Anda di halaman 1dari 17

LATAR BELAKANG PENEMPATAN DAN FUNGSI

PERIPIH (GARBHAPĀTRA) CANDI SIMANGAMBAT

Oleh:
Ery Soedewo
(Balai Arkeologi Medan)

I. Pendahuluan

Sebelum agama-agama samawi yakni Islam dan Kristen menyebarkan pengaruhnya pada masyarakat
Batak, di daerah pedalaman Sumatera Utara telah ada kepercayaan asli masyarakat setempat yang
bersifat animisme. Selain itu di beberapa daerah tempat etnis ini hidup, juga ditemukan bukti-bukti
yang menunjukkan adanya pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha. Sumber-sumber tertulis dan
arkeologis menunjukkan bahwa di daerah Barus serta Lumut di Tapanuli Tengah dan Padang Lawas
di Tapanuli Selatan pernah ada suatu peradaban yang bercorak Hindu-Buddha (India). Bukti-bukti
pernah adanya pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha pada wilayah yang didiami etnis Batak dapat
dilihat pada tinggalan monumental berupa candi-candi/biaro-biaro di daerah Padang Lawas Tapanuli
Selatan, serta sebuah temuan arkeologis yang ditemukan di Bukit Bongal, Desa Jago-Jago, Kec.
Lumut, Kab. Tapanuli Tengah berupa satu arca Ganeśa. Hal ini semakin menambah kuat asumsi
bahwa antara Padang Lawas dengan Barus tentu pernah terjalin kontak yang cukup intensif. Jejak-
jejaknya mungkin dapat dirunut dari Tapanuli Selatan – Mandailing Natal – Tapanuli Tengah.

Nama Mandailing khususnya sudah disebut dalam karya pujasastra abad ke-14 yakni
Negarakertagama gubahan pujangga Majapahit, Prapanca. Pada pupuh XIII bait ke-1 disebutkan
tentang keberadaan daerah-daerah yang hingga sekarang nama-namanya diketahui berada di Pulau
Sumatera antara lain: Siyak, Pane, Kampe, Haru, Mandahiling, … (Pigeaud 1960:16). Di antara nama-
nama tempat tersebut, Pane dan Mandailing dahulu termasuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli
Selatan, namun setelah reformasi dan Undang-Undang Otonomi Daerah diterapkan, Mandailing
menjadi wilayah kabupaten sendiri yakni Kabupaten Mandailing Natal, sedangkan daerah Pane
tempat kepurbakalaan Padang Lawas berada termasuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan.

Sejumlah pakar kepurbakalaan telah melakukan eksplorasi di kawasan Mandailing sejak masa
kolonial Belanda, antara lain P.V. van Stein Callenfels (1920:64-65, 102-103), yang menyebutkan
keberadaan satu arca perunggu yang menggambarkan dua perempuan menunggangi seekor gajah,
yang ditemukan di aliran sungai di Panyabungan. Menurut informasi yang dikumpulkan Callenfels, di
daerah Natal para pendulang emas pernah menemukan sejumlah perhiasan emas seperti cincin dan
sebagainya. Data lain berkaitan dengan kepurbakalaan di daerah aliran Sungai Batang Gadis dan

1
Batang Angkola yang dilaporkan oleh Callenfels adalah sejumlah artefak yang dikumpulkan di areal
Pasar Siabu, yang berasal dari suatu reruntuhan candi di Bonan Dolok.1

Sepuluh tahun berikutnya, Bosch juga melaporkan keberadaan sejumlah kepurbakalaan di daerah
aliran Sungai Batang Gadis dan Batang Angkola(1930:134). Dalam laporannya tersebut, Bosch
kembali menyebutkan keberadaan arca Ganeśa di Pasar Siabu. Selain itu dia juga melaporkan
keberadaan reruntuhan candi di Simangambat. Menurutnya sejumlah data yang ditemukan di
Simangambat seperti ambang pintu berbentuk kāla dan komponen lainnya menyerupai
kepurbakalaan di Jawa Tengah seperti Candi Kalasan. Oleh karenanya, candi di Simangambat dapat
ditarikhkan oleh Bosch dari zaman Dinasti Sailendra di Jawa. Di antara artefak yang terekam dalam
lampiran foto Bosch terlihat sejumlah batu candi yang antara lain berbentuk kepala kāla, batu
dengan relief gaṇa, dan batu dengan relief guirland/garland (rangkaian bunga).

Tujuh tahun kemudian, Schnitger menerbitkan hasil eksplorasinya antara tahun 1935 hingga 1936
terhadap kepurbakalaan Hindu-Buddha di Pulau Sumatera, termasuk di antaranya adalah kawasan
daerah aliran Sungai Batang Gadis dan Batang Angkola(1937: 14-15). Merujuk pada para peneliti
sebelumnya serta hasil penelusurannya sendiri, Schnitger menyebutkan sejumlah kepurbakalaan di
kawasan Mandailing yang berupa lampu perunggu berbentuk kinnari yang ditemukan di Hutanopan
(Kotanopan), dua arca perunggu masing-masing Kuwera dan gajah, yang ditemukan di daerah
Tanobato, sementara di atasGunung Sorik Marapi ditemukan empat prasasti batu, yang salah
satunya berangka tahun 1294 Ś (1372 M). Data selanjutnya adalah sisa-sisa suatu candi Siwa di
Bonan Dolok yang dibuktikan oleh keberadaan arca Ganeśa. Di Simangambat, Schnitger mendapati
reruntuhan candi Hindu lainnya, yang sisa-sisanya terdiri dari dua kepala kāla, fragmen arca Siwa,
batu-batu candi berhias gaṇa, burung, trisula-cakra, cangkang bersayap, antefik, pinacles, dan lain-
lain. Selain itu ditemukan juga relief mahluk kahyangan, manusia dengan pakaian mewah, dan relief
seekor binatang yang tidak teridentifikasi. Lebih lanjut Schnitger berpendapat bahwa reruntuhan
Candi Simangambat berasal dari abad ke-8 atau ke-9 M, dalam gaya bangun yang secara umum
menyerupai dengan candi-candi di Jawa Tengah. Menurutnya, Candi Simangambat dibangun
menggunakan dua bahan berbeda yakni bata untuk bagian inti/dalam dan batu alam untuk bagian
kulit/luarnya. Namun, bata tampaknya juga digunakan sebagai material bagian luar/kulit candi,
sebab juga ditemukan satu potongan bata berhias dedaunan. Schnitger mencatat bahwa pintu
masuk berada di sisi timur. Tepat di sisi timur reruntuhan tersebut terdapat sisa bangunan yang
denahnya berukuran 4 m x 6 m, dibuat dari batu alam. Areal percandian ini dikelilingi gundukan
tanah berukuran setidaknya 24 m x 24 m (Schnitger,1937:14).

1
Dalam foto OD 4174 (Callenfels, 1920:103) sisa-sisa candi yang dikumpulkan di Pasar Siabu tersebut antara lain berupa
arca Ganeśa tanpa kepala dan tangan-tangannya, batu-batu berbentuk padmāsana, serta batu-batu candi. Saat ini Bonan
Dolok merupakan nama satu kampung yang terletak antara Siabu dan Simangambat.

2
Setelah kemerdekaan Indonesia, perhatian terhadap kepurbakalaan di kawasan daerah aliran
SungaiBatang Gadis dan Batang Angkola terlaksana lagi ketika pada tahun 1997 satu tim penelitian
dari Balai Arkeologi Medan melakukan survei terhadap situs Huta Siantar di Kecamatan
Panyabungan, senyampang tim tersebut melakukan ekskavasi di situs Candi Bara (Padang Lawas)
(Tim Penelitian Bara, 1997:16-17). Penelitian yang lebih ekstensif baru terlaksana ketika pada tahun
2003, saat tim penelitian dari Balai Arkeologi Medan melakukan survei terhadap potensi tinggalan
purbakala di wilayah Kabupaten Mandailing Natal (Soedewo &Repelita, 2003). Kegiatan itu
menghasilkan sejumlah data arkeologis, di antaranya berasal dari masa Hindu-Buddha, yakni
reruntuhan candi di Simangambat, Siabu, Pidoli Lombang dan Huta Siantar (Panyabungan)
(Soedewo & Repelita, 2003: 12-13, 17-18, 33-34). Pelaksanaan penelitian yang intensif terhadap
kepurbakalaan masa pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha di wilayah Kabupaten Mandailing Natal,
baru terlaksana pada tahun 2008, yang berlangsung hingga tahun 2012.

Salah satu situs dari masa pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha di wilayah Kabupaten Mandailing
Natal yang lebih intensif diteliti adalah situs Candi Simangambat, yang secara administratif
merupakan bagian dari Kelurahan Simangambat, Kecamatan Siabu, Kabupaten Mandailing Natal,
terletak pada koordinat 01° 02’ 33,2” LU dan 99° 28’ 46,5” BT, di suatu dataran aluvial di tepi Sungai
Aek Muara Sada yang bermuara ke Sungai Batang Angkola. Masyarakat setempat dahulu lebih
mengenal situs ini sebagai jiret (makam) tua. Penelitian yang dilakukan antara tahun 2008 hingga
2012 terhadap situs ini telah mengungkap antara lain denah bangunan utama Candi Simangambat
berukuran 7,5 m x 7,5 m, disusun dari dua bahan berbeda yakni bata dan batuan tufaan. Di depan
reruntuhan bangunan utama, terdapat satu bangunan berbahan batu alam, kemungkinan adalah
sisa bagian dasar candi perwara atau mandapa, yang denahnya berukuran 7,5 m x 5 m.

II. Artefak-artefak dari dasar struktur Candi Simangambat

Dalam penelitian di situs Candi Simangambat tahun 2009 yang dilaksanakan bekerjasama dengan
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Soedewo dkk., 2009 & Taim dkk., 2009), berhasil ditemukan
periuk terakota di dasar kaki candi, tepatnya di kotak S6T5. Pada awalnya kotak ini digali dengan
tujuan menampakkan secara utuh dinding candi sisi utara. Kondisi permukaan tanah pada kotak ini
cenderung miring, sisi selatan lebih tinggi dibandingkan sisi utara. Kemiringan ini disebabkan karena
sisi selatan kotak merupakan bagian dari badan candi. Pada permukaan tanah di sisi selatan terdapat
beberapa runtuhan bata dan batu putih. Pada spit 1 (hingga kedalaman 25 cm) tanah masih
berwarna cokelat muda bercampur dengan fragmen bata dan batu pasir. Selain itu terdapat juga
konsentrasi beberapa bata di sisi selatan kotak. Konsentrasi tersebut tidak lain merupakan dinding
candi sisi utara, beserta runtuhannya. Ketika dinding candi sisi utara yang nampak, ditarik sebuah
garis lurus dari barat ke timur, maka susunan bata yang dijumpai di kotak S6T5 pada dinding sisi

3
selatan, jelas menunjukkan kesinambungannya dengan penampakan dinding sisi utara candi pada
kotak yang lain. Penggalian selanjutnya, yaitu spit 2 (hingga kedalaman 50 cm) sampai spit 4 (hingga
kedalaman 100 cm), kondisi runtuhan bata dan batu pasir yang menutupi susunan bata dinding sisi
utara dibiarkan saja. Setelah dilakukan pendokumentasian dalam bentuk foto, selanjutnya runtuhan
tersebut dibongkar lapis demi lapis untuk menampakkan susunan bata yang merupakan bagian dari
dinding candi sisi utara. Setelah fragmen bata dan batu
pasir dibongkar, dalam proses perataan bagian dasar
kotak gali, ternyata ditemukan dua konsentrasi gerabah
wadah yang berbeda ukurannya, satu berdiameter ± 25
cm dan satu lagi ± 15 cm. Posisi kedua gerabah wadah
tersebut berdekatan (berjajar timur-barat), gerabah
besar berada di sisi barat, sedangkan gerabah yang lebih

Kondisi periuk terakota saat ditemukan di dasar kecil berada di sisi timur. Keduanya ditemukan pada
struktur bata candi, pada kotak S6T5
kedalaman 107 cm dari permukaan tanah. Setelah
direkonstruksi, ternyata keduanya adalah fragmen suatu periuk
terakota berwarna krem dihiasi pola garis-garis diagonal yang saling
bersilangan hampir di seluruh sisi permukaan luarnya kecuali di
bagian mulutnya. Bentuknya diperkirakan membulat, tanpa karinasi,
dengan diameter maksimal sekitar 17 cm (Soedewo dkk. 2009:10).

Saat dilakukan analisis lebih lanjut terhadap tanah yang berada di


Hasil rekonstruksi periuk terakota dalam periuk terakota tersebut, berhasil ditemukan sejumlah benda
dari kotak S6T5
yang berupa:

Fragmen emas sebanyak sembilan keping ini (berat total 0,3 gram)
ditemukan dari dalam periuk terakota yang didapat dari kotak S6T5,
tepatnya di sisi utara dasar Candi Simangambat. Fragmen emas ini
merupakan salah satu benda yang ditemukan di dalam periuk
terakota tersebut, di samping pecahan kaca, beberapa butir batuan
dari berbagai jenis, fragmen logam berwarna hitam, dan manik-
manik. Bentuk dari kepingan emas ini beragam, sebagian besar di antaranya berupa lembaran, 1
berupa batang silindris, dan 1 lainnya berbalut material berwarna putih. Kesembilan keping fragmen
emas yang ditemukan dari dalam periuk tembikar yang didapat dari kotak S6T5, tepatnya di sisi
utara dasar Candi Simangambat. Hasil analisis XRF (X-Ray Fluorescence) oleh Badan Tenaga Nuklir
(BATAN) Yogyakarta, terhadap kepingan emas dari dalam periuk terakota yang ditemukan di dasar
kaki Candi Simangambat, menunjukkan bahwa emas tersebut adalah emas dengan kadar mencapai

4
23 karat, yang perbandingan materi penyusunnya yakni emas 23,112 ± 0,031 karat, sedangkan unsur
lain adalah perak yang kadarnya hanya 0,887 ± 0,031 karat.

Sumber emas yang ditemukan di dalam periuk terakota dari kotak gali S6T5 Candi Simangambat
mungkin berasal dari tempat-tempat penambangan atau pendulangan emas di daerah sekitar candi
pada masa lalu. Kawasan yang diduga sebagai asal emas dimaksud adalah pegunungan di wilayah
Kabupaten Mandailing-Natal. Petunjuk akan hal itu terungkap dari hasil penelitian sebuah tim dari
Balai Arkeologi Medan pada tahun 2010 yang menelusuri jejak kepurbakalaan di sepanjang daerah
aliran Sungai Batang Gadis. Tidak jauh dari suatu tempat yang dikenal oleh masyarakat Desa Muara
Batang Angkola sebagai Lompatan Harimau, ditemukan jejak aktivitas pertambangan kuno (01° 58’
41” LU dan 99° 30’ 13” BT) yang oleh masyarakat sekitar disebut sebagai garabak ni Agom (tambang
emas orang Agam)2. Keberadaan tambang emas kuno ini ditandai oleh susunan boulder batuan
andesit yang ditata pada permukaan tanah melingkari suatu lubang berdiameter sekitar 1,5 meter.
Setidaknya telah teridentifikasi tiga bekas lubang sejenis di areal sekitar Lompatan Harimau. Masing-
masing lubang tersebut memiliki semacam parit yang pinggirannya diperkuat juga dengan tatanan
batu andesit yang memanjang hingga ke tebing Sungai Batang Gadis. Walaupun belum dipastikan
pertanggalan tambang emas “Orang Agam” tersebut, namun objek dimaksud setidaknya menjadi
petunjuk kuat akan adanya pertambangan emas kuno di daerah aliran Sungai Batang Gadis.

Selain diperoleh dari penambangan, emas di Mandailing Natal juga diperoleh dari hasil pendulangan
di sungai-sungai di wilayah kabupaten tersebut. Pada tahun 1980-an daerah aliran Sungai Batang
Gadis dan Batang Natal menjadi tempat pendulangan favorit warga sekitar. Dalam satu surat kabar
lokal di Surabaya, yakni Surabaya Pos tanggal 18 Agustus 1982, diberitakan bahwa para pendulang di
Batang Gadis dan Batang Natal dapat meraup keuntungan antara Rp. 200.000 hingga Rp. 300.000
per bulan. Seorang di antara pendulang yang beruntung bahkan dikabarkan pernah mendapat
gumpalan emas seberat 0,5 kilogram (Sartono, 1984:6). Tempat pendulangan lainnya adalah daerah
aliran Sungai Tapus tidak jauh dari Kota Pandan (ibukota Kabupaten Tapanuli Tengah). Hingga kini
masyarakat masih sering mendulang emas di daerah aliran sungai tersebut. Tidak jauh dari tempat
pendulangan emas itu terdapat sebuah perbukitan yang disebut masyarakat sebagai Bongal (secara
administratif masuk Desa Jago-Jago, Kecamatan Lumut, Kabupaten Tapanuli Tengah), yang pada
tahun 2001 ditemukan satu arca Ganeśa oleh tim penelitian dari Balai Arkeologi Medan. Memang
tidak ada kaitan langsung antara tempat penemuan arca Ganeśa dengan lokasi pendulangan emas,
namun keberadaan pendulang emas di sungai tidak jauh dari lokasi arca Ganeśa menjadi petunjuk

2
Akhir-akhir ini (setidaknya sejak tahun 2010) di sejumlah titik tidak jauh dari situs Garabak ni Agom tersebut, masyarakat
antusias membuka tambang-tambang emas tradisional, yang tidak jarang merenggut nyawa para penambang yang minim
peralatan dan pengetahuan pertambangan yang baik. Eksploitasi emas di kawasan itu melibatkan tidak saja para penambang
tradisional dari sekitar Mandailing Natal saja, bahkan juga melibatkan para penambang emas tradisional dari Pulau Jawa,
khususnya daerah Jawa Barat, yang didatangkan oleh pemodal setempat.

5
akan arti penting sungai itu di masa lalu sehingga diletakkan sosok Ganeśa di dekatnya (Koestoro
dkk. 2001: 22-23).

Selain kepingan-kepingan emas, di dalam periuk terakota juga ditemukan tiga butir manik-manik,
masing-masing berwarna merah, putih, dan hijau telah ditemukan di dalam periuk terakota dari
kotak S6T5, pada kedalaman akhir spit 4 (-100 cm), tepatnya di sisi utara dasar candi bersama
sejumlah benda lainnya. Manik pertama berwarna merah tembus cahaya, berbentuk hampir bulat
berdiameter 6 mm, dan dibuat dari batu kornelian. Manik berikutnya berwarna putih tidak tembus
cahaya (opaque), dibuat dari kaca (silika) berbentuk nyaris bulat dengan diameter 3 mm. Manik
ketiga berwarna hijau tidak tembus cahaya (opaque), dibuat dari kaca (silika), bentuk nyaris bulat
berdiameter 2 mm.

Menurut Adhyatman dan Redjeki (1993:40—62) manik-manik


kaca yang ditemukan di situs-situs purbakala Indonesia adalah
manik kaca Indo-Pasifik yang diproduksi baik di India maupun
Asia Tenggara (daratan dan kepulauan). Hingga kira-kira 1200 M
manik Indo-Pasifik banyak ditemukan di situs-situs Purbakala
Asia Tenggara daratan maupun kepulauan. Masa akhir manik
Indo-Pasifik tampaknya berkaitan dengan runtuhnya kerajaan Sriwijaya pada abad ke-13 M. Tempat
pembuatan manik-manik di Palembang (hingga kini diduga sebagai pusat Sriwijaya) kemungkinan
mendominasi produksi dan pemasaran manik-manik di kawasan selatan Sumatera bahkan Nusantara
(Adhyatman dan Redjeki,1993:16). Hal itu dibuktikan oleh banyaknya temuan manik-manik jenis ini
beserta bahan bakunya di situs-situs Sriwijaya, seperti di situs Karanganyar dan Kambangunglen
setidaknya telah ditemukan 800 butir manik-manik kaca Indo-Pasifik (Adhyatman dan
Redjeki,1993:28).

Palembang dan sekitarnya bukanlah satu-satunya tempat pembuatan manik-manik kaca Indo-Pasifik,
sebab di tempat lain di Sumatera juga didapatkan bukti bahwa manik-manik tersebut diproduksi.
Bukti akan hal itu didapatkan di situs Muara Jambi –yang terletak di hilir DAS Batanghari- berupa
lumeran manik, terak, dan pecahan kaca, yang makin diperkuat pula oleh adanya fragmen wadah
pelebur kaca (Adhyatman dan Redjeki,1993:30).

Objek lain yang ditemukan di dalam periuk terakota adalah sekeping


pecahan kaca berwarna kehijauan tembus cahaya dari kotak S6T5, pada
kedalaman akhir spit 4 (-100 cm), tepatnya di sisi utara dasar candi bersama
sejumlah benda lainnya. Pecahan kaca ini bentuknya tidak beraturan (hampir
segitiga), dengan panjang 1,5 cm, bagian terlebarnya 7 mm, dan tebalnya 1 mm.

6
Tidak hanya pecahan kaca, manik-manik, dan emas, di dalam periuk
terakota yang sama (kotak S6T5) juga ditemukan beragam jenis batu
berukuran antara 1 mm hingga 1,3 cm. Batu terbesar berbentuk silinder
adalah batu kapur, berukuran panjang 1,3 cm dan diameter 9 mm. Batu-
batu yang lain di antaranya adalah batuan kuarsa berwarna putih, juga
sejumlah potongan kecil batuan andesit. Terdapat juga 2 butir batu, masing-
masing berwarna hitam kecokelatan dan cokelat muda, yang dibentuk berfaset-faset mirip berlian
yang telah diasah. Batu yang berwarna hitam kecokelatan bersisi 8 tidak beraturan, berdiameter 4
mm; demikian halnya dengan batu yang berwarna cokelat muda, juga bersisi 8 tidak beraturan,
dengan diameter 3 mm. Terselip di antara berbagai jenis batuan tersebut, sekeping logam persegi
agak melengkung, berwarna hitam, berukuran panjang 4 mm dan lebar 3 mm.

Selain dari dasar kaki candi utama, artefak juga ditemukan di reruntuhan
candi perwara kompleks Candi Simangambat. Artefak dimaksud berupa
fragmen balok batu berukuran panjang 15 cm, lebar 14,5 cm, dan tinggi 10
cm. Di salah satu permukaannya terdapat empat lubang-lubang geometris
berbentuk segitiga sama sisi dan satu lubang berbentuk segiempat. Salah
satu lubang segitiga sama sisi berukuran 3 cm pada masing-masing sisinya,
sementara lubang yang lain sisi-sisinya berukuran 1 cm. Di dalam salah satu
lubang segitiga sama sisi yang kecil (bersisi 1 cm), terdapat besi yang melekat, sementara lubang-
lubang yang lain kosong.

Artefak berbahan batu berikutnya, ditemukan terpisah di kotak


berbeda pada areal ekskavasi di candi perwara kompleks
percandian Simangambat. Ukuran objek ini jika disatukan panjang
tersisa adalah 32,5 cm (fragmen pertama panjang 13 cm dan
fragmen kedua panjang 19,5 cm), tinggi 15,5 cm, ketebalan
bervariasi menurut sisi-sisinya yang berkisar antara 5 cm hingga 15
cm, lebar tersisa berkisar antara 11 cm hingga 22 cm. Pada sisi dalam terdapat 1 lubang persegi
sedalam 3 cm mengikuti sisi-sisi benda, di dalam lubang –yang dahulu- persegi ini terdapat sisa
lubang-lubang lebih kecil berbentuk segitiga samakaki sebanyak 9 buah dengan kedalaman 1,5 cm,
panjang kedua sisi segitiga samakaki ini 4,5 cm dengan lebar alas 3 cm.

III. Fungsi peripih (garbhapātra) Candi Simangambat

Keberadaan periuk terakota beserta isinya dari dasar kaki candi utama sisi utara, dan kotak-kotak
batu berlubang di dasar candi perwara kompleks Candi Simangambat, mengingatkan pada

7
keberadaan objek-objek sejenis yang ditemukan di situs-situs masa Hindu-Buddha di daerah lain.
Perbandingan terhadap wadah beserta isi periuk terakota dari Candi Simangambat dengan objek
sejenis dari situs lain, kiranya akan dapat menjelaskan fungsi objek-objek tersebut di masa lalu. Data
pembanding berasal dari daerah-daerah yang terpengaruh secara intensif oleh kebudayaan Hindu-
Buddha yang sebagian besar berasal dari situs-situs Hindu-Buddha dari Pulau Jawa, sebagian yang
lain berasal dari Pulau Sumatera dan Pulau Bali.

Situs-situs Hindu-Buddha dari Pulau Jawa yang juga mengandung periuk terakota maupun kotak-
kotak batu sebagaimana ditemukan di kompleks percandian Simangambat, telah didaftar oleh
Soekmono (1974) dan Anom (1997). Kotak-kotak batu andesit ditemukan antara lain di Candi
Barong, Candi Siwa Prambanan, Candi Brahma Prambanan, Candi Wisnu Prambanan, Candi Gebang,
dan Candi Songgoriti. Sementara kotak-kotak batu putih (kapur) ditemukan antara lain di situs Candi
Plasan, Candi Selogriyo, dan Candi Muncul (Ngempon). Sementara candi di Pulau Jawa yang di
bagian dasarnya ditemukan periuk terakota antara lain Candi Wisnu Prambanan dan Candi Gunung
Wukir (Soekmono. 1974:78-93; Anom, 1997:473-9; dalam Wahyudi, 2012:137). Bagian dalam kotak-
kotak batu tersebut dipahat sedemikian rupa sehingga terbentuk ceruk-ceruk berbentuk persegi
maupun kelopak daun teratai berjumlah 9 hingga 17 ceruk. Kotak-kotak batu tersebut dicatat oleh
Soekmono (1974:52, 60, 61-62, 64-65) antara lain ditemukan di petirtaan Jolotundo berupa kotak
batu dengan ceruk-ceruk sebanyak 9 yang membentuk bunga teratai, dari Karangrejo-Kediri berupa
kotak batu dengan ceruk sebanyak 9 lubang, dan dari Candi Muncul (Ngempon) berupa kotak batu
putih berceruk 17 lubang yang membentuk bunga teratai. Penemuan terbaru kotak-kotak batu
berasal dari situs Candi Kimpulan, di areal kampus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta tahun
2009. Sebanyak 3 kotak batu yang ditemukan di situs ini memiliki ceruk sebanyak 17 lubang yang
membentuk kelopak-kelopak teratai (Astuti, 2011:24).

Di dalam perigi Candi Ҫiwa, yang dalamnya 13 meter dan lebarnya kira-kira 2 m x 2m, didapatkan
peti batu yang berisi tanah bercampur arang dan abu, kepingan-kepingan tembaga (perunggu ?), 20
keping koin, batu-batu akik, manik-manik, kepingan-kepingan emas kertas dan perak (Soekmono,
1977:6-7). Sementara dari dalam sumuran Candi Wisnu ditemukan sebuah periuk terakota yang
berisi cupu perunggu. Cupu itu berisi: tanah bercampur abu, emas berbentuk teratai, kepingan-
kepingan perak yang bergambar kura-kura, cakra, dan wajra; serta batu-batu akik, dan potongan-
potongan emas dan perak (Soekmono,1977:7). Masih di kompleks percandian Prambanan, periuk
juga didapat di dalam perigi Candi Brahma, sebanyak 4 buah, namun dalam kondisi sudah hancur
berkeping-keping. Tanah di antara pecahan-pecahan periuk tersebut bercampur arang serta
beberapa potong perunggu (Soekmono,1977:7).

8
Periuk dengan beragam isi juga didapatkan dari situs Karangberahi, Jambi. Di dalamnya terdapat
tanah, yang mengandung kwarsa, pirit, pasir, emas, manik-manik, laterit, pecahan tembikar, kapur,
dan arang. Emas yang diperoleh dari dalam periuk berbentuk butiran dan serpihan. Juga terdapat
sebutir manik-manik kaca berwarna biru dan sebutir manik-manik mutisala berwarna merah
kecokelatan (Purwanti,1996:30--32 dalam Wiyana,1998:36).

Objek-objek sebagaimana ditemukan di beberapa situs Hindu-Buddha di atas juga ditemukan di Pura
Penggulingan, Bali, ketika pada tahun 1982 pura tersebut akan dipugar. Dalam salah satu dari
beberapa peti batu yang ditemukan, terdapat pedupaan perunggu yang di dalamnya berisi 9
lembaran emas, sekeping kaca, dan 6 butir manik-manik. Di luar pedupaan perunggu tersebut
didapat sebentuk gelang perunggu, sepotong emas tipis, sepotong perunggu tipis, dan sebilah besi
sepanjang 15 cm (Soekmono,1989:221; Wiyana,1998:35). Berdasar uraian di atas telah disusun tabel
yang menggambarkan ragam objek yang ditemukan dalam berbagai wadah (periuk terakota dan peti
batu) sebagai berikut:

Ragam objek dalam wadah


No Situs

Emas Perak Perunggu Manik-manik Kaca Bebatuan Arang Abu


3
1 Candi Simangambat √ - - √ √ √ √ -
4
2 Situs Karangberahi (Jambi) √ - - √ - √ √ -
5
3 Candi Ҫiwa (Prambanan) √ √ √ √ - √ - √
6
4 Candi Wisnu (Prambanan) √ √ √ √ - - - √
7
5 Candi Brahma (Prambanan) √ √ √ - - - - -
8
6 Candi Muncul (Ngempon) √ - √ √ - √ - -
9
7 Pura Penggulingan (Bali) √ - √ √ √ - - -
10
8 Candi Kimpulan √ √ √ √ - √ - -
Berbagai objek isian dalam periuk yang ditemukan di situs-situs Hindu-Buddha itu merupakan “benih
kuil” yang disebut garbha. Serangkaian upacara dilakukan untuk menanamkan benih di lahan bakal
didirikan kuil atau candi. Rangkaian upacara itu meliputi penentuan tanah, pensucian tanah,
selanjutnya diuji dengan cara dibajak berulang kali, diairi, dan ditaburi berbagai jenis biji-bijian untuk
menguji kesuburannya. Penanaman benih tersebut mempunyai makna yang dalam, sebab tanah itu
nantinya menjadi penampung benih dari segala yang tumbuh. Oleh karenanya “benih kuil” pun
diserahkan pada tanah agar bangunan sucinya kelak menyerap dan mengembangkan sari-sari yang
terpendam dalam tanah yang telah disucikan tersebut. Upacara utama dari rangkaian “pembenihan

3
Soedewo, 2009: 33-37
4
Wiyana, 1998:35
5
Soekmono, 1977:54-55
6
Ibid., 1977:55
7
Ibid., 1977:58
8
Ibid., 1977:65
9
Ibid., 1989:221
10
Astuti, 2011:24-25

9
kuil” tersebut disebut garbhadāna. Pelaksanaan garbhadāna dilakukan pada malam hari oleh
sthāpaka (arsitek pendeta), yang meletakkan garbhapātra di bagian brahmasthana (pusat
sakral/suci). Garbhapātra dimaksud berupa sebuah bejana, biasanya dari perunggu tetapi dapat juga
dari bahan lain, yang bagian dalamnya dikotak-kotak sebanyak 9 hingga 25 kotak, masing-masing
untuk wakil para dewa dari vāstupurusamandala. Kotak-kotak itu diisi dengan berbagai macam
benda yang merepresentasikan kekayaan tanah, yang terdiri dari berbagai jenis batu akik, logam,
tanaman, biji-bijian, dan juga tanah (Soekmono,1977:239-240).

Secara garis besar upacara peletakan peripih (garbhadāna) dipaparkan sebagai berikut:

Pada pinggir pondasi atau sumuran (perigi) yang telah selesai dipasang bata
atau batu pertama kemudian ditanam akar-akaran dan biji-bijian. Di tengah-
tengahnya dibuat sebuah lubang-yang bagian dasarnya dilukisi naga Ananta-
sebagai pusat diagram vāstupurusamandala yang digambarkan menggunakan
beras atau jagung. Lubang itu dibersihakan dengan air yang diberi bebungaan.
Pada bagian itulah peripih atau garbhapātra yang telah dibungkus dengan kain
putih dan diikat benang diletakkan. Di sekeliling kotak peripih diletakkan 25
kendi berisi air wangi-wangian. Kendi-kendi tersebut juga dibungkus kain putih
serta diikat benang. Setelah itu sang arsitek (śūtragāhin) mengadakan
persembahan dan memuja Dewa Alam Semesta. Keesokan harinya peripih
dibuka kembali untuk diisi. Pertama-tama ditempatkan biji-bijian bagi dewa
mata angin. Untuk dewa-dewa yang sama, peripih tersebut kemudian diisi
dengan tetumbuhan yang berkaitan dengan kesehatan, berbagai jenis logam,
dan berbagai jenis batu akik (Kramsrich I, 1946:126-7; Soekmono, 1974:332-3;
Santiko, 1995:13; Anom, 1997:154-6 dalam Wahyudi, 2012:190-1).
Keberadaan periuk terakota dan kotak-kotak batu beserta isinya yang ditemukan di dasar
reruntuhan candi utama dan candi perwara di kompleks Candi Simangambat jelas terkait dengan
fungsi bangunannya sebagai tempat peribadatan umat Hindu atau Buddha di masa lalu. Wadah-
wadah penampung objek-objek tersebut adalah garbhapātra atau yang dalam tradisi Jawa disebut
sebagai peripih, atau pedagingan sebagaimana dalam tradisi Bali. Menurut Soekmono (1989:217)
peripih berfungsi menghidupkan candi, artinya suatu bangunan candi tidak akan dapat dipergunakan
sebagai bangunan peribadatan jika di dalam candi tidak terdapat peripih (garbhapātra). Melalui
rangkaian upacara garbhadāna, maka kekuatan-kekuatan gaib para dewa dihimpun dan
dipersatukan dalam peripih, untuk menjadi daya tumbuh candi yang baru didirikan (Soekmono,
1989:217-218).

Vāstupurusamandala digambarkan sebagai bujursangkar yang dibagi dalam kotak-kotak


bujursangkar berukuran lebih kecil. Meskipun diagram rituil ini bukanlah denah kuilnya, dan tidak
pula harus menjadi halamannya, namun sebagai dasar pengaturan sesuatu tempat suci tidak dapat
ditinggalkan, biar hanya dalam ujud gambar perlambang saja (Soekmono,1977:238). Bagian
terpenting dari vāstupurusamandala adalah bujursangkar yang berada di tengah-tengah, sebab

10
merupakan pusat potensi gaib yang menguasai alam semesta. Di tempat itulah terpendam
hiranyagarbha, yakni benih dari segala yang ada; di tempat itulah tersembunyi brahman, yakni
tenaga cipta yang menjelmakan segala yang hal menjadi ada; di sinilah bersemayam Brāhma, Dewa
Pencipta alam seisinya. Maka bidang tanah yang menjadi pusat vāstupurusamandala disebut
brahmāsthāna (Soekmono,1977:239). Sesuai dengan keharusan tetap terpeliharanya potensi gaib
itu maka, titik yang harus dihindari adalah yang berada di dalam dan sekeliling brahmāsthāna.
Adapun caranya untuk menghindari tempat “berbahaya” itu adalah dengan menggeser
bangunannya bila bangunan ini menurut rencana harus berdiri di tengah lapangan
(Soekmono,1977:239). Kecuali titik pusat, keempat sudut dan keempat titik kardinal merupakan
titik-titik yang penting juga, karena di tempat itulah bersemayam para dewa penjaga mata angin
(astadikpālaka), yang menjamin dan mengamankan kelangsungan vāstupurusamandala sebagai
perpaduan alam gaib dan alam nyata (Soekmono,1977:239).

Dalam konsep Hindu dikenal konsep Trimurti sebagai emanasi dari Ishwara yang merepresentasikan
tiga kuasa adikodrati yakni sebagai Sang Pencipta yang diujudkan sebagai Brahma, Sang Pemelihara
yang diujudkan sebagai Wisnu, dan Sang Penghancur yang diujudkan sebagai Çiwa. Di antara ketiga
mahadewa Trimurti tersebut, adalah Wisnu dan Çiwa yang mendapat kedudukan lebih dibandingkan
Brahma. Para pemuja Wisnu menyebut sekte mereka Waisnawa, sedangkan para pemuja Siwa
menyebut sekte mereka Saiwa. Dalam candi-candi beraliran Çaiwa, biasanya selain terdapat
penggambaran ketiga dewa Trimurti dalam ujud arca, juga terdapat penggambaran dewa lain yang
mendampingi Siwa yang termasuk dalam kelompok parswadewata yakni Agastya, Ganeṣa, dan
Durga Mahisasuramardini (Budiarto dkk., tt:11).

Selain kelompok parswadewata, dalam konsep Hindu juga terdapat dewa-dewa penjaga mata angin,
yang terdiri atas catwari lokapāla, aṣṭadikpālaka, nawadewata, dan dasalokapāla. Para dewa ini
adalah dewa-dewa subordinat yang bertugas menjaga dunia dari pengaruh buruk para bhuta dan
mahluk jahat lainnya. Di dalam percandian, dewa-dewa tersebut ditempatkan sesuai arah mata
angin yang dikuasainya. Catwari lokapāla adalah dewa-dewa yang berkedudukan di empat penjuru
mata angin utama, terdiri atas Indra di timur, Yama di selatan, Waruna di barat, dan Kuwera di utara.
Adapun aṣṭadikpālaka adalah dewa-dewa yang berkedudukan di delapan penjuru mata angin, terdiri
atas Indra di timur, Agni di tenggara, Yama di selatan, Nirruti di baratdaya, waruna di barat, Bayu di
baratlaut, Kuwera di utara, dan Isana di timurlaut. Konsep aṣṭadikpālaka tersebut kemudian
berkembang menjadi dasalokapāla yang terdiri atas kedelapan dewa aṣṭadikpālaka ditambah
Paramaçiwa di zenith dan Sadaçiwa di nadir. Terdapat juga konfigurasi dasalokapāla yang
menempatkan Brahma di zenit dan Ananta menggantikan posisi Paramaçiwa dan Sadaçiwa (Budiarto
dkk., tt:12-13). Sementara konsep nawadewata yang sering juga disebut dewata nawasanga, adalah

11
dewa-dewa penjaga mata angin dalam sistem pantheon Hindu Dharma di Bali. Dalam kelompok
nawadewata tersebut, diketahui bahwa dewa-dewa yang tergabung di dalamnya didudukkan
sebagai representasi Çiwa, termasuk Brahma dan Wisnu yang juga ada dalam kelompok tersebut.
Dalam konsep nawadewata, Çiwa berkedudukan di pusat, kemudian berturut-turut adalah Iswara di
timur, Mahesvara di tenggara, Brahma di selatan, Rudra di baratdaya, Mahadewa di barat, Sankhara
di baratlaut, Wisnu di utara, dan Sambhu di timurlaut (Budiarto dkk., tt:13).

Konsep peletakan para dewa pada arah-arah mata angin yang menyerupai konsep nawadewata
adalah konsep yang dipakai oleh aliran Saiwa-Siddhanta yang mendudukkan para dewa lokapala
dalam susunan sebagai berikut: Wisnu di utara, Iswara di timur, Brahma di selatan, Mahadewa di
barat, Sambhu di timurlaut, Rudra di tenggara, Maheswara di baratdaya, dan Sankhara di baratlaut
(Setianingsih 1995: 165). Aliran Saiwa-Siddhanta menganggap Çiva/Siwa sebagai dewa tertinggi dan
mempunyai tiga macam penjelmaan untuk menguasai alam semesta. Sebagai Parama-Siwa, Ia
bersifat niskala (tanpa ujud/tanpa bentuk) dan berkedudukan di pusat/tengah, sebagai Sada-Siwa, Ia
bersifat sakala niskala (sesekali menampakkan ujud dan bentuk sebagai penyelamat manusia yang
akan mencapai moksa), dan sebagai Maheswara, Ia mewakili segala ujud dan bentuk dunia fana dan
berkedudukan di nadir (Pott 1940, 119 dalam Setianingsih 1995: 165).

Berdasarkan uraian di atas dapat dipastikan bahwa peripih yang diletakkan di sisi utara bangunan
candi utama kompleks Candi Simangambat diperuntukkan bagi salah satu dewa penguasa mata
angin (lokapāla). Namun, belum dapat ditentukan secara mutlak dewa yang mana menempati sisi
utara candi utama kompleks Candi Simangambat. Mengingat banyaknya konsep (catwari lokapāla,
aṣṭadikpālaka, nawadewata, dan dasalokapāla) yang melatarbelakangi penempatan para dewa di
suatu bangunan suci Hindu, maka perlu dipastikan
terlebih dahulu sifat keagamaan Candi Simangambat.
Pada penelitian tahun 2009 terhadap candi utama
percandian Simangambat telah ditemukan bagian
arca Nandi (lembu/sapi) berbahan batu pasir yang
tidak begitu keras, berukuran panjang 54 cm, lebar 24
cm, tinggi 23 cm. Bagian badan berbentuk empat
persegi panjang yang di bagian punggungnya terdapat punuk yang cenderung persegi berukuran 12
cm X 7 cm dan tinggi 5 cm. Pada bagian belakang punuk terdapat lubang yang tembus hingga ke
bagian moncongnya yang telah patah. Pada bagian kepala ini masih terlihat jelas bentuk mata sisi
kanan, telinga kanan, namun bagian lain hanya tersisa sedikit yakni tanduk kanan dan tanduk kirinya.
Di bagian depan badannya terdapat pahatan kalung berbentuk bulatan-bulatan, tampaknya
menggambarkan klinting (genta kecil) (Soedewo dkk 2009:22). Dalam ikonografi Hindu Nandi adalah

12
wahana (tunggangan/kendaraan) dari Çiva/Siwa. Berbagai versi cerita tentang peran nandi dalam
kaitannya dengan Siwa diuraikan antara lain sebagai berikut (Rao 1971: 212-213):

Ketika masa hidup nandi di dunia menjelang akhir, dia berdoa secara intensif
kepada Siwa agar memberinya hidup yang lebih panjang. Siwa lalu
mengabulkan permohonan Nandi dan menganugerahinya kemudaan yang
terhindar dari ketuaan serta dijauhi dari segala rasa sakit. Siwa bahkan
memberi anugerah lebih dengan mempercayakan padanya sebagai pemimpin
dari sebagian gaṇa. Siwa kemudian mengalungkan rangkaian bunga pada
Nandi, yang tiba-tiba berubah ujud menyerupai Siwa lengkap dengan tiga mata
dan sepuluh tangannya. Setelah itu Siwa menyiramkan air dari Sungai Gangga
yang diikatnya di jaṭāmakutanya. Air yang mengalir dari tubuh Nandi hasil
siraman Siwa, kemudian berubah menjadi aliran Sungai Jaṭōdaka. Siwa juga
memerintahkan Pārvatī untuk memperlakukan Nandi sebagaimana puteranya
sendiri. Pārvatī lalu mengecup ubun-ubun Nandi dan air susunya mengalir dari
payudaranya yang jatuh melalui tiga pancuran yang ada di kepala Nandi; yang
alirannya kemudian berubah menjadi suatu sungai yang bernama Trisrōtas.
Nandi kegirangan mendapat perlakuan seperti itu lalu dianugerahi klinting
(genta-genta kecil) layaknya lembu/sapi. Keriuhan yang ditimbulkan oleh bunyi
dari klinting itu kemudian memunculkan satu sungai yang dinamai
Vṛishadhvani. Siwa yang masih senang dengan yang ditampilkan oleh Nandi,
lalu menganugerahinya mahkota emas dan sepasang anting-anting
(subang/suweng) yang bertabur permata. Sūrya yang melihat Nandi dicintai
dan dikasihi Siwa, akhirnya menurunkan hujan pada Nandi. Air hujan dari Sūrya
yang mengenai mahkota emas kemudian mengalir menjadi dua sungai yang
dinamai sebagai Svarṇōdaka dan Jāmbūnadi. Di daerah dekat Japyēśvara
kelima sungai yang muncul dari kisah Nandi itu mulai mengalir.
Penggambaran Nandi yang menjadi sebab munculnya kelima sungai di dekat Japyēśvara itu,
mungkin menjadi inspirasi bagi pembuat arca Nandi dari areal Candi Simangambat yang berlubang di
punuk dan moncongnya. Artinya, besar kemungkinan arca Nandi ini dahulu merupakan bagian
integral dari arca Siwa yang diletakkan di atasnya (menunggangi Nandi). Air yang dialirkan dari arca
Siwa akan mengalir melalui lubang di punuk Nandi dan keluar melalui moncongnya, sebagai air suci
ibarat kelima sungai yang mengalir dari tubuh Nandi sebagai anugerah dari Siwa, Pārvatī, dan Sūrya.
Mengingat posisi Nandi adalah wahana (tunggangan) Siwa maka tentu dewa utama yang dipuja di
percandian Simangambat adalah Siwa. Mazhab/sekte/aliran dalam Hindu yang memuja Siwa sebagai
dewa tertinggi adalah aliran Saiwa-Siddhanta. Oleh karena itu untuk mengetahui dewa yang mana
yang diletakkan di sisi utara candi maka pandangan menurut konsep Saiwa-Siddhanta terhadap para
dewa lokapala adalah analogi penting untuk mengungkapnya. Menurut Saiwa-Siddhanta susunan
para dewa lokapala adalah sebagai berikut: Wisnu di utara, Iswara di timur, Brahma di selatan,
Mahadewa di barat, Sambhu di timurlaut, Rudra di tenggara, Maheswara di baratdaya, dan Sankhara
di baratlaut. Jadi, tokoh dewa yang kehadirannya direpresentasikan lewat peripih (garbhapātra) dari
bagian sisi utara kaki Candi Simangambat adalah Wisnu. Dalam konsep religi Hindu, Wisnu adalah
salah satu dari tiga dewa Trimurti yang berfungsi sebagai pelindung atau pemelihara alam semesta;

13
sementara dua dewa yang lain yakni Brahma, bertugas sebagai pencipta alam semesta; sedangkan
Çiwa bertugas sebagai penghancur alam semesta. Sosok Dewa Wisnu sudah disebutkan dalam
keempat Kitab Weda (Ŗigvēda, Yajurvēda, Sāmavēda, dan Atharvanavēda), namun tidak satupun dari
keempat Weda tersebut menyebutkan posisinya sebagai salah satu dewa tertinggi. Dalam Weda
tersebut, Wisnu diiidentifikasi sebagai matahari; sementara menurut Çākapūni (seorang pengulas
Weda), Wisnu adalah dewa yang memanifestasikan dirinya dalam tiga tataran bentuk yakni api,
petir, dan sinar matahari. Setelah masa Weda, kedudukan Wisnu sebagai dewa utama telah mantap
pada masa Itihāsa dan Purāna, sebagai salah satu dari ketiga trimurti dalam konsep Hindu.

Sebagai alternatif konsep catwari lokapāla dan aṣṭadikpālaka dapat diajukan untuk mengidentifikasi
tokoh dewa yang direpresentasikan lewat peripih (garbhapātra) dari bagian sisi utara kaki Candi
Simangambat. Dalam kedua konsep itu dewa penguasa arah utara adalah Kuvera. Baik dalam
mitologi Hindu maupun Buddha, Kuvera atau Kubera adalah dewa kemakmuran. Penggambarannya
secara ikonografis adalah duduk di atas teratai yang diletakkan pada suatu kereta yang dihela oleh
manusia, terkadang juga digambarkan duduk di bahu manusia, atau gajah, maupun kambing gunung.
Jika bertangan dua dewa ini digambarkan memegang seekor musang di tangan kirinya sedangkan
tangan kanan dalam sikap tangan (mudra) memberi anugerah (varamudra atau varadamudra)
(Gupte, 1972:51).

Adapun keberadaan emas sebagai salah satu materi isian peripih (garbhapātra) pada bagian sisi
utara kaki Candi Simangambat tampaknya terkait dengan kepercayaan terhadap daya magis
beberapa jenis logam. Di India, beberapa jenis logam dianggap mempunyai kedudukan penting
dalam sistem budaya mereka. Kedelapan jenis logam itu adalah: suvarna (emas), rupya (perak), loha
(besi), tamra (tembaga), trapu (timah putih), sisaka (timah hitam), vanaja (seng), dan riti (kuningan).
Emas (suvarna) dianggap yang terbaik sebagaimana tercermin lewat kata su + varna yang berarti
“memiliki warna yang indah”. Emas dianggap sebagai “dewa dari segala jenis logam”. Perak (rupya)
dianggap sebagai bagian dari “bulan” dan jika dicampurkan dengan logam lain, maka logam
campuran itu menjadi lebih tinggi tingkat kesuciannya. Adapun tembaga (tamra) dianggap
mempunyai daya magis. Kuningan (riti) yang pada dasarnya adalah logam campuran dari tembaga
dengan seng mempunyai kualitas resonansi yang baik, sehingga sesuai untuk bahan alat bunyi-
bunyian (Walker, 1983:65--66 dalam Haryono 1993 : 84). Hal demikian berarti emas yang diletakkan
sebagai salah satu materi isian peripih (garbhapātra) dari bagian sisi utara kaki Candi Simangambat
terkait dengan kepercayaan bahwa emas adalah dewa dari segala jenis logam, sehingga
kehadirannya dalam suatu candi menjadi semacam jaminan akan kehadiran para dewa dalam candi.

Sedangkan fragmen kotak-kotak batu yang ditemukan di sisi tenggara dan selatan candi perwara
dapat dipastikan bahwa objek-objek itu adalah sisa-sisa wadah peripih yang telah terlepas dari

14
konteksnya, dan isinya telah dijarah oleh pemburu harta karun. Jika direkonstruksi salah satu dari
kedua fragmen kotak batu dari areal Candi Simangambat yakni yang memiliki 10 lubang,
diperkirakan adalah suatu kotak peripih dengan lubang sebanyak 16-17 lubang. Objek sejenis juga
ditemukan di Candi Muncul (Ngempon) berupa kotak batu putih berceruk 17 lubang yang
membentuk bunga teratai dari situs Candi Kimpulan, di areal kampus Universitas Islam Indonesia
(UII) Yogyakarta yang juga berceruk 17 lubang.

Penutup

Latar belakang penempatan peripih (garbhapātra) di bagian dasar struktur bangunan candi utama
dan candi perwara kompleks Candi Simangambat, terkait dengan sistem religi yang melatarbelakangi
pendirian candinya. Dalam kepercayaan Hindu maupun Buddha kuil atau candi merupakan tempat
bersemayamnya dewa, sehingga diperlukan syarat-syarat tertentu sehubungan dengan kelayakan
pendiriannya. Salah satunya adalah dengan penanaman peripih (garbhapātra) yang berfungsi
sebagai “benih kuil” agar kuilnya sendiri segera dapat “tumbuh dan berkembang”.

Keberadaan peripih (garbhapātra) di dasar kaki sisi utara candi utama Simangambat merupakan
salah satu syarat untuk menjamin dan mengamankan kelangsungan vāstupurusamandala sebagai
perpaduan alam gaib dan alam nyata. Dipercayai dalam konsep kepercayaan Hindu khususnya aliran
Saiwa-Siddhanta, dewa yang menempati sisi utara candi adalah Wisnu. Sementara dalam konsep
catwari lokapāla dan aṣṭadikpālaka sisi utara merupakan tempat bersemayamnya salah satu dari 8
dewa penguasa mata angin (aṣṭadikpālaka), yakni Kubera atau Kuvera yang dalam sistem pantheon
Hindu dipercaya sebagai dewa kemakmuran. Untuk sementara dapat dinyatakan bahwa Candi
Simangambat adalah satu candi yang berlatar belakang agama Hindu khususnya dari aliran Saiwa-
Siddhanta yang menjadikan Siwa sebagai dewa utamanya. Oleh karena itu maka peripih
(garbhapātra) di dasar kaki sisi utara candi utama Simangambat merupakan representasi dari Wisnu
yang dalam konsep Saiwa-Siddhanta digambarkan menguasai arah mata angin utara.

Kepustakaan

Adhyatman, Sumarah & Arifin, Redjeki, 1993, Manik-Manik di Indonesia/Beads in Indonesia, Jakarta,
Penerbit Djambatan
Anom, I.G.N., 1997. Keterpaduan Aspek Teknis dan Aspek Keagamaan dalam Pendirian Candi Periode
Jawa Tengah (Studi Kasus Utama Candi Sewu). Disertasi: Universitas Gadjah Mada
Astuti, Wahyu, 2011. “Candi Kimpulan: Kecil dengan Arsitektur Unik dan Langka” dalam Buletin
Narasimha. Yogyakarta: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta
Bosch, F.D.K., 1930. Verslag van Een Reis door Sumatra dalam Oudheidkundig Verslag Tweede
Kwartaal 1920. Batavia Centrum: Albrecht & Co.

15
Budiarto, Eri, Gatut Eko Nurcahyo, Muh. Junawan, Riris Purbasari, Siti Rohyani, dan Wiwing Wimbo
Widayanti, t.t. Dewa Dewi Masa Klasik. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa
Tengah
Callenfels, P.V. Stein, 1920. Rapport Over Een Dienstreis Door Een Deel van Sumatra dalam
Oudheidkundig Verslag Tweede Kwartaal 1920. Weltevreden: Albrecht & Co.
Gupte, R.S., 1972. Iconography of The Hindus Buddhists Jains. Bombay: D.B. Traporevala Sons & Co.
Private Ltd.
Haryono, Timbul, 1993. Aspek-aspek Teknik dan Simbolik Artefak-artefak Perunggu Jawa Kuno Abad
VIII – X. Yogyakarta: Disertasi Universitas Gadjah Mada

Intan, M. Fadhlan S., 1993. Tinjauan Geologi Pembentukan Mineral Emas dalam Analisis Hasil
Penelitian Arkeologi IV: Metalurgi Dalam Arkeologi. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan hlm: 355--368
Koestoro, Lucas Partanda, 2001. "Ganesa dan Perempuan Penunggang Kuda, dua Objek Ikonografi di
Tapanuli Tengah", Berkala Arkeologi "Sangkhakala No. 9: 50-59
Koestoro, Lucas Partanda, dkk., 2001. “Penelitian Arkeologi di Kotamadya Sibolga dan Kabupaten
Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara”, Berita Penelitian Arkeologi (Medan), 6: 1-65
Pigeaud, G. Th., 1960. Java in The 14Th Century Asia Study in Cultural History. The Hague: Martinus
Nijhoff
Purwanti, Retno, 1996. “Struktur Bangunan Situs Karangberahi: Sebuah Mandala ?” Kalpataru no.
11. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, hlm. 29-41
Pott, H., 1966. Yoga and Yantra. The Hague: Martinus Nijhoff
Rao, T.A. Gopinatha, 1971. Elements of Hindu Iconography Vol. II Part I. Delhi: Indological Book
House
Sartono, S., 1984. Emas di Sumatera Kala Purba dalam Berkala Arkeologi Amerta No. 8. Jakarta:
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
Schnitger, F.M., 1937. The Archaeology of Hindoo Sumatra. Leiden: E.J. Brill
Setianingsih, Rita M., 1995. Lempengan Emas Bertulis Dari Candi B dalam Kirana. Jakarta: Fakultas
Sastra Universitas Indonesia & P.T. Intermasa
Soedewo, Ery & Repelita Wahyu Oetomo, 2003. Laporan Penelitian Arkeologi di Kabupaten
Mandailing Natal. Medan: Balai Arkeologi Medan
__________, dkk., 2009. Laporan Penelitian Arkeologi Situs Simangambat, Kabupaten Mandailing
Natal. Medan: Balai Arkeologi Medan
Soekmono, 1977. Candi, Fungsi dan Pengertiannya. Jakarta: Direktorat Pembinaan dan Pengabdian
Pada Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan
Taim, Eka Asih Putrina, dkk., 2009. Laporan Penelitian Peradaban Sriwijaya dan Melayu di Wilayah
Sumatera Utara dan Timur: Penelitian Candi Simangambat Kabupaten Mandailing Natal,
Provinsi Sumatera Utara. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional
Wahyudi, Wanny Rahardjo, 2012. Tembikar Upacara di Candi-candi Jawa Tengah Abad ke-8-10.
Jakarta: Wedatama Widya Sastra
Wiyana, Budi, 1998. Temuan Manik-manik Sebagai Peripih: Suatu Kajian Awal dalam Jurnal
Arkeologi Siddhayātra No. 1. Palembang: Balai Arkeologi Palembang hlm: 34—39

16
Glossarium
Catwari lokapāla : dewa-dewa yang berkedudukan di empat penjuru
mata angin utama
Garbhapātra/peripih : unsur inti yang memberi makna dan jiwa pada
suatu candi
Garbhadāna : upacara utama dari rangkaian pembenihan
kuil/candi
Guirland/garland : relief hiasan pada candi yang menggambarkan
rangkaian bunga

17

Anda mungkin juga menyukai