Anda di halaman 1dari 3

Kehidupan Sosial

Kehidupan masyarakat di kerajaan Mataram, tertata dengan baik berdasarkan hukum Islam tanpa
meninggalkan norma-norma lama

Raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi, kemudian diikuti oleh sejumlah pejabat kerajaan

Untuk menciptakan ketertiban di seluruh kerajaan, diciptakan peraturan yang dinamakan anger-anger
yang harus dipatuhi oleh seluruh penduduk

disusun suatu masyarakat yang bersifat feodalitas dasar kehidupan agraris

Para pejabat pemerintahan memperoleh imbalan berupa tanah garapan (lungguh) atau pajak tanah

kehidupan ini menjadi dasar munculnya tuan-tuan tanah di Jawa.

Kehidupan Budaya

kebudayaan yang berkembang antara lain seni tari, seni pahat, seni suara, seni sastra, seni lukis dan
sebagainya

Bentuk Kebudayaan yang berkembang adalah upacara Kejawen yang merupakan akulturasi antara
kebudayan asli, Hindu, Buddha dengan Islam, misalnya: Upacara Grebeg yang bersumber pada pemujaan
roh nenek moyang

Memunculkan karya sastra yang terkenal, yaitu kitab Sastra Gending (Perpaduan dari hukum Islam
dengan adat istiadat Jawa yang disebut Hukum Surya Alam)

Pada masa kepemimpinan Sultan Agung telah terjadi perhitungan Jawa Hindu atau Saka yang didasarkan
pada peredaran bulan, yang menjadi penanggalan Islam dan Hijriah.

Sultan Agung mengarang kitab Sastra Gending (Kitab Filsafat, Kitab Niti Sruti, Niti Sastra, dan Astabrata)
Peninggalan Mataram Islam

Masjid Kotagede Yogyakarta adalah salah satu masjid tertua di Yogyakarta. Bangunan ini merupakan
masjid peninggalan Mataram yang masih bisa dilihat sekarang dan juga masih dipakai sebagaimana
fungsinya .Di kotagede Yogyakarta memang terdapat banyak peninggalan bersejarah yang menyimpan
informasi pada masa kerajaan Mataram. Salah satu tempat bersejarah di kota ini adalah Masjid Agung
Kotagede yang dibangun pada zaman kerajaan Mataram pada tahun 1640 oleh Sultan Agung bergotong-
royong dengan masyarakat setempat yang pada umumnya waktu itu beragama Hindu dan Budha.

Masjid Kotagede Yogyakarta yang sudah berusia ratusan tahun memiliki sebuah prasasti yang
menyebutkan bahwa Masjid tersebut dibuat dalam dua tahap. Tahap pertama dibangun pada masa
Sultan Agung yang berhasil membangun inti masjid yang berukuran kecil yang disebut langgar. Tahap
kedua masjid ini dibangun oleh Raja Kasunanan Surakarta, Paku Buwono X. Ada perbedaan pada
bangunan masjid tersebut yang dibangun oleh Sultan Agung dan Paku Buwono X pada tiangnya. Tiang
masjid yang dibangun Sultan Agung berasal dari kayu, sedangkan tiang yang dibangun oleh Paku Buwono
X berbahan dari besi.

Masjid ini sampai saat ini tetap dipakai untuk tempat beribadah umat Islam warga setempat. Bangunan
tersebut merupakan bentuk toleransi antara umat beragama waktu itu. Sebagian besar waktu itu warga
masih memeluk agama Hindu dan Budha dan dengan senang hati ikut membantu pembangunan masjid
ttersebut. Ciri khas Hindu dan Budha terlihat dari tiang dari kayu yang dibangun pada masa
pemerintahan Sultan Agung yaitu gapura masjid yang berbentuk Paduraksa.

Di dalam masjid terdapat sebuah mimbar yang dipakai untuk berkhotbah yang terbuat dari kayu ukir
yang merupakan hadiah dari Sultan Palembang kepada Sultan Agung, tetapi mimbar ini sekarang sudah
tidak dipergunakan lagi. Selanjutnya jika wisatawan berjalan ke halaman masjid maka dapat dijumpai
adanya perbedaan tembok pada sebelah kiri halaman masjid. Tambok sebelah kiri terlihat tersusun dari
bata merah yang ukurannya lebih besar dengan warna merah tua dan terdapat sebuah batu seperti
marmer yang permukaanya ditulis aksara jawa. Sedangkan tembok yang lain memiliki batu-bata yang
lebih kecil dan berwarna muda dan polos. Ternyata tembok yang berada di sebelah kiri dibangun pada
masa Sultan Agung, sementara tembok yang lain merupakan hasil renovasi dari Paku Buwono X. Tembok
yang dibangun pada masa Sultan agung berperekat air aren yang dapat membatu sehingga lebih kuat

5. Pasar Legi Kotagede

Pasar Legi Kotagede adalah sebuah pasar yang telah ada sejak awal berdirinya Kerajaan Mataram Islam.
Pasar peninggalan Kerajaan Mataram Islam ini sebetulnya telah mengalami beberapa kali renovasi, hanya
saja terdapat bagian bangunan yang hingga kini masih dipertahankan keasliannya.

Bila ditinjau dari tata wilayah, Pasar Legi adalah bagian dari konsep Catur Gatra Tunggal. Konsep ini
berarti adanya 4 wahana berbeda yang saling berkaitan satu sama lain dalam mendorong kehidupan
sosial masyarakat Jawa. Keempat wahana tersebut yaitu Keraton sebagai pusat pemerintahan, masjid
sebagai pusat peribadatan, alun-alun sebagai pusat budaya, dan pasar sebagai pusat ekonomi.

Rumah tradisional

peninggalan kerajaan Mataram Islam ini kini sudah menjadi Cagar Budaya provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Ketika Anda berkunjung ke lokasi ini, maka Anda akan menemukan kompleks kuno yang
masih sangat terjaga. Suasananya akan membawa Anda ke tempo Doeloe. Rumah ini pun hingga saat ini
masih ditempati.

Kitab Sastra Gending

Selain meninggalkan beberapa benda bersejarah, Kerajaan Mataram Islam juga meninggalkan sebuah
karya sastra berjulukan Kitab Sastra Gending. Kitab yang ditulis Sultan Agung ini meliputi tentang
pemikiran filsafat tentang bagaimana cara menjadi insan berakhlak. Konon, kitab Sastra Gending ditulis
ketika Sultan Agung selesai melaksanakan penyerangan ke Batavia.

Meriam Segara Wana dan Syuh Brata

Segara Wana dan Syuh Brata merupakan nama dari 2 buah meriam berukuran besar. Meriam tersebut
merupakan pemberian dari JP Coen. Pimpinan militer Belanda tersebut menghadiahkannya kepada
Sultan Agung.

Kedua meriam tersebut diberikan sebagai hadiah kepada Kerajaan Mataram Islam. Dikarenakan sang
Sultan Agung telah berjanji untuk tidak menyerang Batavia. Kedua meriam peninggalan Kerajaan
Mataram Islam sampai saat ini digunakan sebagai hiasan depan Keraton Surakarta.

Pertapaan Kembang Lampir

Kembang Lampir merupakan sebuah tempat yang dulunya digunakan Ki Ageng Pemanahan bertapa
untuk mencari wahyu bagi kemajuan Keraton Mataram.

Petilasan pertapaan ini terletak Desa Giri Sekar, Kecamatan Panggang, Gunung Kidul. Letak petilasan ini
tidak jauh dari Jalan Raya Panggang-Baron. Ditempat tersebut terdapat patung para pendiri Kesultanan
Mataram Islam, yaitu Panembahan Senapati, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Juru Mertani.

Anda mungkin juga menyukai