Anda di halaman 1dari 4

Deskripsi Candi Cetho

Candi cetho merupakan candi hindu yang masih aktif digunakan hinggasaat ini.
Kompleks candi digunakan oleh penduduk setempat dan juga peziarah yang beragama Hindu
sebagai tempat pemujaan. Candi ini juga merupakan tempat pertapaan bagi kalangan
penganut kepercayaan asli Jawa/Kejawen.

Candi Cetho ditemukan dengan keadaan candi ini merupakan reruntuhan batu pada 14
teras/punden bertingkat, memanjang dari barat (paling rendah) ke timur, meskipun pada saat
ini tinggal 13 teras, dan pemugaran dilakukan pada sembilan teras saja. Strukturnya yang
berteras-teras dugaan akan sinkretisme kultur asli Nusantara dengan Hinduisme. Dugaan ini
diperkuat oleh aspek ikonografi. Pemugaran pada akhir 1970-an yang dilakukan sepihak oleh
Sudjono Humardani, asisten pribadi Suharto (presiden kedua Indonesia) mengubah banyak
struktur asli candi, meskipun konsep punden berundak tetap dipertahankan. Pemugaran ini
banyak dikritik oleh para pakar arkeologi, mengingat bahwa pemugaran situs purbakala tidak
dapat dilakukan tanpa studi yang mendalam.

Beberapa objek baru hasil pemugaran yang dianggap tidak original adalah gapura
megah di bagian depan kompleks, bangunan-bangunan dari kayu tempat pertapaan, patung-
patung yang dinisbatkan sebagai Sabdapalon, Nayagenggong, Brawijaya V, serta phallus, dan
bangunan kubus pada bagian puncak punden.

Selanjutnya, Bupati Karanganyar periode 2003-2008, Rina Iriani, dengan alasan untuk
menyemarakkan gairah keberagamaan di sekitar candi, menempatkan arca Dewi Saraswati,
sumbangan dari Kabupaten Gianyar, pada bagian timur kompleks candi, pada punden lebih
tinggi daripada bangunan kubus.

Bangunan utama candi cetho mempunyai bentuk piramida atau trapesium mirip dengan
candi sukuh. Di dalam pintu masuk candi cetho ditemukan relief yang digunakan untuk
menguji keperawanan gadis. Menurut berita masih banyak lagi yang perlu diperhatikan
mengenai candi cetho mengingat banyak mitos pada bentuk struktur dan batuan candi. Candi
ini sebagian besar terbuat dari batu bata dengan ragam ukiran. Serta prasasti yang terdapat di
candi nini bukan prasasti tahun pembuatannya melainkan tahun saat resotrasi candi yang
dikerjakan pada masa kerajaan majapahit. Akan tetapi relief dan patung justru tidak
mempunyai hubungan dengan candi lain di Indonesia tetapi lebih mirip dengan candi
diperadaban inca.
Candi cetho memiliki 14 teras berundak membujur dari barat dibagian bawah sampai ke
timur bagian atas sepanjang 190m dan lebar 30m.

Pada teras 1 tidak ditemukan bekas gapura pada pintu masuk dan ditengah halaman
teras ada 3 arca dan sebuah batu umpak yang susunannya tidak teratur. Salah satu arca
berjenggot, kumis dan mengenakan anting menyerupai orang romawi, sumeria, viking atau
yunani (konon merupakan ciri khas kebudayaan sumeria). Teras 2 melewati 25 anak tangga.
Ditengah teras 3 candi terdapat arca batu dengan kedua tangan bertangkup di depan dada.
Disebelah kanannya terdapat papan tentang informasi sejarah candi cetho. Pada teras 4
terdapat dinding talud yang terdiri dari batu andesit, namun tidak terdapat artefak. Masih di
teras 4 terdapat bangunan baru yang di dirikan pada saat renovasi pada tahun 1978. Teras 5,
terdapat gapura pada pintu masuk. Disisi depan kanan terdapat umpak batu dan disisi
belakang kanan terdapat arca menghadap kebelakang. Pada teras 6 juga hampir setinggi teras
5 tetapi tanpa gapura dengan sisi kiri terdapat cungkup beratap ijuk tumpang dua disangga 15
tiang kayu dengan tempat persembahan di tengah cungkup. Terdapat pahatan berbentuk
burung garuda di empat sudut atas cungkup, ada undakan batu untuk naik ke lantai altara
dengan dua arca kura-kura diundakan teratas, cungkup ini disebut petilasan kyai krincing
wesi.

Pada teras ke 7 dengan garupa setinggi 3,5m. Dibagian bawah sisi kanan terdapat
pahatan prasasti. Susunan batu meneyerupai garuda dengan sayap mementang dan badan
berupa kura-kura. Adanya arca kura-kura dan garuda ini artinya adalah candi cetho
merupakan candi hindu yang digunakan untuk melakukan ritual ruwatan terkait dengan kisah
samudramanthana dan cerita garudeya. Kemudian teras ke 8, disebelah kiri ada bekas pondasi
berbentuk persegi dengan batu berelief disusun dipinggaran pondasi. Dibawah tangga masuk
ke teras ke 9 terdapat sepasang arca penjaga pintu gapura. Lalu teras ke 10, ada dua pendopo
di kiri dan kanan jalan. Lalu teras ke 11 ada empat bangunan baru sebagai tempat arca dan
dua balai untuk tempat istirahat pengunjung. Bangunan berada ditengah bangunan tak
berpintu sedangkan dua bangunan lainya merupakan bangunan berisi sekumpulan arca
dimana arca terdapat arca brawijaya V serta arca phallus. Pada teras 12 juga terdapat empat
bangunan tempat arca tak berpintu dan dua balai.
Sejarah Candi Cetho
Nama Candi Cetho diambil dari penyebutan masyarakat sekitar terhadap candi ini dimana
nama ini sebenarnya juga merupakan nama dusun tempat candi ini dibangun yakni Dusun
Cetho. Dalam bahasa Jawan, cetho memiliki arti jelas. Dinamakan cetho karena bila Anda
berada di Dusun Cetho, Anda bisa dengan jelas melihat pemandangan pegunungan di sekitar
dusun ini. Pegunungan tersebut antara lain Gunung Merbabu, Gunung Lawu dan Gunung
Merapi ditambah puncak Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Selain pemandangan
pegunungan, dari dusun ini Anda juga bisa melihat dengan jelas pemandangan kota Surakarta
dan Kota Karanganyar di bawahnya. Menurut ahli sejarah, Candi Cetho telah dibangun di
abad ke 15, sama halnya dengan Candi Sukuh.

Candi ini dibangun di masa Kerajaan Majapahit Hindu. Keunikan dari candi ini adalah
Candi Cetho memiki arsitektur yang berbeda dengan candi candi Hindu lain di Jawa. Candi
Cetho memiliki arsitektur seperti punden berundak, berbeda dengan arsitektur candi pada
umumnya. Perbedaan arsitektur ini lantaran candi ini dibangun di akhir masa kejayaan
Kerajaan Majapahit pada 1451Masehi, dimana saat ini kerajaan ini sudah akan runtuh.
Dengan keruntuhuhan Kerajaan Majapahit, maka kebudayaan asli masyarakat sekitar kembali
muncul. Oleh karena itu arsitektur Candi Cetho ini merepresentasikan kebudayaan asli
masyarakat sekitar Dusun Cetho.

Menurut sejarah, penemuan kembali Candi Cetho dilakukan pertama kali oleh sejarawan
Belanda bernama Van de Vlies. Ia menemukan Candi Cetho di tahun 1842. Selain Van de
Vlies, terdapat beberapa sejarawan dan ahli lainnya yang telah melakukan penelitian terhadap
Candi Cetho yakni A.J. Bennet Kempers, K.C. Crucq, W.F. Sutterheim, N.J. Krom dan
Riboet Darmosoetopo yang berkebangsaan Indonesia. Setelah penemuan pertama dan
penelitian dari para ahli, di tahun 1928 Candi Cetho ini digali kembali. Dari penggalian ini,
diketahui bahwa Candi Cetho ini dibangun di masa akhir Majapahit yakni di sekitar abad ke
15.

Administrasi Candi Cetho


Lokasi candi cetho berada di lereng barat gunung lawu di ketinggian 1.496mdpl. Candi
cetho beralamat di desa Gumeng, kecamatan jenawi kabupaten karanganyar. Jawa tengah.

Anda mungkin juga menyukai