Anda di halaman 1dari 12

CANDI DI KOTA MALANG

Kota Malang merupakan salah satu kota budaya yang istimewa bagi
bangsa Indonesia. Perjalanan sejarah telah mencatat bahwa banyak
kerajaan-kerajaan yang ada di sekitar Malang. Daerah Malang merupakan
peradaban tua yang tergolong pertama kali muncul dalam sejarah
Indonesia yaitu sejak abad ke 7 Masehi. Peninggalan yang lebih tua
seperti di Trinil (Homo Soloensis) dan Wajak - Mojokerto (Homo
Wajakensis) adalah bukti arkeologi fisik (fosil) yang tidak menunjukkan
adanya suatu peradaban.
Peninggalan purbakala disekitar wilayah Kota Malang seperti
Prasasti Dinoyo (760 Masehi), Candi Badut, Besuki, Singosari, Jago, Kidal
dan benda keagamaan berasal dari tahun 1414 di Desa Selabraja
menunjukkan Malang merupakan pusat peradaban selama 7 abad secara
kontinyu.Malang merupakan wilayah kekuasaan 5 dinasti yaitu
Dewasimha / Gajayana (Kerajaan Kanjuruhan), Balitung / Daksa / Tulodong
Wawa (Kerajaan Mataram Hindu), Sindok / Dharmawangsa / Airlangga /
Kertajaya (Kerajaan Kediri), Ken Arok hingga Kertanegara (Kerajaan
Singosari), Raden Wijaya hingga Bhre Tumapel 1447 - 1451 (Kerajaan
Majapahit).

A.

Candi Singosari
Candi
Singhasari atau
Candi Singasari
atau Candi
Singosari adalah
candi Hindu Buddha peninggalan
bersejarah Kerajaan Singhasari yang berlokasi di Desa Candirenggo,
Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Indonesia.
Cara pembuatan candi Singhasari ini dengan sistem
menumpuk batu andhesit hingga ketinggian tertentu selanjutnya
diteruskan dengan mengukir dari atas baru turun ke bawah. (Bukan
seperti membangun rumah seperti saat ini). Candi ini berlokasi di
Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang,
(sekitar 10km dari Kota Malang) terletak pada lembah di antara
Pegunungan Tengger dan Gunung Arjuna di ketinggian 512 m di atas
permukaan laut. Di Wikimapia.

Berdasarkan penyebutannya pada Kitab Negarakertagama


pupuh 37:7 dan 38:3 serta Prasasti Gajah Mada bertanggal 1351 M
di halaman komplek candi, candi ini merupakan tempat
"pendharmaan" bagi raja Singasari terakhir, Sang Kertanegara, yang
mangkat pada tahun 1292 akibat istana diserang tentara Gelanggelang yang dipimpin oleh Jayakatwang. Kuat dugaan, candi ini
tidak pernah selesai dibangun.
Komplek percandian menempati areal 200 m 400 m dan
terdiri dari beberapa candi. Di sisi barat laut komplek terdapat
sepasang arca raksasa besar (tinggi hampir 4m, disebut Dwarapala)
dan posisi gada menghadap ke bawah, ini menunjukkan meskipun
penjaganya raksasa tetapi masih ada rasa kasih sayang terhadap
semua mahkluk hidup dan ungkapan selamat datang bagi
semuanya. Dan posisi arca ini hanya ada di Singhasari, tidak ada di
tempat ataupun kerajaan lainnya. Dan di dekatnya arca Dwarapala
terdapat alun-alun. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa candi
terletak di komplek pusat kerajaan. Letak candi Singhasari yang
dekat dengan kedua arca Dwarapala menjadi menarik ketika
dikaitkan dengan ajaran Siwa yang mengatakan bahwa dewa Siwa
bersemayam di puncak Kailasa dalam wujud lingga, batas Timur
terdapat gerbang dengan Ganesha (atau Ganapati) sebagai
penjaganya, gerbang Barat dijaga oleh Kala dan Amungkala,
gerbang Selatan dijaga oleh Resi Agastya, gerbang Utara dijaga oleh
Batari Gori (atau Gaur). Karena letak candi Singhasari yang sangat
dekat dengan kedua arca tersebut yang terdapat pada jalan menuju
ke Gunung Arjuna, penggunaan candi ini diperkirakan tidak terlepas
dari keberadaan gunung Arjuna dan para pertapa yang bersemayam
di puncak gunung ini pada waktu itu.
Bangunan candi utama dibuat dari batu andesit, menghadap
ke barat, berdiri pada alas bujur sangkar berukuran 14 m 14 m
dan tinggi candi 15 m. Candi ini kaya akan ornamen ukiran, arca,
dan relief. Di dalam ruang utama terdapat lingga dan yoni. Terdapat
pula bilik-bilik lain: di utara (dulu berisi arca Durga yang sudah
hilang), timur yang dulu berisi arca Ganesha, serta sisi selatan yang
berisi arca Siwa-Guru (Resi Agastya). Di komplek candi ini juga
berdiri arca Prajnaparamita, dewi kebijaksanaan, yang sekarang
ditempatkan di Museum Nasional Indonesia, Jakarta. Arca-arca lain
berada di Institut Tropika Kerajaan, Leiden, Belanda, kecuali arca
Agastya.
Candi Singasari baru mendapat perhatian pemerintah kolonial
Hindia Belanda pada awal abad ke-20 dalam keadaan berantakan.

Restorasi dan pemugaran dimulai tahun 1934 dan bentuk yang


sekarang dicapai pada tahun 1936.

B.

Candi Badut

Candi Badut adalah sebuah candi


yang terletak di kawasan Tidar, di
bagian barat kota Malang. Secara
administratif candi badut terletak di
dusun Karang Besuki, Kecamatan
Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Lokasi ini dapat ditempuh dengan
kendaraan umum jurusan Tidar arah menuju Institut Teknologi Nasional.
Kata Badut diduga berasal dari bahasa Sanskerta Bha-dyut yang
berarti sorot Bintang Canopus atau Sorot Agastya.
Candi ini diperkirakan berusia lebih dari 1400 tahun dan diyakini
adalah peninggalan Prabu Gajayana, penguasa kerajaan Kanjuruhan
sebagaimana yang termaktub dalam prasasti Dinoyo bertahun 760 Masehi. candi
badut berusia ratusan tahun lalu dan meninggalkan jejak purbakala sebagai
peninggalan sejarah yang perlu di jaga dan dilestarikan keadaannya.
Para ahli menyatakan bahwa Candi Badut merupakan peralihan
gaya bangunan Klasik dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Pada ruangan induk candi
yang berisi lingga dan yoni, simbol Siwa dan Parwati. Sebagaimana umumnya
percandian Hindu di Jawa, pada bagian dinding luar terdapat relung-relung yang
semestinya berisi arca. Dua relung di kanan dan kiri pintu mestinya berisi arca
Mahakala dan Nandiswara, relung utara untuk arca Durga Mahisasuramardini,
relung timur untuk arca Ganesha, dan di sisi selatan terdapat relung untuk arca
Agastya yakni Siwa sebagai Mahaguru. Namun di antara semua arca itu hanya
arca Durga Mahisasuramardini yang tersisa di Candi Badut.

Candi ini ditemukan pada tahun 1921 berupa gundukan bukit batu,
reruntuhan dan tanah. Orang pertama yang memberitakan keberadaan
Candi Badut adalah Maureen Brecher, seorang kontrolir bangsa Belanda
yang bekerja di Malang. Candi Badut dibangun kembali pada tahun 19251927 di bawah pengawasan B. De Haan dari Jawatan Purbakala HindiaBelanda. Dari hasil penggalian yang dilakukan pada saat itu diketahui
bahwa bangunan candi telah runtuh sama sekali, kecuali bagian kaki yang
masih dapat dilihat susunannya.

C. Candi Jago

Candi Jago terletak di Dusun


Jago, Desa Tumpang,
Kecamatan Tumpang,
Kabupaten Malang, tepatnya
22 km ke arah timur dari
Kota Malang. Karena
letaknya di Desa Tumpang,
candi ini sering juga disebut
Candi Tumpang. Penduduk
setempat menyebutnya
Cungkup.
Menurut kitab Negarakertagama dan Pararaton, nama candi ini yang
sebenarnya adalah Jajaghu. Dalam pupuh 41 gatra ke-4 Negarakertagama
dijelaskan bahwa Raja Wisnuwardhana yang memerintah Singasari
menganut agama Syiwa Buddha, yaitu suatu aliran keagamaan yang
merupakan perpaduan antara ajaran Hindu dan Buddha. Aliran tersebut
berkembang selama masa pemerintahan Kerajaan Singasari, sebuah
kerajaan yang letaknya sekitar 20 km dari Candi Jago. Jajaghu, yang
artinya adalah 'keagungan', merupakan istilah yang digunakan untuk
menyebut tempat suci.
Masih menurut kitab Negarakertagama dan Pararaton,
pembangunan Candi Jago berlangsung sejak tahun 1268 M sampai
dengan tahun 1280 M, sebagai penghormatan bagi Raja Singasari ke-4,
yaitu Sri Jaya Wisnuwardhana. Walaupun dibangun pada masa
pemerintahan Kerajaan Singasari, disebut dalam kedua kitab tersebut
bahwa Candi Jago selama tahun 1359 M merupakan salah satu tempat
yang sering dikunjungi Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit.
Keterkaitan Candi Jago dengan Kerajaan Singasari terlihat juga dari
pahatan padma (teratai), yang menjulur ke atas dari bonggolnya, yang
menghiasi tatakan arca-arcanya. Motif teratai semacam itu sangat populer
pada masa Kerajaan Singasari. Yang perlu dicermati dalam sejarah candi
adalah adanya kebiasaan raja-raja zaman dahulu untuk memugar candicandi yang didirikan oleh raja-raja sebelumnya. Diduga Candi Jago juga
telah mengalami pemugaran pada tahun 1343 M atas perintah Raja
Adityawarman dari Melayu yang masih memiliki hubungan darah dengan
Raja Hayam Wuruk.
Saat ini Candi Jago masih berupa reruntuhan yang belum dipugar.
Keseluruhan bangunan candi berbentuk segi empat dengan luas 23 x 14
m. Atap candi sudah hilang, sehingga tinggi bangunan aslinya tidak dapat
diketahui dengan pasti. Diperkirakan bahwa tingginya mencapai 15 m.

Bangunan candi menghadap ke barat, berdiri di atas batur setinggi


sekitar 1 m dan kaki candi yang terdiri atas 3 teras bertingkat. Makin ke
atas, teras kaki candi makin mengecil sehingga pada lantai pertama dan
kedua terdapat selasar yang dapat dilewati untuk mengelilingi candi.
Garba ghra (ruang utama) terletak bergeser agak ke belakang.

Bentuk bangunan bersusun, berselasar dan bergeser ke belakang


merupakan bentuk yang umum ditemui pada bangunan pada zaman
megalitikum, yaitu yang disebut sebagai bangunan punden berundak.
Bentuk itu umumnya digunakan dalam membangun tempat pemujaan
arwah leluhur. Menilik bentuknya, diperkirakan bahwa tujuan
pembangunan Candi Jago adalah juga untuk tempat pemujaan arwah
leluhur. Namun masih diperlukan penelitian dan pengkajian lebih lanjut
untuk membuktikan kebenarannya.
Candi Jago dipenuhi dengan panel-panel relief yang terpahat rapi
mulai dari kaki sampai ke dinding ruangan teratas. Hampir tidak terdapat
bidang yang kosong, karena semua terisi dengan aneka ragam hiasan
dalam jalinan cerita-cerita yang mengandung unsur pelepasan kepergian.
Hal ini menguatkan dugaan bahwa pembangunan Candi Jago berkaitan
erat dengan wafatnya Sri Jaya Wisnuwardhana. Sesuai dengan agama
yang dianut oleh Raja Wisnuwardhana, yaitu Syiwa Buddha, maka relief
pada Candi Jago mengandung ajaran Hindu maupun Buddha.
Ajaran Buddha tercermin dalam relief cerita Tantri Kamandaka dan
cerita Kunjarakarna yang terpahat pada teras paling bawah. Pada
dinding teras kedua terpahat lanjutan cerita Kunjarakarna dan petikan
kisah Mahabarata yang memuat ajaran agama Hindu, yaitu Parthayajna
dan Arjuna Wiwaha. Teras ketiga dipenuhi dengan relief lanjutan cerita
Arjunawiwaha. Dinding tubuh candi juga dipenuhi dengan pahatan relief
cerita Hindu, yaitu peperangan Krisna dengan Kalayawana.
Di tengah pelataran depan, sekitar
6 m dari kaki candi, terdapat batu
besar yang dipahat menyerupai
bentuk tatakan arca raksasa,
dengan diameter batu sekitar 1 m. Di puncaknya terdapat pahatan bunga
padma yang menjulur dari bonggolnya.
Di sisi barat halaman candi terdapat arca Amoghapasa berlengan
delapan dilatarbelakangi singgasana berbentuk kepala raksasa yang
saling membelakangi. Kepala arca tersebut telah hilang dan lenganlengannya telah patah. Sekitar 3 m di selatan arca ini terdapat arca
kepala rasaksa setinggi sekitar 1 m. Tidak didapat informasi apakah
benda-benda yang terdapat di pelataran candi tersebut memang aslinya
berada di tempatnya masing-masing.

D.Candi Kidal

Candi Kidal terletak 6 km sebelah Barat Kota Tumpang tepatnya di


Desa Rejo Kidal Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang Jawa Timur,
dari pusat Kota Malang Candi Kidal lebih dekat dari pada Tumpang,
sekitar 12 km dari Malang.
Candi Kidal tinggi aslinya 17 meter namun saat ini hanya
berketinggian 12,5 meter dan luas 35 m2. Candi ini dibangun pada tahun
1248 masehi, bertepatan dengan berakhirnya upacara pemakaman
Cradha untuk Raja Anusanatha (Anusapati), pengganti Raja Rajasa Sang
Amurwabhumi. Anusapati diarcakan sebagai Siwa dan ditempatkan di
ruang utama candi. Namun sekarang ini arca tersebut tidak berada pada
tempatnya lagi.
Setiap candi tentu memiliki kelebihan masing-masing. Candi Kidal
memiliki beberapa kelebihan menarik dibanding dengan candi-candi
lainnya. Candi Kidal terbuat dari batu andesit dan berdimensi geometris
vertikal. Kaki candi nampak agak tinggi dengan tangga masuk ke atas
kecil-kecil seolah-olah bukan tangga masuk sesungguhnya. Badan candi
lebih kecil dibandingkan luas kaki serta atap candi sehingga memberi
kesan ramping. Pada kaki dan tubuh candi terdapat hiasan medallion
serta sabuk melingkar menghiasi badan candi. Atap candi terdiri atas 3
tingkat yang semakin ke atas semakin kecil dengan bagian paling atas
memunyai permukaan cukup luas tanpa hiasan atap seperti ratna (ciri
khas candi Hindu) atau stupa (ciri khas candi Buddha). Masing-masing
tingkat disisakan ruang agak luas dan diberi hiasan. Konon tiap pojok
tingkatan atap tersebut dulu disungging dengan berlian kecil.

Muka Kala diatas pintu Candi


Pintu candi menghadap ke barat, dilengkapi dengan bilik penampil
dengan hiasan kalamakara (Muka Kala) di atas ambangnya. Hiasan
muka kala yang nampak menyeramkan dengan matanya melotot penuh,
mulut terbuka serta 2 taring besar dan bengkok, memberi kesan dominan.
Adanya 2 taring tersebut juga merupakan ciri khas candi Jawa Timur.
Disudut kiri dan kanan terdapat jari tangan dengan mudra (sikap)
mengancam, sehingga sempurnalah kesan seram yang patut dimiliki oleh
makhkuk penjaga bangunan suci candi. Di kiri dan kanan pintu terdapat
relung kecil tempat meletakkan arca yang dilengkapi dengan bentuk

'atap' di atasnya. Di atas ambang relung-relung ini juga terdapat hiasan


kalamakara.

Singa Penyangga Candi


Sekeliling kaki candi dihiasi dengan pahatan bermotif medalion yang
berjajar diselingi bingkai bermotif bunga dan sulur-suluran. Di kiri dan
kanan pangkal tangga serta di setiap sudut yang menonjol ke luar
terdapat patung binatang yang terlihat mirip singa dalam posisi duduk
seperti manusia dengan satu tangan terangkat ke atas. Patung-patung ini
terlihat seperti sedang menyangga pelipit atas kaki candi yang menonjol
keluar.
Dalam kesusasteraan Jawa kuno, terdapat cerita populer dikalangan
rakyat yaitu Garudeya, yakni kisah perjalanan garuda dalam
membebaskan ibunya dari perbudakan dengan penebusan air suci
amerta.
Narasi Garudeya pada Candi Kidal dipahatkan dalam 3 relief, masingmasing terletak pada bagian tengah sisi-sisi kaki candikecuali pintu
masuk. Pembacaannya dengan cara prasawiya (berjalan berlawanan arah
jarum jam) dimulai dari sisi sebelah selatan atau sisi sebelah kanan
tangga masuk candi. Relief pertama menggambarkan Garuda di bawah 3
ekor ular, relief kedua melukiskan Garuda dengan kendi di atas kepalanya,
dan relief ketiga Garuda menggendong seorang wanita. Di antara ketiga
relief tersebut, relief kedua adalah yang paling indah dan masih utuh.

E. Candi Sumberawan

Candi Sumberawan hanya berupa sebuah stupa, berlokasi di


Desa Toyomarto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Dengan jarak sekitar 6 km dari Candi Singosari. Candi ini merupakan

peninggalan Kerajaan Singhasari dan digunakan oleh umat Buddha pada


masa itu.
Candi ini dibuat dari batu andesit dengan ukuran panjang 6,25 m,
lebar 6,25 m, dan tinggi 5,23 m, dibangun pada ketinggian 650 m di atas
permukaan laut, di kaki bukit Gunung Arjuna. Pemandangan di sekitar
candi ini sangat indah karena terletak di dekat sebuah telaga yang sangat
bening airnya. Keadaan inilah yang memberi nama Candi Rawan.
Candi Sumberawan pertama kali ditemukan pada tahun 1904. Pada
tahun 1935 diadakan kunjungan oleh peneliti dari Dinas Purbakala. Pada
zaman Hindia Belanda pada tahun 1937 diadakan pemugaran pada
bagian kaki candi, sedangkan sisanya direkonstruksi secara darurat. Candi
Sumberawan merupakan satu-satunya stupa yang ditemukan di Jawa
Timur. Batur candi berdenah bujur sangkar, tidak memiliki tangga naik
dan polos tidak berelief. Candi ini terdiri dari kaki dan badan yang
berbentuk stupa. Pada batur candi yang tinggi terdapat selasar, kaki candi
memiliki penampil pada keempat sisinya. Di atas kaki candi berdiri stupa
yang terdiri atas lapik bujur sangkar, dan lapik berbentuk segi delapan
dengan bantalan Padma, sedang bagian atas berbentuk genta (stupa)
yang puncaknya telah hilang. Karena ada beberapa kesulitan dalam
perencanaan kembali bagian teratas dari tubuh candi, maka terpaksa
bagian tersebut tidak dipasang kembali. Diduga dulu pada puncaknya
tidak dipasang atau dihias dengan payung atau chattra, karena sisasisanya tidak ditemukan sama sekali. Candi Sumberawan tidak memiliki
tangga naik ruangan di dalamnya yang biasanya digunakan untuk
menyimpan benda suci. Jadi, hanya bentuk luarnya saja yang berupa
stupa, tetapi fungsinya tidak seperti lazimnya stupa yang sesungguhnya.
Diperkirakan candi ini dahulu memang didirikannya untuk pemujaan.
Para ahli purbakala memperkirakan Candi Sumberawan dulunya
bernama Kasurangganan, sebuah nama yang terkenal dalam kitab
Negarakertagama. Tempat tersebut telah dikunjungi Hayam Wuruk pada
tahun 1359 masehi, sewaktu ia mengadakan perjalanan keliling. Dari
bentuk-bentuk yang tertulis pada bagian batur dan dagoba (stupanya)
dapat diperkirakan bahwa bangunan Candi Sumberawan didirikan sekitar
abad 14 sampai 15 masehi yaitu pada periode Majapahit. Bentuk stupa
pada Candi Sumberawan ini menunjukkan latar belakang keagamaan
yang bersifat Buddhisme.
Untuk menuju candi ini, dari Kota Malang, ikuti saja Jl. Raya Malang
Pandaan hingga melewati Pasar Singosari. Setelah Pasar Singosari akan
ada sebuah pertigaan dengan arah ke Polsek Singosari. Belok di pertigaan
tersebut dan pembaca akan tiba di Jl. Kartanegara. Tepat di perempatan
dekat Candi Singosari, akan ada papan petunjuk arah menuju Candi

Sumberawan. Dari Candi Singosari, jarak ke Candi Sumberawan sekitar 6


km.
Setelah memasuki Desa Toyomarto, alangkah baiknya bertanya
kepada warga sekitar arah menuju Candi Sumberawan. Sebab, untuk
menuju Candi Sumberawan pembaca harus berbelok di sebuah pertigaan.
Jalan selepas pertigaan tersebut...duh...jalan tanah yang konturnya naikturun. Sepanjang perjalanan, nampak ada beberapa bapak-bapak yang
sepertinya sedang mengukur jalan tanah yang kami lalui. Semoga saja
bapak-bapak itu sedang merencanakan membangun jalan tanah ini
menjadi lebih bagus.
Setelah memarkir kendaraan di hutan pinus, pengunjung harus
menyebrangi jembatan kecil untuk memasuki kompleks Candi
Sumberawan. Seperti biasa, setelah mengisi buku tamu pengunjung
diminta untuk membayar biaya retribusi secara sukarela.
Tepat di samping pos penjaga candi, terdapat papan informasi
mengenai Candi Sumberawan. Candi Sumberawan dibangun dari batu
andesit. Terletak pada ketinggian 650 meter dpl di kaki gunung Arjuna.
Candi ini terletak di dekat sebuah telaga yang airnya sangat bening,
sehingga masyarakat sekitar menamainya Candi Rawan. Air dari telaga ini
sudah dipergunakan untuk konsumsi warga semenjak proyek pipanisasi di
bulan Desember 1996.
Candi Sumberawan diketahui keberadaannya pada tahun 1904.
Pada tahun 1935, Dinas Purbakala mulai meneliti candi ini dan
memugarnya pada tahun 1937.
Candi Sumberawan berbentuk stupa. Tanpa ada tangga naik dan
bilik. Karenanya, Candi Sumberawan kerap disebut sebagai Stupa
Sumberawan. Candi Sumberawan merupakan satu-satunya stupa yang
ditemui di Jawa Timur. Namun, bagian atas stupa tidak dipasang kembali
karena ada beberapa kesulitan dalam perencanaan kembali bagian
teratas dari tubuh candi.
Oleh karena bentuk candi adalah stupa, maka latar belakang
agamanya adalah Buddha. Para ahli menduga Candi Sumberawan ini
digunakan sebagai tempat pemujaan. Bahkan saat kami berkunjung ke
sana, baru saja ada yang melakukan pemujaan di candi ini. Tak jauh dari
candi terdapat sebuah kolam untuk mengambil air suci.

F. Candi Jawi

Candi Jawi disebut


di Negarakertagama
dengan nama Jajawi
dan bisa dikatakan
kalau nama Candi Jawi hampir tidak pernah berubah. Mempunyai alas
berukuran 14,24 m x 9,55 m dan memiliki tinggi 24,50 m. Candi Jawi
berdiri diatas teras tinggi yang dikelilingi oleh parit. Berbeda dengan
Candi Sanggrahan, teras tinggi di Candi Jawi ini walaupun sama
sama terbuat dari batu bata namun polos tanpa hiasan apapun.
Candi Jawi berada di lereng Gunung Welirang, namun pintu
masuknya menghadap ke timur membelakangi Gunung
Penanggungan. Beberapa ahli menganggap hal ini karena dipengaruhi
unsur agama Buddha mengingat Candi Jawi bercorak Syiwa Buddha.
Sedangkan beberapa ahli lainnya berpendapat bahwa Candi Jawi
bukan merupakan tempat pemujaan kepada Dewa karena
membelakangi gunung.
Candi Jawi ini merupakan candi yang unik karena menggunakan dua
macam batu yang berbeda. Hal ini dikarenakan Candi Jawi dibangun
pada masa dua kerajaan yang berbeda, Kerajaan Singosari dan
Kerajaan Majapahit.
Pada masa pemerintahan Raja Kertanegara dari Kerajaan Singosari,
Candi Jawi dibuat menggunakan batu andesit yang memang banyak
terdapat di Gunung Welirang. Hal ini masih dapat dilihat pada bagian
kaki candi. Pada tahun 1253 Saka atau 1331 masehi, Candi Jawi
tersambar petir dan setahun kemudian Raja Hayam Wuruk
membangunnya kembali.
Pada saat pembangunan kembali inilah batu putih digunakan. Batu
putih tersebut diduga didatangkan dari pesisir utara Pulau Jawa dan
dari Pulau Madura. Batu putih digunakan untuk membangun kembali
badan candi. Sedangkan pada bagian atap candi menggunakan batu
andesit dan batu putih. Masih pada zaman Majapahit, pada sekeliling
Candi Jawi juga dibangun parit serta pagar tembok keliling candi dari
bahan batu bata.
Pada bagian dinding tubuh candi terdapat relung relung berbentuk
persegi dengan hiasan kalamakara kecil pada bagian atasnya.
Sayangnya, relung relung ini kosong karena kesemua arcanya telah
dipindah ke museum dan Hotel Tugu Park, Malang

Pada tahun 1938 1941, pemerintah Hindia Belanda mencoba


memugar kembali Candi jawi, namun terhenti karena bentuk Candi
Jawi yang telah rusak parah dan banyak batu penyusunnya yang
hilang.
Pada Pelita II tahun 1975/1976, Candi jawi kembali dipugar dan atas
jasa salah seorang pekerja yang bernama Mbah karto plewek dari
Prambanan, batu batu Candi Jawi yang hilang bisa kembali
diketemukan. Pemugaran selesai tahun 1980 dan pada tahun 1982,
Candi jawi diresmikan dan dibuka sebagai objek wisata sejarah.
Walaupun selesai dipugar, nyatanya hanya candi utama saja,
sedangkan ketiga candi perwara yang terletak didepan candi utama
(Candi Jawi) tidak dapat dpugar, kemungkinan besar karena banyak
batunya yang hilang. Candi Perwara Candi Jawi sekarang hanya
menyisakan beberapa balok batu yang disusun seperti altar dan
terletak didepan Candi Jawi (dua candi perwara lainnya sudah hilang).
Candi Jawi memiliki relief yang unik. Tidak seperti kebanyak candi
lainnya yang reliefnya menceritakan suatu kisah, relief di Candi Jawi
malah menggambarkan keadaan sekitar candi (seperti Candi Jawi
beserta ketiga candi perwaranya) dan ada juga relief cerita tentang
pendeta wanita. Relief relief yang dipahatkan di kaki candi ini sangat
tipis dan sangat sulit dibaca, bahkan para ahli sejarah kurang tahu
cerita yang terkandung dalam relief relief tersebut.
Pada bagian belakang pos jaga, terdapat ruangan kecil yang
digunakan untuk menempatkan bebatuan candi yang tak dapat
disusun lagi. Disampingnya terdapat dua toilet, benar benar kejutan
menemukan toilet di candi kecil seperti ini setelah sebelumya juga
menemukan toilet di Candi Pari.
Parit yang mengelilingi candi menjadi kendala tersendiri, apalagi
jembatannya juga cuma satu dan langsung mengarah ke depan candi.
Alhasil, kalau berputar putar di halaman candi seluas 40 x 60 m2 ini
kita harus berjalan lagi ke depan, melewati parit yang dalam yang
penuh akan bunga teratai.
Karena kesorean, kami tak bertemu juru peliharanya, namun Candi
Jawi masih terbuka dan sering dijadikan tempat refreshing sejenak
bagi karyawan pabrik di sekitar Pandaan Tretes yang memang di
daerah tersebut banyak terdapat pabriknya.
Walaupun berada di tepi jalan strategis menuju Air Terjun Kakek
Bodo, nyatanya banyak wisatawan yang cuma melewatkannya begitu
saja. Terbukti dengan pertanyaan temanku mengenai bangunan putih
di tepi jalan. Padahal, Candi Jawi ini menyolok mata dengan warna

putihnya yang anggun (Candi manalagi yang terbuat dari batu putih
selain Candi Jawi [Candi Kalasan tidak dihitung karena hanya
menggunakan brajalempa]).

DAFTAR PUSTAKA
http://sebuah-dongeng.blogspot.com/2011/06/candi-jawi.html
http://kilasbaliknusantara.blogspot.com/2012/09/candi-sumber-awan.html
http://wisatatumpang.blogspot.com/p/candi-kidal.html
http://candi.pnri.go.id/jawa_timur/jago/jago.htm
http://blogceritakakek.blogspot.com/2012/04/candi-malang.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Badut
http://id.wikipedia.org/wiki/Singosari,_Malang

Anda mungkin juga menyukai