Candi Mahligai
Candi Tua
Candi Tua atau Candi Sulung merupakan bangunan terbesar di antara bangunan lainnya di dalam
situs Candi Muara Takus. Bangunan ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan atap.
Bagian kaki terbagi dua. Ukuran kaki pertama tingginya 2,37 m sedangkan yang kedua mempunyai
ketinggian 1,98 m. Tangga masuk terdapat di sisi Barat dan sisi Timur yang didekorasi dengan arca
singa. Lebar masing-masing tangga 3,08 m dan 4 m. Dilihat dari sisa bangunan bagian dasar
mempunyai bentuk lingkaran dengan garis tengah ± 7 m dan tinggi 2,50 m. Ukuran fondasi
bangunan candi ini adalah 31,65 m x 20,20 m. Fondasi candi ini memiliki 36 sisi yang mengelilingi
bagian dasar. Bagian atas dari bangunan ini adalah bundaran. Tidak ada ruang kosong sama sekali
di bagian dalam Candi Sulung. Bangunan terbuat dari susunan bata dengan tambahan batu pasir
yang hanya digunakan untuk membuat sudut-sudut bangunan, pilaster-pilaster, dan pelipit-pelipit
pembatas perbingkaian bawah kaki candi dengan tubuh kaki serta pembatas tubuh kaki dengan
perbingkaian atas kaki. Berdasarkan penelitian tahun 1983 diketahui bahwa candi ini paling tidak
telah mengalami dua tahap pembangunan. Indikasi mengenai hal ini dapat dilihat dari adanya
profil bangunan yang tertutup oleh dinding lain yang bentuk profilnya berbeda.
Candi Bungsu
Candi Palangka
Bangunan candi ini terletak di sisi timur Stupa Mahligai dengan ukuran tubuh candi 5,10 m x 5,7
m dengan tinggi sekitar dua meter. Candi ini terbuat dari batu bata, dan memiliki pintu masuk
yang menghadap ke arah utara. Candi Palangka pada masa lampau diduga digunakan sebagai
altar.
Arsitektur
Candi Muara Takus merupakan salah satu bangunan suci
agama Budha yang ada di Riau. Ciri yang menunjukkan
bangunan suci tersebut merupakan bangunan agama
Budha adalah stupa. Bentuk stupa sendiri berasal dari seni
India awal, hampir merupakan anak bukit buatan yang
berbentuk setengah lingkaran tertutup dengan bata atau
timbunan dan diberi puncak meru. Stupa adalah ciri khas
bangunan suci agama Budha dan berubah-ubah bentuk
dan fungsinya dalam sejarahnya di India dan di dunia
Budhisme lainnya. Berdasarkan fungsinya stupa dapat Candi Muara Takus
dibedakan menjadi tiga, yaitu:
Dalam naskah Silpa Prakasa dituliskan bahwa terdapat empat tipe singa yang dianggap baik,
antara lain:
1. Udyatā: singa yang digambarkan di atas kedua kaki belakang, badannya dalam posisi
membalik dan melihat ke belakang. Sikap ini disebut simhavalokana.
2. Jāgrata: singa yang digambarkan dengan wajah yang sangat buas (mattarūpina). Ia bersikap
duduk dengan cakarnya diangkat ke atas. Sering disebut khummana simha.
3. Udyatā: singa yang digambarkan dalam sikap duduk dengan kaki belakang dan biasanya
ditempatkan di atas suatu tempat yang tinggi. Terkenal dengan sebutan jhmpa-simha.
4. Gajakrānta: singa yang digambarkan duduk dengan ketiga kakinya di atas raja gajah. Satu
kaki depannya diangkat di depan dada seolah-olah siap untuk menerkam. Singa ini disebut
simha kunjara.
Agar tetap terjaga dan terpeliharanya kesucian suatu tempat, maka harus dipelihara daerah sekitar
titik pusat bangunan atau Brahmasthana serta keempat titik mata angin di mana dewa Lokapala
(penjaga mata angin) berada untuk melindungi dan mengamankan daerah tersebut sebagai
Wastupurusamandala yaitu perpaduan alam gaib dan alam nyata. Kemudian dilakukan berbagai
upacara untuk mensucikan tanah tersebut. Dalam hal ini air sangat berperan selama upacara
berlangsung, karena air selain mensucikan juga untuk menyuburkan daerah tersebut. Sehingga
dalam upaya pendirian suatu bangunan suci, selain potensi kesucian tanah yang perlu
diperhatikan adalah keberadaan atau tersedianya air di daerah tersebut. Hal ini sama dengan
konsep kebudayaan India yang menyatakan bahwa keberadaan gunung meru sebagai tempat
tinggal para dewa dikeilingi oleh tujuh lautan. Maka secara nalar dan umun dapat diketahui bahwa
pendirian sebagian besar bangunan suci tempatnya selalu berada di dekat air.
Keadaan geografis wilayah Sumatra yang memiliki aliran sungai yang besar sangat mendukung
konsep dari kebudayaan India tersebut. Dengan adanya aliran sungai besar tersebut air dengan
mudah didapat untuk keperluan dari upacara ritual. Selain faktor air, faktor ekonomi juga dapat
melatarbelakangi berdirinya suatu bangunan suci. Aliran sungai di Sumatra pada masa lampau
merupakan jalur transportasi untuk perdagangan. Pada awalnya jumlah pedagang yang datang
sedikit. Namun lama kelamaan karena menunggu waktu yang tepat untuk berlayar maka mereka
bermukim di sekitar daerah tersebut. Maka diperlukanlah tempat peribadatan untuk umat
beragama, dan didirikanlah bangunan suci. Karena tidak mungkin berdirinya suatu bangunan
sakral atau candi tanpa didukung masyarakat pendirinya demi kelangsungan hidup bangunan suci
tersebut. Maka seirama dengan tumbuh dan pesatnya perdagangan di suatu tempat pada
umumnya akan muncul pula bangunan-bangunan suci atau candi untuk digunakan sebagai tempat
menjalankan upacara ritual oleh para pelaku ekonomi tersebut yang telah mengenal magis
terhadap bangunan candi, berperan dalam fungsi perkembangan sosial/ekonomi dan
perdagangan.
Faktor kekuasaan juga berpengaruh dalam pembangunan suatu candi. Suatu kerajaan yang
berhasil menaklukkan suatu wilayah, tentunya terdapat tinggalan yang dapat menggambarkan ciri
khas suatu kerajaan tersebut. Tinggalan tersebut dapat berupa prasasti maupun candi.
1. Aspek teknologi: Bahan yang digunakan adalah batu bata. Ukuran bata yang dipakai
membangun candi ini bervariasi, panjang antara 23 sampai 26 cm, lebar 14 sampai dengan
15,5 cm dan tebalnya 3,5 cm sampai 4,5 cm. Bata pada masa lampau memiliki kualitas yang
lebih baik dari bata pada masa sekarang. Ini dikarenakan tanah liat yang digunakan disaring
sampai benar-benar tidak ada komponen lain selain tanah liat, misalnya pasir. Selain itu,
terdapat ”isian” di dalam bata, biasanya berupa sekam. Maksud dari isian ini, supaya bata
kuat. Perekatan antar batu bata menggunakan sistem kosod. Sistem kosod merupakan sistem
perekatan bata dengan cara menggosokkan bata dengan bata lain di mana pada bidang
gosokannya tersebut diberi air. Sistem ini juga dapat ditemukan pada situs-situs di Jawa Timur
dan masih dapat ditemukan di daerah Bali. Perekatan bata yang menggunakan sistem kosod
menyebabkan perekatan antar bata akan bertambah erat dari tahun ke tahun.
1. Aspek sosial: Pembangunan candi ini dilakukan secara bergotong royong dan dilakukan oleh
orang ramai. Begitu juga pada saat upacara pemujaan terdapat perbedaan status, yaitu
pemimpin upacara dan pengikutnya.
1. Aspek religi: terlihat dari bentuk candi Muara Takus yang berupa stupa, yang menunjukkan
candi ini sebagai tempat pemujaan umat agama Buddha, khususnya aliran Mahayana.
Referensi
1. Forgotten Kingdoms in Sumatra, Brill Archive
2. Soekmono, R., (2002), Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 2, Kanisius, ISBN 979-413-
290-X.
Daftar Pustaka
(Indonesia) Balai Arkeologi Medan. 1998. Berkala Arkeologi SANGKHAKALA.
(Indonesia) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1996. Hasil Pemugaran dan Temuan
Benda Cagar Budaya PSP I. Proyek pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan
Pusat. Jakarta
(Indonesia) Haryono, Timbul. 1986. Relief dan Patung Singa Pada Candi-Candi Periode Jawa
Tengah: Penelitian Atas Fungsi dan Pengertiannya. Laporan Penelitian. Yogyakarta
(Inggris) Kempers, A. J. Bernet. 1959. Ancient Indonesian Art. Cambridge, Massachusetts:
Harvard University Press
(Indonesia) Siagian, Renville. 2002. CANDI sebagai warisan seni dan budaya Indonesia.
Yogyakarta: Yayasan Cempaka Kencana
(Indonesia) Soekmono, R. 1974. Candi, Fungsi dan Pengertiannya. Disertasi. Jakarta
(Indonesia) Suaka PSP Prov. Sumbar dan Riau. 1995. Buletin Arkeologi AMOGHAPASA.
Batusangkar
Pranala luar
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Candi Muara Takus.