Anda di halaman 1dari 3

Pura Tertua di Indonesia

• Mandara Giri Semeru Agung, merupakan pura tertua di Indonesia,


lokasinya berada di Desa Senduro, Kecamatan Senduro, Kabupaten
Lumajang, Jawa Timur.
• Lokasi Pura Mandara Giri Semeru Agung berada di Jl. Serma Dohir,
Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Bangunan
bersejarah ini berada tepat di timur kaki Gunung Semeru.
• Pura Mandara Giri Semeru Agung didirikan sekitar tahun 1960 sampai
1970-an, namun ada juga yang menyebutkan Pura didirikan pada
tahun 1986
• Meskipun Bali terkenal dengan penduduknya yang mayoritas memeluk
agama Hindu, tapi ternyata pura tertua di Indonesia bukan berada di
Pulau Dewata namun justru, pura tersebut dibangun di Lumajang,
Jawa Timur.
• Adapun sejarah berdirinya Pura adalah merupakan pura tertua di
Indonesia yang dibangun di kota yang sebagian besar warganya
beragama non-Hindu, yang menunjukkan adanya menjunjung tinggi
• Cerita dibangunnya Pura Mandara Giri Semeru Agung berawal dari keinginan pemeluk agama Hindu di Lumajang, untuk
membuat pura yang sesungguhnya di tahun 1960-an. Keinginan tersebut semakin kuat saat diadakan upacara Nuur Tirta, yakni
permohonan pengambilan air suci dari Patirtaan Watu Kelosot di kaki Gunung Semeru.
• Umat Hindu dari Bali yang mengikuti upacara tersebut harus menempuh perjalanan darat sekitar 9-11 jam. Biasanya mereka
bermalam di kawasan Lumajang setelah upacara, namun mereka merasa tidak etis untuk membawa air suci masuk ke dalam
hotel dimana umat Hindu pergi untuk bersebahyang. Dengan dasar itu, maka dipandang perlu untuk membangun pura di
kawasan Semeru. Apalagi Gunung Semeru sebagai gunung tertinggi di tanah Jawa sangat disucikan. Bahkan, sudah diungkap
dalam susastra Negara Kertagama” (Jawa Pos Group
• Kemudian muncul keinginan membangun pura di sekitar tempat upacara tersebut namun tidak mudah untuk mendapatkan ijin
bangunan. Impian umat Hindu begitu sulit diwujudkan. Dana pembangunan tidak gampang dikumpulkan. Terlebih kondisi
ekonomi umat Hindu di kawasan Semeru kala itu sangat tidak memungkinkan. impian umat Hindu di Semeru memiliki pura
rupanya mendapat respon dari tokoh Hindu di Bali, yang kala itu nuur tirta (memohon air suci) ke Patirtaan Watu Klosot di kaki
Gunung Semeru. Tirta itu terkait Karya Agung Eka Dasa Rudra di Pura Besakih, Karangasem pada tahun 1979.
• Mereka harus berusaha keras mendapat izin pendirian dan berjibaku menggalang dana. Di waktu itu, para umat Hindu di
kawasan tersebut beribadah di Sanggar Pamujon, yang hampir ada di setiap desa Kecamatan Senduro.
• Izin pendirian pada awalnya tidak disetujui Bupati Lumajang, karena lokasinya yang berada di kawasan pemukiman masyarakat
non-Hindu. Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) setempat kemudian menawarkan lokasi di Desa Kertasari, namun umat
Hindu menolak karena daerah tersebut adalah aliran lahar Gunung Semeru.
• Pada akhirnya, keanekaragaman Indonesia-lah yang menjadi jawaban. Kerukunan antar-umat beragama tampak jelas terlihat di
kecamatan Senduro, menjadi modal besar untuk mendapat persetujuan pendirian pura.
• Setelah mendapatkan ijin dan penggalangan dana, maka pura dibangun oleh umat Hindu. Awal mulanya pura hanya seluas 25 x
60 m yang kemudian bertambah jadi 25 x 65 m.
• Kini Pura Mandara Giri Semeru semakin luas dibangun hingga mencapai 2 hektar dikarenakan semakin tinggi kunjungan ke pura.
Dan merupakan pura terbesar di Kawasan jawa Timur.
• Dengan adanya Pura Mandara Giri Semeru Agung membuat rangkaian upacara Nuur Tirta bisa lebih praktis. Upacara yang
termasuk bagian dari proses upacara Agung Karya Ekadasa Rudra di Pura Agung Besakih ini, bisa dilakukan tanpa harus
membawa air suci ikut menginap di hotel.
• Air suci bisa langsung dibawa oleh umat Hindu dari kaki Gunung Semeru, ke Pura Agung Besakih. Upacara ini awalnya dilakukan
di bulan Maret 1963, kemudian diadakan lagi tahun 1979.
DASAR SEJARAH DARI SUMBER LAIN (Dibangun Berdasarkan Pawisik, Dipilih karena Bau Tanah Harum)
• Tahun 1986 niat umat di Semeru mewujudkan pura kembali meningkat. Tepat setelah PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) Kabupaten Lumajang terbentuk. Bahkan, pembangunan pura di kawasan Semeru, menjadi
program kerja PHDI Lumajang.

• Awalnya bukan pura yang dibangun. Tetapi Sekretariat Parisada Kabupaten Lumajang. Kemudian kedatangan tokoh-tokoh dari Bali yang hendak ke Patirtaan Watu Klosot untuk mendak (menjemput) tirta serangkaian dengan
upacara di Besakih, dimanfaatkan bertemu dengan para tokoh Hindu di Lumajang.

• Dalam pertemuan itu, kemudian ada kesepakatan jika tokoh dari Bali siap membantu mewujudkan pembangunan pura di Kabupaten Lumajang. Terlebih hubungan Bali dan Lumajang sangat erat.

• Pasalnya, keberadaannya Gunung Semeru kerap dikaitkan dengan cerita kuno di Tantu Pagelaran. Konon disebutkan bahwa Gunung Semeru adalah potongan dari Gunung Mahameru di India yang dipindahkan ketika Pulau
Jawa belum stabil.

• Ketika Bali belum stabil, konon ujung Gunung Semeru juga dibawa ke Bali dan menjadi Gunung Agung dan Gunung Batur, bahkan hingga ke Lombok yaitu Gunung Rinjani.

• Atas dasar itulah, tokoh di Bali sepakat untuk membantu. Sehingga ketika ada nuur tirta di Watu Klosot dan akan dibawa ke Bali, maka tirta terlebih dulu distanakan di Pura Lumajang,” imbuhnya.

• Kendati sudah ada kesepakatan, namun pembangunan pura tak serta merta langsung bisa dilakukan. Semula, pura direncanakan hendak dibangun di Desa Ngandangan. Namun, belum terwujud lantaran lokasinya dinilai
tidak cocok. Bahkan, ada beberapa lokasi yang muncul sebagai alternatif pendirian pura. Yakni Desa Kertosari dan Senduro.

• Dari ketiga lokasi itu sempat ditolak. Misalnya lokasi di Desa Kertosari sempat ditolak umat karena sering menjadi jalur lahar Gunung Semeru. Kemudian di Desa Ngandangan karena terkendala akses jalan. Sedangkan di
Senduro (agak bawah) lokasinya sempit.

• Hinga akhirnya disepakati, di Desa Senduro bagian atas yang menjadi lokasi tetap Pura Mandara Giri Semeru Agung dengan luas areal awalnya 20 x 60 meter.

• Sesuai pawisik (petunjuk niskala), bahwa bau tanah di areal pura ini berbau wangi. Lahan ini dibeli dari dana punia donatur dan umat Hindu di Lumajang. Izin pembangunan diajukan kembali dan turun tiga tahun kemudian.

• Pura dibangun bertahap. Setelah batu bata dibeli, Padmasana kemudian dibangun, menghadap ke timur. Anehnya, tidak bisa dituntaskan. Kemudian posisi digeser agak ke utara dengan tetap menghadap ke Timur. Namun
tetap tidak bisa dituntaskan. Hingga akhirnya umat mendapat pawisik agar Padmasana dihadapkan ke selatan. "Sejak itulah pembangunan lancar dan punia mengalir dari umat Hindu di Bali maupun di luar Bali.
Arsitekturnya Nyoman Gelebet

• Pada Purnama Sasih Kasa, tepatnya 3 Juli tahun 1992 dilaksanakan upacara besar berupa Pamungkah Agung, Ngenteg Linggih dan Pujawali. “Setelah itu pula ditetapkan sebagai Pura Kahyangan Jagat,” jelasnya.

Anda mungkin juga menyukai