PENDAHULUAN
Komunitas Tionghoa di Indonesia sebagai pendatang telah banyak dicatat dalam berita
yang diperoleh di dalam dan luar negeri. Sebagai contoh, catatan dari abad ke-5 sampai abad
ke-6 M berisi beberapa catatan perjalanan di sejumlah prasasti di bumi Sriwijaya,
Palembang, dan catatan di Tiongkok sendiri. Seperti yang kita ketahui bersama, Fa Hsien
adalah orang Tionghoa pertama yang menjadi biksu Buddha yang mengunjungi pulau Jawa
pada tahun 413.
Menurut berita Fa Hsien sendiri, tidak ada penduduk Tionghoa di pulau Jawa selain dia
yang beragama Buddha pada saat itu. Laporan lain juga menyebutkan penampakan seorang
pria bernama Gunavarman yang melakukan perjalanan dari Indonesia ke China, dan catatan
Kaisar Wen Ti mengirim utusan ke She Po pada abad ke-5 M, dimana kaisar juga bermaksud
mengirim kapal untuk menjemput Gunawarman. . Dalam sejarah klasik Tiongkok, juga sering
disebutkan tentang eksodus besar-besaran orang Tionghoa ke luar negeri pada masa Dinasti
Tang, tentu saja karena kelebihan dana dari perbendaharaan umum dan kondisi sosial
ekonomi di Tiongkok pada waktu itu.
Bukti penting kedatangan bangsa Tionghoa diperkuat dengan kedatangan Zheng He,
pemimpin armada Tiongkok pada masa Dinasti Ming (1368-1644), yang memulai
perjalanannya dari Bintan ke Bangka Belitung, kemudian ke Karimata dan Jawa ( Semarang
dan Madura). Armada tersebut pada dasarnya mencari cucu Kaisar yang telah melarikan diri
dari Tiongkok, yang kemudian berubah menjadi pencarian segel kekaisaran yang hilang.
Dalam perkembangannya, armada ini memprakarsai upeti kepada Beijing (Beijing) sebagai
ibu kota China pada saat itu, sehingga momentumnya bergeser dari komersial ke politik
(Hidayat, 1993). : 66).
Beberapa monumen penting yang menjadi karya arsitektur penting orang Tionghoa di
Indonesia biasanya terutama bangunan candi (biologis), atau kuburan lama dan baru serta
bangunan umum, fasilitas pendukung lainnya seperti perumahan. Menurut Lombard, dalam
bukunya Candi Purba di DKI Jakarta, sejak abad ke-17, candi-candi pertama dibangun di
Indonesia. Awalnya (awal abad ke-18, akhir abad ke-17) sebagian besar pagoda bersifat
komunal dan umum (terbuka untuk semua orang) dan masih digunakan oleh beberapa
kelompok tergantung pada pekerjaan mereka, seperti kuil untuk pandai besi, pekerja kayu,
pedagang, pelaut, pengrajin, dll.
Klenteng Boen Tek Bio yang merupakan Klenteng Tionghoa tertua di Tangerang,
tentunya menyimpan banyak informasi mengenai kawasan Pasar Lama, termasuk bagian-
bagian penyusunnya dan asal muasal penyebaran masyarakat Tionghoa di Tangerang, yang
kemudian merambah ke Pasar Baru dan daerah Serpong dan daerah lainnya.
1
1.2 Permasalahan Penelitian
Pendirian Klenteng BoenTek Bio sebagai salah satu bangunan bersejarah di Pecinan
Pasar Lama Tangerang menjadi penting karena tersebar luas di seluruh Semenanjung Malaya
dan Indonesia. Salah satu klenteng tertua di Tangerang, klenteng ini masih menjadi pusat
keagamaan masyarakat Benten di Tiongkok. Warga Desa Petak Sembilan (saat itu bernama
Benteng Tangerang) bersama-sama menggalang dana untuk membangun kelenteng yang
diberi nama Boen Tek Bio.
Informasi sejarah ini menarik sebab perubahan atau penambahan arsitektur pada
kelenteng Boen Tek Bio tidak dapat dilepaskan dari bukti kegiatan sosial dan perdagangan
serta fungsi kelenteng ini sebagai kelenteng yang melayani sistem keagamaan dan pekuburan
Khong Hu Cu di Tangerang, serta ketersediaan material. Kelenteng Boen Tek Bio diyakini
memiliki orisinalitas dari kebudayaan Tiongkok atau Cina daratan dengan bangunan yang
tidak ditambahkan unsur lokal sama sekali.
Dalam sebuah pertanyaan penelitian, permasalahannya dapat diungkap sebagai berikut :
1. Bagaimana sejarah dari klenteng boen tek bio ?
2. Apa saja bagian-bagian dari klenteng tersebut ?
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
2.2 Lokasi dan Lingkungan Sekitar Klenteng Boen Tek Bio
Kelenteng Boen Tek Bio terletak pada jalan Bhakti Nomor 14, Tangerang. Untuk masuk
ke klenteng Boen Tek Bio, tunggangan wajib diparkir pada tepi Jalan Ki Samaun, & berjalan
sejauh kurang lebih 100 meter ke pada lingkungan Pecinan Pasar Lama. Secara administratif,
kelenteng berada pada daerah Kelurahan Sukasari, Kecamatan Tangerang, Kotamadya
Tangerang, Provinsi Banten. Adapun batas-batas geografis bangunan kelenteng ialah :
Sebelah Utara dengan pasar Lama, pecinan, yaitu rumah penduduk.
Sebelah Timur berbatasan dengan Jalan Cilame dan pemukiman.
Sebelah barat berbatasan dengan jalan Bhakti. Sebelah Selatan pemukiman
(rumah toko), sedangkan letak geografisnya berada pada 106’37”776” BT dan
06”10”749” LS.
100 meter ke timur adalah sungai besar yang membelah kota yang disebut Cisadane
(sebelumnya Sungai Untung Jawa). Klenteng ini terletak di tikungan sungai dan dipercaya
membawa keberuntungan dalam Feng Shui. Ada juga dermaga kuno di dekatnya, yang
oleh penduduk setempat disebut genangan air, tetapi ukuran aslinya tidak lagi diketahui,
dan fungsinya dikatakan pernah menjadi tempat perdagangan dan lalu lintas di tanggul
anak sungai ini sebelum dipindahkan ke barat daya. (dekat Masjid Kali Pasir). Sebelum
dibangun kembali, dermaga kecil ini berfungsi sebagai sampan.
4
Ada juga prasasti tentang pemugaran candi pada 2010, dan kemudian pembangunan
jalan tepi sungai baru yang meratakan pemukiman lama. Hanya beberapa bekas luka yang
tersisa dan prasasti yang ada juga telah hilang. Lokasinya dekat dengan tembok semen dan
ditinggikan untuk mencegah air sungai naik.
Pada arah menuju timur 50 Km dari kelenteng terdapat pemukiman muslim dan Masjid
Kali Pasir yang usianya hampir sama dengan kelenteng ini dan memiliki pengaruh Cina. Hal ini
jelas terlihat pada gaya bangunan dan ornamentasinya, yaitu Momolo adalah bagian atas masjid
yang dihias dengan ornamen pada ujung bubungan atap tanah liat dengan teknik perekatan
(Untoro, Heriyati O. 2008:112).
Klenteng ini terletak di pemukiman Cina yang dikenal sebagai Pasar Lama dan diyakini
telah dihuni pada awal abad 16 dan awal abad 17. Pecinan dan modelnya mengikuti kosmologi
kota-kota di Cina. Pecinan segera dihuni dan pada saat yang sama kuil ini dibangun.
Luas keseluruhan kelenteng Boen Tek Bio adalah 2.955 m2, meliputi bangunan utama
seluas 1.655 m2 dan sisanya adalah bangunan yang ditambahkan kemudian. Arah hadap menurut
pintu masuk ialah ke selatan berikut juga arah hadap bangunan utamanya. Pintu masuk yang lain
berada di sisi timur dan biasanya digunakan oleh umat yang bertujuan untuk masuk ke arah
bangunan Dhammasala, yakni sebuah bangunan modern yang berfungsi sebagai sekolah. Pintu
samping dibuat guna tidak mengganggu ibadah umat di kelenteng.
Halaman Boen Tek Bio berbentuk persegi panjang dengan ukuran panjang dan lebar 8,40
x 8,27 m, berdinding batu andesit hitam dan dipagari besi. Pintu masuknya terbuat dari tiga
pagar besi sederhana dan halamannya tidak terlalu luas. Hal ini dikarenakan lokasi klenteng
yang berada di kawasan Pecinan yang agak sempit dan padat, yang berbatasan langsung
dengan pasar. Parit atau gorong-gorong membatasi akses publik dengan batu bata yang
dibangun di candi ini. Di depan candi, di sebelah kiri pintu masuk utama, ada oven ganda. Di
tengahnya ada pintu yang bisa ditutup dan ada semacam oven persegi di bagian dasarnya. Jin
lu terbuat dari besi setinggi sekitar 2m, berkarat oleh abu dan panas yang membakar. Di
wajahnya ada lambang singa, sedangkan yang lainnya sudah menghilang. Ditulis dalam surat
muncul, "Kontribusi Zhuang Fu Kuan", dengan jumlah tahun yang tidak ditentukan.
Kelenteng Boen tek Bio dalam pemetaan arsitektural dapat digolongkan sebagai sebuah
miao (peribadatan bagi umat konfusian) dengan penggunaan denah yang simetris dan
berdenah siheyuan, dan ini dibuktikan dengan 4 sisi dinding yang memang tertutup dan
dibatasi dengan gerbang besi sebagai ganti pailou (gerbang) Cina. Arah hadapnya Selatan dan
dinding ruang utamanya terbuat dari batu padat dengan penggunaan sistem dougong yang
terlihat menopang serambi depan yang juga tidak diberi pintu (terbuka). Atapnya memakai
jenis tipe atap huan shan pada serambi depan yang diikuti dengan atap jenis pelana dengan
tembok pada ruang utama.
5
2.5 Analisis Penelitian
Analisis pada klenteng ini adalah pada penerapan feng shui, secara harfiah angin (feng
shui) dan air (feng shui). Feng shui atau kanyu umumnya dikenal sebagai xiang di adalah
istilah Cina kuno untuk merencanakan desain sebuah bangunan dalam kaitannya dengan
sekitarnya. Konsep dasar feng shui adalah memaksimalkan kesesuaian atau keserasian
bangunan dengan sekitarnya, yang dipercaya dapat membawa keberuntungan dan rejeki. Arah
feng shui juga perlu dirancang untuk elemen yin dan yang di sekitar area. (Bibir, 2009: 26).
Konsep dasarnya adalah bahwa properti seseorang akan ditentukan oleh hubungan ideal
antara arsitektur bangunan, lanskap, dan tempat tinggal di makam leluhur mereka. Feng shui
populer di Jepang digunakan untuk menentukan lokasi situs kekaisaran yang penting. Bagian
utara harus memiliki dataran tinggi atau perbukitan yang menahan pengaruh jahat dari utara,
sesuai dengan kontur tanah bagian utara yang berbatasan dengan gurun dan menghadap ke
arah air. ke Laut Cina Selatan, menciptakan efek air yang teduh.
Arah timur akan menjadi posisi yang penuh dengan gairah dan dinamis sedangkan
lawannya sisi barat akan memberikan berkat dan nasib baik. Sehingga sisi sebelah kanan akan
selalu menjadi arah barat dan sebaliknya sisi kiri akan menjadi arah timur (Lip, 1987: 2).
Sedangkan analisis ornamentasi sebagai salah satu komponen penyusun arsitektural yang
sifatnya non struktural akan menjelaskan simbolisme dan kedudukan kelenteng ini.
Pendharmaan pada kelenteng ini diterapkan dengan baik, dimana ini diperlihatkan dengan
peletakan Patung Dewi Kwan Im Hud Cow/ Kwan Im Po Sat (Dewi Welas Asih) yang
menjadi dewa utama berada di ruang altar utama, diikuti dengan Kwan Kong di sebelah kiri
dan Fude Zhengzen disebelah kanan. Di bagian kiri ruang altar utama terdapat gerbang
bundar Pintu Kesusilaan yang jika ditelusuri akan tembus ke gerbang Jalan Kebenaran yang
berada di sebelah kanan altar utama.
Menurut Narasumber, selaku Humas dan tokoh Benteng, prinsip kelenteng yaitu
memuliakan Tuhan dan menghormati leluhur. Oleh karena itu, pada kelenteng selain altar
utama biasanya terdapat ruang para suci bagi tokoh-tokoh yang berjasa bagi manusia (sheng).
6
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kelenteng Boen Tek Bio telah menjadi salah satu pusat kegiatan pendatang Cina atau
hoakiaw dari suku Hokkian atau Fukien dan menjadi bukti pemukiman Cina di Tangerang.
Komunitas Tionghoa di Indonesia sebagai pendatang telah banyak dicatat dalam berita yang
diperoleh di dalam dan luar negeri. Menurut berita Fa Hsien sendiri, tidak ada penduduk
Tionghoa di pulau Jawa selain dia yang beragama Buddha pada saat itu.
Kelenteng Boen Tek Bio diyakini memiliki orisinalitas dari kebudayaan Tiongkok atau
Cina daratan dengan bangunan yang tidak ditambahkan unsur lokal sama sekali. Tahun pendirian
kelenteng ini masih diperdebatkan, karena Claudine Salmon mencatat tahun 1775 sebagai tahun
pendiriannya, dibantah oleh narasumber yang mencatat 1684. Hal ini didukung dengan adanya
sebuah angka tahun yang menyebut 1683 pada sebuah landasan (dasar) patung di Boen Hay Bio.
Menurut cerita, pembangunan candi ini dilakukan oleh tukang kayu dan tukang batu dari Cina;
sehingga alam dan arsitektur mencerminkan esensi asli Cina.
Kelenteng Boen Tek Bio terletak pada jalan Bhakti Nomor 14, Tangerang. Sebelah
barat berbatasan dengan jalan Bhakti. 100 meter ke timur adalah sungai besar yang membelah
kota yang disebut Cisadane (sebelumnya Sungai Untung Jawa). Ada juga prasasti tentang
pemugaran candi pada 2010, dan kemudian pembangunan jalan tepi sungai baru yang meratakan
pemukiman lama. Hanya beberapa bekas luka yang tersisa dan prasasti yang ada juga telah
hilang.
3.2 Saran
Bangunan kelenteng Boen Tek Bio menjadi penting karena digolongkan kedalam living
monument yang masih difungsikan sebagai tempat aktivitas keagamaan oleh masyarakat
pendukung, dengan menunjukkan keberadaan komunitas Cina di Tangerang. Namun literatur
yang terbatas dan penjualan arsip penting oleh Dewan Tionghoa (Tiong Hoa Kwee Koan) dan
beberapa kolektor asing di Tangerang yang mulai berdiri pada tahun 1900 pada saat itu
mengaburkan sebagian besar informasi penting yang berkenaan dengan kelenteng ini. Penulis
berharap dengan adanya penelitian baru yang bersifat informatif dan akan memberi pencerahan
dan penerangan pada setiap studi kebudayaan Cina, diaspora ataupun arsitektur yang
berhubungan dengan Sinologi di Asia Tenggara, dan khususnya pada kaum Cina Benteng di
daerah pecinan Kota Tangerang.
7
DAFTAR PUSTAKA
Maertiana, Tri H.
1990 “Kelenteng Kwan Im Hud Cow : Sebuah Kajian Arsitektur Kelentang
Wan Jie Sie : Sebuah Tinjauan Deskriptif”. Depok : Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Moerthiko
1980 Riwayat Klenteng,Vihara dan Lithang : Tempat Ibadah Tri Dharma se
Jawa. Semarang : Sekretariat Empe Wong Kam Fu.
8
LAMPIRAN DAN FOTO
9
Kelenteng Boen Tek Bio (Tampak Depan)
10