Anda di halaman 1dari 7

CANDI PENATARAN

Lambang Penataan Pemerintahan


Kerajaan di Jawa Timur

Candi Panataran adalah sebuah Candi berlatar belakang Hindhu (Siwaitis) yang terletak di Jawa Timur,
tepatnya di lereng barat daya Gunung Kelud, di sebelah utara Blitar. Kompleks candi ini merupakan yang
terbesar di Jawa Timur. Candi ini mulai dibangun dari kerajaan Kadiri dan dipergunakan sampai dengan
kerajaan Majapahit. Candi Penataran ini melambangkan penataan pemerintahan kerajaan-kerajaan yang
ada di Jawa Timur.
Lokasi bangunan terletak di lereng barat daya Gunung Kelud pada ketinggian 450 meter di atas
permukaan air laut, di suatu desa yang juga bernama Panataran, kecamatan Nglegok, Blitar. Bangunanbangunan Candi Penataran itu berada dianggap tanah yang suci karena mengandung kekuatan-kekuatan
gaib. Tetapi yang dianggap paling suci ialah titik pusat tanah atau halaman Candi Penataran dimana
segala macam tenaga gaib bersatu dan perpusat. Pusat ini dianggap sebegitu keramatnya sehingga
bangunan Candi induk pun tidak diperkenankan menutupinya.
Riwayat Penemuan
Semenjak runtuhnya kerajaan Majapahit yang kemudian di susul dengan masuknya agama Islam,
banyak bangunan suci yang berkaitan dengan agama Hindu / Budha begitu saja di tinggalkan oleh
masyarakat penganutnya. Lama-lama bangunan-bangunan suci yang tidak lagi dipergunakan itu di
lupakan orang orang karena masyarakat sebagian besar telah berganti kepercayaan. Akibatnya
bangunan tersebut menjadi terlantar tidak ada lagi yang mengurusnya, pada akhirnya tertimbun
longsoran tanah dan semak semak belukar. Yang nampak adalah puing - puing berserakan di sana sini.
Ketika daerah ini berkembang menjadi pemukiman keadaannya menjadi lebih parah lagi. Batu - batu
candinya di bingkar orang dari susunannya untuk keperluaan alas bangunan rumah atau pengeras jalan,
sedangkan batu bata yang di tumbuk untuk dijadikan semen merah.

Candi Penataran

Sejumlah batu-batu berhias dan juga arca-arca di ambil oleh sinder - sinder perkebunan. Keadaan yang
menyedihkan ini berlangsung cukup lama, sampai datangnya para peneliti pada sekitar permulaan abad
XIX. Dengan keahlian yang dimilikinya mulailah para peneliti itu mengadakan rekonstruksi dan
pemugaran. Demikian juga keadaan komplek percandian Panataran dimasa lalu.
Candi Penataran di temukan pada tahun 1815 tetapi sampai tahun 1850 belum banyak di kenal.
Penemunya adalah Sir Thomas Stamfort Raffles (1781 - 1826), letnan gubernur jendral kolonial Inggris
yang berkuasa di negara kita pada waktu itu. Raffles bersama dengan Dr. Horsfield seorang ahli Ilmu
Alam mengadakan kunjungan ke Candi Penataran, hasil kunjungannya di bukukan dalam bukunya yang
cukup terkenal History of Java yang terbit dalam dua jilid. Jejak raffles ini kemudian di ikuti oleh para
peneliti lainnya: J. Crawfurd seorang asisten residen di Yogyakarta, selanjutnya van meeteren Brouwer
(1828), Junghun (1844), Jonathan Rigg (1848) dan N.W. Hoepermans yang pada tahun 1866
mengadakan inventarisasi di komplek percandiaan Penataran. Pada tahun 1867 Andre de la Porte
bersama dengan J. Knebel seorang asisten residen mengadakan penelitian atas Candi Panataran dan
hasil penelitian di bukukan dalam bukunya yang terbit 1900 yang berjudul De ruines van Panataran.
Dengan berdirinya badan resmi kepurbakalaan yang pada waktu itu bersama Oudheidkundige Dienst
(biasa di singkat OD) pada tanggal 14 - 06 - 1913 maka penanganan atas candi Penataran menjadi lebih
intensif. Pada saat ini bersama dengan peninggalan kuno yang lainyang berada di Jawa Timur,
Pemeliharaan, Perlindungan, Pemugaran dan sebagainya atas Candi Penataran berada di tangan Suaka
Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur yang berkantor pusat di Trowulan, Mojokerto.
Susunan Umum Komplek Percandian
Candi Panataran merupakan satu kompleks yang terdiri dari pelbagai unsur yaitu pagar, halaman,
pemandian, candi-candi, lantai-lantai/batur bangunan, arca-arca, relief dan lain-lain. Kompleks candi yang
luasnya hampir 1,5 ha itu terdiri atas tiga halaman. Seperti halnya Candi Sukuh di Jawa Tengah dan pura

di Bali tiga halaman itu dalam formasi berbaris, yang satu di belakang yang lain. Bagian yang paling
penting atau paling suci terletak pada baris paling belakang.
Arca Dwarapala
Sebelum memasuki halaman I pengunjung melewati gerbang masuk yang dihias sepasang arca dan
raksasa penjaga pintu (Dwarapala) yang di kalangan masyarakat Blitar di kenal dengan sebutan Mbah
Bodo dengan sikap mengancam dan berpahatkan angkat tahun 1242 Saka (1330 M). Di halaman I
terdapat dua batur bangunan sejenis pendopo yang dindingnya berhias dan sebuah batur bangunan
kecil. Bagian atas ketiganya itu sudah tiada lagi. Adanya umpak-umpak batu memberi petunjuk bahwa
bangunan di atasnya dahulu bertiang kayu dan beratap dengan bahan mudah lapuk. Disamping itu
terdapat candi yang relatif masih utuh, bentuknya khas gaya candi-candi Jawa Timur dengan atapnya
yang berundak menjulang tinggi. Angka tahun 1291 Saka (1269 M), yang terpahat nyata di atas pintu
menyebabkan candi ini disebut Candi Angka Tahun. Di halaman I ini juga terdapat sepasang candi kecil.
Pada halaman II kita jumpai lagi sepasang dwarapala yang berukuran lebih kecil. Pada halaman II ini ada
dua batur bangunan berbentuk empat persegi panjang dan satu candi yang disebut Candi Naga. Candi
ini telah dipugar tahun 1917-1918 dalam keadaan tidak beratap lagi, rupanya juga terbuat dari bahan
yang mudah lapuk. Yang istimewa ialah hiasan naga yang melingkari tubuh candi disangga oleh sembilan
tokoh Dewata. Naga ini sangat mungkin perwujudan Sang Hyang Basuki yang mengikat gunung Mandara
(giri) mangaduk lautan susu dalam usaha para Dewa untuk mencari tirta amarta (air kehidupan abadi)
dalam mitos Samudra-manthana. Karena menonjolnya tokoh naga itulah mengapa candi itu disebut
Candi Naga.
Di halaman III terdapat candi induk atau candi utama diantara semua candi yang terdapat di kompleks itu.
Keadaan sekarang tinggal bagian kaki saja, namun masih cukup rapi dan anggun berkat pemugaran
tahun 1917-1918. Badannya yang masih menanti unsur-unsur kelengkapannya kini tertimbun di bawah
dalam bentuk susunan percobaan. Kaki candi ini menyerupai punden berundak teridir atas tiga teras
yang dihubungkan oleh tangga. Pada alas arca penjaga terdapat angka tahun 1239 Saka (1317 M).
Candi induk ini kaya sekali akan hiasan berupa arca, relief, miniatur candi, lengkung-lengkung tepian
tangga, hiasan sudut dan lain-lain. Reliefnya sendiri bermacam-macam, ada yang rangkaian cerita, panilpanil atau ragam penghias bidang. Ragam hias yang penting di sana adalah tumpal, binatang, sulursulur, medalion, garuda dan lain-lain. Relief manusia dan hewan umumnya tampak samping seperti
wayang kulit, gaya seperti itu juga ciri khas periode Jawa Timur. Bagian ini memang asyik untuk dilihat,
diresapi dan dihayati sebab semua hiasan ini ternyata kecuali indah juga mengandung makna simbolisfilosofis yang menunjang suasana dan makna candi ini seutuhnya sebagai suatu bangunan suci. Dari
halaman III melalui jalan setapak kita dapat turun ke kolam dengan airnya yang jernih, yang pada
dindingnya dipahatkan relief.

Relef Candi Penataran

Relief, apalagi yang berbentuk cerita, sungguh mengasyikkan sebab menyimpan ajaran moral seperti
kepahlawanan, keikhlasan berkorban dan keagamaan. Salah satu batur bangunan di halaman I penuh
hiasan relief mengelilingi seluruh dindingnya. Yang sudah dapat diidentifikasi oleh pakar kepurbakalaan
ada tiga cerita, yaitu: Bubuksah dan Gagangaking, Sang Setyawan dan Seri Tanjung. Pada dinding candi
induk antara lain terdapat relief epos Ramayana (episode Hanuman Obong hingga gugurnya
Kumbakarna) pada teras pertama dan cerita Kresnayana pada teras kedua yakni tentang kisah-kisah Sri
Kresna dan Rukmini sebagai penjelmaan Batara Wisnu dan Dewi Sri. Menonjolnya tokoh Rama Kresna
yang keduanya penjelmaan Wisnu dan juga tokoh Garuda sebagai wahananya khusus (mungkin yang
utama) pada candi ini. Pada dinding kolam dipahatkan ceritera binatang (fabel) dengan tokoh kura-kura,
buaya, kerbau dan lain-lain.
Pembagian halaman komplek percandian menjadi tiga bagian adalah berakar pada kepercayaan lama
nenek moyang kita. Sebagian dapat diamati oleh peta situasi, halaman B masih di bagi lagi oleh dinding
yang membujur arah timur - barat sehingga membagi halaman B menjadi dua bagian. Apakah halaman B
ini dahulu tertutup oleh tembok keliling belum di ketahui dengan pasti sebab kini yang tinggal hanya
pondasi - pondasinya saja. Begitu juga tembok keliling komplek percandian sudah sejak lama runtuh,
yang nampak sekarang adalah bagian pagar tanaman hidup yang berfungsi sebagai batas pagar keliling
kekunaan. Tembok keliling dan dinding penyekat terbuat dari bahan bata merah, sehingga karena
perjalanan waktu yang cukup lama menyebabkan keruntuhannya. Susunan komplek percandian
Penataran memang menarik karena letak bangunan yang satu dengan yang lain berhadap-hadapan terus
ke belakang yang sepintas kelihatannya agak membingungkan. Susunan bangunan mirip dengan
susunan bangunan pura yang ada di Bali. Dalam susunan seperti ini di bagian halaman yang terletak
paling belakang adalah yang paling suci karena di sini terdapat bangunan pusatnya atau bangunan

induknya. Juga di Bali tempat bagi dewa - dewa berada di bagian candi yang paling belakang yakni
bagian yang paling dekat dengan gunung.
Di Jawa Timur perwujudan dalam bentuk bangunan berupa bangunan candi yang berteras-teras dengan
susunan makin ke atas makin kecil yang di sebut punden berundak. Pintu masuk ke halaman komplek
percandian yang sementara ini juga berfungsi sebagai pintu keluar terletak di bagian barat..
Berdasarkan pahatan angka tahun yang terdapat pada kedua lapik arca penjaga tersebut para sarjana
berpendapat bahwa bangunan suci Pala (nama lain untuk candi penataran) di resmikan menjadi kuil
negara (state temple) baru pada jaman Raja Jayanegara dari Majapahit yang memerintah pada tahun
1309 - 1328 Masehi. Di sebelah timur kedua arca penjaga di tempat yang tanahnya agak tinggi terdapat
sisa-sisa pintu gerbang dari bahan bata merah. Pintu gerbang tersebut masih di sebut-sebut Jonathan
Rigg dalam kunjungannya ke candi Penataran pada tahun 1848. Dengan melalui bekas pintu gerbang ini
sampailah kita ke bagian terdepan halaman A. Disini masih dapat disaksikan sekitar 6 buah bekas
bangunan yang hanya tinggal pondasinya saja itu terbuat dari bahan batu bata merah.
Prasasti menggunakan huruf jawa kuno bertahun 1119 Saka atau 1197 Masehi di keluarkan oleh Raja
Srengga dari kerajaan Kediri. Karena isinya antara lain menyebutkan tentang peresmian sebuah perdikan
untuk kepentingan Sira Paduka Batara Palah maka para sarjana berpendapat bahwa yang dimaksud
Palah tentunya tidak lain adalah Penataran. Andaikata dapat dibenarkan bahwa Palah adalah Candi
Penataran sekarang maka usia pembangunan komplek percandian Penataran memakan waktu
sekurang-kurangnya 250 tahun. di bangun dari 1197 Masehi pada jaman kerajaan Kediri sampai tahun
1454 pada jaman kerajaan Majapahit.
Hampir semua bangunan yang dapat kita saksikan sekarang berasal dari masa pemerintahan raja-raja
Majapahit. Barangkali bangunan-bangunan yang lebih tua (dari jaman Kediri) telah lama runtuh. Masih
ada dua bangunan lain yang letaknya di luar komplek percandian tentunya masih ada hubungannya
dengan komplek percandian Penataran secara keseluruhan. Bangunan tersebut berupa sebuah kolam
berangka tahun 1337 Saka atau 1415 Masehi yang terletak di sebelah tenggara dan sebuah kolam lagi
(Petirtaan) dalam ukuran yang agak besar terletak kira-kira 200 m ke arah timur laut komplek percandian.
Candi penataran dibangun berhubung dengan adanya Gunung kelud yang selalu mengancam
ketentraman kehidupan kerajaan. Karena itu Candi Penataran bersifat Candi Gunung, ialah Candi yang
diperuntukkan bagi pemujaan Gunung atau untuk menghindarkan segala malapetaka yang dapat di
sebabkan oleh gunung. Nama Penataran kemungkinan besar bukan nama Candinya tetapi nama
Statusnya sebagai Candi di Pusat Kerajaan. Candi-candi pusat semacam ini di Bali juga disebut dengan
Penataran, misalnya Pura Panataransasih, Pura Panataran Besakih. Kata "natar" berarti pusat sehingga
Penataran berarti Candi Pusat. Nama yang sebenarnya belum diketahui
Pada halaman tengah hadir Candi Naga sebagai bangunan yang paling dominan. Ada ular besar yang di
pahat diatas tubuh candi ini. Kemudian hadir candi induk yang berarsitektur tiga tingkat. Pada tingkat
pertama terdapat relief Ramayana dengan adegan Anoman mengamuk di Langka. Pada tingkat ke dua di
ukir cerita Krishnayana, mengisahkan legenda Krisna dan Istrinya Rukmini. Di tingkat tiga hadir pahatan
naga dan singa bersayap yang amat indah. Ada dua pemandian dengan angka 1337 Syaka (1415 M) di
bagian halaman Timur dan Barat.Dibanding dengan candi-candi lainnya di Jawa Timur, Candi Panataran
termasuk lengkap unsur-unsurnya dan meliputi kurun waktu yang cukup lama. Di samping itu, memang

banyak hal yang menarik pada candi ini sehingga banyak dipelajari dan dikunjungi oleh orang.
Lintasan Sejarah
Prasasti yang ditemukan di halaman candi ini berangka tahun 1119 Saka (1197 M), memberitakan bahwa
raja Kertajaya (Raja Kediri/Daha terakhir) setiap hari melakukan pemujaan kepada Batara di Palah.
Nama Palah juga kita jumpai di halaman kita Nagarakartagama dari Majapahit yang menyebutkan bahwa
raja Hayam Wuruk pada tahun 1283 Saka (1361 M) melakukan kunjungan ke Candi Palah dalam rangka
perjalanan keliling di Jawa Timur. Jadi nama candi itu adalah Candi Palah. Setelah nama palah dilupakan
orang, timbul nama Candi Panataran, sesuai dengan nama desanya.
Pada beberapa bagian candi ini terdapat angka tahun, seperti 1239 Saka/1317 M pada candi induk 1224
Saka/1330 M. Pada Candi Angka Tahun dan 1291 Saka/1369 M pada Dwarapala di gerbang pertama. Ini
menunjukkan bahwa sekurang-kurangnya antara akhir abad ke-12 hingga pertengahan abad 14 (11971369 M). Candi ini terus menerus berfungsi. Meskipun data bangunan maupun data sejarah candi ini
masih diupayakan terus kelengkapannya, namun dibandingkan dengan candi-candi lain Candi Panataran
sudah termasuk lebih lengkap.
Makna dan guna
Di Panataran tampak jelas bahwa secara geometris setiap bangunannya mirip dengan komplek candi
Prambanan. Tiga bangunan candi ditengah dipisahkan satu sama lain dengan tembok batu dan terletak
berdampingan. Sejauh yang bisa diperkirakan dari sisa sisa pondasi yang tertinggal, pada bagian
pertama ada 2 bangunan dari kayu yang saat ini sudah tidak ada lagi. Dinding luar dari satu sisi teras
seluruhnya diliputi oleh relief yang menceritakan mengenai kidung. Dibangian ini juga ada candi kecil
yang bertahun Saka 1291 atau sama dengan 1369 M.
Kecuali penting karena letaknya yang strategis ini, Blitar juga penting artinya bagi agama di zaman kuno.
Tidak kurang dari sepuluh bangunan suci tersebar di daerah Blitar. Diantara bangunan

bangunan suci ini, maka bangunan suci di Penataranlah yang tersebar dan
terpenting, karena candi Penataran itu merupakan candi di Negara (status
tample) atau candi pusat kerjaan. Adanya Candi Penataran di mulai ketika Raja
Kertajaya yang juga disebut Crengga mempersembahkan sima untuk pemujaan
"sira paduka bhatara Palah". Prasasti ini dibubuhi angkatahun Caka 1119
(1197 M).
Ditanah sima itu baru kemudian didirikan candi-candi seperti yang kita kenal
sekarang. Memang, tempat di mana sesuatu bangunan suci itu akan didirikan
sebenarnya mempunyai fungsi yang lebih penting daripada bangunan sucinya
sendiri. Tempat itu harus mengandung kekuatan-kekuatan magis religius yang
bersifat menyelamatkan. Dr. Soekmono dalam disertasinya "Candi, fungsi dan
pengertiannya" menyatakan seperti berikut :

" Sesuatu

tempat suci adalah suci karena potensinya sendiri.


Maka sesungguhnya, yang primer adalah tanahnya, sedangkan
kuilnya hanya menduduki tempat nomer dua". Jelaslah disini
bahwa tanah atau tempat dimana bangunan-bangunan Candi
Penataranitu berada dianggap tanah yang suci karena
mengandung kekuatan-kekuatan gaib. Tetapi yang dianggap
paling suci ialah titik pusat tanah atau halaman Candi
Penataran dimana segala macamtenaga gaib bersatu dan
perpusat. Pusat ini dianggap sebegitu keramatnya sehingga
bangunan candi induk pun tidak dipernankan menutupinya..
Akhirnya dapat ditambahkan disini bahwa daerah Blitar itu
memegang peranan yang unik dalam sejarah, ialah tempat
yang baik untuk mengundurkan diri (terugval-basis) bagi
mereka yang ingin menyusun kembali kekuatanya. Letaknya
sangat strategis. Dari Blitar baik dataran tinggi sebelah Timur
maupun Barat gunung Kawi dapat diancam. Ken Arok mungkin
tahu akan hal ini dan ia menjadi raja.
Candi sebagai bentuk kebudayaan, ternyata tak hanya
menandai puncak-puncak kejayaan dan kekuasaan seorang
raja di bumi Nusantara ini. Jika dicermati dan dikaitkan dengan
perjalanan sejarah bangsa ini hingga sekarang, ternyata bisa
menjadi cermin bagi alih kekuasaan di negeri ini.

Anda mungkin juga menyukai