Anda di halaman 1dari 15

WARISAN –WARISAN KERAJAAN MAJAPAHIT

DISUSUN OLEH:

1. DANANG PRASETYA (17)


2. DENNY ILHAM MAULANA (18)
3. DEWI NUR SAYIDAH KHOLISOH (19)
4. DIAH AYU SAFITRI (20)
5. DO’A FANI FEBILIA (21)
6. DODI CAHYONO (22)
WARISAN WARISAN KERAJAAN MAJAPAHIT

1. Candi Sukuh

Candi Sukuh terletak di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Karanganyar, Jawa Tengah, 36 km
dari Surakarta atau 20 km dari Kota Karanganyar.Menurut perkiraan, Candi Sukuh ini dibangun
pada tahun 1437 Masehi dan masuk kedalam jenis candi Hindu dengan bentuk piramid. Struktur
bangunan Candi Sukuh memiliki bentuk yang unik dan berbeda dengan candi peninggalan
Kerajaan Majapahit yang lain dan di sekitar reruntuhan Candi Sukuh ini juga terdapat banyak
objek Lingga dan Yoni yang melambangkan seksualitas dengan beberapa relief serta patung yang
memperlihatkan organ intim dari manusia. Candi ini ditemukan pada tahun 1815 oleh residen
Surakarta bernama Johnson yang ditugaskan oleh Thomas Stanford Raffles untuk
mengumpulkan data dari bukunya yakni “The History of Java”. Kemudian pada tahun 1842,
candi ini juga sudah diteliti oleh Arekolog dari Belanda bernama Van der Vlies dan kemudian
dipugar pada tahun 1928. Candi Sukuh kemudian diusulkan menjadi salah satu situs warisan
dunia pada tahun 1995.

Desain sederhana dari candi ini membuat seorang arkeolog asal Belanda yakni W.F. Stutterheim
di tahun 1930 memberikan argumentasinya yakni pemahat dari Candi Sukuh ini bukanlah dari
seorang tukang batu namun seorang tukang kayu desa dan bukan dari kalangan keraton. Candi
ini juga dibuat dengan terburu-buru yang tampak dari kurang rapihnya bangunan candi tersebut
dan argumen terakhirnya adalah keadaan politik di masa tersebut yakni saat menjelang runtuhnya
Kerajaan Majapahit membuat candi tersebut tidak bisa dibuat dengan mewah dan indah. Saat
masuk ke pintu utama dan melewati gapura besar, maka bentuk arsitektur khas tidak disusun
secara tegak lurus akan tetapi berbentuk sedikit miring trapesium lengkap dengan atap pada
bagian atasnya. Sedangkan warna bebatuan di candi ini berwarna sedikit merah sebab memakai
bebatuan andesit.

Pada teras pertama terdapat sebuah gapura utama yang lengkap dengan sengkala memet dan
tertulis dalam bahasa Jawa yaitu gapura buta aban wong dengan arti raksasa gapura memangsa
manusia dengan makna masing-masing9, 5, 3, 1 yang jika dibalik maka diperoleh tahun 1359
[saka] atau 1437 Masehi. Angka ini kemudian diduga menjadi tahun berdirinya Candi Sukuh. Di
bagian sisi candi juga terdapat sengkala memet dengan bentuk gajah memakai sorban yang
sedang mengigit seekor ular dan dianggap sebagai lambang bunyi gapura buta anahut buntut atau
raksasa gapura mengigit ekor. Pada bagian teras kedua, gapuranya sudah dalam keadaan yang
rusak dan pada bagian sisi kanan dan kiri gapura ada patung penjaga atau dwarpala kaan tetapi
juga sudah rusak dan tidak berbentuk lagi. Gapura ini juga sudah hilang bagian atapnya dan tidak
dilengkapi dengan patung pada terasnya. Pada gapura ini ada sebuah candrasangkala yang ditulis
dalam bahasa Jawa berbunyi gajah wiku anahut buntut dengan arti gajah pendeta menggigit ekor
dan terdapat makna 8, 7, 3, 1 yang jika dibalik maka dihasilkan tahun 1378 Saka atau 1456
Masehi.

Pada bagian teras ketiga ada pelataran berukuran besar dengan candi induk serta beberapa buah
panel yang dilengkapi dengan relief di bagian kiri dan patung di bagian kanan. Pada bagian atas
candi utama di tengah ada sebuah bujur sangkar seperti tempat untuk meletakkan sesaji dan
terdapat juga bekas kemenyan, hio serta dupa yang dibakar dan masih sering juga digunakan
untuk sembahyang. Sedangkan pada bagian kiri candi induk ada serangkaian panel lengkap
dengan relief yang bercerita tentan mitologi utama dari Candi Suku, Kidung Sudamala.

2. Candi Cetho

Candi Cethi terletak di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Karanganyar, Jawa
Tengah. Menurut perkiraan para sejarawan, Candi Cetho ini berasal dari akhir keruntuhan
Kerajaan Majapahit di sekitar abad ke-15 Masehi dan candi ini baru ditemukan pada tahun 1842
karena tulisan dari seorang arkeolog Belanda yakni Van de Vlies. Candi Cetho dibangun dengan
menggunakan corak Hindu yang seringkali dipakai warga serta peziarah Hindu untuk tempat
pemujaan. Tempat ini juga sering dijadikan tempat untuk bertapa untuk masyarakat Kejawen asli
Jawa. Penggalian pertama dilakukan pada tahun 1928 untuk rekonstruksi oleh Dinas Purbakala
Hindia Belanda dan dari penelitian ditemukan jika usia candi tersebut hampir sama dengan
Candi Sukuh yang lokasinya tidak jauh dari candi ini, akan tetapi terdapat perbedaan sebab candi
ini dibuat di kompleks yang berundak. Secara keseluruhan, Candi Cetho ini mempunyai 13 buah
teras dan juga banyak anak tangga yang juga dilengkapi dengan banyak archa serta punden di
sepanjang tangga tersebut. Diatas candi ini terdapat Puri yang disebut dengan Puri Saraswati.

Candi Cetho ini ditemukan dalam keadaan reruntuhan dengan 14 teras atau punden bertingkat
dengan bentuk memanjang dari barat menuju ke timur dan sekarang hanya tersisa 13 teras saja.
Pemugaran sudah dilakukan pada kesembilan buah teras dan struktur teras yang berundak ini
diduga merupakan kultur asli Nusantara Hinduisme yang semakin diperkuat dengan aspek
ikonografi. Relief yang terdapat pada candi ini berbentuk tubuh manusia seperti wayang kulit
dengan muka menghadap samping namun tubuh yang menghadap ke ara depan. Pemugaran juga
dilakukan di akhir tahun 1970 yang dilakukan sepihak oleh Sudjono Humardani, asisten pribadi
dari Suharto dan ia mengubah begitu banyak struktur dari candi tersebut.

Pemugaran ini kemudian banyak mendapatkan krtikan dari pada arkeolog sebab pemugaran pada
situs purbakala tidak dapat dilakukan tanpa dipelajari dengan mendalam, selain itu ada beberapa
objek hasil dari pemugaran yang sudah dianggap tidak asli yakni gapura mewah dan meagh di
bagian depan kompleks, bangunan kayu tempat bertapa, patung yang dinisbatkan sebagai
Brawijaya V, Sabdapalon, Nayagenggong dan phallus sera kubus di pucak punden

3. Candi Pari

Candi Pari terletak di Desa Candi Pari, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Menurut
perkiraan, Candi ini dibangun saat masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk tahun 1350 sampai
dengan 1389 Masehi. Candi ini terletak di 2 km arah Barat Laut semburan pusat lumpur panas
Lapindo Brantas. Candi Pari ini juga dibangun dengan batu bata berbentuk persegi empat seperti
pura yang ada di Bali dan candi ini dibangun menghadap ke arah Barat. Diperkirakan, Candi Pari
ini dibangun pada tahun 1371 Masehi dan dari J.Knebel yang ditulis dalam laporannya, Candi
Pari dan juga Candi Sumur, dibangun untuk mengenang sekaligus memperingati hilangnya adik
angkat dan juga seorang sahabat dari salah satu putra Prabu brawijaya yang menolak untuk
tinggal di Keraton Kerajaan Majapahit. Diatas pintu Candi Pari ini dulunya terdapat batu tua dan
apabila dilihat dari arsitektur sangat dipengaruhi dengan budaya Campa yakni kebudayaan dari
Vietnam. Ini bisa terjadi karena dulu Indonesia menjalin hubungan dagang dengan Vietnam dan
disaat yang bersamaan juga, perekonomian Vietnam hancur sehingga sebagian orang mengungsi
ke Jawa Timur.
4. Candi Jabung

Candi Jabung terletak di Desa Jabung, Kecamatan Paiton, Probolinggo, Jawa Timur. Candi ini
terbuat dari bata merah yang disusun yang masih bertahan setelah sekian tahun. Di saat lawatan
berkeliling Jawa Timur tahun 1359, Raja Hayam Wuruk dikatakan pernah singgah pada Candi
Jabung tersebut. Candi ini merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit dengan bercorak
bangunan Hindu, sedangkan struktur bangunannya terlihat hampir serupa dengan Candi Bahal
dari peninggalan Kerajaan Sriwijaya di Sumatera Utara.

Arsitektur Candi Jabung dibangun pada permukaan tanah dengan ukuran 35 meter x 40 meter
dan pemugaran sudah dilakukan di tahun 1983 sampai 1987 sehingga penataan lingkungan
bertambah 20.042 meter yang terletak di ketinggian 8 meter dari permukaan laut. Candi Jabung
memiliki dua bangunan utama yang berukuran besar dan kecil yang umumnya disebut dengan
Candi Sudut. Sedangkan material yang digunakan adalah bata merah kualitas bagus lengkap
dengan ukiran berbentuk relief. Candi Jabung memiliki panjang 13.13 meter, lebar 9.60 meter
dan ketinggian mencapai 16.20 meter menghadap ke arah Barat dan pada bagian sisi barat agak
menjorok ke depan yang merupakan bekas susunan tangga memasuki candi.

Pada bagian Barat Daya halaman candi terdapat candi kecil yang berguna sebagai pelengkap
Candi Jabung. Candi menara ini dibangun dengan material batu bata dengan ukuran 2.55 meter
serta tinggi 6 meter. Arsitektur Candi Jabung terdiri dari bagian batur, kaki, tubuh dan juga atap
dengan bentuk tubuh bulat yang berdiri diatas kaki candi bertingkat 3 bentuk persegi. Sementara
bagian atapnya berbentuk stupa namun sudah runtuh di bagian puncak dan pada atap tersebut
dilengkapi dengan motif suluran. Pada bagian bilik candi ada lapik arca yang berdasarkan dari
inskripsi pada gawang pintu masuk Candi Jabung didirikan pada tahun 1276 Saka atau 1354
Masehi.
5. Gapura Wringin Lawang

Gapura Wringin Lawang terletak di Desa Jatipasar, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, Jawa
Timur. Candi ini juga terbuat dari bata merah seperti Candi Jabung dengan tinggi mencapai 15.5
meter berukuran 13 x 11 meter dan menurut perkiraan dibangun pada abad ke-14 Masehi.

Jika dilihat, gaya arsitektur dari Gapura Wringin Lawang ini hampir serupa dengan Candi Bentar
dan banyak pada ahli berpendapat jika bangunan ini adalah pintu gerbang masuk ke kediaman
Mahapatih Gajah Mada dan juga pintu masuk ke berbagai bangunan penting Ibu kota Majapahit.

6. Gapura Bajang Ratu

Gapura Bajang Ratu terletak di Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur dan
menurut perkiraan dibangun pada abad ke-14 Masehi. Di dalam Kitab Negarakertagama, gapura
ini dikatakan berguna untuk pintu masuk ke bangunan suci yang memperingati wafatnya Raja
Jayanegara. Menurut perkiraan, Gapura ini menjadi gapura terbesar di sepanjang masa Kerajaan
Majapahit. Sebelum Raja Jayanegara wafat, bangunan tersebut dipakai sebagai pintu belakang
Kerajaan Majapahit yang juga didukung dengan relief Sri Tanjung dengan sayap gapura
melambangkan pelepasan. Struktur bangunan dari Gapura Bajang Ratu ini berbentuk vertikal
dengan 3 bagian yakni kaki, badan dan juga atap, apabila dilihat dari atas, candi ini berbentuk
segi empat dengan panjang 11.5 x 10.5 meter dan ketinggian mencapai 16.5 meter dan lorong 1.4
meter. Pada bagian kaki candi terdapat bingkai bawah dan juga atas dan badan kaki serta terdapat
juga relief Sri Tajung. Pada masa itu, relief dipercaya sebagai penangkal dari bahaya, sementara
di bagian sayap kanan terdapat relief Ramayana.

Struktur Bangunan Bajang Ratu – Dari buku Drs. I.G Bagus L Arnawa, bentuk gapura atau candi
adalah bangunan pintu gerbang jenis paduraksa atau gapura beratap dan fisik keseluruhan candi
dibuat dengan material batu bata merah kecuali untuk area lantai tangga serta pintu bawah dan
atas yang dibuat menggunakan batu andesit. Secara vertikal, bangunan ini memiliki 3 bagian
yakni kaki, tubuh dan juga atap serta dilengkapi dengan sayap dan pagar tembok pada kedua
sisinya. Kaki gapura ini memiliki panjang 2.48 meter dan strukturnya terdiri dari bingkai bawah,
badan kaki serta bingkai atas. Bingkai ini juga terdiri dari susunan pelipit rata serta berbingkai
dengan bentuk genta dan pada bagian sudut kakinya terdapat hiasan berbentuk sederhana kecuali
di sudut kiri depan yang dilengkapi dengan relief menceritakan Sri Tanjung.

Sementara untuk bagian tubuh diatas pintu juga terdapat relief hiasan kala dan hiasan suluran,
sedangkan untuk bagian atap juag dilengkapi dengan relief berhias rumit yakni kepala kala diapit
dengan singa, relief matahari, naga berkaki, relief bermata satu atau monocle cyclops dan juga
kepala garuda. Relief ini dalam kepercayaan budata Majapahit untuk pelindung dan penolak
bahaya, sedangkan pada sayap kanan terdapat relief yang menceritakan kisah Ramayana serta
pahatan hewan bertelinga panjang.

7. Candi Brahu

Candi Brahu terletak di kawasan situs arkeologi Trowulan di Dukuh Jambu Mente, Desa
Bejijong, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Prasasti ini dibuat oleh Mpu Sendok
dan berguna sebagai tempat pembakaran jenazah dari raja-raja Majapahit. Nama Brahu ini
menurut perkiraan berasal dari kata Wanaru atau Warahu yang didapatkan dari sebutan bangunan
suci dan terdapat pada prasasti Alasantan, Prasasti tersebut ditemukan pada lokasi yang tidak
jauh dari candi tersebut.
Candi ini dibangun dengan memakai gaya kultur Budha menghadap ke Utara dan memakai batu
bata merah dengan panjang 22.5 meter, lebar 18 meter dan ketinggian mencapai 20 meter. Candi
Brahu ini diperkirakan dibangun pada abad ke-15 Masehi, meski banyak ahli yang juga memiliki
perbedaan pendapat tentang hal tersebut. Ada sebagian ahli yang mengatakan jika candi ini
berusia lebih tua dibandingkan dengan candi yang lain yang ada di Komplek Trowulan. Di dalam
Prasasti, Candi Brahu disebut sebagai tempat pembakaran jenazah para raja-raja Majapahit, akan
tetapi pada penelitian yang sudah dilakukan tidak bisa ditemukan bekas abu dari mayat pada
candi tersebut.

Struktur Bangunan Candi Brahu – Candi Brahu dibangun dengan menggunakan batu bata merah
menghadap ke Barat dengan ukuran panjang 22.5 meter, lebar 18 meter dan tinggi 20 meter yang
dibangun memakai kultur Buddha. Pada prasasti yang ditulis oleh Mpu Sendok 9 September 939,
candi ini adalah tempat pembakaran jenazah raja-raja Majapahit. Menurut dugaan para ahli, ada
banyak candi berukuran kecil di sekeliling Candi Brahu ini akan tetapi sudah runtuh dan hanya
tertinggal sisa reruntuhannya saja yakni Candi Gedung, Candi Muteran, Candi Tengah dan juga
Candi Gentong. Saat dilakukan penggalian, banyak ditemuka benda kuno seperti alat upacara
keagaan yang terbuat dari logam, arca, perhiasan emas dan berbagai benda lainnya.

8. Candi Tikus

Seperti pada Candi Brahu, Candi Tikus juga sama-sama berada di situs arkeologi Trowulan di
Dukuh Jambu Mente, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Candi ini
masih terdapat di dalam bawah tanah sebelum akhirnya ditemukan dan digali pada tahun 1914
dan kemudian dilakukan pemugaran pada tahun 1984 sampai dengan 1985. Candi ini mendapat
nama candi tikus sebab disaat penemuannya, banyak warga melihat bangunan tersebut menjadi
sarang tikus. Belum ada yang bisa memastikan siapa yang membangun Candi Tiku ini, akan
tetapi dengan adanya sebuah menara kecil, maka diperkirakan dibangun pada abad ke-13 sampai
dengan ke-14 Masehi sebab miniatur menara tersebut merupakan ciri khas dari bangunan pada
abad tersebut.

Candi Tikus ini bentuknya seperti sebuah petirtaan dan membuat banyak arkeoloh berbeda
pendapat. Sebagian arkeolog berpendapat jika candi ini adalah tempat pemandian keluarga
kerajaan dan sebagian lagi berpendapat jika bangunan ini adalah tempat menampung air untuk
keperluan masyarakat Trowulan. Sementara karena adanya menara, maka beberapa ahli juga
menduga tempat tersebut adalah tempat pemujaan. Pada bagian kiri dan kanan tangga ada sebuah
kolam berbentuk segi empat berukuran 3.5 meter x 2 meter serta kedalaman mencapai 1.5 meter,
sedangkan pada dinding luar setiap kolam ada 3 buah pancuran berbentuk teratai atau padma
yang dibuat dari batu andesit. Sedangkan pada bagian anak tangga yang agak ke Selatan terdapat
sebuah bagunan berbentuk persegi empat dengan ukuran 7.65 meter x 7.65 meter dan diatas
banguan tersebut juga terdapat sebuah menara dengan ketinggian 2 meter dan atap berbentuk
meru dengan puncak yang datar. Menara ini dikelilingi dengan 8 buah menara serupa namun
ukurannya lebih kecil dan di sekitar dinding kaki bangunan ada 17 pancuran atau jaladwara
dengan bentuk makara serta teratai.

9. Candi Surawana

Candi Surawana terletak di Desa Canggu, Kecamatan Pare, Kediri, Jawa Timur di 25 km Timur
Laut Kota Kediri. Candi ini memiliki nama asli Candi Wishnubhawanapura yang dibangun pada
abad ke-14 Masehi. Candi ini dibangun untuk memuliakan Bhre Wengker yang merupakan
seorang raja Kerajaan Wengker yang ada dibawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Candi ini
dibangun dengan corak Hindu yang keadaannya sudha tidak utuh lagi sekarang ini, bagian
dasarnya sudah mengalami rekonstruksi sedangkan untuk bagian badan serta atap candi sudah
hancur dan tak bersisa dan hanya kaki Candi dengan tinggi 3 meter saja yang masih berdiri
dengan tegak.

Struktur Bangunan Candi Surawana – Candi Surawana berukuran 8 meter x 8 meter yang
dibangun dengan material batu andesit dan merupakan candi Siwa. Semua bagian tubuh candi ini
sekarang sudah hancur dan hanay tertinggal kaki candi dengan tinggi 3 meter, untuk naik ke
selasar atas kaki candi ada sebuah tangga berukuran sempit yang ada di bagian Barat.

10. Candi Wringin Branjang

Candi Wringin Branjang terdapat di Desa Gadungan, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar,
Jawa Timur. Candi ini memiliki bentuk yang terlihat sederhana dan tidak dilengkapi dengan kaki
candi namun hanya atap dan badan candi saja.

Candi ini berukuran panjang 400 cm, lebar 300 cm dan tinggi 500 cm, sedangkan lebar pintu
masuk adalah 100 cm dan ketinggian mencapai 200 cm. Pada bagian dinding juga tidak
dilengkapi dengan relief seperti pada candi umumnya, namun terdapat lubang ventilasi pada
candi ini. Candi ini diperkirakan digunakan sebagai tempat penyimpanan alat untuk upacara
PRASASTI - PRASASTI JAMAN MAJAPAHIT

Prasasti adalah bukti sumber tertulis yang sangat penting dari masa lalu yang isinya antara lain
mengenai kehidupan masyarakat misalnya tentang administrasi dan birokrasi pemerintahan,
kehidupan ekonomi, pelaksanaan hukum dan keadilan, sistem pembagian bekerja, perdagangan,
agama, kesenian, maupun adat istiadat (Noerhadi 1977: 22).
Seperti juga isi prasasti pada umumnya, prasasti dari masa Majapahit lebih banyak berisi tentang
ketentuan suatu daerah menjadi daerah perdikan atau sima. Meskipun demikian, banak hal yang
menarik untuk diungkapkan di sini, antara lain, yaitu:

Prasasti Kudadu (1294 M)

Mengenai pengalaman Raden Wijaya sebelum menjadi Raja Majapahit yang telah ditolong oleh
Rama Kudadu dari kejaran balatentara Yayakatwang setelah Raden Wijaya menjadi raja dan
bergelar Krtajaya Jayawardhana Anantawikramottunggadewa, penduduk desa Kudadu dan
Kepala desanya (Rama) diberi hadiah tanah sima.

Prasasti Sukamerta (1296 M) dan Prasasti Balawi (1305 M)


Mengenai Raden Wijaya yang telah memperisteri keempat putri Kertanegara yaitu Sri Paduka
Parameswari Dyah Sri Tribhuwaneswari, Sri Paduka Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita, Sri
Paduka Jayendradewi Dyah Dewi Prajnaparamita, dan Sri Paduka Rajapadni Dyah Dewi
Gayatri, serta menyebutkan anaknya dari permaisuri bernama Sri Jayanegara yang dijadikan raja
muda di Daha.

Prasasti Waringin Pitu (1447 M)


Mengungkapkan bentuk pemerintahan dan sistem birokrasi Kerajaan Majapahit yang terdiri dari
14 kerajaan bawahan yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre, yaitu Bhre Daha, Bhre
Kahuripan, Bhre Pajang, Bhre Wengker, Bhre Wirabumi, Bhre Matahun, Bhre Tumapel, Bhre
Jagaraga, Bhre Tanjungpura, Bhre Kembang Jenar, Bhre Kabalan, Bhre Singhapura, Bhre
Keling, dan Bhre Kelinggapura.
Prasasti Canggu (1358 M)

Mengenai pengaturan tempat-tempat penyeberangan di Bengawan Solo.


Prasasti Biluluk (1366 M0, Biluluk II (1393 M), Biluluk III (1395 M).
Menyebutkan tentang pengaturan sumber air asin untuk keperluan pembuatan garam dan
ketentuan pajaknya.

Prasasti Karang Bogem (1387 M)


Menyebutkan tentang pembukaan daerah perikanan di Karang Bogem.
Prasasti Marahi Manuk (tt) dan Prasasti Parung (tt)
Mengenai sengketa tanah, persengketaan ini diputuskan oleh pejabat kehakiman yang menguasai
kitab-kitab hukum adat setempat.

Prasasti Katiden I (1392 M)


Menyebutkan tentang pembebasan daerah bagi penduduk desa Katiden yang meliputi 11 wilayah
desa. Pembebasan pajak ini karena mereka mempunyai tugas berat, yaitu menjaga dan
memelihara hutan alang-alang di daerah Gunung Lejar.

Prasasti Alasantan (939 M)


Menyebutkan bahwa pada tanggal 6 September 939 M, Sri Maharaja Rakai Halu Dyah Sindok
Sri Isanawikrama memerintahkan agar tanah di Alasantan dijadikan sima milik Rakryan
Kabayan.

Prasasti Kamban (941 M)


Meyebutkan bahwa apada tanggal 19 Maret 941 M, Sri Maharaja Rake Hino Sri Isanawikrama
Dyah Matanggadewa meresmikan desa Kamban menjadi daerah perdikan.

Prasasti Hara-hara (Trowulan VI) (966 M).


Menyebutkan bahwa pada tanggal 12 Agustus 966 M, mpu Mano menyerahkan tanah yang
menjadi haknya secara turun temurun kepada Mpungku Susuk Pager dan Mpungku Nairanjana
untuk dipergunakan membiayai sebuah rumah doa (Kuti).

Prasasti Wurare (1289 M)


Menyebutkan bahwa pada tanggal 21 September 1289 Sri Jnamasiwabajra, raja yang berhasil
mempersatukan Janggala dan Panjalu, menahbiskan arca Mahaksobhya di Wurare. Gelar raja itu
ialah Krtanagara setelah ditahbiskan sebagai Jina (dhyani Buddha).

Prasasti Maribong (Trowulan II) (1264 M)


Menyebutkan bahwa pada tanggal 28 Agustus 1264 M Wisnuwardhana memberi tanda
pemberian hak perdikan bagi desa Maribong.

Prasasti Canggu (Trowulan I)


Mengenai aturan dan ketentuan kedudukan hukum desa-desa di tepi sungai Brantas dan Solo
yang menjadi tempat penyeberangan. Desa-desa itu diberi kedudukan perdikan dan bebas dari
kewajiban membayar pajak, tetapi diwajibkan memberi semacam sumbangan untuk kepentingan
upacara keagamaan dan diatur oleh Panji Margabhaya Ki Ajaran Rata, penguasa tempat
penyeberangan di Canggu, dan Panji Angrak saji Ki Ajaran Ragi, penguasa tempat
penyeberangan di Terung.

Kitab kitab pada zaman kerajaan majapahit


1. Sastra yang dihasilkan Zaman Majapahit Awal :

Kitab Negara Kertagama

Sebuah kitab karangan Empu Prapanca. Kitab ini berisi tentang keadaan kota Majapahit,
perjalanan dan daerah-daerah jajahan Hayam Wuruk mengelilingi daerah-daearah kekuasaannya.

Bukan hanya itu, disebutkan juga adanya upacara Sradda untuk putri Gayatri, mengenai
kehidupan keagamaan dan pemerintahan di zaman Majapahait. Kitab Negara Kertagama ini
sebenarnya lebih bernilai sebagai sumber sejarah budaya-budaya daripada sumber sejarah
politik. Sebab, mengenai para raja yang berkuasa pada waktu itu hanya disebutkan secara
singkat, terutama raja-raja di Majapahit dan Singasari lengkap dengan tahun.

Kitab Sotasoma

sebuah kitab karangan Empu Tantular. Kitab Ini berisi tentang riwayat Sotasoma, seorang anak
raja yang menjadi pendeta Buddha di waktu itu. Ia bersedia untuk mengorbankan dirinya demi
kepentingan semua umat manusia yang berada di dalam kesulitan. Maka dari itu, banyak orang-
orang yang tertolong karena jasanya tersebut. Di dalam Kitab ini juga terdapat sebuah ungkapan
yang berbunyi; “Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrawa”, yang kemudian dipakai
sebagai motto Negara Indonesia saat ini.

Kitab Arjunawijaya

sebuah kita karangan Empu Tantular. Kitab ini berisi tentang raksasa yang berhasil dikalahkan
oleh Arjuna Sasrabahu.
Kitab Kunjarakarna, sebuah kita yang sampai saat ini tidak diketahui siapa pengarangnya. Kitab
ini berisi menceritakan tentang seorang raksasa Kunjarakarna yang ingin menjadi manusia.
Kemudian ia menghadap Wairocana dan diizinkan melihat neraka. Karena ia taat kepada ajaran
yang diajarkan agama Buddha, pada akhirnya apa yang diinginkannya terkabul.

Kitab Parthayajna

sebuah kita yang juga tidak diketahui pengarangnya sampai saat ini. Kita ini berisi tentang
keadaan Pandawa setelah kalah bermain dadu, yang pada akhirnya mereka mengembara di hutan.

2) Sastra Pada Zaman Majapahit Akhir


Hasil karya sastra pada zaman Majapahit Akhir, ditulis disebuah buku dengan menggunkan
bahasa Jawa Tengah. Diantara banyak karya yang dihasilkan dizaman ini di antaranya ditulis
dalam bentuk tembang (kidung), dan ada pula karya yang berbentuk gancaran (prosa).

Kitab Pararaton

kitab ini berisi sebagian besar kisah-kisah mitos atau dongeng yang menceritakan raja-raja
Singasari dan raja-raja Majapahit. Selain itu, di kitab parathon juga diceritakan tentang
pemberontakan Ranggalawe dan Sora, Jayanegara, serta peristiwa Bubat.

Kitab Sudayana

kitab ini berisi tentang Peristiwa Bubat, yakni sebuah rencana perkawinan yang lalu berubah
menjadi sebuah pertempuran antara kerajaan Pajajaran dan kerajaan Majapahit di bawah
pimpinan seorang raja bernama Gajah Mada. Dalam pertempuran itu raja yang berasal dari
Sunda (Sri Baduga Maharaja) dengan para pembesarnya terbunuh, sedangkan Dyah Pitaloka
sendiri lalu meninggal dengan cara bunuh diri. Kitab Sudayanai ditulis dalam bentuk kidung.

Kitab Sorandakan

sebuah kita yang ditulis dalam bentuk kidung, kitab ini mengisahkan tentang pemberontakan
Sora terhadap Raja Jayanegara yang berada Lumajang.

Kitab Ranggalawe

mungkin telinga anda tidak asing mendengar kitab ini. Kitab Ranggalawe ditulis dalam bentuk
kidung dan mengisahkan tentang pemberontakan Ranggalawe dari Tuban terhadap Jayanegara.

Kitab Panjiwijayakrama

kitab ini ditulis juga dalam bentuk kidung dan isinya menceritakan tentang sebuah riwayat Raden
Wijaya hingga menjadi raja Majapahit.

Kitab Usana Jawa


kitab ini menceritakan tentang penaklukan Bali oleh Gajah Mada dan Aryadamar.

Tantu Panggelaran

sebuah kitab yang menceritakan tentang pemindahan gunung Mahameru ke Pulau Jawa oleh
Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa. Runtuhan gunung Mahameru yang berada di
sepanjang pulau Jawa menjadi gunung-gunung di Jawa.

Kitab Calon Arang

kitab ini berisi tentang seorang tukang tenung yang bernama Calon Arang yang pada saat itu
hidup pada masa pemerintahan Airlangga. Ia memiliki seorang anak yang sangat cantik dan
menarik, namun tak ada seseorang pun yang berani meminangnya. Calon Arang dengan
sendirinya merasa terhina dan menyebarkan penyakit di seluruh negeri. Atas perintah Airlangga
ia dapat dibunuh oleh Empu Bharada.

Anda mungkin juga menyukai