Anda di halaman 1dari 10

I.

Peninggalan-peninggalan Kehidupan Sosial Budaya Agama Buddha di Sumatera Utara

Di daerah Sumatra Utara ini, juga terdapat kehidupan sosial masyarakat Buddha dimana sudah ada sejak abad ke-11 dimana ditandai dengan munculnya biara-biara tempat para pemuka agama berdoa dan menyebarkan ajarannya. Lalu bukti lain yang menguatkan adanya kehidupan sosial dan budaya masyarakat Buddha di daerah ini adalah terdapat candi-candi dan berbagai peninggalan sejarah lainnya. Dari hal ini menunjukkan bahwa meski di Sumatra Utara masyarakat Buddha dianggap minoritas namun masih terdapat sejarah-sejarah berkembangnya agama Buddha di daerah tersebut. Berikut ini candi-candi peninggalan yang terdapat di daerah Sumatra Utara dan penemuannya.

Candi Bahal Sumatera Utara banyak memiliki situs peninggalan sejarah yang sangat perlu dan penting untuk kepentingan kita semua. Salah satu situs peninggalan Hindu-Buddha berupa candi terdapat di Sumatera Utara bagian Selatan tepatnya di Kabupaten Padang Lawas terdapat sebuah Situs Percandian yang dinamakan Situs Padang Lawas.

Situs ini merupakan salah satu situs penting dari masa pengaruh Hindu-Buddha (Klasik) di Indonesia yang berada di Pulau Sumatera. Areal situs ini secara administratif terletak di wilayah

tiga kecamatan, yakni Kecamatan Batang Pane, Kecamatan Lubuk Barumun, dan Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Padang Lawas Utara.

Kepurbakalaan yang terdapat pada situs ini tersebar di sepanjang aliran Sungai Batang Pane, Sirumambe, dan Sungai Barumun, terdiri dari setidaknya enambelas kompleks percandian atau dalam bahasa setempat lebih dikenal sebagai biaro atau biara yang merupakan adopsi dari kata dalam Bahasa Sanskerta, vihara yang berarti tempat belajar mengajar dan ibadah khususnya bagi penganut agama Buddha (Ing. monastery). Nama lain yang dikenal oleh masyarakat adalah Portibi, yang dalam bahasa setempat berarti dunia. Nama-nama biara itu antara lain adalah: Sipamutung, Bara, Bahal (I,II, dan III), Sijoreng, Pulo, Sangkilon, Sitopayan, dan Sisoldop.

Berdasarkan sejumlah temuan yang didapatkan di situs ini, secara relatif biara-biara di Padang Lawas (Portibi) diperkirakan sudah eksis sejak abad ke-11 M. Data yang dijadikan acuan terutama adalah tulisan-tulisan kuno pada prasasti-prasasti yang ditemukan di situs ini. Salah satu dari beberapa prasasti itu adalah prasasti Gunung Tua, merupakan prasasti tertua yang ditemukan di situs ini, ditulis dalam aksara Jawa Kuno dan menggunakan bahasa Melayu Kuna, yang dipahatkan pada bagian belakang landasan sebuah patung yang diapit terbuat dari perunggu.

Saat ini sisa-sisa kejayaan kerajaan Panai itu masih dapat dilihat di situs Padang Lawas. Beberapa diantara biaro-biaro itu sudah dipugar seperti Biaro Bahal I dan Biaro Bahal II, Biaro Bahal III dan Biaro Sipamutung, sementara biaro-biaro lainnya karena kondisinya sudah teramat rusak mengakibatkan saat ini belum dapat dipugar.

Nama Candi di Kawasan Padang Lawas : 1. Candi Bahal I 2. Candi Bahal II 3. Candi Bahal III 4. Candi Sitopayan 5. Candi Bara 6. Candi Pulo

7. Candi Sipamutung 8. Candi Tandihat I 9. Candi Tandihat II 10. Candi Sisangkilon 11. Candi Manggis Jejak Hindu-Buddha di Sumatera Utara Makin Kuat

Peneliti Balai Arkeologi Medan dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional menemukan jejak baru di Kabupaten Mandailing Natal, sekitar 400 kilometer tenggara Medan.

"Jejak ini melengkapi situs Hindu-Buddha yang sudah ada. Kami meyakini jejak ini lebih tua dari situs Candi Bahal di Kabupaten Padang Lawas. Jejak Candi Simangambat kemungkinan ada sejak abad ke-9 sampai 10," tutur peneliti Balai Arkeologi Medan, Eri Sudewo, Kamis (25/6), saat dihubungi dari Medan.

Eri mengatakan, tim peneliti berhasil menemukan struktur candi secara jelas. Struktur candi ini bisa dilihat dari susunan batu bata merah di bagian dalam dan batu pasir di bagian luar. Peneliti bisa melihat struktur batu berhias, baik di tangga candi, maupun juga di ambang pintu candi.

Keberadaan candi ini sekaligus melengkapi kekayaan jejak agama Hindu-Buddha di Sumut. Selama ini, situs Hindu-Buddha yang paling populer di Sumut terletak Candi Bahal, Padang Lawas (sebelumnya Kabupaten Tapanuli Selatan).

Penelitian di Candi Simangambat ini pernah dilakukan sejak 2008. Penelitian ini merupakan yang kedua kalinya di tempat yang sama. Candi Simangambat terletak di sekitar 20 kilometer selatan Kota Panyabungan (ibu kota Mandailing Natal). Letak candi ini sekitar 200 meter sebelah barat Sungai Muara Jada.

Menurut Eri, struktur bangunan dan motif candi yang ada di dinding candi mirip dengan Candi Sewu di Jawa Tengah. Dia menjelaskan, Candi ini memiliki kaitan erat dengan nama Mandailing

seperti yang tertera di Kitab Negara Kertagama karya Empu Prapanca. Kitab yang ditulis pada 1365 ini menyebut nama Mandailing sebagai nama sebuah kawasan di tempat ini.

Lokasi candi berada di wilayah budaya Mandailing menjadi identitas budaya di kawasan.

"Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan adanya peradaban lebih tua dari tarombo (legenda) suku Batak. Keberadaan candi ini membuktikan adanya pesebaran manusia sebelum adanya migrasi orang Batak dari utara. Dalam tarombo, pesebaran ini paling tidak terjadi abad ke-15, padahal abad ke-10 sudah ada masyarakat yang menghuni tempat ini," katanya.

Penelitian ini diikuti oleh 16 orang yang terbagi dalam dua tim. Penelitian rencananya berakhir pada 30 Juni 2009. Berdasarkan data Balai Arkeologi Medan, situs Simangambat berupa gundukan batuan terletak di tanah kosong; di tengah perkampungan warga. Pada 1920, peneliti Belanda bernama Bosch dan Schintger sudah menyebutkan adanya situs ini. Sebelumnya, pada 2008, tim Balai Arkeologi Medan menemuan keramik di abad ke-12 di sekitar candi.

Penemuan ini sekaligus menguatkan dugaan adanya kontak budaya masyarakat setempat dengan bangsa lain. Ketika itu, peneliti belum menemukan jawaban siapa yang membangun dan untuk siapa bangunan candi didirikan? Bagaimana struktur pemerintahan saat itu dan siapa yang berkuasa di tempat itu? Sebelumnya, antropolog Universitas Sumatera Utara (USU) pernah mengatakan candi ini satu dari sekian banyak jejak sejarah di Kabupaten Mandailing Natal yang belum terungkap. Di beberapa tempat di Mandailing Natal masih menyimpan peninggalan bersejarah. Sayang sekali, benda bersejarah itu sebagian digunakan warga untuk keperluan pembangunan perumahan.

II. Kehidupan Sosial Budaya Agama Buddha di Sumatera Utara Masa Kini
Kehidupan sosial dan budaya masyarakat Buddha di Daerah Sumatra Utara masih berlangsung hingga sekarang contohnya seperti perayaan waisak yang masih dirayakan dengan ramai di vihara-vihara dan alun-alun kota. Kemudian, selain etnis tionghoa, juga ada

etnis-etnis asli daerah Sumatra Utara yang memeluk agama Buddha seperti suku Batak, Karo, Simalungun, dan lain-lain. Selain itu, aliran Buddha yang ada juga bermacam-macam dan beragam asalnya. Kemudian, sosialisasi mereka terhadap masyarakat sekitar khususnya yang beragama lain cukup harmonis dimana mereka saling menjalin kerukunan antarwarga dan wujud sosialisasi yang mereka lakukan juga dalam bentuk kegiatan amal yang dilakukan oleh berbagai yayasan Buddha dimana bertujuan untuk membantu bagi mereka yang membutuhkan. Dan inilah artikel-artikel yang memuat tentang kehidupan sosial mereka di daerah Sumatra Utara. Melebur Perbedaan dalam Waisak

Rintik hujan menyambut malam di Lapangan Merdeka Medan, Minggu 10 Mei lalu. Tetesannya mengiringi gema puja bakti Waisak, prosesi lilin, pembacaan sutra, dan urutan ritual lainnya. Lelaki dan wanita plontos dalam jubah kebesaran kuning yang berkibar membuat suasana ketika itu seperti cerita tentang biara saolin. Mereka adalah pendeta-pendeta agama Buddha yang lebih dikenal dengan sebutan bhikku. Meskipun terdiri dari beberapa aliran, namun malam itu mereka menyatu dalam keharmonisan menyambut perayaan Waisak 2553 BE tahun 2009. Waisak kali ini memang istimewa. Vihara dan kuil-kuil di Sumatera menyambutnya dengan berbagai cara yang lebih meriah. Kebetulan, detik-detik Waisak 2553 tahun ini jatuh tepat pada Sabtu 9 Mei 2009 pukul 11.01 WIB, atau sama dengan weekend bagi seluruh pekerja di dunia. Menjelang dan sesudah waktu yang telah ditetapkan tersebut, seluruh umat Buddha menggelar berbagai kegiatan sesuai akar aliran yang dianutnya. Lalu, perayaan Waisak Akbar dilakukan keesokan harinya. Tahun ini, Lapangan Merdeka Medan merupakan bintang lapangan perayaan Waisak paling massal di Pulau Sumatera. Di sini,

ritual puja-puji kepada Sang Buddha dilakukan dengan cara yang hikmat dan penuh keharmonisan. Para bhikku keluar dari rumah ibadah masing-masing dan berkumpul ke dalam satu barisan. Pakaian mereka berbeda. Sebagian mengenakan jubah berwarna kuning mencorong dengan kombinasi selendang merah. Sebagian lagi mengenakan jubah berwarna kuning kecoklatan dan sedikit terbuka di bagian bahu. Jubah yang dikenakan kelompok pertama adalah Hung Cu Yi (jubah merah agung sesepuh). Jubah kebesaran itu dikenakan oleh para bhikku Buddha dari aliran Mahayana. Sedangkan jubah yang dikenakan kelompok kedua adalah jubah Sangghati dari aliran Theravada. Kedua aliran tersebut merupakan aliran yang penganutnya paling banyak di Sumatera Utara, bahkan di Indonesia. Waisak hadir untuk menghapuskan segala perbedaan itu. Pada perayaan Waisak, kita semua melakukannya dengan tata cara ibadah yang telah kita sepakati bersama-sama. Hal itu bukan hanya berlaku di Lapangan Merdeka saja, tetapi juga di kebanyakan vihara di Sumatera Utara, tutur Bhikku Jinadhammo Mahathera kepada Inside Sumatera. Beliau adalah bikkhu senior dari aliran Theravada di Sumatera Utara. Pendapat Bhikku Jinadhammo diperkuat oleh Bhikku Aggasara, salah seorang bhikku aliran Mahayana dari Vihara Bhaishajyaguru Buddha di Kilometer 13, 8 Medan-Binjai. Waisak adalah hari raya Agama Buddha terbesar yang memperingati tiga peristiwa penting dalam kehidupan Buddha Gautama, yaitu kelahirannya sebagai Pangeran Siddharta, pencapaian penerangan sempurna sebagai Buddha, serta peristiwa Buddha Parinibbana (wafatnya Sang Buddha pada usia 80 tahun). Jadi momen ini adalah milik semua orang Buddha dari berbagai aliran. Di saat yang indah inilah, kita semua mengesampingkan perbedaan untuk merayakan kelahiran, pencapaian, serta kematian Buddha, jelasnya. Sama halnya dengan berbagai tempat di Indonesia, di Sumatera terdapat 3 aliran penganut Buddha, yaitu Theravada, Mahayana dan Tantrayana. Masing-masing memiliki latarbelakang berbeda yang tentu saja sedikit banyak berpengaruh pula dengan tata cara ibadahnya. Komunitas

aliran Mahayana dan Theravada adalah penganut aliran terbanyak. Sementara Tantrayana yang berkiblat ke Tibet cenderung berstatus minoritas. Theravada adalah aliran Buddha yang mengajarkan umatnya untuk mengandalkan diri sendiri. Aliran ini mendorong manusia untuk mandiri, dan ajarannya tergolong sangat sederhana. Menurut Theravada, takdir ada di tangan sendiri. Dapat disimpulkan, Theravada adalah model dasar agama Buddha yang muncul di Hindustan. Mahayana merupakan aliran yang menjunjung tinggi para Dewa dan Bodhisatva. Aliran ini memang lebih cocok untuk orang yang butuh tempat bergantung, dalam pengertian perlindungan dari kekuatan yang suci. Umat Mahayana biasanya sering memanjatkan doa-doa kepada para Dewa dan Bodhisatva. Aliran ini berkembang pesat ketika ajaran Buddha sampai ke daratan Cina dan dipengaruhi oleh kebudayaan Tionghoa. Sedangkan Tantrayana adalah aliran yang cukup unik. Aliran ini sangat spesial dalam hal pengembangan kemampuan batin/spiritual. Dalam aliran ini, mereka lebih banyak membicarakan hal-hal yang bersifat mistis. Dari sudut pandang sejarahnya, Tantrayana merupakan pecahan dari aliran Mahayana yang hingga sekarang ini tetap berpusat di dataran tinggi Tibet. Sekitar tahun 423 M, Bhikku Gunawarman datang ke Negeri Cho-Po (Jawa) untuk menyebarluaskan ajaran Buddha. Ia berhasil memperoleh perlindungan dari penguasa setempat, sehingga misinya menyebarluaskan ajaran Buddha berjalan lancar. Berdasarkan catatan dari Kerajaan Tang di Tiongkok, pada pertengahan abad ke-7, di Jawa Tengah terdapat sebuah kerajaan yang menganut Agama Buddha. Namanya Kaling. Di Tiongkok, nama itu lebih dikenal dengan sebutan Ho Ling. Ho Ling saat itu menjadi pusat ilmu pengetahuan Agama Buddha, dan tidak sedikit orang Tionghoa dari dataran Cina datang ke negeri tersebut untuk belajar, walaupun pada zaman Dinasti Tang, Agama Buddha telah menjadi agama resmi di Negeri Cina. Dalam pertengahan abad ke-7 ini pula, Sriwijaya yang berada di Sumatera tumbuh dan berkembang menjadi pelabuhan penting di tepi perairan Selat Malaka, yakni urat nadi lalu-lintas penting antara India dan Cina. Selama beberapa abad, kerajaan ini memegang hegemoni lautan.

Sriwijaya boleh dikatakan sebagai pusat perdagangan dan pusat Agama Buddha di Asia Tenggara. Agama Buddha di zaman Sriwijaya sudah mengikuti aliran Mahayana yang memahami Bahasa Sansekerta. Lewat siar Bhikku Gunawarman, awalnya agama Buddha yang berkembang di Jawa dan Sumatera adalah Theravada. Tapi lambat laun aliran ini terdesak oleh aliran-aliran lain yang masuk ke Indonesia setelah mereka mempunyai kedudukan yang kuat di India. Hal ini terlihat dengan berdirinya Candi Kalasan yang dipersembahkan untuk Dewi Arya Tara (personifikasi Prajnaparamita menurut aliran Tantrayana, salah satu sekte agama Buddha Mahayana) pada tahun 779 M. Antara tahun 850 hingga awal abad-13, Kerajaan Sriwijaya diperintah oleh keluarga Syailendra yang pernah berkuasa di Mataram, Jawa Tengah, antara tahun 778-850. Selama 75 tahun berkuasa di Mataram, keluarga Syailendra banyak mendirikan bangunan suci Buddha seperti Candi Kalasan, Plaosan, Sari, Borobudur, Pawon dan Mendut. Sriwijaya kemudian meluaskan kekuasaannya sampai ke Muangthai Selatan yang sekarang disebut Suratani dan Pattani. Meskipun Mahayana berkembang pesat dari Negeri Cina, namun aliran Theravada di Sumatera juga berhasil reborn dan berkembang berkat pengaruh India yang secara geografis cukup dekat dengan pulau yang dulunya dikenal dengan Svarnadwipa ini. Aliran tua ini maju pesat terutama ketika berada di bawah kepemimpinan Bhikku Ashin Jinarakkhita, yang membuatnya mewabah hingga ke Jawa. Almarhum dinyatakan sebagai pelopor kebangkitan Agama Buddha secara nasional di Indonesia (1956). Dari Bhikku Ashin Jinarakkhita, lahir tokoh-tokoh umat Buddha di Indonesia seperti Sariputra Sadono, K. Karbono, Soemantri MS, Suraji Ariakertawijaya, serta pimpinan Buddha lainnya yang sampai sekarang masih aktif dalam organisasi Buddhis. Ada pula di antaranya telah menjadi bhikku seperti Ida Bagus Gin yang belakangan dikenal dengan nama Bhikku Girirakkhito. Setelah era Bhikku Ashin Jinarakkhita, giliran Bhikku Girirakkhito yang mengembangkan Theravada, yang saat ini dilanjutkan oleh penerus mereka, Bhikku Jinadhammo Mahathera yang sekarang berkedudukan di Vihara Borobudur Medan. Bhikku Jinadhammo tercatat sebagai

bhikku terlama yang memeluk dan mengajarkan Agama Buddha di Indonesia (40 tahun menjadi bhikku). Theravada adalah aliran yang menuntut penyempurnaan diri. Ini berbeda dengan Mahayana yang lebih cenderung menekankan ajaran Bodhisatwa (wujud manusia dalam pencapaian menuju Buddha-red). Namun pada praktik keagamaan, keduanya sama-sama menggunakan kitab Tripitaka, meski penggunaan bahasanya tidak sama. Kalau Mahayana memakai Bahasa Sansekerta dan Mandarin, Theravada memakai Bahasa Pali (berasal Hindustan-red). Perbedaan lain terletak pada tata ibadahnya karena terpengaruh oleh budaya di mana aliran itu berkembang. Theravada di Tanah Hindustan dan Mahayana di Tiongkok. Tapi pada intinya semuanya akan menyatu dalam napas Waisak karena dalam Buddha, kita semua diajarkan untuk senantiasa menerima perbedaan, tutur Bhikku Jinadhammo. Patung Sang Budha menunggang Gajah koleksi Museum Simalungun, yang menunjukkan pengaruh ajaran Budha pada Masyarakat Simalungun. Sebelum masuknya Misionaris Agama Kristen dari RMG pada tahun 1903, penduduk Simalungun bagian timur pada umumnya sudah banyak menganut agama Islam sedangkan Simalungun Barat menganut animisme. Ajaran Hindu dan Budha juga pernah mempengaruhi kehidupan di Simalungun, hal ini terbukti dengan peninggalan berbagai patung dan arca yang ditemukan di beberapa tempat di Simalungun yang menggambarkan makna Trimurti (Hindu) dan Sang Budha yang menunggangi Gajah (Budha). Vihara Buddha Ramsi Deli Tua selama ini telah memajukan ajaran Buddha disana, hal itu dapat dilihat Banyak penduduk setempat yang telah beragama Buddha, mulai dari suku batak, karo, dan lain-lain. Hal itu dapat dilihat pada hari sabtu malam (Kebaktian Malam) disana sangat padat sekali, banyak sekali penduduk sekitar mengikuti kebaktian Theravada.

III. Lampiran
1). Replika Pagoda Shwedagon di Taman Alam Lumbini

Taman Alam Lumbini merupakan tempat ibadah agama Buddha yang terletak di desa Tongkoh, Kecamatan Brastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.

2). Candi Portibi

Candi Portibi yang merupakan peninggalan Agama Hindu di Desa Bahal, Kecamatan Portibi, Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatra Utara, tidak lagi semegah namanya pada ribuan tahun yang silam.

Anda mungkin juga menyukai