Anda di halaman 1dari 11

MEGALITIKUM

1.PENGERTIAN MEGALITIKUM
Megalitikum berasal dari kata mega yang berarti besar, dan lithos yangberarti batu. Zaman
Megalitikum biasa disebut dengan zaman batu besar,karena pada zaman ini manusia sudah dapat
membuat dan meningkatkankebudayaan yang terbuat dan batu-batu besar. kebudayaan ini
berkembang dari zaman Neolitikum sampai zamanPerunggu. Pada zaman ini manusia sudah
mengenal kepercayaan. Walaupunkepercayaan mereka masih dalam tingkat awal, yaitu
kepercayaanterhadap roh nenek moyang, Kepercayaan ini muncul karena pengetahuanmanusia
sudah mulai meningkat.
2.PERIODISASI ZAMAN MEGALITIKUM
Menurut Von Heine Geldern, kebudayaan Megalithikum menyebar ke Indonesia melalui 2
gelombang yaitu :
1. Megalith Tua menyebar ke Indonesia pada zaman Neolithikum (2500-1500 SM) dibawa oleh
pendukung Kebudayaan Kapak Persegi (Proto Melayu). Contoh bangunan Megalithikum adalah
menhir, punden berundak-undak, Arca-arca Statis.
2. Megalith Muda menyebar ke Indonesia pada zaman perunggu (1000-100 SM) dibawa oleh
pendukung Kebudayaan Dongson (Deutro Melayu). Contoh bangunan megalithnya adalah peti
kubur batu, dolmen, waruga Sarkofagus dan arca-arca dinamis.
Apa yang dinyatakan dalam uraian di atas, dibuktikan dengan adanya penemuan bangunan batu
besar seperti kuburan batu pada zaman prasejarah, banyak ditemukan manik-manik, alat-alat
perunggu dan besi. Hasil kebudayaan megalithikum biasanya tidak dikerjakan secara halus,
tetapi hanya diratakan secara kasar dan terutama hanya untuk mendapatkan bentuk yang
diperlukan.
3.KEBUDAYAAN MEGALITIKUM
Peninggalan kebudayaan megalithikum ternyata masih dapat Anda lihat sampai sekarang, karena
pada beberapa suku-suku bangsa di Indonesia masih memanfaatkan kebudayaan megalithikum
tersebut. Contohnya seperti suku Nias.
Adapun beberapa hasil-hasil kebudayaan pada zaman megalitikum adalah sebagai berikut:
menhir : tugu batu digunakan untuk menghormati roh nenek moyang
Punden berundak : terbuat dari batu untuk meletakan sesaji
dolmen : meja batu yang digunakan untuk meletakan sesaji
waruga : kubur batu yang berbentuk kubus
kubur batu : tempat menyimpan mayat
Sarkofagus : kubur batu yang berbentuk lesung

1. Menhir

Menhir adalah bangunan yang berupa tugu batu yang didirikan untuk upacara menghormati roh
nenek moyang, sehingga bentuk menhir ada yang berdiri tunggal dan ada yang berkelompok
serta ada pula yang dibuat bersama bangunan lain yaitu seperti punden berundak-undak. Lokasi
tempat ditemukannya menhir di Indonesia adalah Pasemah (Sumatera Selatan), Sulawesi Tengah
dan Kalimantan. Untuk mengetahui bentuk-bentuk menhir,
Bangunan menhir yang dibuat oleh masyarakat prasejarah tidak berpedoman kepada satu bentuk
saja karena bangunan menhir ditujukan untuk penghormatan terhadap roh nenek moyang. Lokasi
tempat ditemukannya menhir di Indonesia adalah Pasemah (Sumatera Selatan), Sulawesi Tengah
dan Kalimantan. Untuk mengetahui bentuk-bentuk menhir, maka simaklah gambar-gambar
berikut ini.
Bangunan menhir yang dibuat oleh masyarakat prasejarah tidak berpedoman kepada satu bentuk
saja karena bangunan menhir ditujukan untuk penghormatan terhadap roh nenek moyang. Selain
menhir terdapat bangunan yang lain bentuknya, tetapi fungsinya sama yaitu sebagai punden
berundak-undak.
2. Punden Berundak-undak

Punden berundak-undak adalah bangunan dari batu yang bertingkat-tingkat dan fungsinya
sebagai tempat pemujaan terhadap roh nenek moyang yang telah meninggal.
Bangunan tersebut dianggap sebagai bangunan yang suci, dan lokasi tempat penemuannya
adalah Lebak Sibedug/Banten Selatan dan Lereng Bukit Hyang di Jawa Timur, sedangkan
mengenai bentuk dari punden berundak dapat Anda amati gambar-gambar berikut ini.

3.Dolmen

Dolmen merupakan meja dari batu yang berfungsi sebagai tempat meletakkan saji-sajian untuk
pemujaan. Adakalanya di bawah dolmen dipakai untuk meletakkan mayat, agar mayat tersebut
tidak dapat dimakan oleh binatang buas maka kaki mejanya diperbanyak sampai mayat tertutup
rapat oleh batu.
Dengan demikian dolmen yang berfungsi sebagai tempat menyimpan mayat disebut dengan
kuburan batu. Lokasi penemuan dolmen antara lain Cupari Kuningan / Jawa Barat, Bondowoso /
Jawa Timur, Merawan, Jember / Jatim, Pasemah / Sumatera, dan NTT.
Bagi masyarakat Jawa Timur, dolmen yang di bawahnya digunakan sebagai kuburan/tempat
menyimpan mayat lebih dikenal dengan sebutan Pandhusa atau makam Cina.
4.Sarkofagus

Sarkofagus adalah keranda batu atau peti mayat yang terbuat dari batu. Bentuknya menyerupai
lesung dari batu utuh yang diberi tutup. Dari Sarkofagus yang ditemukan umumnya di dalamnya
terdapat mayat dan bekal kubur berupa periuk, kapak persegi, perhiasan dan benda-benda dari
perunggu serta besi.
Daerah tempat ditemukannya sarkofagus adalah Bali. Menurut masyarakat Bali Sarkofagus
memiliki kekuatan magis/gaib. Berdasarkan pendapat para ahli bahwa sarkofagus dikenal
masyarakat Bali sejak zaman logam.

5.Peti kubur

Peti kubur adalah peti mayat yang terbuat dari batu-batu besar. Kubur batu dibuat dari
lempengan/papan batu yang disusun persegi empat berbentuk peti mayat yang dilengkapi dengan
alas dan bidang atasnya juga berasal dari papan batu.
Daerah penemuan peti kubur adalah Cepari Kuningan, Cirebon (Jawa Barat), Wonosari
(Yogyakarta) dan Cepu (Jawa Timur). Di dalam kubur batu tersebut juga ditemukan rangka
manusia yang sudah rusak, alat-alat perunggu dan besi serta manik-manik. Dari penjelasan
tentang peti kubur, tentu Anda dapat mengetahui persamaan antara peti kubur dengan sarkofagus,
dimana keduanya merupakan tempat menyimpan mayat yang disertai bekal kuburnya.
6.Arca batu

Arca/patung-patung dari batu yang berbentuk binatang atau manusia. Bentuk binatang yang
digambarkan adalah gajah, kerbau, harimau dan moyet. Sedangkan bentuk arca manusia yang
ditemukan bersifat dinamis. Maksudnya, wujudnya manusia dengan penampilan yang dinamis
seperti arca batu gajah.
Arca batu gajah adalah patung besar dengan gambaran seseorang yang sedang menunggang
binatang yang diburu. Arca tersebut ditemukan di daerah Pasemah (Sumatera Selatan). Daerahdaerah lain sebagai tempat penemuan arca batu antara lain Lampung, Jawa Tengah dan Jawa
Timur.

7.Waruga

Waruga adalah peti kubur peninggalan budaya Minahasa pada zaman megalitikum. Didalam peti
pubur batu ini akan ditemukan berbagai macam jenis benda antara lain berupa tulang- tulang
manusia, gigi manuisa, periuk tanah liat, benda- benda logam, pedang, tombak, manik- manik,
gelang perunggu, piring dan lain- lain. Dari jumlah gigi yang pernah ditemukan didalam waruga,
diduga peti kubur ini adalah merupakan wadah kubur untuk beberapa individu juga atau waruga
bisa juga dijadikan kubur keluarga (common tombs) atau kubur komunal. Benda- benda periuk,
perunggu, piring, manik- manik serta benda lain sengaja disertakan sebagai bekal kubur bagi
orang yang akan meninggal.
4.BUDAYA MEGALITIKUM DI INDONESIA
Di Indonesia, beberapa etnik masih memiliki unsur-unsur megalitik yang dipertahankan hingga
sekarang.
1.Pasemah
Pasemah merupakan wilayah dari Propinsi Sumatera Selatan, berada di kaki Gunung Dempo.
Tinggalan-tinggalan megalitik di wilayah ini tersebar sebanyak 19 situs, berdasarkan penelitian
yang di lakukan oleh Budi Wiyana (1996), dari Balai Arkeologi Palembang. Tinggalan megalitik
Pasemah muncul dalam bentuk yang begitu unik, patung-patung dipahat dengan begitu dinamis
dan monumental, yang mencirikan kebebasan sang seniman dalam memahat sehingga tinggalan
[megalitik pasemah], disebut oleh ahli arkeologi sebagai Budaya Megalitik Pasemah.
2.Nias
Rangkaian kegiatan mendirikan batu besar (dolmen) untuk memperingati kematian seorang
penting di Nias (awal abad ke-20).
Etnik Nias masih menerapkan beberapa elemen megalitik dalam kehidupannya. Lompat batu dan
kubur batu masih memperlihatkan elemen-elemen megalitik. Demikian pula ditemukan batu
besar sebagai tempat untuk memecahkan perselisihan.
3.Sumba
Etnik Sumba di Nusa Tenggara Timur juga masih kental menerapkan beberapa elemen megalitik
dalam kegiatan sehari-hari. Kubur batu masih ditemukan di sejumlah perkampungan. Meja batu
juga dipakai sebagai tempat pertemuan adat.
5.KEPERCAYAAN
Kehidupan Keagamaan Masyarakat Sunda Kuno

Penemuan-penemuan sejumlah bangunan era Megalitikum mengindikasikan bahwa rakyat Sunda


kuno cukup religius. Sebelum pengaruh Hindu dan Buddha tiba di Pulau Jawa, masyarakat
Sunda telah mengenal sejumlah kepercayaan, seperti terhadap leluhur, benda-benda angkasa dan
alam seperti matahari, bulan, pepohonan, sungai, dan lain-lain. Pengenalan terhadap teknik
bercocok tanam (ladang) dan beternak, membuat masyarakat percaya terhadap kekuatan alam.
Untuk mengungkapkan rasa bersyukur atas karunia yang diberikan oleh alam, mereka lalu
melakukan upacara ritual yang dipersembahkan bagi alam. Karena itu, mereka percaya bahwa
alam beserta isinya memiliki kekuatan yang tak bisa dijangkau oleh akal dan pikiran mereka.
Dalam melaksanakan ritual atau upacara keagamaan, masyarakat prasejarah itu berkumpul di
komplek batu-batu besar (megalit) seperti punden-berundak (bangunan bertingkat-tingkat untuk
pemujaan), menhir (tugu batu sebagai tempat pemujaan), sarkofagus (bangunan berbentuk lesung
yang menyerupai peti mati), dolmen (meja batu untuk menaruh sesaji), atau kuburan batu
(lempeng batu yang disusun untuk mengubur mayat). Bangunan-bangunan dari batu ini banyak
ditemukan di sepanjang wilayah Jawa bagian barat. Dibandingkan dengan wilayah Jawa Tengah
dan Timur, Jawa Barat paling banyak meninggalkan bangunan-bangunan megalitik tersebut.
Kehidupan yang serba tergantung kepada alam membuat pola hidup yang bergotong-royong.
Dalam melakukan persembahan/penyembahan terhadap roh leluhur maupun kekuatan alam,
masyarakat prasejarah ini melakukannya secara bersama-sama. Yang memimpin upacara itu
adalah mereka yang berusia paling tua atau dituakan oleh masyarakat yang bersangkutan.
Pemimpin inilah yang berhak menentukan kapan acara sedekah bumi dan upacara-upacara
religius lainnya dilakukan. Dialah juga yang dipercayai masyarakat dalam hal mengusir roh
jahat, mengobati orang sakit, dan menghukum warganya yang melanggar nilai atau hukum yang
diberlakukan.
Kehidupan Keagamaan Masyarakat Sunda Masa Hindu-Buddha
Setelah kedatangan orang-orang India, masyarakat Sunda kuno mulai terpengaruh ajaran-ajaran
Hindu dan Buddha. Penemuan sejumlah arca-batu bercorak Hindu dan Buddha (meski dibuat
sangat sederhana) menandakan bahwa merekaterutama kaum bangsawanmemercayai dan
mempraktikkan ajaran-ajaran Hindu-Buddha. Meski jarang sekali ditemukan candi yang
bercorak Hindu-Buddha, tak dipungkiri bahwa masyarakat Sunda Kunoterutama keluarga raja
menganut agama-agama dari India itu, yang kemudian dipadukan dengan kepercayaan nenekmoyang mereka, yaitu Sunda Wiwitan.
Sejak masa Salakanagara dan Tarumanagara, raja-raja di Sunda memiliki gelar yang sangat
kental warna Hindu maupun Buddha. Gelar dewawarman yang berarti baju perisai dewa,
tentu mengacu kepada kepercayaan Hindu, selain karena pendiri Salakanagara berasal dari negeri
India. Mereka begitu memuja dewa-dewa Hindu seperti Surya, Wisnu, dan Siwa.
Kehidupan agama masyarakat Sunda kuno dapat dilihat dari, misalnya, naskah Sanghyang
Sisksakandang Karesian (disebut pula Kropak 603) yang ditulis pada 1518 atau Carita
Parahyangan yang ditulis pada 1580 M. Berdasarkan naskah tersebut, terang sekali bahwa agama
orang Sunda terdiri atas tiga kepercayaan utama, yaitu tradisi Sunda Wiwitan (Sunda asli) yang
begitu memuja leluhur (hyang), Buddhisme, dan Hindu. Oleh masyarakat Sunda, kepercayaan
Buddha dan Hindu tersebut dipadukan yang cenderung lebih mengarah kepada Buddhaisme.

Perpaduan kedua agama ini dapat dilihat dari doa (semacam syahadat) mereka yang diucapkan
ketika upacara keagamaan berlangsung. Doa tersebut berbunyi: Hong kara nomo Sewaya,
sembah ing hulun di Sanghyang Panca Tatagata, yang artinya: Ya Tuhan, segala perbuatan
demi nama Siwa, sembahku kepada Sanghyang Buddha yang lima.
Jelas sekali corak sikretisme dalam doa tersebut. Sanghyang Buddha yang 5 atau Dyani Buddha
adalah posisi Buddha dalam bersemadi yang mengacu kepada arah mata angin, yakni :
1. amogasiddha (utara);
2. akshobya (timur);
3. ratnasambhawa (selatan);
4. amithabba (barat);
5. wairocana (pusat/zenit).
Sementara itu, dalam Hindu pun terdapat lima dewa, disebut Batara Jagat atau Lokapala. Akan
tetapi, para dewa tersebut tidak dianggap tuhan melainkan tunduk kepada Hyang (dewata bakti di
Hyang). Maka dari itu dikatakan, Sing para dewata kabeh pada bakti ke Batara Seda Niskala
(Semua dewa tunduk kepada Batara Seda Niskala). Adapun kelima dewa tersebut adalah :
1. Wisnu (utara);
2. Isora/Iswara (timur);
3. Mahadewa (selatan);
4. Bratha (barat);
5. Siwa (tengah).
Agama Buddha yang berkembang di Jawa Barat (dan juga di kerajaan-kerajaan kuno lainnya di
Nusantara) adalah Buddha Mahayana. Pada abad ke-7, Sriwijaya bahkan merupakan pusat studi
Buddha Mahayana di sekitar Asia Timur-Tenggara. Mahzab Mahayana ini menitikberatkan
kepada usaha saling membantu antarpengikutnya dalam mencapai kebebasan jiwa (nirvana),
berbeda dengan Buddha Hinayana yang lebih bersifat individualistis dalam mencapai nirwana.
Aliran Hinayana berkembang di Sri Langka, Burma, dan Thailand; namun kemudian tak
berkembang dan lebih dulu menghilang. Sebaliknya, aliran Mahayana ini kemudian terpengaruh
oleh Hinduisme, yang mengakibatkan makin menjauhnya ajarannya dari ajaran Siddharta
Gautama sendiri.
Dalam Buddha Mahayana akhirnya mengenal pendewaan atas diri Buddha dan Bodhisatwa,
surga dalam artian tempat, bhaktimarga (jalan bakti), dan dewa-dewa lainnya yang patut
disembah. Penyelewangan ajaran ini tentunya makin menjauhkan Buddhisme dari semangat
Buddha Siddharta, karena ajaran Buddha aslinya tak mengenal adanya tuhan, tak mengenal doa,
tak mengenal dewa-dewa layaknya dalam Hindu. Maka dari itu, di India sendiri ajaran Buddha
menghilang dan kemudian lebih banyak dianut di Asia Timur dan Tenggara.
Ada pun, ajaran Hindu yang dianut oleh masyarakat, atau lebih tepatnya para raja-raja, Pasundan
adalah aliran Waisnawa (Wisnu) dan Bairawa (Siwa). Penemuan patung-patung Wisnu dan Siwa
di beberapa tempat di Jawa Barat membuktikan hal ini. Belum lagi bila kita melihat gelar rajaraja Sunda, Galuh, atau Pajajaran yang berbau Wisnu. Sanjaya Sang Harisdarma, Prabu Resi

Atmajadarma Hariwangsa, Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti, Guru Dharmasiksa Prabu


Sanghyang Wisnu, merupakan raja-raja yang memakai gelar kewisnuan (Harisdarma,
Hariwangsa, Wisnumurti). Dewa atau Batara Wisnu sendiri adalah dewa yang memelihara
perdamaian di bumi dari kehancuran yang disebabkan oleh Dewa Siwa.
Dalam melaksanakan upacara/ritual keagamaan, masyarakat Sunda mempergunakan bangunan
atau tempat yang telah ada, seperti punden berundak-undak atau babalayan, menhir, atau
bangunan peninggalan budaya prasejarah Megalitikum yang memang banyak tersebar di Tatar
Sunda. Maka dari itu, di Jawa Barat jarang sekali ditemukan bangunan tempat ibadah atau pun
tempat penyimpanan abu raja seperti candi yang banyak ditemukan di Jawa Tengah dan Timur.
Hal ini terjadi karena masyarakat Sunda adalah masyarakat peladang yang hidupnya cenderung
nomaden, berpindah-pindah tempat. Sebagai komunitas nomaden, mereka merasa tak perlu
membangun tempat-tempat suci (candi atau wihara) karena akan memakan waktu yang lama.
Lagi pula, mereka akan selalu berpindah tempat lagi untuk menemukan lahan baru guna
dijadikan tempat berladang mereka yang baru. Bagi masyarakat Sunda kuno, bangunan megalitik
itulah candi mereka. Maka dari itu, gaya hidup orang Sunda yang hidup di dataran tinggi dan
bertradisi ladang, berbeda dengan orang Jawa yang memiliki tradisi sawah yang gaya hidupnya
cenderung menetap.
Perpaduan unsur Buddha dengan Hindu rupanya menghasilkan agama baru, yakni Tantrayana,
yang juga dianut oleh sebagian masyarakat Sunda, terutama kalangan atas yang status sosialnya
tinggi. Mahzab Tantrayana (pengikutnya disebut Tantris) terdapat dalam Buddhisme maupun
Hinduisme. Sekte ini lahir di India pada tahun 600 Saka, dan lima puluh tahun kemudian
menyebar ke Tibet, Cina, Korea, Jepang, hingga Indonesia (Jawa dan Sumatera). Tantra sendiri
artinya adalah intisari, esensi, atau asal.
Dalam kepercayaan Tantrayana ini mengenal adanya laku meditasi dengan menggunakan alat
berupa mandala (bagi penganut Buddha) atau yantra (bagi penganut Hindu). Mandala adalah
variasi lain yang bercorak Buddha dari apa yang disebut yantra oleh penganut Hindu, yakni
berupa lukisan yang berfungsi sebagai alat bantu dalam meditasi sehari-hari. Alat tersebutbisa
dibuat dari tanah, kain, pada dinding, logam, atau batuharus digunakan oleh mereka yang
mencari pelepasan dari rangkaian siklus (lingkaran) kelahiran kembali.
Penggunaan mandala/yantra ini biasanya dibarengi dengan memegang aksamala (seperti tasbih
atau rosario) oleh tangan kanan untuk menghitung mantra yang diucapkan. Di Jawa Barat, para
penganut Tantra ini menjalankan ibadahnya di bangunan-bangunan megalitik.
Di Sriwijaya, aliran ini lebih dulu berkembang pada abad ke-7, ditandai adanya Prasasti Talang
Tuo dan Kota Kapur yang berisi kutukan dan sumpah. Di Jawa Tengah pada abad ke-8 dalam
Prasasti Kalasan tahun 778 disebutkan bahwa Rakai Panangkaran mendirikan bangunan suci,
Candi Kalasan, untuk memuja Dewi Tara. Dewi Tara ini merupakan salah satu bentuk
penyimpangan Buddha Mahayana karena dewi tersebut dianggap sebagai istri (syakti) pada
Dyani Buddha; padahal Buddha sendiri menilai syahwat merupakan musuh terbesar manusia.
Sementara itu, pada masa Raja Sindhok di Jawa Timur abad ke-10 telah disusun sebuah kitab
yang menguraikan paham Tantra, yakni Sanghyang Kamahayanikan.

Di Sunda sendiri, diketahui sejumlah raja penganut Tantra di antaranya: Sri Jayabhupati dan Raja
Nilakendra (ayah Prabu Suryakancana, raja terakhir Pajajaran). Prasasti Sanghyang Tapak
(Cibadak) menyebutkan sejumlah sumpah dan kutukan mengerikan yang menyerukan supaya
orang yang menyalahi ketentuan dalam prasasti tersebut diserahkan kepada kekuatan-kekuatan
gaib untuk dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup darahnya, memberantakkan
ususnya, dan membelah dadanya.
Selain kutukan-sumpah, Tantrayana mengajarkan agar badan, perkataan, serta pikiran digiatkan
oleh ritual, mantra, dan samadi. Dalam Tantrayana Hindu, kesaktian Siwa dinilai bersifat wanita
dan akhirnya dianggap sebagai istri Siwa sendiri. Munculnya unsur wanita ini mengakibatkan
lahirnya kegiatan hubungan intim yang dianggap suci dan membawa manusia kepada
kebebasan jiwa dalam upacara Tantrayana. Begitu pula dalam Tantrayana Buddha (Wajrayana),
yang ditandai dengan adanya hubungan Dewi Tara dengan Dyani Buddha. Tantrayana
menganggap bahwa penciptaan alam semesta beserta isinya dilakukan oleh Unsur Asal (dalam
Buddhisme disebut Buddha, dalam Hinduisme disebut Siwa-Bhairawa) melalui hubungan intim
dengan istrinya. Upacara Tantrayana ini semakin menyimpang dengan adanya penggunaan
minuman keras oleh para pengikutnya. Minuman keras ini dimaksudkan untuk mempercepat
peleburan diri kepada Unsur Asal. Mereka pun selalu mengutamakan makanan-makanan lezat
dan mewah, yang jelas bertentangan dengan ajaran Buddha murni yang mengharamkan minuman
keras dan hidup berfoya-foya.
Kemerosotan akhlak dan moral di kalangan istana dengan adanya praktik Tantrayana ini kelak
mempercepat penyebaran Islam di dalam masyarakat Sunda. Belum lagi faktor bahwa dalam
Buddha sendiri tak dikenal pengkastaan.
Kepercayaan terhadap (Ajaran) Leluhur
Seperti telah dikupas sedikit, bahwa pada masa nirleka (prasejarah) masyarakat Sunda begitu
menjunjung tinggi (roh) para leluhur dan ajaran-ajarannya. Kepercayaan terhadap nenek moyang
ini senantiasa dipelihara oleh mereka hingga berabad-abad kemudian setelah agama HinduBuddha dan Islam masuk ke wilayah mereka. Jadi, walaupun pengaruh agama lain kuat terhadap
kehidupan, masyarakat Sunda kuno tetap memegang teguh kepercayaan terhadap (ajaran) nenekmoyang. Naskah-naskah kuno begitu sering menyebutkan adanya kabuyutan, yakni tempat sakral
yang diperuntukkan bagi kaum brahmana atau resi atau bagawat yang bertugas memelihara
ajaran agama dan tempat suci itu sendiri. Kabuyutan juga merupakan tempat di mana para
pujangga (kauam intelektual) menulis kitab-kitab tentang agama. Prasasti Gegerhanjuang (1111
M) di Singaparna (Tasikmalaya), misalnya, menyebutkan adanya panyusukan atau penyaluran air
sehubungan dengan pembangunan Kabuyutan Linggawangi di tempat bersangkutan.
Upaya raja-raja Sunda dalam membuat kabuyutan juga banyak diabadikan dalam naskah-naskah,
salah satunya Amanat Galunggung (dikenal juga sebagai Kropak 632 atau Naskah Ciburuy). Di
dalamnya diberitakan bahwa Prabu Dharmasiksa berpesan terhadap anak-cucunya agar
memegang teguh ajaran agama dan menjaga Kabuyutan Galunggung. Diperingatkannya bahwa
kabuyutan tersebut jangan jatuh ke tangan orang non-Sunda, dan orang yang memelihara
kabuyutan tersebut akan memeroleh kesaktian, unggul dalam perang, hidup akan lama,
keturunannya akan bahagia. Jelas, bahwa bagi raja-raja Sunda, fungsi kabuyutan sebagai
kekuatan magis dinilai sangat penting, lebih penting dari, misalnya, lamanya sang raja

memerintah. Dalam pandangan orang Sunda Kuno, kedudukan kabuyutan sejajar dengan nilai
kemenangan dalam perang. Pada masa Sri Baduga, pemeliharaan terhadap kabuyutan ini tetap
dilaksanakan. Ia menyatakan, kabuyutan di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya dijadikan
sebagai desa perdikan, yaitu desa yang dibebaskan dari pajak. Kabuyutan ini dibebaspajakkan
karena jasa-jasanya terhadap negara dalam memelihari ajaran leluhur dan juga perintah raja.
Naskah Amanat Galunggung juga memuat ajaran agar senantiasa melaksanakan perintah nenek
moyang (juga orangtua) serta menjaga apa-apa yang telah diperbuat oleh leluhur yang telah
almarhum (suwargi).
Tetaplah mengikuti orangtua, melaksanakan ajaran yang membuat parit di Galunggung, agar
unggul perang, serba tumbuh tanam-tanaman, lama berjaya. Sungguh-sungguhlah mengikuti
patikrama warisan dari para almarhum.
Carita Parahyangan pun membeberkan, bahwa bila seseorang meninggalkan ajaran leluhur
niscaya akan dihinggapi kesusahan dan penyakit batin. Sebaliknya, orang yang memelihara
ajaran nenek moyang pasti akan senang lahir-batin.
Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar
maupun penyakit batin. Senang-sejahtera di utara, barat, dan timur. Mungkin, faktor
menghormati leluhur inilah yang menyebabkan ajaran Islam dapat diserap oleh mayoritas
masyarakat Sunda. Islam pun mengajarkan bahwa menghormati orang tua merupakan salah satu
unsur terpenting dalam kehidupan; dan barang siapa yang selalu mendoakan arwah orangtua
akan diberi pahala melimpah. Salam Nusantar

6.KEHIDUPAN SOSIAL
Pada zaman ini manusia melakukan banyak kegiatan yang menyangkut kehidupannya. Mereka
sudah mepunyai aktifitas seperti berbueu dan mengumpulkan makanan, bercocok tanam.
Ciri-cirinya adalah:
- Manusia sudah dapat membuat dan meninggalkan kebudayaan yang terbuat dari batu-batu
besar
- Berkembang dari zaman neolitikum sampai zaman perunggu
- Manusia sudah mengenal kepercayaan utamnya animism
7.MANUSIA PENDUKUNG
Di sebut kebudayaan batu besar karena pada umumnya menghasilkankebudayaan dalam bentuk
monument yang terbuat dari batu berukuranbesar. Kebudayaan ini muncul pada akhir jaman
neolhitikum , tetapiperkembangannya justru terjadi pada jaman perunggu
Jadi, mungkin saja :
1.suku dayak golongan ras proto melayu
2. bangsadeuteuro melayu (melayu muda) yang migrasi ke Indonesia sambilmembawa
kebudayaan dongson. Keturunannya adalah jawa, bali, bugis,madur, dll. Bahkan ditemukan

beberapa bukti bahwa telah terjadipembaruan antara melayu monggoloide (proto melayu dengan
deuteuromelayu) dan papua melaneside.

Anda mungkin juga menyukai