Anda di halaman 1dari 9

Kata Pengantar

Lawatan Sejarah MGMP Mata Pelajaran Sejarah SMA Negeri / Swasta dilaksanakan di
Malang, bertujuan sebagai sarana edukasi dan sarana pembelajaran penambahan
Ilmu dan Stategi Pembelajaran bapak / ibu guru Sejarah yaitu Contextual Teaching and
Learning (CTL) menyatakan bahwa pembelajaran seharusnya bersifat kontekstual bagi si guru. Selain
itu pembelajaran juga harus bersifat meaningful (bermakna) dan relevant (relevan) dengan situasi
dan kondisi guru. Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang
menekankan pada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk menemukan materi yang dipelajari
dan menghubungkan dengan situasi kehidupan nyata.

Kunjungan ini dilakukan dibeberapa tempat Peninggalan Sejarah di daerah Singosari, Malang
diantara, Candi Sumberawan, Candi Singosari, Candi Jago, Dan Candi Kidal, dari benerapa
peninggalan sejarah tersebut merupakan peninggalan dari Kerajaan Singosari, Majapahit yang
banyak sekali mengisahkan cerita sejarah tentang perkembangan kerajaan.

Handbook ini dibuat sebagai pegangan dalam materi Lawatan Sejarah dan sumber informasi bagi
bapak / ibu guru. Selain itu juga bisa disampaikan kepada peserta didik bahwa peninggalan Sejarah
Indonesia sangat luar biasa khususnya diwilayah Jawa Timur.
PEMBAHASAN

CANDI SUMBERAWAN
Candi Sumberawan terletak di Dusun Sumberawan, Desa Toyomarto, Kecamatan
Singosari, Kabupaten Malang, terletak di lahan Perhutani dengan suasana yang masih
asri serta terdapat hutan pinus yang berfungsi sebagai bumi perkemahan. Candi
Sumberawan berbentuk stupa, sehingga banyak pula yang menyebut candi ini
dengan nama Stupa Sumberawan, bentuk stupa ini menjadi hal yang istimewa,
karena candi berbentuk stupa jarang dijumpai di wilayah Provinsi Jawa Timur.
Berdasarkan riwayatnya Candi Sumberawan pertama kali ditemukan pada tahun
1904 oleh masyarakat, kemudian tahun 1935 Dinas Purbakala Hindia Belanda
melakukan pengkajian atas bangunan tersebut dan pada tahun 1937 dipimpin oleh
Ir. Van Romondt berhasil dilakukan pemugaran.
Tidak diketahui dengan pasti kapan Candi Sumberawan didirikan. Menurut para ahli
diduga bangunan ini didirikan sekitar abad XIV M, bahkan ada yang menduga bahwa
daerah ini dulunya bernama Kasurangganan artinya taman bidadari atau taman
surga nimfa (Soekmono 1995) yaitu daerah yang pemah dikunjungi oleh Raja Hayam
Wuruk pada tahun 1359 M, ketika pergi ke Singhasari, hal ini diberitakan dalam kitab
Negarakertagama karangan Mpu Prapanca yang disebut pada pupuh 35 bait ke 4.

Bentuk bangunan Candi Sumberawan berdenah segi empat dengan ukuran 6,3 m x
6,3 m tinggi 5,56 m, yang terdiri atas tiga bagian, yaitu batur, kaki serta tubuh candi.
Bagian puncak stupa sudah runtuh. Batur berbentuk denah segi empat, polos. Kaki
stupa terdiri dari 2 tingkatan, yaitu kaki 1 (satu) dan kaki 2 (dua). Kaki 1 (bawah)
berdenah segi empat dengan profil pelipit-pelipit pada bagian atas dan bawah,
sedangkan bagian tengah berupa bidang datar polos. Profil kaki 2 (dua) mirip dengan
kaki 1 (satu), yaitu pelipit-pelipit pada bagian atas dan bawah, sedangkan bagian
tengah sisi terdapat bidang panil (kosong tanpa relief). Bangunan suci ini tidak
memiliki hiasan atau ukiran dan juga tidak ada tangga naik, sehingga tidak ada akses
naik untuk melihat kondisi bagian puncak yang sudah runtuh. Selain itu tidak
terdapat ruang yang biasanya digunakan untuk menyimpan reliek (benda-benda suci)
seperti stupa pada umumnya, sehingga diduga digunakan hanya untuk pemujaan.
Selain keberadaan stupa, BPCB Provinsi Jawa Timur mencataat sebuah lumpang
dengan bentuk silindris agak mengembang ke atas, bagian permukaan atas agak
cekung dengan lubang berbentuk lingkaran di tengahnya. Bidang sisi luar lumpang
berhias penil-panil segiempat dengan hiasan kelopak bunga dan motif palang yunani,
yang disusun berselang seling. Bagian atas hiasan panil dan palang yunani terdapat
motif flora/sulur-suluran. Lumpang ini berukuran diameter 101 cm dan tinggi 46 cm.
CANDI SINGOSARI 
Situs Candi Singosari berada di Jalan Kertanegara Desa Candi Renggo Kecamatan
Singosari Kabupaten Malang. Pada masa lampau sekitar abad ke XIII Masehi daerah
Singosari, Kabupaten Malang yang posisinya di sebelah utara kota Malang sekarang,
pernah terkenal tidak hanya di daerah Malang saja, tetapi juga di luar pulau Jawa
bahkan sampai ke luar negeri. Pada abad ke XIII Masehi inilah Kabupaten Malang
tampil sebagai pusat pemerintahan yang ditandai dengan lahirnya kerajaan baru
bernama Singosari. Berdasarkan prasasti Kudadu, nama Kerajaan Singosari yang
sesungguhnya adalah Kerajaan Tumapel. Menurut Kitab Negarakertagama, ketika
pertama kali didirikan ibu kota Kerajaan Tumapel bernama Kutaraja. Awal berdirinya
kerajaan ini menurut Pararaton bahwa Tumapel semula hanya sebuah daerah
bawahan Kerajaan Kediri. Yang pertama kali menjabat sebagai akuwu (setara camat)
pada saat itu adalah Tunggul Ametung. Ia meninggal karena dibunuh oleh
pengawalnya sendiri yang bernama Ken Arok. Dia salah satu raja di Kerajaan
Singasari, saat masih muda sebelum menjadi raja dikenal sebagai sosok nakal. Dia
disebutkan gemar berjudi hingga merampok dan main perempuan.
Menurut Piagam Singosari bertarikh 1273 Saka atau 1351 Masehi yang
diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dalam buku Beschrijving van Tjandi Singasari en de
volkentoneelen van Panataran (1909), disebutkan bahwa Candi Singosari dibangun
atas keputusan Dewan Pertimbangan Agung (Sapta Prabhu), yang terdiri dari tujuh
raja yang perintahnya disampaikan oleh Tribhuwanatunggaldewi Maha rajasa
jayawisnuwardhani, kepada mahamentri  Rakryan Empu Mada untuk mendirikan
candi bagi Mahabrahmana, kepada agama Syiwa Buddha (ajaran Tantrayana),
mantan mahapatih yang gugur bersama-sama Prabu Kertanegara. Berdasarkan bunyi
piagam di atas, jelas bahwa Candi Singosari pada dasarnya peninggalan Majapahit di
bawah Tribhuwanatunggaldewi. Pembangunan dimaksudkan untuk memperingati
jasa dan kesetiaan mantan Patih Singosari, Pu Raganatha atau Sang Ramapati, yang
gugur bersama Prabu Kertanegara ketika terjadi serangan dari Gelang-gelang (daerah
Kediri) di bawah pimpinan Raja Jayakatwang. Menurut buku Dari Pura Kanjuruhan
Menuju Kabupaten Malang: Tinjauan Sejarah Hari Jadi Kabupaten Malang (1984),
tempat dimana Candi Singosari dibangun itu dahulunya merupakan kompleks
percandian di mana Raja Kertanegara beserta patih dan sejumlah menterinya sedang
mengadakan upacara Tantrayana di sekitar halaman candi itu dan saat itulah
diserang oleh musuh secara mendadak. Kertanegara, mahapatih dan semua para
menterinya mati bersama sama.
Candi Singosari memiliki banyak nama antara lain: Pertama, sekitar abad ke-19
(tahun 1800-1850 Masehi) disebut oleh orang Belanda dengan nama "Candi
Menara". Mungkin karena bentuknya yang seperti menara. Kedua, seorang ahli
purbakala bangsa Eropa bernama W.F. Stutterheim, pernah memberi nama dengan
sebutan "Candi Cella". Alasanya mungkin karena candi ini mempunyai celah
sebanyak empat buah pada dinding-dinding di bagian badan candi. Ketiga, laporan
dari W. Van Schmid yang mengunjungi candi ini pada tahun 1856 Masehi, diberi
nama "Candi Cungkup". Keempat, sebagian penduduknya memberi nama "Candi
Renggo". Mungkin karena posisi candi ini berada di Desa CandiRenggo. Kelima,
sampai hari ini penduduk setempat memberi nama yaitu "Candi Singosari".

CANDI JAGO
Candi Jago berada di lembah Gunung Bromo, Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang,
Kabupaten Malang. Ada keunikan yang menjadi suatu keunggulan dari Candi Jago ini.
Bangunan yang digunakan untuk memuja dewa Buddha tersebut memiliki relief
bernafaskan Hindu. Terdapat dua relief bernafaskan Hindu pada bangunan suci ini,
yakni Parthayajna dan Krisnayana. Area sekitar Candi Jago ini  ditemukan juga
banyak arca Buddha, berupa Amoghapasa Awalokiteswara, empat murid
Amoghapasa, konstelasi Dyhani Buddha beserta istrinya. Dibuktikan dari adanya
temuan sekitar candi, ditegaskan bahwa Candi Jago memiliki perpaduan Siwa dan
Buddha.
Dilihat dari bentuk arsitekturnya, Candi Jago memiliki gaya arsitektur ysng mirip
sekali dengan punden berundak. Badan candi ini terletak di atas kaki candi yang
bertigkat tiga. Bangunan utama candi terletak agak kebelakang dan menduduki teras
tertinggi. Denah dasar candi berbentuk bujur sangkar berukuran  23,71 x 14 meter
dengan tinggi yang tersisa adalah 9,97 meter dengan arah hadap ke barat. Struktur
candi berupa kaki candi berupa batur berundak 3  tingkatan, badan candi yang
menyisakan ambang pintu saja dan atap candi yang telah hilang. Candi menghadap
ke barat dan terdapat masing-masing 2 anak tangga untuk menghubungkan
antartingkat kaki candi.
Candi Jago memiliki relief pada dinding timur Teras I yang menceritakan
tentang Boddhicitta Wairocana di wihara sedang mengajarkan dharma pada para
Jina, Boddhisattwa, Bajrapani, dan dewa-dewa. Pada saat yang sama yaksa bernama
Kunjarakarna melakukan meditasi kepada Buddha di Gunung Semeru, agar dapat
dibebaskan dari wataknya sebagai setan pada inkarnasi berikutnya. Relief tersebut
menggambarkan Buddha Wairocana yang sedang membawa Kunjarakarna ke neraka.
Sang Buddha menunjukkan kepadanya kehidupan di neraka yang harus diterima
manusia sebagai konsekuensi dari tindakannya selama hidup di dunia.
Teras II berada di sudut barat daya hingga sudut barat laut menceritakan
tentang Parthayajna, yakni perjalanan Arjuna ke Gunung Indrakila guna melatih diri
lewat tapabrata, agar memperoleh bantuan senjata dari dewa. Gunung Indrakila
adalah tempat ia bisa berjumpa dengan para dewa, akan tetapi untuk menuju ke
sana ia harus melalui perantara Rsi Dwipayana, mahaguru dalam ajaran dan praktek
Siwadharma. Pada bagian barat laut juga terdapat Teras III yang berkisah
tentang Arjunawiwaha.  Relief Parthayajna dan Arjunawiwaha mengajarkan kita
tentang kesungguhan dalam melakukan sesutau untuk mencapai tujuan.
Bagian dinding tubuh Candi Jago digambarkan Relief Krisnayana. Adegan tersebut
terpotong, hanya menyisakan bagian fasad barat saja di sisi kanan dan kiri pintu. Sisa
adegan yang ada menggambarkan raksasa Kalayawana yang sedang berlari mengejar
Krisna. Adegan serupa juga ditemukan pada Teras II Candi Induk Panataran yang
merupakan pembuka dari adegan Krisnayana. Melalui relief Krisnayana kita
mendapatkan pelajaran tentang pentingnya komitmen dan keteguhan hati dalam
usaha untuk meraih keberhasilan.
Di halaman Candi Jago terdapat sebuah arca Bhairawa berukuran kecil. Agus Sunyoto
dalam bukunya ‘Wisata Sejarah Kabupaten Malang’ mengungkapkan bahwa
kemungkinan rca tersebut merupakan perwujudan Adityawarman ketika masih
menjabat sebagai werdhamantri di Kerajaan Majapahit. Setelah menjadi raja
di Suwarnadwipa, Adityawaraman membuat arca Bhairawa berukuran besar di
Jambi.
Candi Jago telah direnovasi masa Majapahit oleh Adityawarman berdasarkan temuan
Prasasti Manjusri berangka tahun 1343 Masehi. Renovasi tersebut merupakan
bentuk bakti sang putra dari Melayu terhadap nenek moyangnya, Wisnuwarddhana.
Mpu Prapanca dalam Kakawin Negarakrtagama menjelaskan bahwasanya bangunan
suci tersebut merupakan pendharmaan Wisnuwarddhana sebagai Buddha, begitu
pula dengan Kitab Pararaton yang memberitakan hal serupa.
Candi ini diteliti pertama kali oleh R.H.T. Friederich tahun 1854, lalu dilanjutkan oleh
J.F.G. Brumund (1855), Fergusson (1876), Veth (1874), J.L.A. Brandes (1904) dan
Stamford Raffles pada tahun 1917. Pada tahun 2015 Balai Pelestarian Peninggalan
Purbakala Jawa Timur melakukan studi teknis guna melihat kerusakan konstruksi
struktur Candi Jago. Candi Jago menjadi Bangunan Cagar Budaya Peringkat Nasional
berdasarkan SK Menteri No. 203/M/2016.

CANDI KIDAL
Candi Kidal adalah candi peninggalan agama Hindu yang terletak di Desa Rejokidal,
Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Candi peninggalan Kerajaan
Singasari ini dibangun sebagai bentuk penghormatan atas jasa besar Anusapati.
Anusapati adalah putra Ken Dedes dan Tunggul Ametung yang menjadi raja kedua
Singasari periode 1227-1248. Oleh para sejarawan, candi ini disebut sebagai candi
pemujaan paling tua di Jawa Timur, karena raja-raja sebelumnya hanya
meninggalkan petirtaan atau pemandian.

Sejarah
Menurut Pararton, Candi Kidal dibangun pada 1248, setelah Cradha atau upacara
pemakaman Raja Anusapati. Tujuan pembangunan candi ini adalah untuk
mendarmakan Anusapati, agar mendapat kemuliaan sebagai Syiwa Mahadewa.
Pembangunan Candi Kidal diperkirakan selesai pada sekitar tahun 1260.
Setelah terkubur lama, Sir Thomas Stamford Raffles menemukan Candi Kidal pada
awal abad ke-11 ketika ditugaskan di Jawa. Bangunan candi ini pernah dilakukan
pemugaran pada tahun 1990-an untuk mengembalikan keindahannya.
Dulunya, fungsi Candi Kidal adalah sebagai tempat persemayaman Raja Anusapati
dan sebagai tempat pemujaan.

Sejarah Candi Kidal Menurut Kitab


Sejarah Candi Kidal juga tidak terlepas dari kematian dan jasa-jasa Anusapati
terhadap kerajaan Singasari. Hal ini juga tercantum dalam Kitab Pararaton dan juga
Kitab Negarakertagama.

1. Dari Kitab NagaraKertagama


Kitab Negarakertagama merupakan kitab karya empu prapanca yang ditulis pada
tahun 1365 Masehi. Dimana Kitab ini ditulis pada masa kejayaan Majapahit. Dalam
Kitab negarakertagama Anusapati merupakan anak dari Ranggah Rajasa Sang
Girinathaputra, pendiri kerajaan Tumapel/ Singasari. Anusapati diangkat menjadi raja
menggantikan ayahnya pada tahun 1227. Pada masa pemerintahan Anusapati,
Kerajaan Singasari diliputi dengan kemakmuran dan tenang dibawah kekuasanaya,
hingga Anusapati wafat pada tahun 1248 dan digantikan putranya Wisnuwardhana.
Untuk menghormati ayahnya Wisnuwardhana membuatkan Candi Kidal dimana
Anusapati dipuja sebagai dewa Syiwa.
2. Dari Kitab Pararaton
Di Kitab Pararaton ditulis sekitar tahun 1481 hingga 1600, dimana dikisahkan
Anusapati merupakan putra dari seorang akuwu di Tumapel yaitu Tunggul Ametung
dan Ken Dedes, hingga akhirnya Tunggul Ametung dibunuh oleh Ken Arok, dimana
pada saat itu Anusapati masih di dalam kandungan Ken Dedes. Kemudian Ken Arok
mempersunting Ken Dedes yang telah ditinggal oleh suaminya, dan secara tidak
langsung menjadi ayah angkat dari Anusapati.
Ken Arok kemudian mengumumkan Tumapel menjadi kerajaan pada tahun 1222 dan
bergelar Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra. Bahkan Kerajaan Tumapel berhasil
menghancurkan kerajaan Kediri yang saat itu sebagai Kerjaan besar. Anusapati
merasa diperlakukan tidak adil oleh Ken Arok, Kamudian Dia bertanya kepada
Ibunya, hinga Anusapati mengetahui bahwa dia bukanlah anak kandung dari Ken
Arok, dan Sebenarnya Ken Arok lah yang membunuh ayah dari Anusapati.
Anusapatipun merasa marah, hingga pada akhirnya Anusapati bisa mendapatkan
keris Empu Gandring yang digunakan Ken Arok untuk membunuh Ayahnya.
Anusapati tidak menggunakan tanganya sendiri untuk membunuh Ken Arok, dia
menyuruh pembantunya untuk membunuh Ken Arok pada acara makan malam
kerajaan.
Pembantu Anusapati akhirnya bisa membunuh Ken Arok pada saat makan malam
tepatnya pada tahun 1247. Untuk menghilangkan jejak bahwa pembunuhan tersebut
di rencanakan oleh Anusapati, akhirnya pembantunya dibunuh sendiri oleh
Anusapati dan mengumumkan bahwa pembantunya gila dan mengamuk hingga
menyebabkan kematian raja.
Setelah Ken Arok meninggal, Anusapati diangkat menjadi raja pada tahun 1248
Masehi. Namun, pada masa anusapati menjadi raja, Beliau was-was dengan ancaman
dari anak-anak Ken Arok yang mencurigai Anusapati lah dalang dibalik terbunuhnya
Ayah mereka. Dan isatana kerajaan dijaga ketat oleh banyak pengawal untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Candi ini memiliki keunikan tersendiri, jika dibandingkan peninggalan candi-candi lain
di Indonesia. Dibuat dari batuan andesit. Dimana di sekeliling candi kidal terdapat
pagar yang terdiri dari susunan batu. Candi ini memiliki tinggi sekitar 2 meter diatas
kaki candi (batur). Didepan pintu candi terdapat tangga yang jika dilihat dari
kejauhan seperti bukan tangga masuk karena anak tangganya dibuat pendek-pendek.
Disamping pintu terdapat ukel yang menghiasi pipi candi seperti candi-candi lainnya.
Sedangkan pada samping tangga terdapat tembok rendah (badug) yang menutupi sisi
samping yang berbentuk siku. Badug ini hanya bisa ditemukan pada candi kidal saja.
Candi Kidal memiliki pintu yang berada di arah barat. Terdapat penampil dimana
pada bingkai atasnya terdapat ukiran kalamakara. Kalamakara di Candi Kidal memiliki
mata yang melotot, mulut terbuka lebar dengan taring dimulutnya. Taring ini
merupakan ciri Kalamkara yang berada di candi-candi di Jawa Timur. Disamping
kanan kiri penampil terdapat tangan yang mengancam. Sehingga menambah kesan
seram representasi makhluk penjaga candi kidal ini. Di samping pintu di pipi candi
juga terdapat ruang penampil yang biasanya digunakan untuk menaruh arca
didalamnya. Dan di bingkai atas ruang penampil juga terdapat ukiran Kalamakara.
Desain atap dari candi kidal memiliki bentuk persegi dengan tiga tingkat, dimana
semakin kearaas semakin mengecil seperti tugu berundak. Di setiap tepi atap
terdapat ukiran bunga dengan sulurnya. Sedangkan di samping bagian candi terdapat
ukiran bunga-bunga dan sulurnya. Dan patung yang berbrntuk seperti singa yang
mengangkat tanganya keatas seolah-olah mengangkat bagian atap candi.
Masuk keruangan candi terdapat ruangan yang tidak terlalu luas, dinding candi
dihiasi dengan bunga dan juga medallion. Dibagian belakang dan samping juga
terdapat lekukan yang digunakan sebagai penampil untuk menaruh arca. Namun saat
ini anda tidak akan menemukan arca-arca tersebut. Karena sekarang hilang entah
kemana. Ada yang mengatakan bahwa arca-arca tersebut dibawa ke Museum Leiden
sana. Dan yang paling menarik dari arsitektur candi ini adalah reliefnya yang
menceritakan Garudeya. Dimana dalam kisah tersebut terdapat garuda yang
membebaskan ibunya dari kesengsaraan dengan air kehidupan. Relief ini di
perkirakan merupakan salah satu permintaan dari Anusapati yang ingin mendoakan
Ken Dedes yang merupakan ibu kandung dari Anusapati. Cerita Garudeya ini bisa
anda lihat di bagian kaki candi dengan membaca dari selatan dan dilanjutkan dengan
beralawanan dengan jarum jam atau biasa disebut teknik Prasawiya. Dibagian
pertama relief seperti sedang menggendong ular, dan direlief kedua seekor garda
dengan membawa kendi diatasanya. Dan di relief ketiga seekor garuda yang sedang
menggedong wanita. Relirf tersebut sampai saat ini masih bisa dilihat di dinding
candi kidal.
Fungsi Candi Kidal
Candi-candi di Jawa Timur biasanya digunakan sebagai tempat dharma atau kuburan
dari seorang Raja. Hal ini juga bisa anda lihat di kitab Negarakertagama dimana Candi
Kidal digunakan untuk mendharmakan Raja Anusapati, candi Jago digunakan untuk
mendharmakan Raja Wisnuwardhana atau Ranggawuni, Candi Jawi dan Candi
Singasari untuk mendharmakan Raja Kertanegara, Candi Ngenthos digunakan untuk
mendharmakan Hayam Wuruk dan beberapa candi yang lain.
Namun, selain untuk mendoakan Anusapati, penggambaran relief Garudeya juga
digunakan sebagai perawatan kepada ibunda sang Raja, yaitu Ken Dedes. Dimana
Anusapati sangat menyanyangi ibunya yang selalu hidup dalam penderitaan. Dalam
kepercayaan Jawa, ruwatan berfungsi agar raja yang diruwat kembali suci dan
menjadi dewa.

Anda mungkin juga menyukai