Anda di halaman 1dari 7

Sejarah Kelenteng Han Tan Kong Cileungsi

Kelompok 1
Adelia Syifa
Clementia Carmen
Indira Rizkyana
Manzhuur Daanisy Ahmad T
Muhammad Farhan Usman
Salma Athiyyah H

Mentor
Olivia Dian Ardiati (2016)

Program Studi Cina


Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia
Depok
Abstrak
Tahun 1818 konon merupakan waktu berdirinya kelenteng Han
Tan Kong, yang didirikan oleh sebuah keluarga rakyat Cina Selatan
bermarga Sim. Kelenteng ini memiliki kisah sejarah yang panjang dan
telah menjadi pusat kegiatan agama bagi masyarakat Cileungsi. Fokus
penelitian ini adalah untuk mengkaji keseluruhan sejarah kelenteng Han
Tan Kong.

Dari penelitian yang sudah dilakukan, dapat diketahui bahwa


walaupun kelenteng ini memiliki sejarah yang panjang, namun sangat
disayangkan banyak bukti catatan sejarah yang berkaitan sudah hilang
atau dimusnahkan. Sejarah Han Tan Kong akhirnya hanya bertahan
dalam ingatan dan dari paparan lisan para pengurus kelenteng.

Peristiwa kerusuhan rasial yang terjadi di Indonesia pada tahun


1960an menyebabkan keinginan para warga negara Indonesia keturunan
Tionghoa akan perlunya suatu sosok pelindung niscaya dapat menjaga
keturunan mereka; dan akhirnya memutuskan untuk menjadikan Dewa
Han Tan Kong sebagai sosok pelindung daerah tersebut. Karena
bangunan kelenteng ini sudah berumur tua, sehingga telah dilakukan
pemugaran beberapa kali, namun di saat yang bersamaan tetap
mempertahankan bentuk asli bangunan.

Kata Kunci: Kelenteng, Han Tan Kong, Wihara, Sejarah Berdiri,


Pemugaran

1. Pendahuluan

Kelenteng menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “sebuah


bangunan tempat memuja dan melakukan upacara keagamaan bagi penganut
Konghucu”, dengan kata lain kelenteng adalah sebuah tempat ibadah bagi umat
penganut agama Konghucu. Mengingat hubungannya yang erat dengan kehidupan
sehari-hari masyarakat penganut agama Konghucu yang keseluruhannya
merupakan etnis Tionghoa, kelenteng biasanya terletak di dekat permukiman warga
etnis Tionghoa. Termasuk juga Kelenteng Han Tan Kong di Cileungsi, yang berada
di tengah-tengah permukiman warga etnis Tionghoa.

Kelenteng Han Tan Kong, sama seperti kelenteng-kelenteng yang

dibangun pada masa sebelum Reformasi, juga harus digabungkan dengan

wihara umat Buddha, sehingga kelenteng ini juga memiliki nama resmi

1
sebagai wihara, yaitu ‘Wihara Dharma Bakti’. Kelenteng ini beralamat di

Kampung Pasar Lama, Kel. Cileungsi, Kec. Cileungsi, Kab. Bogor, Jawa Barat.

Letak kelenteng ini cukup terpencil dari jalan raya, sehingga tidak mudah

ditemukan tanpa bantuan dari penunjuk jalan. Nama kelenteng Han Tan

Kong merupakan pelafalan bahasa Hokkian dari 玄壇廟 (pelafalan Mandarin:

Xuán Tán Miào), yang berarti Kuil Dewa Xuan Tan atau Dewa Zhao Gong Ming

(趙公明).

Selain bangunan kelenteng, yang terdiri dari 3 bagian, terdapat pula


bangunan kantor dan gedung serba guna yang dapat digunakan untuk berbagai
kegiatan yang diadakan oleh pengurus kelenteng maupun masyarakat sekitar.
Kelenteng ini juga mengadopsi Sam Kiao atau Tridharma, yaitu gabungan dari
agama Buddha, agama Tao, dan agama Konghucu, yang merupakan pedoman hidup
masyarakat etnis Tionghoa sejak ribuan tahun silam. Salah satu tandanya adalah
adanya dewa-dewi yang berasal dari agama masing-masing di dalam kelenteng
tersebut.

2. Isi
a. Asal Usul

Kelenteng Han Tan Kong awalnya bergabung dengan kelenteng Hok Tek
Ceng Sin yang berada di Gua Raden, yang terletak tidak jauh dari letak kelenteng

yang sekarang, dengan dewa utama yaitu Hok Tek Ceng Sin (福德正神, pelafalan

Mandarin: Fúdé Zhèngshén). Setelah pindah ke tempat sekarang, kelenteng

ini berganti nama menjadi Kelenteng Han Tan Kong dengan dewa Han Tan

Kong (玄壇公). Dewa Han Tan Kong merupakan dewa rezeki, karena itu dewa ini

memiliki jumlah pengikut yang cukup banyak di daerah Cileungsi ini, kemungkinan
ada kaitannya dengan mata pencarian masyarakat etnis Tionghoa di Cileungsi pada
zaman dulu.

2
Pada tahun 1965-1966 ketika masa Gestapu, terdapat permasalahan dengan
kebijakan dan peraturan di Indonesia, dan terjadi pembakaran terhadap segala
sesuatu yang berbau Tionghoa, termasuk arsip-arsip dan teks-teks yang ada di
kelenteng ini. Pelaku pembakaran kelenteng sampai sekarang belum diketahui pasti
siapa. Dilakukan juga perubahan nama kelenteng pada masa ini karena dibutuhkan
figur dewa Han Tan Kong sebagai pelindung masyarakat sekitar kelenteng.
Masyarakat sekitar percaya bahwa dewa Han Tan Kong dapat melindungi mereka
dari kekacauan yang sedang terjadi akibat Gestapu. Menurut penjelasan bapak
Sudrajat, pertolongan ini dipercaya datang dalam bentuk tentara dengan senjata,
yang berasal dari hasil bumi seperti kacang hijau, beras, garam, dan padi, sehingga
masyarakat Cileungsi mendapat keamanan dan ketentraman.

Kelenteng ini disebutkan sudah ada sejak tahun 1818, namun apakah

benar tepat pada tahun itu didirikan itu belum pasti. Hal ini dikarenakan tidak

ada data catatan yang menuliskannya, yang merupakan akibat dari

pembakaran arsip-arsip kelenteng pada masa Gestapu. Pemilihan angka

1818 sendiri dikarenakan mereka percaya bahwa angka ini merupakan angka

3
tertinggi, karena angka 18 yang terdiri dari angka 1 dan 8 apabila dijumlahkan

akan menghasilkan angka 9, dimana dalam kebudayaan Cina angka 9

diyakini sebagai angka tertinggi dan menjadi salah satu angka

keberuntungan karena dalam bahasa Hokkian, pelafalan bunyi angka “9”

(九)jiu selaras dengan pelafalan bunyi kata “tinggi”(高)gao yang berarti

“tinggi” atau “agung”.

Terkait identitas tokoh penting pendiri kelenteng Han Tan Kong,


narasumber tidak dapat memberikan informasi yang akurat. Secara umum,
kelenteng ini didirikan oleh warga keturunan etnis Tionghoa yang mayoritas
merupakan orang Hokkian dan sebagian merupakan orang Hakka. Menurut
penuturan Bapak Sudrajat, orang Hokkian yang terlibat dengan pendirian kelenteng
Han Tan Kong datang dari tiga lokasi selama abad ke-18; lokasi-lokasi tersebut
antara lain Batavia (Jakarta), Bekasi, dan Rengasdengklok. Salah satu keluarga
yang memiliki peran paling penting dalam pendirian kelenteng Han Tan Kong
adalah keluarga Sim, namun menurut informasi yang didapatkan, keluarga tersebut
sudah tidak tahu pasti mengenai sejarah kelenteng ini.

b. Alasan Pendirian

Alasan mengenai didirikannya Kelenteng Han Tan Kong berkaitan erat


dengan peristiwa yang terjadi di Indonesia sepanjang tahun 1960an. Selama masa
Orde Baru, terdapat sebuah kerusuhan rasial, dan penerapan ketentuan mengenai
Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang diberlakukan kepada
warga negara Indonesia keturunan asing. Keberadaan kebijakan ini menempatkan
warga negara Indonesia keturunan etnis Tionghoa dalam sebuah status hukum
kewarganegaraan yang dipertanyakan. Selanjutnya pada tahun 1967, bersamaan
dengan diterbitkannya INPRES Nomor 14 Tahun 1967, warga negara Indonesia
keturunan etnis Tionghoa dijauhkan dari hak untuk menjalankan pesta keagamaan
dan adat-istiadat tradisional mereka. Berdasarkan Instruksi Presiden yang sama,

4
warga negara Indonesia keturunan Tionghoa juga diwajibkan mengganti nama
mereka menjadi nama yang dinilai lebih berbudaya Indonesia.

Berdasarkan keadaan pada saat itu, warga negara Indonesia keturunan


Tionghoa merasa diri mereka memerlukan sosok pelindung yang dapat menjaga
keturunan mereka; dan warga Cileungsi memutuskan untuk mengadakan
keberadaan Dewa Han Tan Kong sebagai sosok pelindung daerah tersebut.
Kelenteng yang semula berada di Gua Raden dengan nama Hok Tek Ceng Sin,
dipindahkan ke lokasi yang lebih besar pada tahun 1947, dengan Han Tan Kong
sebagai dewa utama, sekaligus figur pelindung masyarakat Cileungsi.

c. Pemugaran
Menurut narasumber, bentuk awal dari kelenteng ini mirip dengan bentuk
rumah tradisional masyarakat Tionghoa di Indonesia, dikatakan seperti sebuah
rumah tua yang berada persis di samping kompleks kelenteng. Sejak pertama kali
didirikan hingga sekarang, kelenteng Han Tan Kong telah direnovasi sebanyak 3
kali. Renovasi pertama dilakukan pada tahun 1974. Pemugaran yang dilakukan
pada tahun 1974 meliputi penggantian atap kelenteng menjadi atap baja ringan.
Namun arsitektur dari Kelenteng Han Tan Kong tidak mengalami perubahan.

Renovasi kelenteng ini terakhir kali dilakukan pada tahun 2017. Pemugaran
yang dilakukan pada tahun 2017 juga meliputi penggantian atap kelenteng, sama
seperti pemugaran yang dilakukan pada tahun 1974. Meskipun sudah pernah

5
dilakukan pemugaran namun kelenteng inti masih mempertahankan bentuk-bentuk
dan ornamen dari bangunan kelenteng awal, sebagai penanda sejarah kelenteng.

3. Kesimpulan

Kelenteng Han Tan Kong merupakan kelenteng yang memiliki sejarah


cukup lama dan pendiriannya dilakukan oleh masyarakat etnis Tionghoa yang
datang langsung dari Cina. Namun sangat disayangkan, sejarah kelenteng Han Tan
Kong kurang dapat diteliti dan ditelusuri secara mendalam karena banyak arsip-
arsip yang hilang akibat dari pembakaran, baik teks-teks hingga foto-foto lama,
sehingga sumber hanya berdasarkan ingatan para pengurus kelenteng yang
disampaikan secara turun-temurun, menyebabkan ketepatan dan keabsahan data
yang didapatkan tidak cukup baik. Kelenteng Han Tan Kong ini telah melalui
berbagai peristiwa-peristiwa penting dan telah menjadi pusat kegiatan keagamaan
bagi warga sekitar, dan juga menjadi ciri khas dari Cileungsi.

Daftar Pustaka
- Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik Pemprov DKI Jakarta,
“Cileungsi, Klenteng”, terdapat di
https://jakarta.go.id/artikel/konten/631/cileungsi-klenteng [diakses pada 14
November 2019].
- Informasi Situs Budaya, “Keraton Aki Jenggot, Klenteng Hian Tan Kong,
Cileungsi”, terdapat di https://situsbudaya.id/keraton-aki-jenggot-klenteng-
hian-tan-kong-cileungsi/ [diakses pada 15 November 2019].
- Tan, Herman. “Inilah 8 Dewa Rezeki Cai Shen Yang Dipercaya Etnis
Tionghoa”, terdapat di https://www.tionghoa.info/inilah-6-dewa-rezeki-
cai-shen-yang-dipercaya-etnis-tionghoa/ [diakses pada 14 November 2019].
- Sanjaya, Winny. Hukum Perdata: Dilematis Nama Cina Bagi Warga Negara
Indonesia Keturunan Asing. Bandung: Universitas Katolik Parahyangan.

Anda mungkin juga menyukai