Anda di halaman 1dari 6

Toggle the table of contents

Candi Muara Takus


Candi Muara Takus adalah sebuah situs candi
Buddha yang terletak di desa Muara Takus, Candi Muara Takus
Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar, Riau, Nama sebagaimana tercantum dalam
Indonesia. Situs ini berjarak kurang lebih 135 Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya
kilometer dari Kota Pekanbaru.

Situs Candi Muara Takus dikelilingi oleh tembok


berukuran 74 x 74 meter, yang terbuat dari batu
putih dengan tinggi tembok ± 80 cm, di luar
arealnya terdapat pula tembok tanah berukuran 1,5 x
1,5 kilometer, mengelilingi kompleks ini sampal ke
pinggir Sungai Kampar Kanan. Di dalam kompleks
ini terdapat beberapa bangunan candi yang disebut
dengan Candi sulung /tua, Candi Bungsu, Mahligai Candi Muara Takus
Stupa dan Palangka.
Cagar budaya Indonesia
Para pakar purbakala belum dapat menentukan Kategori Kawasan
secara pasti kapan situs candi ini didirikan. Ada yang No. Regnas CB.453 (https://cagarbudaya.ke
mengatakan abad ke-4, ada yang mengatakan abad
mdikbud.go.id/public/objek/detail
ke-7, abad ke-9 bahkan pada abad ke-11. Namun
cb/PO2016052500001/kompleks
candi ini dianggap telah ada pada zaman keemasan
Sriwijaya, sehingga beberapa sejarawan menganggap -percandian-muara-takus)
kawasan ini merupakan salah satu pusat Lokasi XIII Koto, Kabupaten Kampar,
pemerintahan dari kerajaan Sriwijaya.[1][2] keberadaan Riau
Tanggal SK 2003
Pada tahun 2009 Candi Muara Takus dicalonkan
untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia Pemilik Indonesia
UNESCO. Pengelola Balai Pelestarian Cagar Budaya
Riau / Pemerintah Kabupaten
Deskripsi situs Kampar
Koordinat 0.3332554°N 100.6419115°E
Candi Muara Takus adalah situs candi tertua di
Sumatra, merupakan satu-satunya situs peninggalan
sejarah yang berbentuk candi di Riau. Candi yang
bersifat Buddhis ini merupakan bukti bahwa agama
Buddha pernah berkembang di kawasan ini.

Candi ini dibuat dari batu pasir, batu sungai dan


batu bata. Berbeda dengan candi yang ada di Jawa,
yang dibuat dari batu andesit yang diambil dari
pegunungan. Bahan pembuat Candi Muara Takus, Lokasi Candi Muara Takus di
khususnya tanah liat, diambil dari sebuah desa yang Kabupaten Kampar, Riau
bernama Pongkai, terletak kurang lebih 6 km di
sebelah hilir situs Candi Muara Takus. Nama
Pongkai kemungkinan berasal dari Bahasa Tionghoa, Pong berati lubang dan Kai berarti tanah,
sehingga dapat bermaksud lubang tanah, yang diakibatkan oleh penggalian dalam pembuatan
Candi Muara Takus tersebut. Bekas lubang galian itu
sekarang sudah tenggelam oleh genangan waduk PLTA
Koto Panjang. Namun dalam Bahasa Siam, kata Pongkai
ini mirip dengan Pangkali yang dapat berarti sungai, dan
situs candi ini memang terletak pada tepian sungai.

Bangunan utama di kompleks ini adalah sebuah stupa yang


besar, berbentuk menara yang sebagian besar terbuat dari
batu bata dan sebagian kecil batu pasir kuning. Di dalam
situs Candi Muara Takus ini terdapat bangunan candi yang
disebut dengan Candi Tua, Candi Bungsu, Stupa Mahligai
serta Palangka. Selain bangunan tersebut di dalam
komplek candi ini ditemukan pula gundukan yang
diperkirakan sebagai tempat pembakaran tulang manusia.
Sementara di luar situs ini terdapat pula bangunan-
bangunan (bekas) yang terbuat dari batu bata, yang belum
dapat dipastikan jenis bangunannya.

Candi Mahligai

Candi Mahligai atau Stupa Mahligai, merupakan bangunan


candi yang dianggap paling utuh. Bangunan ini terbagi atas Batu tulis dari Candi Bungsu di Muara
tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan atap. Stupa ini memiliki Takus
fondasi berdenah persegi panjang dan berukuran 9,44 m x
10,6 m, serta memiliki 28 sisi yang mengelilingi alas candi
dengan pintu masuk berada di sebelah Selatan. Pada bagian alas tersebut terdapat ornamen lotus
ganda, dan di bagian tengahnya berdiri bangunan menara silindrik dengan 36 sisi berbentuk
kelopak bunga pada bagian dasarnya. Bagian atas dari bangunan ini berbentuk lingkaran. Menurut
Snitger, dahulu pada ke-empat sudut fondasi terdapat 4 arca singa dalam posisi duduk yang
terbuat dari batu andesit. Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yzerman, dahulu
bagian puncak menara terdapat batu dengan lukisan daun oval dan relief-relief sekelilingnya.
Bangunan ini diduga mengalami dua tahap pembangunan. Dugaan in didasarkan pada kenyataan
bahwa di dalam kaki bangunan yang sekarang terdapat profil kaki bangunan lama sebelum
bangunan diperbesar.

Candi Tua

Candi Tua atau Candi Sulung merupakan bangunan terbesar di antara bangunan lainnya di dalam
situs Candi Muara Takus. Bangunan ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan atap.
Bagian kaki terbagi dua. Ukuran kaki pertama tingginya 2,37 m sedangkan yang kedua mempunyai
ketinggian 1,98 m. Tangga masuk terdapat di sisi Barat dan sisi Timur yang didekorasi dengan arca
singa. Lebar masing-masing tangga 3,08 m dan 4 m. Dilihat dari sisa bangunan bagian dasar
mempunyai bentuk lingkaran dengan garis tengah ± 7 m dan tinggi 2,50 m. Ukuran fondasi
bangunan candi ini adalah 31,65 m x 20,20 m. Fondasi candi ini memiliki 36 sisi yang mengelilingi
bagian dasar. Bagian atas dari bangunan ini adalah bundaran. Tidak ada ruang kosong sama sekali
di bagian dalam Candi Sulung. Bangunan terbuat dari susunan bata dengan tambahan batu pasir
yang hanya digunakan untuk membuat sudut-sudut bangunan, pilaster-pilaster, dan pelipit-pelipit
pembatas perbingkaian bawah kaki candi dengan tubuh kaki serta pembatas tubuh kaki dengan
perbingkaian atas kaki. Berdasarkan penelitian tahun 1983 diketahui bahwa candi ini paling tidak
telah mengalami dua tahap pembangunan. Indikasi mengenai hal ini dapat dilihat dari adanya
profil bangunan yang tertutup oleh dinding lain yang bentuk profilnya berbeda.

Candi Bungsu

Candi Bungsu bentuknya tidak jauh beda dengan Candi


Sulung. Hanya saja pada bagian atas berbentuk segi empat.
Ia berdiri di sebelah barat Candi Mahligai dengan ukuran
13,20 x 16,20 meter. Di sebelah timur terdapat stupa-stupa
kecil serta terdapat sebuah tangga yang terbuat dari batu
putih. Bagian fondasi bangunan memiliki 20 sisi, dengan
sebuah bidang di atasnya. Pada bidang tersebut terdapat
teratai. Penelitian yang dilakukan oleh Yzerman, berhasil
menemukan sebuah lubang di pinggiran padmasana stupa
Komplek Candi Muara Takus
yang di dalamnya terdapat tanah dan abu. Dalam tanah
tersebut didapatkan tiga keping potongan emas dan satu
keping lagi terdapat di dasar lubang, yang digores dengan gambar-gambar tricula dan tiga huruf
Nagari. Di bawah lubang, ditemukan sepotong batu persegi yang pada sisi bawahnya ternyata
digores dengan gambar trisula dan sembilan buah huruf. Bangunan ini dibagi menjadi dua bagian
menurut jenis bahan yang digunakan. Kurang lebih separuh bangunan bagian Utara terbuat dari
batu pasir, sedangkan separuh bangunan bagian selatan terbuat dari bata. Batas antara kedua
bagian tersebut mengikuti bentuk profil bangunan yang terbuat dari batu pasir. Hal ini
menunjukkan bahwa bagian bangunan yang terbuat dari batu pasir telah selesai dibangun
kemudian ditambahkan bagian bangunan yang terbuat dari bata.

Candi Palangka

Bangunan candi ini terletak di sisi timur Stupa Mahligai dengan ukuran tubuh candi 5,10 m x 5,7
m dengan tinggi sekitar dua meter. Candi ini terbuat dari batu bata, dan memiliki pintu masuk
yang menghadap ke arah utara. Candi Palangka pada masa lampau diduga digunakan sebagai
altar.

Arsitektur
Candi Muara Takus merupakan salah satu bangunan suci
agama Budha yang ada di Riau. Ciri yang menunjukkan
bangunan suci tersebut merupakan bangunan agama
Budha adalah stupa. Bentuk stupa sendiri berasal dari seni
India awal, hampir merupakan anak bukit buatan yang
berbentuk setengah lingkaran tertutup dengan bata atau
timbunan dan diberi puncak meru. Stupa adalah ciri khas
bangunan suci agama Budha dan berubah-ubah bentuk
dan fungsinya dalam sejarahnya di India dan di dunia
Budhisme lainnya. Berdasarkan fungsinya stupa dapat Candi Muara Takus
dibedakan menjadi tiga, yaitu:

1. Stupa yang merupakan bagian dari sesuatu bangunan.


2. Stupa yang berdiri sendiri atau berkelompok tetapi masing-masing sebagai bangunan lengkap.
3. Stupa yang menjadi pelengkap kelompok selaku candi perwara.
Berdasarkan fungsi di atas dapat disimpulkan bahwa bangunan di kompleks Candi Muara Takus
menduduki fungsi yang kedua, yaitu stupa yang berdiri sendiri atau berkelompok tetapi masing-
masing sebagai bangunan lengkap.

Arsitektur bangunan stupa Candi Muara Takus sendiri


sangatlah unik karena tidak ditemukan di tempat lain di
Indonesia. Bentuk candi ini memiliki kesamaan dengan stupa
Budha di Myanmar, stupa di Vietnam, Sri Lanka atau stupa
kuno di India pada periode Ashoka, yaitu stupa yang memiliki
ornamen sebuah roda dan kepala singa, hampir sama dengan
arca yang ditemukan di kompleks Candi Muara Takus.

Patung singa sendiri secara filosofis merupakan unsur hiasan


candi yang melambangkan aspek baik yang dapat mengalahkan
aspek jahat atau aspek ‘terang’ yang dapat mengalahkan aspek
‘jahat’. Dalam ajaran agama Budha motif hiasan singa dapat dihubungkan maknanya dengan sang
Budha, hal ini terlihat dari julukan yang diberikan kepada sang Budha sebagai ‘singa dari keluarga
Sakya’. Serta ajaran yang disampaikan oleh sang Budha juga diibaratkan sebagai ‘suara’
(simhanada) yang terdengar keras di seluruh penjuru mata angin.

Dalam naskah Silpa Prakasa dituliskan bahwa terdapat empat tipe singa yang dianggap baik,
antara lain:

1. Udyatā: singa yang digambarkan di atas kedua kaki belakang, badannya dalam posisi
membalik dan melihat ke belakang. Sikap ini disebut simhavalokana.
2. Jāgrata: singa yang digambarkan dengan wajah yang sangat buas (mattarūpina). Ia bersikap
duduk dengan cakarnya diangkat ke atas. Sering disebut khummana simha.
3. Udyatā: singa yang digambarkan dalam sikap duduk dengan kaki belakang dan biasanya
ditempatkan di atas suatu tempat yang tinggi. Terkenal dengan sebutan jhmpa-simha.
4. Gajakrānta: singa yang digambarkan duduk dengan ketiga kakinya di atas raja gajah. Satu
kaki depannya diangkat di depan dada seolah-olah siap untuk menerkam. Singa ini disebut
simha kunjara.

Di kompleks Candi Muara Takus sendiri terdapat dua candi


yang memiliki patung singa, yaitu Candi Sulung dan Candi
Mahligai. Di Candi Sulung arca singa ditemukan di depan candi
atau di tangga masuk candi tersebut. Di Candi Mahligai arca
singa ditemukan di keempat sudut pondasinya. Penempatan
patung singa ini, berdasarkan konsep yang berasal dari
kebudayaan India, dimaksudkan untuk menjaga bangunan suci
dari pengaruh jahat karena singa merupakan simbol dari
kekuatan terang atau baik.
Proses penggalian Candi Muara
Takus
Berdasarkan penelitian R.D.M. Verbeck dan E. Th. van Delden
diduga bahwa bangunan Candi Muara Takus dahulunya
merupakan bangunan Buddhis yang terdiri dari biara dan
beberapa candi.

Latar belakang pendirian


Candi merupakan bangunan suci yang berkembang pada masa Hindu-Buddha. Bangunan suci ini
dibuat sebagai sarana pemujaan bagi dewa-dewi agama Hindu maupun agama Buddha. Agama
Hindu dan Buddha berasal dari India sehingga konsep yang digunakan dalam pendirian sebuah
bangunan suci sama dengan konsep yang berkembang dan digunakan di India, yaitu konsep
tentang air suci. Bangunan suci harus berada di dekat air yang dianggap suci. Air itu nantinya
digunakan sebagai sarana dalam upacara ritual. Peran air tidak hanya digunakan untuk upacara
ritual saja, namun secara teknis juga diperlukan dalam pembangunan maupun pemeliharaan dan
kelangsungan hidup bangunan itu sendiri. Didirikannya bangunan suci di suatu tempat memang
tempat tersebut potensi untuk dianggap suci, dan bukan bangunannya yang potensi dianggap suci.
Maka dalam usaha pendirian bangunan suci para seniman bangunan selalu memperhatikan
potensi kesucian suatu tempat di mana akan didirikan bangunan tersebut.

Agar tetap terjaga dan terpeliharanya kesucian suatu tempat, maka harus dipelihara daerah sekitar
titik pusat bangunan atau Brahmasthana serta keempat titik mata angin di mana dewa Lokapala
(penjaga mata angin) berada untuk melindungi dan mengamankan daerah tersebut sebagai
Wastupurusamandala yaitu perpaduan alam gaib dan alam nyata. Kemudian dilakukan berbagai
upacara untuk mensucikan tanah tersebut. Dalam hal ini air sangat berperan selama upacara
berlangsung, karena air selain mensucikan juga untuk menyuburkan daerah tersebut. Sehingga
dalam upaya pendirian suatu bangunan suci, selain potensi kesucian tanah yang perlu
diperhatikan adalah keberadaan atau tersedianya air di daerah tersebut. Hal ini sama dengan
konsep kebudayaan India yang menyatakan bahwa keberadaan gunung meru sebagai tempat
tinggal para dewa dikeilingi oleh tujuh lautan. Maka secara nalar dan umun dapat diketahui bahwa
pendirian sebagian besar bangunan suci tempatnya selalu berada di dekat air.

Keadaan geografis wilayah Sumatra yang memiliki aliran sungai yang besar sangat mendukung
konsep dari kebudayaan India tersebut. Dengan adanya aliran sungai besar tersebut air dengan
mudah didapat untuk keperluan dari upacara ritual. Selain faktor air, faktor ekonomi juga dapat
melatarbelakangi berdirinya suatu bangunan suci. Aliran sungai di Sumatra pada masa lampau
merupakan jalur transportasi untuk perdagangan. Pada awalnya jumlah pedagang yang datang
sedikit. Namun lama kelamaan karena menunggu waktu yang tepat untuk berlayar maka mereka
bermukim di sekitar daerah tersebut. Maka diperlukanlah tempat peribadatan untuk umat
beragama, dan didirikanlah bangunan suci. Karena tidak mungkin berdirinya suatu bangunan
sakral atau candi tanpa didukung masyarakat pendirinya demi kelangsungan hidup bangunan suci
tersebut. Maka seirama dengan tumbuh dan pesatnya perdagangan di suatu tempat pada
umumnya akan muncul pula bangunan-bangunan suci atau candi untuk digunakan sebagai tempat
menjalankan upacara ritual oleh para pelaku ekonomi tersebut yang telah mengenal magis
terhadap bangunan candi, berperan dalam fungsi perkembangan sosial/ekonomi dan
perdagangan.

Faktor kekuasaan juga berpengaruh dalam pembangunan suatu candi. Suatu kerajaan yang
berhasil menaklukkan suatu wilayah, tentunya terdapat tinggalan yang dapat menggambarkan ciri
khas suatu kerajaan tersebut. Tinggalan tersebut dapat berupa prasasti maupun candi.

Beberapa aspek dalam pendirian candi


Dari suatu bangunan candi kita dapat melihat beberapa aspek kehidupan. Pada candi Muara
Takus ini aspek-aspek yang dapa kita lihat antara lain:

1. Aspek teknologi: Bahan yang digunakan adalah batu bata. Ukuran bata yang dipakai
membangun candi ini bervariasi, panjang antara 23 sampai 26 cm, lebar 14 sampai dengan
15,5 cm dan tebalnya 3,5 cm sampai 4,5 cm. Bata pada masa lampau memiliki kualitas yang
lebih baik dari bata pada masa sekarang. Ini dikarenakan tanah liat yang digunakan disaring
sampai benar-benar tidak ada komponen lain selain tanah liat, misalnya pasir. Selain itu,
terdapat ”isian” di dalam bata, biasanya berupa sekam. Maksud dari isian ini, supaya bata
kuat. Perekatan antar batu bata menggunakan sistem kosod. Sistem kosod merupakan sistem
perekatan bata dengan cara menggosokkan bata dengan bata lain di mana pada bidang
gosokannya tersebut diberi air. Sistem ini juga dapat ditemukan pada situs-situs di Jawa Timur
dan masih dapat ditemukan di daerah Bali. Perekatan bata yang menggunakan sistem kosod
menyebabkan perekatan antar bata akan bertambah erat dari tahun ke tahun.
1. Aspek sosial: Pembangunan candi ini dilakukan secara bergotong royong dan dilakukan oleh
orang ramai. Begitu juga pada saat upacara pemujaan terdapat perbedaan status, yaitu
pemimpin upacara dan pengikutnya.
1. Aspek religi: terlihat dari bentuk candi Muara Takus yang berupa stupa, yang menunjukkan
candi ini sebagai tempat pemujaan umat agama Buddha, khususnya aliran Mahayana.

Referensi
1. Forgotten Kingdoms in Sumatra, Brill Archive
2. Soekmono, R., (2002), Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 2, Kanisius, ISBN 979-413-
290-X.

Daftar Pustaka
(Indonesia) Balai Arkeologi Medan. 1998. Berkala Arkeologi SANGKHAKALA.
(Indonesia) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1996. Hasil Pemugaran dan Temuan
Benda Cagar Budaya PSP I. Proyek pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan
Pusat. Jakarta
(Indonesia) Haryono, Timbul. 1986. Relief dan Patung Singa Pada Candi-Candi Periode Jawa
Tengah: Penelitian Atas Fungsi dan Pengertiannya. Laporan Penelitian. Yogyakarta
(Inggris) Kempers, A. J. Bernet. 1959. Ancient Indonesian Art. Cambridge, Massachusetts:
Harvard University Press
(Indonesia) Siagian, Renville. 2002. CANDI sebagai warisan seni dan budaya Indonesia.
Yogyakarta: Yayasan Cempaka Kencana
(Indonesia) Soekmono, R. 1974. Candi, Fungsi dan Pengertiannya. Disertasi. Jakarta
(Indonesia) Suaka PSP Prov. Sumbar dan Riau. 1995. Buletin Arkeologi AMOGHAPASA.
Batusangkar

Pranala luar
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Candi Muara Takus.

Situs Resmi Kementrian pariwisata (http://indonesia.travel/id/destination/415/candi-muara-taku


s)

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Candi_Muara_Takus&oldid=24299665"

Anda mungkin juga menyukai