Anda di halaman 1dari 12

TEMUAN STRUKTUR DI SITUS AIMOLI

KABUPATEN ALOR, NUSA TENGGARA TIMUR


The Finding of Structure in Aimoli Site Alor Regency, East Nusa Tenggara

I Wayan Suantika
Balai Arkeologi Denpasar
Jl.Raya Sesetan No.80, Denpasar 80223
Email: w.suantika@yahoo.com

Naskah diterima: 05-05-2014; direvisi: 23-06-2014; disetujui: 14-07-2014

Abstract
The finding of structure in Aimoli, Alor is archaeologically important. This research aims to
determine the form, function, role, and the cause of the structure damage. Methods that applied
are excavation, survey, and interview. The data analysis consists of morphology analysis, technical
analysis, style analysis, and comparative analysis. The finding of building components, namely
pedestal stone, round and elliptical stone, etc. This structure is considered as part of sacred
building. This structure experienced destruction that was caused by geographical condition, less
quality material, and limited knowledge of technology.
keywords: aimoli, structure, sacred building, damage.

Abstrak
Temuan struktur bangunan di Aimoli, Alor secara arkeologis sangat penting. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui bentuk, fungsi, dan peran struktur, serta penyebab kerusakannya.
Metode yang dipergunakan adalah ekskavasi, survei, dan wawancara. Analisis yang dipakai
adalah analisis morfologi, teknik, gaya, dan komparatif terhadap temuan struktur bangunan
di Aimoli. Beberapa bentuk batuan komponen bangunan, yaitu batu lapik, batu berbentuk
lingkaran, batu berbentuk elips, dan lainnya. Struktur tersebut merupakan bagian dari bangunan
keagamaan. Struktur mengalami kerusakan yang disebabkan oleh kondisi geografis, kualitas
bahan yang kurang baik, dan penguasaan teknologi yang terbatas.
kata kunci: aimoli, struktur, bangunan keagamaan, kerusakan.

PENDAHULUAN
Kerajaan Majapahit adalah salah satu bawahan Majapahit adalah Bali, Bedahulu, Lo
kerajaan di Nusantara yang mengalami masa Gajah, Gurun, Sukun, Taliwang, Dompo, Sape,
kejayaan pada abad ke-13 sampai 15 Masehi. Gunung Api, Seram, Hutan Kadali, Sasak,
Beberapa naskah kuno mengatakan bahwa Bantayan, Luwuk, Makasar, Buton, Banggawi,
Kerajaan Majapahit pernah mengadakan Kunir, Galian, Selayar, Sumba, Muar (Saparua),
ekspansi atau perluasan kerajaan pada masa Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon atau
pemerintahan Raja Hayam Wuruk dengan Maluku, Wanin, Seran, Timor (Mulyana 2006,
Mahapatih Gajah Mada. Ekspansi ini berhasil 157-162). Seluruh nama tempat yang disebutkan
menyatukan hampir seluruh wilayah Nusantara. dalam Negarakrtagama menunjukkan betapa
Setelah Suwarnabhumi ditaklukkan, semua luasnya kekuasaan Kerajaan Majapahit pada
bekas daerah taklukannya menjadi bawahan masa lalu. Untuk membuktikan kebenaran
Majapahit, seperti Pahang, Trengganu, berita-berita sejarah yang berkaitan dengan
Langkasuka, Kelantan. Daerah yang berada di kejayaan Kerajaan Majapahit, perlu dicari
sebelah timur Pulau Jawa yang menjadi daerah bukti-bukti tinggalan budaya yang autentik.

Temuan Struktur di Situs Aimoli Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur 109
I Wayan Suantika
Pengaruh Kerajaan Majapahit di Bali dan temuan-temuan permukaan berupa fragmen
Lombok tidak perlu diragukan karena di kedua tembikar yang tersebar cukup banyak. Pecahan
tempat tersebut ditemukan naskah lontar yang tembikar tersebut diperkirakan adalah pecahan
berkaitan dengan kejayaannya. Naskah tersebut alat untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat
adalah Negarakrtagama atau Desawarnana pada waktu itu. Berdasarkan temuan tersebut,
yang ditemukan di Puri Cakranegara pada lokasi penemuan nekara perunggu ini diduga
tahun 1894 dan di Gria Pidada, Karangasem pernah menjadi lokasi aktivitas manusia atau
pada tahun 1978 (Mulyana 2006, viii). permukiman masyarakat pada masa lampau
Hasil ekskavasi arkeologi di daerah (Gede 2012, 1-5).
Lombok Barat berupa penemuan bekas
bangunan pemujaan atau candi yang disebut
dengan Candi Pendua, yang berlokasi di
Dusun Santong, Kecamatan Sesait. Bangunan
candi ini diduga sebagai bangunan konstruksi
kayu. Temuan yang cukup meyakinkan adalah
ditemukannya sebuah batu segi empat yang
salah satu permukaannya berisi pahatan atau
relief yang pahatannya mirip dengan apa yang
dikenal dengan sebutan Surya Majapahit,
serta ditemukannya lingga-yoni tidak jauh
dari lokasi bangunan tersebut (Ekawana 1984,
9). Kemudian di Pulau Sumbawa ditemukan
Gambar 1. Nekara yang ditemukan di
peninggalan Hindu-Budha di Situs Wadu Pa’a
Desa Aimoli Alor Baratlaut.
(Suantika 2012, 1), dan Situs Doro Bata di (Sumber: Dokumen Balai Arkeologi Denpasar)
Dompu dengan bekas struktur bangunan bata
yang diduga dibangun pada masa Majapahit Mengacu pada hipotesa tersebut,
(Ambarawati 2010, 151). Tinggalan budaya kemudian dilakukan ekskavasi pada bulan Juli
yang dibangun pada masa pemerintahan Dinasti 2013. Penelitian ini diawali dengan mengamati
Karangasem di Lombok, seperti Taman Mayura, nekara perunggu yang dipamerkan di Museum
Taman Narmada, Taman Suranadhi, dan lainnya Seribu Moko. Selain nekara perunggu juga
merupakan pengaruh tidak langsung Kerajaan dipamerkan beberapa buah batu kapur atau
Majapahit. limestone berbentuk segi empat yang memiliki
Awalnya penelitian arkeologi di Pulau takikan pada salah satu sisinya. Batu ini diduga
Alor dilakukan berdasarkan informasi dari sebagai bagian dari perbingkaian sebuah struktur
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten bangunan. Lokasi penemuannya berdekatan
Alor, terkait penemuan sebuah nekara dengan tempat penemuan nekara perunggu.
perunggu tahun 1972. Nekara perunggu Temuan komponen bangunan tersebut
tersebut ditemukan oleh seorang penggarap menguatkan dugaan betapa pentingnya lokasi
tanah bernama Simon di tanah tegalan milik tersebut. Pada saat mengadakan observasi,
Yusuf Beli dari Desa Aimoli, Kecamatan dapat dilihat bahwa lokasi penemuan struktur
Alor Baratlaut. Saat ini nekara tersebut dalam bangunan terbuat dari batu kapur berada sekitar
kondisi terawat dan disimpan di Museum Seribu 50 meter di sebelah timurlaut tempat penemuan
Moko, Kabupaten Alor (gambar 1). Pada tahun nekara. Di lokasi tersebut terdapat struktur batu
2012 I Dewa Kompiang Gede, peneliti pada kapur pada permukaan.
Balai Arkeologi Denpasar, meninjau lokasi Setelah dicermati, pada permukaan tanah
penemuan nekara tersebut, dan menemukan terdapat struktur batu kapur yang memiliki

110 Forum Arkeologi Volume 27, Nomor 2, Agustus 2014 (109 - 120)
persamaan jenis bahan dengan komponen di Indonesia khususnya candi atau bangunan
bangunan yang dipamerkan di Museum Seribu suci keagamaan menunjukkan bahwa sebagian
Moko. Indikator struktur bangunan pada besar merupakan bangunan suci Agama Hindu
permukaan tanah tersebut, diduga di lokasi dan Budha. Bangunan suci tersebut didirikan
tersebut pada masa lampau pernah berdiri sebuah menggunakan bahan-bahan yang kuat seperti
bangunan, yang materialnya mempergunakan batuan andesit, padas, batu kapur, batu bata,
batu kapur (gambar 2). Dugaan ini semakin dan lainnya. Berbeda halnya dengan bahan-
kuat dengan adanya informasi dari masyarakat bahan yang digunakan untuk membangun
yang pernah mengolah lahan tersebut, yang rumah tinggal yang cenderung mudah rusak
menyatakan bahwa ada struktur bangunan di dan rapuh. Bangunan suci tersebut dibuat untuk
bawahnya. kepentingan keagamaan yakni sebagai tempat
pemujaan para dewa dan roh leluhur.
Tempat suci Agama Hindu dan Budha
dikenal sekitar abad ke-4 Masehi pada waktu
munculnya Kerajaan Kutai di Kalimantan
dengan rajanya Mulawarman. Tinggalan
budaya kerajaan ini berupa batu tegak
bertulis yang disebut dengan Yupa. Yupa
ini ditulis dengan aksara Pallawa berbahasa
Sansekerta, menyebutkan nama tempat suci
Waprakecwara. Pada masa berikutnya yaitu
saat berkembangnya kerajaan di Jawa muncul
istilah Baprakecwara, yaitu suatu tempat suci
Gambar 2. Temuan batu kapur bertakik di yang berhubungan dengan tiga dewa besar,
Desa Aimoli, dipamerkan di Museum Seribu Moko. yakni Brahma, Wisnu, Siwa (Poerbatjaraka
(Sumber: Dokumen Balai Arkeologi Denpasar)
1951, 11). Secara arsitektural, bukti adanya
bangunan candi ditemukan di pantai utara Jawa
Temuan struktur batu kapur pada
Barat, berupa temuan pondasi candi dari batu
permukaan tanah yang berjajar cukup rapi
bata di Cibuaya. Temuan lainnya berupa candi
di Desa Aimoli menambah khazanah budaya
dengan teknik pembuatan yang masih sederhana
bangsa. Di sisi lain menimbulkan juga berbagai
yaitu Candi Cangkuang di tepi Danau Leles
permasalahan terkait usaha pengungkapan
(Satari 1975, 6). Komplek percandian lainnya
sejarah budaya yang terjadi pada masa lampau.
ditemukan di Batujaya, Karawang, Jawa Barat.
Masalah yang dibahas dalam penelitian ini
Para ahli memperkirakan pembangunan
adalah bagaimana bentuk, fungsi, dan peran
bangunan suci keagamaan mencapai puncaknya
struktur bangunan di Situs Aimoli, serta apa
saat berkembangnya Agama Hindu dan Budha
penyebab kerusakannya.
di Indonesia antara abad ke-7 sampai 15
Berdasarkan latar belakang dan
Masehi. Kebudayaan materi yang ditinggalkan
permasalahan di atas, tujuan penelitian ini
berupa tempat-tempat suci yaitu candi, stupa,
adalah untuk mengetahui bentuk bangunan
gua pertapaan dan kolam suci atau patirthaan
yang pernah ada pada masa lampau sehingga
(Santiko 1996, 141). Bangunan-bangunan
dapat diungkapkan masa atau gayanya
suci tersebut sebagian besar terdapat di Pulau
serta bagaimana fungsi dan perannya bagi
Jawa, Sumatera, dan Bali. Kendati demikian
kehidupan masyarakat pada masa itu. Selain
tidak tertutup kemungkinan bangunan sejenis
itu juga untuk mengungkap kronologi terkait
terdapat di pulau-pulau lainnya di Nusantara,
dengan bangunan tersebut, serta penyebab
salah satunya di Pulau Alor.
kerusakannya. Hasil-hasil penelitian arkeologi

Temuan Struktur di Situs Aimoli Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur 111
I Wayan Suantika
Berkaitan dengan Agama Budha, stupa lainnya yang mungkin ada pada masa lalu.
menjadi sangat penting karena merupakan Dalam kaitan dengan arsitektur candi, sering
bangunan tertua yang ditemukan di India. dikatakan bahwa bentuk bangunan, ornamen
Sejarah perkembangan Agama Budha di atau dekorasinya sering dikatakan mendapat
Indonesia menunjukkan bahwa selain tinggalan pengaruh dari India, namun perlu diingat
budaya materi berupa candi-candi Budha, ada pula bahwa di dalam pembangunan sebuah
pula tinggalan berupa stupa, stupika, tablet tanah candi, para seniman Indonesia di samping
liat, relief, dan lainnya. Jan Fontein mengatakan menaati peraturan kitab-kitab sastra India, juga
bahwa sifat-sifat yang sangat menonjol dari berusaha mengembangkan bakatnya sendiri.
tradisi masa lampau Indonesia adalah tradisi Sedangkan dalam seni hias, seniman lebih bebas
yang kuat dalam bidang keagamaan. Hal mengembangkan bakatnya karena silpasastra
ini dibuktikan dengan banyaknya bangunan tidak memberi ketentuan secara ketat mengenai
suci keagamaan yang didirikan, baik berupa seni hias kuil, baik itu untuk candi Hindu
candi Hindu maupun Budha (Fontein 1972, maupun candi Budha yang ditemukan di
13). Berdasarkan Kamus Istilah Arkeologi, Indonesia (Soekmono 1984, 9).
dijelaskan bahwa candi adalah semua bangunan Candi Budha yang ditemukan di Indonesia
peninggalan kebudayaan Hindu dan Budha di seperti Candi Borobudur, Mendut, Sewu, dan
Indonesia berupa permandian dan bangunan lain-lain, atau ada pula berupa bangunan stupa
suci keagamaan (Ayatrohaedi 1978, 35). seperti stupa Sumberawan di Jawa Timur,
Fungsi candi pada awalnya menjadi stupa di Pura Pagulingan Gianyar, dan stupa
perdebatan para ahli karena ada yang Kalibukbuk, Buleleng, Bali (Astawa 1997, 8).
mengatakan berfungsi sebagai makam dan Temuan lainnya berupa relief stupa pada tebing
ada yang mengatakan sebagai bangunan suci. sungai dan tebing pantai, seperti relief stupa
Stutterheim dan Krom sebagaimana dikutip dan Budha di Wadu Pa’a, Bima Nusa Tenggara
oleh Mantra berpendapat bahwa pada awalnya Barat (Suantika 2012, 16). Adanya tinggalan
candi berarti suatu tanda peringatan dari batu, arkeologi berbentuk stupa di Pulau Bali dan
baik yang berupa tumpukan batu maupun Pulau Sumbawa, maka bukanlah sesuatu yang
berupa sebuah bangunan kecil yang didirikan mustahil apabila terdapat pula bangunan stupa
di atas tempat penanaman abu jenazah. Namun, di Pulau Alor.
Mantra mengatakan bahwa candi adalah
bangunan suci untuk palinggih dari raja yang METODE
telah meninggal dan telah disucikan, serta Lokasi stupa di Desa Aimoli terletak pada
telah kembali ke brahmaloka sehingga bukan dataran rendah tepi pantai tepatnya di belakang
sebagai kuburan (Mantra 1963, 37). Pernyataan gedung Sekolah Menengah Pertama milik
ini kemudian dikuatkan lagi dengan hasil- Yayasan Kristen di Desa Aimoli, Kecamatan
hasil ekskavasi beberapa buah peripih candi Alor Baratlaut. Lokasi ini merupakan lahan
yang isinya bukan mayat atau abu jenazah, perkebunan yang jaraknya sekitar 100 meter
melainkan bermacam-macam benda, seperti dari garis pantai dengan ketinggian sekitar 5
potongan-potongan berbagai jenis logam dan meter di atas permukaan laut dan sangat mudah
batu-batuan, misalnya batu mulia yang disertai dicapai. Penelitian ini merupakan bagian dari
dengan saji-sajian (Soekmono 1974, 81). penelitian Balai Arkeologi Denpasar yang
Jika pendapat ini dijadikan acuan dalam dilaksanakan pada tanggal 17-30 Juli 2013,
pengkajian situs stupa atau struktur bangunan diketuai oleh Drs. I Dewa Kompiang Gede.
di Aimoli, Alor, dapat dijadikan pedoman Penelitian ini menggunakan beberapa
untuk pencarian area aktivitas lainnya, seperti tahapan, yaitu pengumpulan dan pengolahan
lokasi permukiman, lokasi pertanian, dan data, serta analisis data. Tahapan pengumpulan

112 Forum Arkeologi Volume 27, Nomor 2, Agustus 2014 (109 - 120)
data dilakukan dengan studi pustaka, yaitu menggunakan teknik spit, yaitu setiap spit tanah
usaha untuk memperoleh data yang berkaitan digali dengan kedalaman 25 cm. Penggalian
dengan situs yang diteliti, aspek kebudayaan, kotak ALG II dari spit (1) sampai (4) dengan
maupun aspek-aspek lainnya yang bertujuan kedalaman 1 meter ditemukan struktur
untuk mengungkap perkembangan Agama bangunan berupa lima lapis susunan batu kapur.
Hindu dan Budha di wilayah Nusa Tenggara Penggalian ini menemukan pula banyak
Timur. Selanjutnya dilakukan survei, yaitu batuan komponen bangunan yang menampakkan
kegiatan pengamatan langsung terhadap pengerjaan bersifat khusus, seperti batuan yang
tinggalan arkeologi sehingga dapat diperoleh memiliki takikan pada sisi atas dan bawah
data primer yaitu potensi arkeologi, luas dan batuan yang salah satu sisinya dipangkas
sebaran situs, dan kondisi lingkungan situs. miring yang terdiri dari beberapa tipe. Tipe-
Tahap berikutnya dilakukan ekskavasi, yaitu tipe pengerjaan batuan ini adalah yang salah
penggalian pada lokasi yang diduga memiliki satu ujungnya dibentuk sehingga jika disusun
tinggalan arkeologis. membentuk sebuah lingkaran, batu dengan satu
Analisis yang dipakai adalah analisis takikan, dan batu yang memiliki permukaan
morfologi, teknologi, gaya, dan kontekstual. berupa bingkai sisi genta (gambar 3).
Analisis morfologi adalah analisis terhadap
bentuk bangunan, arah hadap, bagian kaki,
tubuh, atap, denah bangunan, dan lainnya.
Analisis teknologi yaitu analisis terhadap
bentuk dan jenis bahan-bahan yang digunakan,
teknik pemasangan, dan teknik penyambungan
batu. Analisis gaya yaitu pengamatan terhadap
bentuk bangunan dan ragam hias pada seluruh
bangunan dengan harapan akan diperoleh
gaya bangunan serta periodisasinya. Analisis
kontekstual yaitu analisis terhadap variabel- Gambar 3. Batu kapur dengan berbagai jenis takikan,
variabel yang umumnya menjadi satuan hasil ekskavasi Situs Aimoli, Alor Baratlaut.
pengamatan, seperti keberadaan pagar keliling, (Sumber: dokumen Balai Arkeologi Denpasar)
parit keliling, dan lainnya (Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional 1999, 89-91). Batuan yang memiliki bagian-bagian
bentuk struktur ini, mulailah muncul dugaan
HASIL DAN PEMBAHASAN bahwa struktur bangunan yang terbuat dari
Temuan Struktur Bangunan batu kapur ini kemungkinan besar dahulunya
Berdasarkan informasi masyarakat berbentuk stupa, yaitu sebuah bangunan
mengenai penemuan nekara perunggu dan suci Agama Budha yang berasal dari masa
temuan permukaan berupa fragmen tembikar klasik. Dengan adanya komponen-komponen
dan beberapa batuan komponen bangunan, bangunan seperti yang disebut sebelumnya,
lokasi tersebut diasumsikan masih memiliki maka dibuka sebuah kotak di sebelah barat
tinggalan arkeologis yang terpendam. Akhirnya ALG II dengan kode ALG III, tujuannya untuk
disepakati untuk mengadakan ekskavasi pada mencari kelanjutan struktur bangunan yang
lokasi temuan nekara dan pada lokasi penemuan terlihat pada ALG II yang berlanjut ke arah
struktur batu kapur tersebut. Penggalian atau barat. Penggalian pada ALG III mencapai
ekskavasi pada temuan struktur ini diberi kedalaman 30 cm karena hampir seluruh kotak
kode ALG II. Kotak ekskavasi dibuat dengan dipenuhi oleh pasangan struktur bangunan,
ukuran 2 x 2 meter, dengan teknik penggalian dan sebagian kecil yang bisa digali dengan

Temuan Struktur di Situs Aimoli Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur 113
I Wayan Suantika
kedalaman 100 cm. Sampai akhir, penggalian Berdasarkan hasil penelitian arkeologi di
ALG III belum menemukan sisi utara dari Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan
struktur bangunan sehingga diadakan perluasan bangunan dari masa klasik yang memiliki atap
kotak ekskavasi ke arah utara selebar 50 cm. kubah, hanyalah bangunan stupa yang disebut
Perluasan ALG III ini menemukan struktur dengan anda. Hal ini menguatkan dugaan
bangunan yang berorientasi timur-barat yang bahwa bangunan yang dahulu ada di Aimoli
merupakan kelanjutan dari struktur bangunan merupakan bangunan suci Agama Budha yang
yang berorientasi utara-selatan pada ALG II. disebut dengan stupa (gambar 4).
Susunan batuan yang terlihat sebanyak tujuh
lapis susunan batu kapur. Keseluruhan struktur
bangunan memperlihatkan denah berbentuk
persegi dengan ukuran 350 cm x 350 cm.
Berdasarkan temuan-temuan yang ada,
baik yang berbentuk struktur bangunan maupun
ciri-ciri yang tampak pada batuan lepas, hasil
penggalian ini secara jelas memperlihatkan
adanya bukti-bukti arsitektur sebagai berikut,
yaitu adanya struktur bangunan yang memiliki
denah segi empat, terbuat dari batu kapur
yang pada bagian dasar terlihat masih berada
dalam posisi yang asli atau insitu. Struktur Gambar 4. Struktur kubah hasil susun coba dari
bangunan ini terdiri dari tujuh susun batu kapur hasil ekskavasi Situs Aimoli, Alor.
(Sumber: Dokumen Balai Arkeologi Denpasar)
dan memperlihatkan adanya bentuk pelipit
bawah. Pola ini menunjukkan bahwa struktur
Mengacu pada ukuran dasarnya
memiliki perbingkaian. Batuan yang digunakan
yang memiliki panjang sisi sekitar 350 cm,
sebagai bahan bangunan memiliki bentuk
bangunan stupa di Desa Aimoli kemungkinan
segi empat yang seragam meskipun memiliki
memiliki kesamaan gaya arsitektur dengan
ukuran berbeda-beda. Hal ini memberikan
Stupa Sumberawan di Jawa Timur. Stupa
acuan bahwa jenis dan bentuk bahan yang
Sumberawan diperkirakan berasal dari kata
digunakan merupakan kebutuhan teknologi
sumber dan rawan atau telaga karena di
pembangunan. Beberapa jenis takikan pada
sekitar lokasi stupa itu terdapat telaga. Stupa
batuan terlihat dibuat dengan sangat baik dan
ini pernah direnovasi oleh Oudheidkundige
rapi sehingga menguatkan dugaan bahwa
Dienst, tetapi tanpa puncak. Bagian puncak
komponen-komponen ini berasal dari sebuah
tidak direkonstruksi karena bagian-bagiannya
struktur bangunan yang memiliki perbingkaian.
tidak lengkap dan masih diletakkan di halaman.
Batuan yang salah satu ujungnya dipangkas
Dilihat dari bentuknya, Stupa Sumberawan
miring setelah direkonstruksi berbentuk dasar
diduga berasal dari masa Kerajaan Majapahit,
lingkaran, sisinya makin ke atas makin mengecil
sekitar abad ke-14 Masehi (gambar 5). Dalam
sehingga bentuknya menyerupai kubah atau
naskah Negarakrtagama, tempat ini dinamakan
sisi genta. Batuan yang memiliki takikan atas
Kasurangganan dan disebut sebagai tempat
dan bawah juga memperlihatkan ujung yang
peristirahatan Raja Kerajaan Majapahit yang
mengacu pada bentuk lingkaran dan diduga
bernama Hayam Wuruk (Sulaiman 1975, 62).
sebagai dasar dari kubah. Sampai saat ini di
Berdasarkan hasil penelitian terhadap
wilayah Alor belum pernah ditemui bangunan
bangunan keagamaan atau candi yang didirikan
yang batuannya memiliki bentuk seragam dan
pada masa lalu, konstruksi yang digunakan
takikan atau pangkasan yang rapi.
dapat digolongkan menjadi dua jenis susunan,

114 Forum Arkeologi Volume 27, Nomor 2, Agustus 2014 (109 - 120)
Sang Budha, dan lambang kesucian Agama
Budha pada umumnya (Soekmono 1973, 23).
Sebagai bangunan suci Agama Budha,
pembangunan stupa dikaitkan dengan peristiwa
penting dalam perkembangan Agama Budha.
Stupa memiliki latar belakang yang berkaitan
dengan konsep dan filosofi perkembangan
Agama Budha di Nusantara. Pembangunan
sebuah bangunan suci keagamaan mengikuti
kaidah atau aturan tertentu yang harus
dijadikan dasar. Penelitian-penelitian yang
dilakukan oleh beberapa ahli kebudayaan
mengidentifikasi bahwa secara arsitektural
sebuah bangunan stupa harus memiliki bagian-
Gambar 5. Sketsa perkiraan bentuk stupa bagian sebagai berikut, yaitu bagian dasar
di Situs Aimoli. atau prasada biasanya berbentuk segi empat
(Sumber: Dokumen pribadi) atau lingkaran dengan tangga atau sopana di
sisi-sisi sampingnya, bagian badan atau anda
yaitu konstruksi susunan batu dan konstruksi berbentuk kubah atau setengah bola yang dalam
susunan kayu. Bangunan konstruksi susunan perkembangan selanjutnya berubah menjadi
batu adalah bangunan yang konstruksi utama bentuk bel atau ghanta. Tongkat atau yasthi
dinding penahan beban atau bearing wall dengan payung atau catra yang melambangkan
bagian atap atau kepalanya tersusun di atas kesucian bangunan, dan pagar atau harmika
pondasi yang berbahan sama, yakni batu alam. yang terletak di bagian atas anda dan berfungsi
Bangunan konstruksi susunan kayu adalah sebagai pelindung yang mengelilingi yasthi dan
bangunan yang konstruksi utama dari rangka catra (Rowland 1959, 199).
penyangga atap atau kepalanya berbahan kayu Selain aspek arsitektural, bagian stupa
(Atmadi 1979, 5). Berdasarkan hasil ekskavasi dianggap sebagai simbol perjalanan hidup dan
dan pengamatan struktur dan bahan bangunan benda-benda yang dibawa oleh Sang Budha
di Situs Aimoli, secara arsitektural struktur ini atau para biksu suci ketika mereka mengembara
dikategorikan sebagai bangunan konstruksi dan menyebarkan agama. Penyimbolan tersebut
susunan batu. adalah prasada segi empat yang dianggap
Para penganut Agama Budha sebagai simbol dari jubah Sang Budha yang
berkeyakinan bahwa stupa merupakan dilipat, anda yang berbentuk kubah merupakan
peninggalan suci yang dipuja dan dihormati simbol mangkuk yang selalu dibawa oleh
untuk mengenang kebijaksanaan yang telah Sang Budha atau biksu, dan yasti adalah
dilaksanakan oleh Sang Budha ataupun para simbol tongkat Sang Budha sebagai lambang
biksu yang mendahuluinya (Budiastra dan perlindungan.
Widia 1981, 21). Menurut hasil pengamatan Secara konseptual, bangunan stupa terdiri
Soekmono, fungsi stupa adalah sebagai atas tiga tingkatan, yaitu bagian dasar, badan,
tempat penyimpanan tulang belulang atau abu dan puncak, yang terkait erat dengan filosofi
jenazah Sang Budha dan para arhat atau biksu konsep kosmos, yaitu kamadhatu, rupadhatu,
terkemuka, tempat penyimpanan benda-benda dan arupadhatu. Selain itu, bagian bangunan
suci yang berasal dari diri dan milik Sang Budha stupa juga bisa melambangkan konsep kitab
atau para biksu terkemuka, tanda pernyataan suci Tripitaka atau simbol triratna, yaitu
terjadinya suatu peristiwa penting dalam hidup Budha, Dharma, dan Sanggha. Sampai

Temuan Struktur di Situs Aimoli Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur 115
I Wayan Suantika
saat ini, penemuan bangunan stupa belum Bukti-bukti arkeologis menunjukkan
begitu banyak di tanah air. Beberapa buah bahwa stupika dibuat dengan dicetak, dan
bangunan stupa yang sudah ditemukan antara ditemukan di beberapa tempat di luar Bali,
lain stupa Sumberawan di Jawa Timur, stupa antara lain di dekat Semarang dan Klaten,
Pura Pegulingan di Gianyar, Bali, dan stupa Jawa Tengah. Cetakan stupika tersebut saat ini
Kalibukbuk di Buleleng, Bali (Astawa 1997, disimpan di Rijk Museum Voor Volkenkunde-
8-9). Leiden di Belanda, Lembaga Penelitian
Selain stupa, dalam Agama Budha Purbakala Nasional Prambanan, dan Museum
ada beberapa benda yang dianggap suci dan Pusat Jakarta (Santiko 1977, 70). Dalam
dijadikan bahan persembahan, antara lain kepercayaan Agama Budha diketahui bahwa
berupa stupika yaitu bentuk mini dari stupa yang stupika adalah simbol suci agama yang berfungsi
dibuat dari bahan tanah liat dan dibuat dengan sebagai sarana pemujaan yang digunakan oleh
cara dicetak. Maknanya sama dengan stupa pemeluknya untuk persembahan di suatu tempat
sebagai bangunan suci yang dipersembahkan suci. Itulah sebabnya sering ditemukan stupika
kepada Sang Budha. Tujuannya agar tercipta dalam jumlah yang banyak pada suatu tempat,
perdamaian dunia, kebebasan hidup manusia, seperti halnya temuan stupika di Situs Uma
lepas dari kesengsaraan, dan tercapainya Anyar di Kabupaten Buleleng, Bali (Astawa
tujuan hidup yaitu pari nirvana atau moksa. 2003, 7). Stupika sebagai benda persembahan
Stupika pada zaman dahulu berperan penting biasanya di dalamnya terdapat sebuah atau
dalam perjalanan dan perkembangan Agama lebih tablet tanah liat yang berisikan mantra-
Budha di Nusantara. Hal ini dapat dilihat dari mantra ajaran Budhisme yang memakai Bahasa
temuan stupika yang jumlahnya cukup banyak Sansekerta dan aksara Prenagari, berisi lima
dan tersebar di beberapa wilayah, seperti di baris tulisan sebagai berikut.
daerah Palembang, Kalasan, Gumuk Klinting,
Banyuwangi, Bedulu, Pejeng, Kalibukbuk, yé dharma hétu prabha
dan Umaanyar. Stupika yang ditemukan di wa hétum tésan tathagata
Bali sebagian besar tersimpan di Museum hyawadat tésanca yo ni
Bali. Penelitian koleksi stupika di Museum rodha éwam-wadi ma
Bali diklasifikasikan berdasarkan prasada. hà çramanaá
Bagian bawah prasada disebut dengan dasar
semu. Berdasarkan prasada, stupika dibedakan Artinya, keadaan sebab-sebab
menjadi dua, yaitu stupika yang prasadanya kejadian itu sudah diterangkan
bundar dan stupika dengan prasada segi empat oleh Tathagata atau Budha, tuan
dengan empat replika stupika pada dasarnya. mahatapa itu telah menerangkan
Stupika dengan prasada bundar memiliki juga apa yang harus diperbuat
beberapa variasi, seperti stupika prasada orang supaya dapat menghilangkan
bundar dengan harmika segi empat. Stupika sebab-sebab itu (Goris, 1948: 3).
prasada bundar dengan harmika segi enam.
Stupika prasada bundar dengan harmika segi Pada awalnya ajaran Budha lahir di
empat dan replika empat stupika kecil di bagian India, kemudian berkembang ke Asia Tenggara
dasarnya. Stupika prasada bundar dengan dan sampai ke Indonesia hingga akhirnya
harmika segi empat dengan delapan stupika diperkirakan sampai di Pulau Alor. Menurut
di bagian dasarnya. Stupika prasada bundar sejarahnya, ajaran Budha pertama kali diajarkan
dengan harmika segi empat dengan dasar hiasan oleh Siddhartha Gautama, putra Kerajaan Kosala
bunga padma (Budiastra dan Widia 1981, 24- yang lahir sekitar tahun 563 Sebelum Masehi
26). di Taman Lumbini. Ketika dewasa, Siddhartha

116 Forum Arkeologi Volume 27, Nomor 2, Agustus 2014 (109 - 120)
Gautama mengembara hingga mendapat wahyu diduga ditulis pada masa yang sama dengan
saat bersemadi di bawah pohon Bodhi. Tempat masa Kerajaan Majapahit. Negarakrtagama
Siddhartha Gautama mendapatkan wahyu menyebutkan bahwa Kerajaan Majapahit
kemudian disebut dengan Bodhgaya. Wahyu mengalami masa kejayaan abad ke-14 Masehi
tersebut kemudian diajarkan atau disebarkan dan berhasil menundukkan kerajaan-kerajaan
pertama kali di wilayah yang bernama Benares kecil di Nusantara, termasuk kerajaan-kerajaan
hingga akhirnya Siddhartha Gautama atau Sang yang ada di sebelah timur Pulau Jawa. Data ini
Budha meninggal di Kusinara. Sang Budha dapat kita lihat dalam Negarakrtagama, Pupuh
memiliki beberapa sebutan yang bertalian erat 14, baris 3 dan 4 yang menyebutkan sebagai
dengan perjalanan hidupnya, seperti Budha berikut.
Gautama sebagai orang yang menerima
bodhi. Siddhartha sebagai orang yang tercapai “Bali dengan negara yang penting
tujuannya. Çakyamuni sebagai orang bijaksana Badahulu dan Lo Gajah
dari keturunan Çakya. Tathagata sebagai orang Gurun serta Sukun, Taliwang, Pulau
yang telah mencapai kenyataan. Jina sebagai Sapi dan Dompo
orang yang telah mencapai kemenangan Sang Hyang Api, Bima Seran,
(Wojowasito 1976, 29). Hutan Kendali sekaligus
Ajaran Budha kemudian menjadi Agama Pulau Gurun, yang juga biasa
Budha dan mengalami perkembangan sangat disebut Lombok Merah” (Mulyana
pesat di India masa Kerajaan Maurya pada tahun 2006, 346).
322-185 Sebelum Masehi. Kerajaan ini mencapai
puncak kejayaannya saat dipimpin oleh Raja Terkait penyebaran agama, Raja Dyah
Asoka yang memeluk dan mempopulerkan Hayam Wuruk Sri Rajasanagara berusaha
Agama Budha. Asoka memanfaatkan Agama menyatukan dan memawuhkan tiga aliran agama
Budha untuk memajukan kemakmuran sosial di di wilayah Majapahit yang disebut dengan
sepanjang jalur perdagangan India. Ia mengirim tripaksa yang berarti tiga sayap, yakni Agama
misionaris untuk menyebarkan Buddhisme Siwa, Budha, dan Brahma. Para pendetanya
ke Sri Lanka. Agama Budha di Sri Lanka disebut dengan Caturdwija, yaitu pendeta
bertahan lama, bahkan sampai Agama Budha Siwa, Brahma, Wisnu, dan Budha sehingga
ditinggalkan di India (Anita 2007, 11). terdapat empat aliran agama yakni Agama
Agama Budha masuk ke Indonesia awal Siwa, Brahma, Wisnu, dan Budha. Kitab ini
tarikh Masehi, dan mengalami perkembangan menjelaskan juga bahwa para pendeta Budha
yang cukup pesat masa Kerajaan Sriwijaya di hanya diperbolehkan menyiarkan agamanya
Sumatera dan berlanjut masa Dinasti Sailendra di daerah sebelah timur Majapahit, terutama
di Jawa Tengah. Agama Budha kemudian di Pulau Bali dan Lombok, sedangkan pendeta
menjadi salah satu agama masa Kerajaan Siwa boleh menyiarkan agamanya di mana saja
Majapahit di Jawa Timur. Hal ini tersurat dalam tanpa mengenal batasan (Mulyana 2006, 235).
kitab Negarakrtagama dan Arjuna Wijaya Keberadaan tinggalan Agama Budha
yang menjelaskan bahwa Kerajaan Majapahit di wilayah timur Indonesia berupa pahatan-
memiliki tiga pejabat pemerintah yang menguasai pahatan stupa dan arca Budha di tebing pantai
urusan agama, yaitu dharmaadhyaksa kasewan Situs Wadu Pa’a, Bima, Nusa Tenggara Barat
yang mengurus agama Siwa, dharmaadhyaksa (Suantika 1990, 41-49). Kedua data di atas
kasogatan yang mengurus Agama Budha dan memperkuat dugaan bahwa Agama Budha yang
menteri herhaji yang mengurus aliran karesyan. berkembang di Alor merupakan pengaruh dari
Salah satu naskah yang menyebutkan ekspansi Kerajaan Majapahit pada abad ke-14 sampai 15
Majapahit ini adalah Negarakrtagama yang Masehi.

Temuan Struktur di Situs Aimoli Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur 117
I Wayan Suantika
Setelah sampai di tepi pantai Aimoli, Alor, Kemungkinan pada masa itu belum terpikirkan
penyebar Agama Budha mendirikan sebuah mengenai daya dukung tanah tempat bangunan
stupa sebagai bangunan keagamaan. Lokasinya itu didirikan. Penyebab lain runtuhnya bangunan
yang dekat dengan pantai dapat dibandingkan stupa Aimoli karena memiliki beban tetap dan
dengan stupa Kalibukbuk dan stupika Uma beban tambahan yang dapat terjadi perubahan
Anyar di Buleleng, Bali yang lokasinya tidak sewaktu-waktu yang disebabkan oleh angin
jauh dari tepi pantai. dan gempa bumi (Soediman 1982, 641). Proses
Penyebaran Agama Budha ke Pulau terjadinya perubahan beban secara tiba-tiba
Alor diduga dibawa oleh para pedagang dan dapat merusak konstruksi yang ada. Selain
tokoh-tokoh Agama Budha. Dugaan pengaruh itu, proses kerusakan ini mungkin juga dipicu
Agama Budha dibawa oleh pedagang didasari oleh keberadaan bangunan yang berada di alam
oleh beberapa hal yang hingga kini melekat terbuka dan dekat dengan laut, berada sekitar
dalam kehidupan masyarakat Alor, yaitu: 100 meter dari bibir pantai. Kondisi lingkungan
banyaknya jumlah moko yang dimiliki oleh demikian menyebabkan batuan bagian atas
masyarakat Alor. Moko adalah nama lokal dari cepat mengalami pelapukan akibat iklim tropis
artefak yang dibuat dari campuran logam timah dan terpaan angin laut yang mengandung garam
dan tembaga yang bentuknya seperti nekara, dan berada di alam terbuka (Suyono 1982, 29).
tetapi berukuran lebih kecil. Moko bermakna Seorang ahli konservasi bernama Angrawal
dan berperan penting dalam kehidupan sosial berpendapat bahwa banyak faktor yang dapat
masyarakat Alor. Oleh karena itu, moko mempercepat proses kerusakan pada material
diyakini sebagai barang dagangan yang dibawa bangunan yang berada di alam terbuka, seperti
oleh para pedagang dari Kerajaan Majapahit. kondisi iklim dan lingkungan, cahaya, serangga,
Pulau Alor tidak memiliki bahan-bahan mikro organisme, serta polusi di atmosfer
tambang sebagai bahan dasar untuk pembuatan (Angrawal 1977, 7).
moko. Selain itu, bukti-bukti arkeologis yang Terkait dengan berbagai hasil yang
berkaitan dengan kegiatan pembuatan logam sudah diperoleh dalam kegiatan penelitian
pada masa lalu belum ditemukan di Pulau Alor. arkeologi di Pulau Alor ini, baik yang diperoleh
Informasi Kepala Seksi Museum dan Purbakala dalam kegiatan ekskavasi dan survei, semakin
Kabupaten Alor dan Kepala Desa Aimoli menguatkan dugaan bahwa pelayaran dan
menyatakan bahwa pedagang-pedagang dari perdagangan pada masa keemasan Kerajaan
Majapahit diduga masuk atau berlabuh di Pulau Majapahit telah sampai di Pulau Alor.
Pantar. Barang dagangannya didistribusikan ke
pulau-pulau lain di sekitarnya. KESIMPULAN
Kondisi bangunan stupa Aimoli Bangunan yang terbuat dari material
mengalami kerusakan yang cukup parah. batu kapur di Desa Aimoli, Kecamatan Alor
Berdasarkan beberapa indikasi yang terlihat Baratlaut merupakan stupa atau bangunan suci
pada struktur stupa diduga kerusakan Agama Budha. Hal ini didasarkan pada beberapa
disebabkan oleh kualitas bahan yang kurang pengamatan arsitektural, yaitu berdenah segi
kuat. Hal ini tampak dari kondisi permukaan empat dengan perbingkaian bagian bawah,
struktur dasar bangunan yang memperlihatkan terdapat batu bertakik, dan hasil rekonstruksi
batuan yang terletak dalam posisi miring dan batuan yang mengacu pada bentuk kubah
pecah atau karena adanya faktor luar. dengan dasar lingkaran. Berdasarkan denah
Bangunan keagamaan yang dibuat dan bentuknya, struktur ini diduga memiliki
pada masa lalu adalah yang terbaik, dari kesamaan dengan Stupa Sumberawan di Jawa
segi keindahan dan kekuatan, sesuai dengan Timur. Stupa ini diperkirakan berasal dari masa
pemahaman teknologi pada masa itu. Kerajaan Majapahit, yaitu abad ke-14 sampai

118 Forum Arkeologi Volume 27, Nomor 2, Agustus 2014 (109 - 120)
15 Masehi. Stupa ini berfungsi sebagai tempat ____________________. 1988. “Ekskavasi
pemujaan bagi umat Budha yang berperan Situs Wadu Pa’a, Bima, Nusa Tenggara
dalam proses masuk dan berkembangnya Barat.” Laporan Penelitian Arkeologi, Balai
Agama Budha di Pulau Alor. Kerusakan stupa Arkeologi Denpasar, Denpasar.
di Aimoli disebabkan oleh faktor alam dan Fontein, Yan, Suleiman Setyawati, dan R.
Soekmono. 1972. Kesenian Indonesia Purba.
keterbatasan teknologi.
New York: Asia Society.
Gede, I Dewa Kompiang. 2012. “Survei Megalitik
SARAN Alor.” Laporan Penelitian Arkeologi, Balai
Pemerintah Daerah Kabupaten Arkeologi Denpasar, Denpasar.
Alor diharapkan segera mendaftarkan dan Goris, R. 1948. Sejarah Bali Kuna. Singaraja:
menetapkan Situs Aimoli sebagai cagar Pertjetakan Bali.
budaya, sesuai dengan Undang-Undang Nomor Kempers, A.J. Bernet. 1956. Bali Purbakala.
11 Tahun 2010, karena merupakan satu-satunya Jakarta.
bukti perkembangan Agama Budha di Pulau _________________. 1991. Monumental Bali
Alor. Introduction to Balinese Archaeology &
Guide to The Monuments. Periplus.
DAFTAR PUSTAKA Mantra, Ida Bagus. 1963. Pidato disampaikan pada
Ambarawati, Ayu. 2010. “Dorobata: Manfaatnya Acara Dies Natalis (Piodalan I) Universitas
dalam Arkeologi dan Pariwisata Dompu.” Udayana, Denpasar.
Forum Arkeologi, 151-153. Mulyana, Slamet. 2006. Tafsir Sejarah
Angrawal, O.P. 1977. Care and Preservation of Negarakretagama. Yogyakarta: LKiS.
Museum Objects. New Delhi: National Rowland, Benjamin. 1959. The Art Architecture of
Research Laboratory for Conservation of India. Baltimore: Penguin Books Ltd.
Cultural Property. Santiko, Hariani. 1977. “Some Remarks on Votive
Anita, Dalal. 2007. “Arkeolog Menguak Stupas and Votive Tablets from Borobudur.”
Rahasia Masa Lalu India Kuno.” National Majalah Arkeologi 1 (1): 68-76.
Geographic. _____________. 1996. “Seni Bangunan Sakral
Astawa, A.A. Gede Oka. 1997. “Kalibukbuk Sebuah pada Masa Hindu Budha di Indonesia (Abad
Situs Pemujaan Agama Budha di Pantai Utara VIII-XV Masehi) Analisis Arsitektur dan
Bali.” Forum Arkeologi, no. 1, 8-13. Makna Simbol.” Jurnal Arkeologi Indonesia,
____________________. 2003. “Ekskavasi no. 2, 136-156.
Arkeologi Uma Anyar Buleleng.” Laporan Satari, Sri Suyatmi. 1975. “Senirupa dan Arsitektur
Penelitian Arkeologi, Balai Arkeologi Zaman Klasik di Indonesia.” Kalpataru:
Denpasar, Denpasar. Majalah Arkeologi, no. 1, 5-38.
Atmadi, Parmono. 1979. “Beberapa Patokan Soediman, 1982. “Catatan Tentang Berbagai
Perancangan Bangunan Candi.” Pelita Masalah Dalam Pemugaran Candi.” Dalam
Borobudur, no. 2. Pertemuan Ilmiah Arkeologi II, 635-658.
Ayatrohaedi, et. al. 1978. Kamus Istilah Arkeologi. Soekmono, R. 1973. Sejarah Kebudayaan Indonesia
Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Jilid II. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
Budiastra, Putu dan Wayan Widia. 1981. Stupika ___________. 1974. Candi Fungsi dan
Tanah Liat Koleksi Museum Bali. Denpasar: Pengertiannya. Semarang: IKIP Semarang
Proyek Pengembangan Permuseuman Bali. Press.
Ekawana, I Gusti Putu. 1984. “Ekskavasi di ___________. 1984. “Local Genius dan
Pendua Kabupaten Lombok Barat.” Laporan Perkembangan Bangunan Sakral di
Penelitian Arkeologi, Balai Arkeologi Indonesia.” Makalah dalam Diskusi Ilmiah
Denpasar, Denpasar. Arkeologi, Jakarta.
Suantika, I Wayan. 1989. “Ekskavasi Arkeologi
Situs Wadu Pa’a, Bima.” Laporan Penelitian
Arkeologi, Balai Arkeologi Denpasar,
Denpasar.

Temuan Struktur di Situs Aimoli Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur 119
I Wayan Suantika
________________. 1990. “Peninggalan Siwa- Suleman, Satyawati. 1975. “Kisah Perjalanan di
Budha di Goa Gajah (Bali) dan Wadu Pa’a Jawa Tengah dan Jawa Timur Juli-Agustus
(Bima).” Forum Arkeologi, no. 2, 41-49. 1975.” Kalpataru: Majalah Arkeologi, no. 1,
________________. 1996. “Ekskavasi situs Wadu 39-96.
Pa’a, Bima, Nusa Tenggara Barat.” Laporan Suyono. 1982. Metode Konservasi Peninggalan
Penelitian Arkeologi, Balai Arkeologi Kepurbakalaan. Jakarta: Palem Jaya.
Denpasar, Denpasar. Wojowasisto, S. 1976. Sejarah Kebudayaan
________________. 2012. “Peradaban Hindu- Indonesia I. Bandung: Shinta Dharma.
Budha di Situs Wadu Pa’a, Bima, Nusa
Tenggara Barat.” Laporan Penelitian
Arkeologi, Balai Arkeologi Denpasar,
Denpasar.

120 Forum Arkeologi Volume 27, Nomor 2, Agustus 2014 (109 - 120)

Anda mungkin juga menyukai