masa lampau. Di lokasi terdapat berbagai benda
khas peninggalan zaman Jepang. Dipandu oleh petugas yang akan menjelaskan goa sejarah ini
sehingga pengunjung memiliki pengalaman dan pengetahuan baru tentang zaman pendudukan
Jepang di Kabupaten Wajo.