Anda di halaman 1dari 8

CANDI MUARA TAKUS

Candi Muara Takus

Situs Candi Muara Takus adalah sebuah situs candi Buddha yang terletak di
desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar, Riau, Indonesia. Situs ini
berjarak kurang lebih 135 kilometer dari Kota Pekanbaru.

Situs Candi Muara Takus dikelilingi oleh tembok berukuran 74 x 74 meter, yang
terbuat dari batu putih dengan tinggi tembok ± 80 cm, di luar arealnya terdapat pula
tembok tanah berukuran 1,5 x 1,5 kilometer, mengelilingi kompleks ini sampal ke pinggir
Sungai Kampar Kanan. Di dalam kompleks ini terdapat beberapa bangunan candi yang
disebut dengan Candi sulung /tua, Candi Bungsu, Mahligai Stupa dan Palangka.

Para pakar purbakala belum dapat menentukan secara pasti kapan situs candi ini
didirikan. Ada yang mengatakan abad ke-4, ada yang mengatakan abad ke-7, abad ke-9
bahkan pada abad ke-11. Namun candi ini dianggap telah ada pada zaman keemasan
Sriwijaya, sehingga beberapa sejarahwan menganggap kawasan ini merupakan salah satu
pusat pemerintahan dari kerajaan Sriwijaya.[1][2]

Pada tahun 2009 Candi Muara Takus dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan
Dunia UNESCO.

1
Deskripsi situs

Candi Muara Takus adalah situs candi tertua di Sumatera, merupakan satu-satunya
situs peninggalan sejarah yang berbentuk candi di Riau. Candi yang bersifat Buddhis ini
merupakan bukti bahwa agama Buddha pernah berkembang di kawasan ini.

Candi ini dibuat dari batu pasir, batu sungai dan batu bata. Berbeda dengan candi
yang ada di Jawa, yang dibuat dari batu andesit yang diambil dari pegunungan. Bahan
pembuat Candi Muara Takus, khususnya tanah liat, diambil dari sebuah desa yang
bernama Pongkai, terletak kurang lebih 6 km di sebelah hilir situs Candi Muara Takus.
Nama Pongkai kemungkinan berasal dari Bahasa Tionghoa, Pong berati lubang dan Kai
berarti tanah, sehingga dapat bermaksud lubang tanah, yang diakibatkan oleh penggalian
dalam pembuatan Candi Muara Takus tersebut. Bekas lubang galian itu sekarang sudah
tenggelam oleh genangan waduk PLTA Koto Panjang. Namun dalam Bahasa Siam, kata
Pongkai ini mirip dengan Pangkali yang dapat berarti sungai, dan situs candi ini memang
terletak pada tepian sungai.

Bangunan utama di kompleks ini adalah sebuah stupa yang besar, berbentuk
menara yang sebagian besar terbuat dari batu bata dan sebagian kecil batu pasir kuning.
Di dalam situs Candi Muara Takus ini terdapat bangunan candi yang disebut dengan
Candi Tua, Candi Bungsu, Stupa Mahligai serta Palangka. Selain bangunan tersebut di
dalam komplek candi ini ditemukan pula gundukan yang diperkirakan sebagai tempat
pembakaran tulang manusia. Sementara di luar situs ini terdapat pula bangunan-bangunan
(bekas) yang terbuat dari batu bata, yang belum dapat dipastikan jenis bangunannya.

Candi Mahligai

Candi Mahligai atau Stupa Mahligai, merupakan bangunan candi yang dianggap
paling utuh. Bangunan ini terbagi atas tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan atap. Stupa ini
memiliki fondasi berdenah persegi panjang dan berukuran 9,44 m x 10,6 m, serta
memiliki 28 sisi yang mengelilingi alas candi dengan pintu masuk berada di sebelah
Selatan. Pada bagian alas tersebut terdapat ornamen lotus ganda, dan di bagian tengahnya
berdiri bangunan menara silindrik dengan 36 sisi berbentuk kelopak bunga pada bagian
dasarnya. Bagian atas dari bangunan ini berbentuk lingkaran. Menurut Snitger, dahulu
pada ke-empat sudut fondasi terdapat 4 arca singa dalam posisi duduk yang terbuat dari

2
batu andesit. Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yzerman, dahulu
bagian puncak menara terdapat batu dengan lukisan daun oval dan relief-relief
sekelilingnya. Bangunan ini diduga mengalami dua tahap pembangunan. Dugaan in
didasarkan pada kenyataan bahwa di dalam kaki bangunan yang sekarang terdapat profil
kaki bangunan lama sebelum bangunan diperbesar.

Candi Tua

Candi Tua atau Candi Sulung merupakan bangunan terbesar di antara bangunan
lainnya di dalam situs Candi Muara Takus. Bangunan ini terbagi menjadi tiga bagian,
yaitu kaki, badan, dan atap. Bagian kaki terbagi dua. Ukuran kaki pertama tingginya 2,37
m sedangkan yang kedua mempunyai ketinggian 1,98 m. Tangga masuk terdapat di sisi
Barat dan sisi Timur yang didekorasi dengan arca singa. Lebar masing-masing tangga
3,08 m dan 4 m. Dilihat dari sisa bangunan bagian dasar mempunyai bentuk lingkaran
dengan garis tengah ± 7 m dan tinggi 2,50 m. Ukuran fondasi bangunan candi ini adalah
31,65 m x 20,20 m. Fondasi candi ini memiliki 36 sisi yang mengelilingi bagian dasar.
Bagian atas dari bangunan ini adalah bundaran. Tidak ada ruang kosong sama sekali di
bagian dalam Candi Sulung. Bangunan terbuat dari susunan bata dengan tambahan batu
pasir yang hanya digunakan untuk membuat sudut-sudut bangunan, pilaster-pilaster, dan
pelipit-pelipit pembatas perbingkaian bawah kaki candi dengan tubuh kaki serta pembatas
tubuh kaki dengan perbingkaian atas kaki. Berdasarkan penelitian tahun 1983 diketahui
bahwa candi ini paling tidak telah mengalami dua tahap pembangunan. Indikasi mengenai
hal ini dapat dilihat dari adanya profil bangunan yang tertutup oleh dinding lain yang
bentuk profilnya berbeda.

Candi Bungsu

Candi Bungsu bentuknya tidak jauh beda dengan Candi Sulung. Hanya saja pada
bagian atas berbentuk segi empat. Ia berdiri di sebelah barat Candi Mahligai dengan
ukuran 13,20 x 16,20 meter. Di sebelah timur terdapat stupa-stupa kecil serta terdapat
sebuah tangga yang terbuat dari batu putih. Bagian fondasi bangunan memiliki 20 sisi,
dengan sebuah bidang di atasnya. Pada bidang tersebut terdapat teratai. Penelitian yang
dilakukan oleh Yzerman, berhasil menemukan sebuah lubang di pinggiran padmasana
stupa yang di dalamnya terdapat tanah dan abu. Dalam tanah tersebut didapatkan tiga
keping potongan emas dan satu keping lagi terdapat di dasar lubang, yang digores dengan

3
gambar-gambar tricula dan tiga huruf Nagari. Di bawah lubang, ditemukan sepotong batu
persegi yang pada sisi bawahnya ternyata digores dengan gambar tricula dan sembilan
buah huruf. Bangunan ini dibagi menjadi dua bagian menurut jenis bahan yang digunakan.
Kurang lebih separuh bangunan bagian Utara terbuat dari batu pasir, sedangkan separuh
bangunan bagian selatan terbuat dari bata. Batas antara kedua bagian tersebut mengikuti
bentuk profil bangunan yang terbuat dari batu pasir. Hal ini menunjukkan bahwa bagian
bangunan yang terbuat dari batu pasir telah selesai dibangun kemudian ditambahkan
bagian bangunan yang terbuat dari bata.

Candi Palangka

Bangunan candi ini terletak di sisi timur Stupa Mahligai dengan ukuran tubuh
candi 5,10 m x 5,7 m dengan tinggi sekitar dua meter. Candi ini terbuat dari batu bata, dan
memiliki pintu masuk yang menghadap ke arah utara. Candi Palangka pada masa lampau
diduga digunakan sebagai altar.

Arsitektur

Candi Muara Takus merupakan salah satu bangunan suci agama Budha yang ada di
Riau. Ciri yang menunjukkan bangunan suci tersebut merupakan bangunan agama Budha
adalah stupa. Bentuk stupa sendiri berasal dari seni India awal, hampir merupakan anak
bukit buatan yang berbentuk setengah lingkaran tertutup dengan bata atau timbunan dan
diberi puncak meru. Stupa adalah ciri khas bangunan suci agama Budha dan berubah-ubah
bentuk dan fungsinya dalam sejarahnya di India dan di dunia Budhisme lainnya.
Berdasarkan fungsinya stupa dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu :

1. Stupa yang merupakan bagian dari sesuatu bangunan.


2. Stupa yang berdiri sendiri atau berkelompok tetapi masing-masing sebagai
bangunan lengkap.
3. Stupa yang menjadi pelengkap kelompok selaku candi perwara.

Berdasarkan fungsi di atas dapat disimpulkan bahwa bangunan di kompleks Candi


Muara Takus menduduki fungsi yang kedua, yaitu stupa yang berdiri sendiri atau
berkelompok tetapi masing-masing sebagai bangunan lengkap.

4
Arsitektur bangunan stupa Candi Muara Takus sendiri sangatlah unik karena tidak
ditemukan di tempat lain di Indonesia. Bentuk candi ini memiliki kesamaan dengan stupa
Budha di Myanmar, stupa di Vietnam, Sri Lanka atau stupa kuno di India pada periode
Ashoka, yaitu stupa yang memiliki ornamen sebuah roda dan kepala singa, hampir sama
dengan arca yang ditemukan di kompleks Candi Muara Takus.

Patung singa sendiri secara filosofis merupakan unsur hiasan candi yang
melambangkan aspek baik yang dapat mengalahkan aspek jahat atau aspek ‘terang’ yang
dapat mengalahkan aspek ‘jahat’. Dalam ajaran agama Budha motif hiasan singa dapat
dihubungkan maknanya dengan sang Budha, hal ini terlihat dari julukan yang diberikan
kepada sang Budha sebagai ‘singa dari keluarga Sakya’. Serta ajaran yang disampaikan
oleh sang Budha juga diibaratkan sebagai ‘suara’ (simhanada) yang terdengar keras di
seluruh penjuru mata angin.

Dalam naskah Silpa Prakasa dituliskan bahwa terdapat empat tipe singa yang dianggap
baik, antara lain :

1. Udyatā: singa yang digambarkan di atas kedua kaki belakang, badannya dalam
posisi membalik dan melihat ke belakang. Sikap ini disebut simhavalokana.
2. Jāgrata: singa yang digambarkan dengan wajah yang sangat buas (mattarūpina). Ia
bersikap duduk dengan cakarnya diangkat ke atas. Sering disebut khummana
simha.
3. Udyatā: singa yang digambarkan dalam sikap duduk dengan kaki belakang dan
biasanya ditempatkan di atas suatu tempat yang tinggi. Terkenal dengan sebutan
jhmpa-simha.
4. Gajakrānta: singa yang digambarkan duduk dengan ketiga kakinya di atas raja
gajah. Satu kaki depannya diangkat di depan dada seolah-olah siap untuk
menerkam. Singa ini disebut simha kunjara.

Di kompleks Candi Muara Takus sendiri terdapat dua candi yang memiliki patung
singa, yaitu Candi Sulung dan Candi Mahligai. Di Candi Sulung arca singa ditemukan di
depan candi atau di tangga masuk candi tersebut. Di Candi Mahligai arca singa ditemukan
di keempat sudut pondasinya. Penempatan patung singa ini, berdasarkan konsep yang
berasal dari kebudayaan India, dimaksudkan untuk menjaga bangunan suci dari pengaruh
jahat karena singa merupakan simbol dari kekuatan terang atau baik.

5
Berdasarkan penelitian R.D.M. Verbeck dan E. Th. van Delden diduga bahwa
bangunan Candi Muara Takus dahulunya merupakan bangunan Buddhis yang terdiri dari
biara dan beberapa candi.

Latar belakang pendirian

Candi merupakan bangunan suci yang berkembang pada masa Hindu-Buddha.


Bangunan suci ini dibuat sebagai sarana pemujaan bagi dewa-dewi agama Hindu maupun
agama Buddha. Agama Hindu dan Buddha berasal dari India sehingga konsep yang
digunakan dalam pendirian sebuah bangunan suci sama dengan konsep yang berkembang
dan digunakan di India, yaitu konsep tentang air suci. Bangunan suci harus berada di
dekat air yang dianggap suci. Air itu nantinya digunakan sebagai sarana dalam upacara
ritual. Peran air tidak hanya digunakan untuk upacara ritual saja, namun secara teknis juga
diperlukan dalam pembangunan maupun pemeliharaan dan kelangsungan hidup bangunan
itu sendiri. Didirikannya bangunan suci di suatu tempat memang tempat tersebut potensi
untuk dianggap suci, dan bukan bangunannya yang potensi dianggap suci. Maka dalam
usaha pendirian bangunan suci para seniman bangunan selalu memperhatikan potensi
kesucian suatu tempat dimana akan didirikan bangunan tersebut.

Agar tetap terjaga dan terpeliharanya kesucian suatu tempat, maka harus dipelihara
daerah sekitar titik pusat bangunan atau Brahmasthana serta keempat titik mata angin
dimana dewa Lokapala (penjaga mata angin) berada untuk melindungi dan mengamankan
daerah tersebut sebagai Wastupurusamandala yaitu perpaduan alam gaib dan alam nyata.
Kemudian dilakukan berbagai upacara untuk mensucikan tanah tersebut. Dalam hal ini air
sangat berperan selama upacara berlangsung, karena air selain mensucikan juga untuk
menyuburkan daerah tersebut. Sehingga dalam upaya pendirian suatu bangunan suci,
selain potensi kesucian tanah yang perlu diperhatikan adalah keberadaan atau tersedianya
air di daerah tersebut. Hal ini sama dengan konsep kebudayaan India yang menyatakan
bahwa keberadaan gunung meru sebagai tempat tinggal para dewa dikeilingi oleh tujuh
lautan. Maka secara nalar dan umun dapat diketahui bahwa pendirian sebagian besar
bangunan suci tempatnya selalu berada di dekat air.

Keadaan geografis wilayah Sumatera yang memiliki aliran sungai yang besar
sangat mendukung konsep dari kebudayaan India tersebut. Dengan adanya aliran sungai
besar tersebut air dengan mudah didapat untuk keperluan dari upacara ritual. Selain faktor

6
air, faktor ekonomi juga dapat melatarbelakangi berdirinya suatu bangunan suci. Aliran
sungai di Sumatera pada masa lampau merupakan jalur transportasi untuk perdagangan.
Pada awalnya jumlah pedagang yang datang sedikit. Namun lama kelamaan karena
menunggu waktu yang tepat untuk berlayar maka mereka bermukim di sekitar daerah
tersebut. Maka diperlukanlah tempat peribadatan untuk umat beragama, dan didirikanlah
bangunan suci. Karena tidak mungkin berdirinya suatu bangunan sakral atau candi tanpa
didukung masyarakat pendirinya demi kelangsungan hidup bangunan suci tersebut. Maka
seirama dengan tumbuh dan pesatnya perdagangan di suatu tempat pada umumnya akan
muncul pula bangunan-bangunan suci atau candi untuk digunakan sebagai tempat
menjalankan upacara ritual oleh para pelaku ekonomi tersebut yang telah mengenal magis
terhadap bangunan candi, berperan dalam fungsi perkembangan sosial/ekonomi dan
perdagangan.

Faktor kekuasaan juga berpengaruh dalam pembangunan suatu candi. Suatu


kerajaan yang berhasil menaklukkan suatu wilayah, tentunya terdapat tinggalan yang
dapat menggambarkan ciri khas suatu kerajaan tersebut. Tinggalan tersebut dapat berupa
prasasti maupun candi.

Beberapa aspek dalam pendirian candi

Dari suatu bangunan candi kita dapat melihat beberapa aspek kehidupan. Pada candi
Muara Takus ini aspek-aspek yang dapa kita lihat antara lain:

1. Aspek teknologi: Bahan yang digunakan adalah batu bata. Ukuran bata yang
dipakai membangun candi ini bervariasi, panjang antara 23 sampai 26 cm, lebar 14
sampai dengan 15,5 cm dan tebalnya 3,5 cm sampai 4,5 cm. Bata pada masa
lampau memiliki kualitas yang lebih baik dari bata pada masa sekarang. Ini
dikarenakan tanah liat yang digunakan disaring sampai benar-benar tidak ada
komponen lain selain tanah liat, misalnya pasir. Selain itu, terdapat ”isian” di
dalam bata, biasanya berupa sekam. Maksud dari isian ini, supaya bata kuat.
Perekatan antar batu bata menggunakan sistem kosod. Sistem kosod merupakan
sistem perekatan bata dengan cara menggosokkan bata dengan bata lain dimana
pada bidang gosokannya tersebut diberi air. Sistem ini juga dapat ditemukan pada
situs-situs di Jawa Timur dan masih dapat ditemukan di daerah Bali. Perekatan

7
bata yang menggunakan sistem kosod menyebabkan perekatan antar bata akan
bertambah erat dari tahun ke tahun.
2. Aspek sosial: Pembangunan candi ini dilakukan secara bergotong royong dan
dilakukan oleh orang ramai. Begitu juga pada saat upacara pemujaan terdapat
perbedaan status, yaitu pemimpin upacara dan pengikutnya.
3. Aspek religi: terlihat dari bentuk candi Muara Takus yang berupa stupa, yang
menunjukkan candi ini sebagai tempat pemujaan umat agama Buddha, khususnya
aliran Mahayana.

Anda mungkin juga menyukai