(https://id.wikipedia.org/)
Daerah Istimewa Yogyakarta juga memiliki banyak candi yang berusia ribuan tahun yang
merupakan peninggalan kerajaan besar zaman dahulu. Candi-candi yang terletak di
Yogyakarta tak hanya menyajikan nilai keindahan/ nilai estetika, rekreasi, sosial, dan budaya.
Melainkan juga dapat “merekam jejak” darimana material – material di sekitar candi ini
berasal dan bagaimana sejarah dari pembentukan candi ini. Korelasi antara nilai budaya dan
edukasi ini menghasilkan nilai tambah pada candi, sehingga candi tidak hanya menjadi
sekedar pagar budaya tanpa makna. Pada paper ini, peneliti membahas bagaimana sejarah
dari pembentukan candi, serta material apa saja yang menyusun candi, dan
mengkorelasikannya dengan sejarah geologi.
1. Candi Morangan
(Sumber : https://id.wikipedia.org/ )
Gambar 1. Peta index Candi Morangan
Menurut perkiraan, candi ini dibangun pada sekitar abad ke-9 dan ke-10 pada masa
Kerajaan Mataram Kuno, yaitu sezaman dengan pembuatan candi-candi Hindu, seperti Candi
Prambanan. Pada saat ditemukan pada tahun 1884, candi ini terpendam 6,5 meter di bawah
tanah. Candi Morangan terletak 100 meter dari bantaran Sungai Gendol. Bila tanggul Sungai
Gendol jebol dan meluber ke pemukiman warga, ada kemungkinan Candi Morangan pun
akan tertimbun material banjir.
Setelah Belanda meninggalkan Indonesia candi ini kembali tertutup tanah. Pihak
SPSP DIY pernah melakukan ekskavasi pada tahun 1982. Ekskavasi yang dilakukan oleh
SPSP DIY ini berhasil menampakkan 2 buah bangunan candi yakni candi induk dan candi
perwara yang semua berbahan batu andesit. Hingga saat ini candi induk pun belum
seluruhnya dapat disingkap dan baru dapat digali sekitar tiga perempat bagian saja. Bangunan
candi induk memiliki arah hadap ke barat berbilik satu dan berdenah bujur sangkar berukuran
7,95 m x 7,95 m serta mempunyai selasar selebar 90 m. Profil candi tersebut terdiri atas sisi
genta, belah rotan, bingkai persegi, serta takuk ganda. Secara lengkap candi induk terdiri atas
kaki, tubuh serta atap candi. Pembagian tersebut dalam agama Hindu melambangkan tiga
alam yaitu bhurloka, bhuwarloka, dan swarloka. Candi ini mempunyai banyak relief yang
dipahatkan pada batang kaki maupun tubuh candi, terletak antara perbingkaian atas dan
perbingkaian bawah.
Sedangkan candi perwara terletak di depan candi induk agak geser ke sisi utara serta
arah hadapnya ke timur. Candi perwara Morangan menghadap ke timur dan berdenah bujur
sangkar berukuran 4 x 4. Saat ini bangunan yang dapat dijumpai adalah bagian tubuh dan
kaki candi saja. Sisi utara, barat, dan selatan tubuh candi memiliki relung yang berisi arca,
tetapi arca tersebut telah diamankan. Satu hal yang membedakan Candi Morangan dengan
candi-candi lain adalah terdapatnya panil relief yang diperkirakan merupakan bagian dari
cerita Tantri Kamandaka, yang sejauh ini hanya ditemukan pada candi-candi berlatar
belakang agama Budha. Relief tersebut menceritakan tentang seekor harimau yang tertipu
oleh seekor kambing.
Pada Candi Morangan ditemukan pula yoni dengan ukuran yang cukup besar. Pada
saat ditemukan yoni tersebut masih in situ. Sedangkan lingga yang seharusnya ada dan
menjadi pasangan dari yoni tidak ditemukan lagi. Pada saat ditemukan yoni tersebut masih
dalam keadaan baik sekalipun pada bagian ceratnya sudah hilang. Pada kompleks Candi
Morangan ini juga ditemukan pula arca resi dan sejumlah arca lain di dalam relung-relung
candi. Arca-arca ini sebagian besar belum dapat diidentifikasikan. Kecuali itu Candi
Morangan belum dapat diamati secara sempurna karena bangunan candi belum dapat
direkonstruksi kembali. Hal ini disebabkan oleh karena sebagian bangunan candi masih
belum ditemukan (terpendam) di dalam tanah.
2. Candi Kedulan
(Sumber : http://candi.perpusnas.go.id/ )
Gambar 4. Candi Kedulan
Para ahli memperkirakan bahwa di kompleks Candi Kedulan terdapat sebuah candi
utama yang menghadap ke timur, berhadapan dengan tiga buah candi perwara yang berjajar
dari utara ke selatan. Kompleks candi dikelilingi pagar pembatas, terlihat dari adanya dinding
sepanjang dua meter dari timur ke barat. Perkiraan tersebut didasarkan pada kemiripan Candi
Kedulan dengan Candi Sambisari yang telah selesai dipugar pada tahun 1985. Baik Candi
sambisari maupun Candi Kedulan merupakan candi Hindu. Bentuk dan ukuran candi
utamanya juga tidak jauh berbeda. Di tengah bangunan utama terdapat lingga dan yoni.
Perbedaan di antara keduanya hanyalah bahwa Candi Sambisari menghadap ke barat,
sementara candi Kedulan menghadap ke timur. Pagar luar seperti yang ditemukan di Candi
Kedulan terdapat juga di Candi Sambisari. Di Candi Kedulan ditemukan juga arca Durga
Mahesasuramahardini di utara, arca Ganesha di barat, arca Agastya dan Mahakala di selatan,
serta Nandiswara di kanan-kiri pintu masuk candi.
Saat ini, yang sudah terbuka baru candi perwara yang berada di ujung selatan. Candi
perwara ini berada empat meter di bawah permukaan tanah. Lokasi candi perwara ini berada
persis di bawah jalan kampung. Sementara candi perwara tengah sedang dalam proses
penggalian dan sudah menampakkan beberapa batu candi, sedangkan candi perwara di sisi
utara sama sekali belum digali. Pada masa penggalian, di dekat arca Agastya, ditemukan dua
buah prasasti yang masing-masing panjangnya 75 cm, lebar 45 cm dan tebal sekitar 23 cm.
Kedua prasasti ini ditulis dengan huruf Palawa dan berbahasa Sansekerta.
Menilik beratnya, kemungkinan besar sejak semula kedua prasasti yang dikenal
dengan Prasasti Pananggaran dan Prasasti Sumundul tersebut memang terletak di tempat itu.
Keduanya berangka tahun bertahun 791 Saka atau 869 Masehi. Menilik tahun pembuatan
prasasti, diduga Candi Kedulan dibangun ketika Rakai Kayuwangi memerintah Kerajaan
Mataram Hindu. Kedua prasasti tersebut memuat ketetapan bahwa penggunaan bendungan di
desa Pananggaran untuk kepentingan masyarakat dan bahwa pendapatan yang dihasilkan dari
bendungan itu dibebaskan dari pajak oleh negara karena digunakan untuk mendanai Candi
Kedulan.