• Awalnya bukan pura yang dibangun. Tetapi Sekretariat Parisada Kabupaten Lumajang. Kemudian kedatangan tokoh-tokoh dari Bali yang hendak ke Patirtaan Watu Klosot untuk mendak (menjemput) tirta serangkaian dengan
upacara di Besakih, dimanfaatkan bertemu dengan para tokoh Hindu di Lumajang.
• Dalam pertemuan itu, kemudian ada kesepakatan jika tokoh dari Bali siap membantu mewujudkan pembangunan pura di Kabupaten Lumajang. Terlebih hubungan Bali dan Lumajang sangat erat.
• Pasalnya, keberadaannya Gunung Semeru kerap dikaitkan dengan cerita kuno di Tantu Pagelaran. Konon disebutkan bahwa Gunung Semeru adalah potongan dari Gunung Mahameru di India yang dipindahkan ketika Pulau
Jawa belum stabil.
• Ketika Bali belum stabil, konon ujung Gunung Semeru juga dibawa ke Bali dan menjadi Gunung Agung dan Gunung Batur, bahkan hingga ke Lombok yaitu Gunung Rinjani.
• Atas dasar itulah, tokoh di Bali sepakat untuk membantu. Sehingga ketika ada nuur tirta di Watu Klosot dan akan dibawa ke Bali, maka tirta terlebih dulu distanakan di Pura Lumajang,” imbuhnya.
• Kendati sudah ada kesepakatan, namun pembangunan pura tak serta merta langsung bisa dilakukan. Semula, pura direncanakan hendak dibangun di Desa Ngandangan. Namun, belum terwujud lantaran lokasinya dinilai
tidak cocok. Bahkan, ada beberapa lokasi yang muncul sebagai alternatif pendirian pura. Yakni Desa Kertosari dan Senduro.
• Dari ketiga lokasi itu sempat ditolak. Misalnya lokasi di Desa Kertosari sempat ditolak umat karena sering menjadi jalur lahar Gunung Semeru. Kemudian di Desa Ngandangan karena terkendala akses jalan. Sedangkan di
Senduro (agak bawah) lokasinya sempit.
• Hinga akhirnya disepakati, di Desa Senduro bagian atas yang menjadi lokasi tetap Pura Mandara Giri Semeru Agung dengan luas areal awalnya 20 x 60 meter.
• Sesuai pawisik (petunjuk niskala), bahwa bau tanah di areal pura ini berbau wangi. Lahan ini dibeli dari dana punia donatur dan umat Hindu di Lumajang. Izin pembangunan diajukan kembali dan turun tiga tahun kemudian.
• Pura dibangun bertahap. Setelah batu bata dibeli, Padmasana kemudian dibangun, menghadap ke timur. Anehnya, tidak bisa dituntaskan. Kemudian posisi digeser agak ke utara dengan tetap menghadap ke Timur. Namun
tetap tidak bisa dituntaskan. Hingga akhirnya umat mendapat pawisik agar Padmasana dihadapkan ke selatan. "Sejak itulah pembangunan lancar dan punia mengalir dari umat Hindu di Bali maupun di luar Bali.
Arsitekturnya Nyoman Gelebet
• Pada Purnama Sasih Kasa, tepatnya 3 Juli tahun 1992 dilaksanakan upacara besar berupa Pamungkah Agung, Ngenteg Linggih dan Pujawali. “Setelah itu pula ditetapkan sebagai Pura Kahyangan Jagat,” jelasnya.