Anda di halaman 1dari 10

CERITA MISTERI GUNUNG KELUD

Berdasarkan legenda masyarakat setempat, Gunung Kelud terbentuk akibat pengkhianatan seorang putri
bernama Dewi Kilisuci terhadap cinta dua raja yang bersaing untuk memperistrinya yaitu Lembu Suro dan
Mahesa Suro. Dewi Suci adalah anak dari Jenggolo Manik. Dengan kecantikannya maka tidak heran ada dua
orang raja yang bersaing memperebutkannya, hanya saja yang melamar bukanlah manusia normal, karena yang
satu manusia berkepala lembu yaitu Lembu Suro dan satunya lagi manusia berkepala Kerbau yaitu Mahesa
Suro.

Dewi Kilisuci yang enggan menerima lamaran mereka akhirnya membuat sayembara sulit, yaitu membuat dua
buah sumur diatas puncak Gunung Kelud dimana sumur yang satu harus berbau wangi sementara sumur yang
lain harus berbau amis dan sayembara ini harus direalisasikan hanya dalam satu malam saja.

Dengan kesaktian Raja Lembu Suro dan Mahesa Suro, sayembara tersebut disanggupi dan setelah bekerja
semalaman maka keduanya berhasil menang dalam sayembara. Kemenangan dua orang raja tersebut tidak
disukai oleh Dewi Kilisuci, hingga akhirnya Dewi Kilisuci satu syarat lagi yaitu dua orang raja tersebut harus
membuktikan bahwa kedua sumur tersebut memang benar berbau wangi dan amis dengan mereka berdua harus
masuk ke dalam sumur yang telah mereka buat.

Dengan adanya syarat tambahan, dua orang raja tersebut setuju dan mereka berdua masuk ke dalam sumur
yang sangat dalam. Begitu mereka sudah sampai di dalam sumur maka Dewi Kilisuci memerintahkan pasukan
Jenggala untuk segera menimbun keduanya dengan bebatuan yang mengakibatkan kematian Raja Lembu Suro
dan Mahesa Suro. Namun, sebelum Raja Lembu Suro mati dia bersumpah disertai kutukan : “Baiklah besok
orang-orang Kediri akan dapat balasan yang setimpal dari saya. Kediri akan menjadi sungai, Tulungagung
akan menjadi danau, dan Blitar akan menjadi daratan. Berdasarkan legendar Lembu Suro maka masyarakat di
lereng Gunung Kelud secara rutin pada tanggal 23 bulan Surau mengadakan tolak bala sumpah tersebut berupa
Larung Sesaji.

JALAN MISTERI
Candi Panataran terletak di lereng barat daya Gunung Kelud, sekitar 12 km ke arah utara dari Kota Blitar,
tepatnya di Desa Panataran, Kecamatan Ngleggok, Kabupaten Blitar. Candi ini merupakan sekumpulan
bangunan kuno yang berjajar dari barat-laut ke timur kemudian berlanjut ke tenggara, menempati lahan
seluas 12.946 m2.

Gugus candi Panataran ditemukan kembali pada tahun 1815 oleh Sir Thomas Stamford Raffles (1781 –
1826), Letnan Gubernur Jenderal pemerintah kolonial Inggris yang berkuasa di Nusantara pada waktu itu.
Bersama Dr. Horsfield seorang ahli ilmu alam, Raffles mengadakan kunjungan ke Candi Panataran. Setelah
diketemukan kembali oleh Raffles, para peneliti mulai berdatangan untuk melakukan penyelidikan dan
pencatatan benda purbakala di kawasan Panataran. Pada tahun 1867, Andre de la Porte bersama J. Knebel
juga mengadakan penelitian terhadap kawasan candi Panataran. Hasil penelitiannya diterbitkan pada tahun
1900 dengan judul “De ruines van Panataran”.

Dalam kitab Negarakertagama, Candi Penataran disebut dengan nama Candi Palah. Diceritakan bahwa Raja
Hayam Wuruk (1350 - 1389 M) dari Majapahit sering mengunjungi Palah untuk memuja Hyang Acalapati,
atau yang dikenal sebagai Girindra (berarti raja gunung) dalam kepercayaan Syiwa. Oleh karena itu, jelas
bahwa Candi Palah sengaja dibangun di kawasan dengan latar belakang Gunung Kelud, karena memang
dimaksudkan sebagai tempat untuk memuja gunung. Pemujaan terhadap Gunung Kelud bertujuan untuk
menangkal bahaya dan menghindarkan diri dari petaka yang dapat ditimbulkan oleh gunung tersebut.

Berdasarkan tulisan pada sebuah batu yang terletak sisi selatan bangunan utamanya, diduga bahwa Candi
Palah dibangun pada awal abad 12 M, atas perintah Raja Srengga dari Kediri. Walaupun demikian, Candi
Panataran terus mengalami pengembangan dan perbaikan sampai dengan, bahkan sesudah, masa
pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Dugaan ini didasarkan pada berbagai angka tahun yang tertulis pada
berbagai tempat di candi ini yang berkisar antara tahun 1197 sampai tahun 1454 M. Seluruh areal
Panataran, kecuali halaman yang berada di bagian tenggara, terbagi oleh dua jalur dinding yang melintang
dari utara ke selatan menjadi tiga bagian.

a. Gerbang

Gerbang masuk ke areal candi terletak sisi barat. Dari pintu masuk terdapat tangga turun ke pelataran
seluas sekitar 6 m2. Di pelataran ini terdapat dua buah arca raksasa penjaga pintu (dwarapala), Pada
tatakan arca tertera tulisan tahun 1242 Saka (1320 M.) dalam huruf Jawa kuno. Berdasarkan tulisan angka
tahun tersebut para pakar menduga bahwa Candi Panataran baru diresmikan sebagai tempat suci milik
kerajaan (state temple) pada masa pemerintahan Raja Jayanegara, yang memerintah Majapahit tahun
1309-1328 M.

Di sisi belakang emperan, di antara kedua arca Dwaraphala tersebut, terdapat tangga naik menuju ke
pelataran depan. Di puncak tangga masih terdapat sisa-sisa pintu gerbang dari bahan batu bata merah.
Pintu gerbang ini masih disebut-sebut oleh Jonathan Rigg dalam kunjungannya ke Candi Panataran pada
tahun 1848.

Susunan Candi Panataran memang menarik karena letak bangunan yang satu dengan yang lainnya
berhadap-hadapan, berjajar dari depan ke belakang, sehingga sepintas kelihatan agak membingungkan.
Susunan bangunan semacam ini mirip dengan susunan pura di Bali. Dalam susunan seperti ini, bangunan
yang paling suci terletak di pelataran paling dalam atau paling belakang, yaitu yang paling dekat dengan
gunung.

b. Pelataran Depan

Bale Agung. Di pelataran depan terdapat sekitar 6 buah bekas bangunan, 2 buah diantaranya tidak dapat
dikenali lagi bentuk aslinya. Salah satu bangunan yang penting adalah Bale Agung, yang terletak di sisi
barat-laut pelataran depan, agak menjorok ke barat (ke depan).Bale Agung, menurut N.J.Krom,
dipergunakan untuk tempat musyawarah para pendeta atau penanda, seperti pura di Bali. Bale Agung
merupakan bangunan yang berbentuk seperti panggung persegi panjang berukuran 37 X 18,84 m2 dengan
lantai setinggi 1,44 meter. Dinding dan atap bangunan sudah tak bersisa. Hanya lantainya yang masih utuh.

Pada lantai terdapat beberapa umpak batu yang diperkirakan fungsinya dahulu adalah sebagai penumpu
tiang-tiang kayu penyangga atap. Seluruh lantai terbuat dari batu, dihiasi pahatan naga yang melilit di
sekeliling dinding lantai dan kepalanya menyembul di setiap sudut lantai.

Di pertengahan setiap sisi terdapat tangga diapit dua buah arca Mahakala. Semua arca Mahakala masih
berada di tempatnya kecuali yang berada di sisi timur.

Tempat Tinggal Pendeta. Bangunan yang letaknya di sisi utara, sejajar dengan Bale Agung, ini diperkirakan
dahulu digunakan sebagai tempat tinggal pendeta. Seluruh bangunan sudah hancur, sehingga hanya tinggal
tatanan umpak yang tersisa.
Batur Pendapa. Bangunan ini disebut juga Batur Pendapa. Letaknya di sebelah tenggara Bale Agung, tepat
di belakang tempat tinggal para pendeta. Sebagaimana halnya dengan Bale Agung, yang masih tersisa saat
ini hanyalah lantai bangunan yang terbuat dari batu, seluas 29,05 X 9,22 m2 dengan tinggi 1,5 m.
Sekeliling dinding lantai dihiasi dengan relief cerita-cerita. Diduga bangunan Batur Pendapa ini dahulu
berfungsi sebagai tempat untuk meletakkan sesajian dalam upacara keagamaan.

Tangga untuk naik ke lantai pendapa hanya terdapat di sisi barat atau bagian depan. Terdapat dua buah
tangga, di kiri dan di kanan, yang pada masing-masing diapit oleh sepasang arca raksasa kecil bersayap,
bertumpu pada salah satu lututnya dan salah satu tangannya memegang gada. Pipi atau dinding pembatas
tangga berbentuk gelung dengan hiasan 'tumpal' yang indah pada puncaknya. Pada pelipit atas sisi timur
dinding lantai, tersembunyi di antara pahatan hiasan sulur dan dedaunan, terdapat pahatan angka tahun
yang menunjukkan bahwa bangunan ini dibangun pada tahun 1297 Saka atau 1375 Masehi.

Batur Pendapa ini juga dihiasi dengan pahatan naga-naga yang saling membelakangi, melilit di sekililing
dinding lantai. Ekor kedua naga yang saling membelakangi tersebut saling membelit, sedangkan kepalanya
yang mendongak keatas, memakai kalung dan berjambul menyembul ke atas di antara pilar-pilar bangunan.

Bangunan Lain. Kedua bekas bangunan lainnya hanya tinggal fondasinya yang terbuat dari bata merah.
Melihat banyaknya umpak batu yang tersisa di pelataran depan, diduga dahulu terdapat bangunan-
bangunan yang menggunakan tiang kayu seperti yang dijumpai pada pura-pura di Bali. Banyaknya
bangunan yang menggunakan tiang-tiang kayu belum diketahui secara pasti.

c. Pelataran tengah

Sekitar 8 m di timur atau belakang Batur Pendapa terdapat bekas dinding batu bata yang melintang dari
utara ke selatan, yang membatasi pelataran depan dengan pelataran tengah. Di ujung selatan perbatasan,
segaris dengan gerbang depan, terdapat bekas pintu gerbang yang di depannya dijaga oleh sepasang Arca
Dwarapala dalam ukuran yang lebih kecil daripada yang terdapat di gerbang depan. Pada tatakan salah satu
arca tertera angka tahun 1214 Saka (1319 M). Belum diketahui peristiwa apa yang dikaitkan dengan angka
tahun ini. Di pelataran tengah ini masih dapat disaksikan sekitar 7 bekas bangunan, baik yang terbuat dari
bahan batu bata merah maupun yang dibuat dari bahan batu andesit. Dari ketujuh bekas bangunan tersebut
enam di antaranya sudah tidak dapat dikenali bentuknya.
Pelataran tengah terbagi dua lagi oleh dinding yang membujur arah timur-barat. Belum dapat diketahui
apakah pelataran tengah ini dahulu dikelilingi oleh tembok, karena yang tertinggal hanya fondasi saja.
Begitu juga tembok yang mengelilingi seluruh areal Panataran sudah runtuh. Tembok keliling dan dinding
penyekat terbuat dari bahan batu bata merah yang tak mampu bertahan dalam perjalanan waktu yang
panjang.

Candi Angka Tahun. Bangunan ini berada sekitar 20 m. di sebelah timur Batur Pendapa, seluruhnya terbuat
dari batu andesit. Disebut Candi Angka Tahun karena bangunan di atas ambang pintu masuknya jelas
terpahat angka tahun 1291 Saka (1369 M). Masyarakat setempat lebih mengenalnya dengan sebutan Candi
Brawijaya, karena bangunan ini dipergunakan sebagai lambang Kodam Brawijaya. Sebagian orang
menyebutnya Candi Ganesha, karena di dalam bilik candi terdapat sebuah arca Ganesha (dewa berkepala
gajah). Bentuk Candi Angka Tahun ini sangat dikenal masyarakat, sehingga seakan-akan mewakili seluruh
candi Panataran.

Candi Angka tahun menghadap ke barat, karena pintu candi terletak di sisi barat. Di halaman depan, di kiri
dan kanan bangunan candi, terdapat sepasang arca. Kaki candi cukup tinggi, sehingga untuk mencapai
pintu dibuat tangga batu dengan pipi tangga berbentuk 'ukel' (gelung) besar dengan hiasan ' tumpal' berupa
bunga-bungaan dalam susunan segitiga sama kaki. Dalam tubuh candi terdapat bilik (garba grha), yang di
dalamnya terdapat arca Ganesha.

Sebagaimana candi lainnya, di atas ambang pintu terdapat hiasan kalamakara. Tepat di bawahnya, tertera
angka tahun yang telah dijelaskan di atas. Pada dinding di ketiga sisi lainnya terdapat relung yang
menyerupai pintu semu, yang juga dihiasi dengan kalamakara di atasnya. Di Jawa Timur, Kalamakara sering
disebut Banaspati yang berarti raja hutan. Kala di atas ambang pintu dan relung candi dimaksudkan untuk
menakut-nakuti roh jahat agar tidak berani masuk ke lingkungan candi.

Atap candi dipenuhi dengan hiasan yang meriah, dengan puncak berbentuk persegi. Di bagian atas bilik
candi pada batu penutup sungkup terdapat relief 'Surya', yakni lingkaran yang dikelilingi oleh pancaran sinar
berupa garis-garis bersusun vertikal membentuk beberapa buah segitiga sama kaki. Relief 'Surya' yang
merupakan lambang Kerajaan Majapahit ini juga ditemukan di beberapa candi lain di Jawa Timur dalam
bentuk yang sedikit bervariasi.

Candi Naga. Bangunan ini di sebut Candi Naga karena sekeliling tubuhnya dililit oleh pahatan berwujud
naga. Bangunan candi seluas 4.83 X 6,57 m. dengan tinggi 4,70 m. ini juga terletak di pelataran tengah.
Seluruh bangunan terbuat dari batu andesit. Seperti Candi Angka Tahun, pintu masuk ke bilik candi terletak
di sisi barat. Kaki candi cukup tinggi, sehingga untuk mencapai pintu dibuatkan tangga. Pipi tangga
berbentuk 'ukel' berhiaskan 'tumpal'. Di kanan kiri kaki tangga terdapat arca raksasa membawa gada yang
saat ini hanya tinggal satu. Bangunan yang ada saat ini merupakan hasil pemugaran tahun 1917-1918.
Yang berhasil dikembalikan ke bentuk aslinya hanya bagian kaki dan tubuh candi. Bagian atap yang
kemungkinan dibuat dari bahan yang tidak tahan lama telah runtuh.

Pada dinding tubuh candi terdapat pahatan sembilan tokoh yang berdiri di kiri dan kanan pintu masuk, di
setiap sudut, dan di tengah ketiga dinding lainnya. Kesembilan tokoh ini digambarkan dalam busana
kerajaan yang mewah dan dilatarbelakangi oleh 'prabha' (tempat bersandar yang dihisasi dengan sinar
kedewaan).

Salah satu tangannya memegang genta, sedang tangan yang lain menyangga tubuh naga yang melingkari
bagian atas bangunan. Di antara pahatan tokoh-tokoh tersebut terdapat pahatan bermotif bulatan yang
disebut 'motif medalion'. Dalam bulatan terdapat kombinasi relief daun-daunan atau bunga-bungaan dan
berbagai jenis binatang. Di antara bulatan-bulatan tersebut terdapat relief cerita binatang dalam ukuran
yang lebih kecil. Sayang cerita yang digambarkan dalam relief ini belum dapat diungkapkan.
Menurut orang Bali yang pernah mengunjungi Panataran, fungsi Candi Naga sama dengan fungsi Pura
Kehen di Bali, yaitu sebagai tempat penyimpanan benda-benda milik para dewa. Barangkali lebih tepat bila
Candi Naga dibandingkan dengan Pura Taman Sari yang terletak di Kabupaten Klungkung. Pura yang
ditemukan tahun 1975 ini menunjukkan pertalian yang dekat dengan kerajaan Majapahit. Selain berfungsi
sebagai tempat pemujaan Kerajaan Klungkung, Pura Taman Sari juga dipergunakan sebagai tempat
'pemasupatian' (pemberian kesaktian) terhadap senjata-senjata pusaka yang dibawa dari kerajaan
Majapahit. Apabila perbandingan ini dapat dibenarkan, maka fungsi Candi Naga bukan hanya untuk
menyimpan benda-benda upacara milik para dewa, tetapi lebih juga sebagai tempat 'pemasupatian' pusaka
milik kerajaan Majapahit. Dengan demikian, untuk keperluan 'pemasupatian', pusaka-pusaka Majapahit
tidak perlu dibawa ke Bali.

d. Pelataran Dalam

Halaman terakhir adalah pelataran dalam yang semula juga dibatasi dengan dinding yang melintang arah
utara-selatan. Di selatan juga terdapat bekas pintu gerbang yang dijaga oleh sepasang arca dwarapala. Di
pelataran ini terdapat sekurangnya 9 bangunan, 2 buah yang sudah dapat dikenali adalah candi induk dan
susunan percobaan bangunan tubuhnya. Ketujuh bangunan lainnya tinggal reruntuhan yang masih belum
terungkapkan bentuk dan fungsinya.

Candi Utama (Induk). Candi Induk merupakan bangunan yang terbesar di antara seluruh bangunan
Panataran. Lokasi bangunan terletak di pelataran paling belakang (timur), yang dianggap sebagai bagian
yang suci. Bangunan candi terdiri atas tiga teras bersusun dengan tinggi seluruhnya 7,19 m.
Teras pertama berbentuk empat persegi dengan diameter 30,06 meter untuk arah timur barat. Di
pertengahan keempat sisinya terdapat bagian yang menjorok keluar sekitar 3 m. Untuk naik ke teras
pertama, terdapat dua buah tangga di kiri dan kanan sisi barat. Pada masing-masing sisi kedua tangga
terdapat arca dwarapala yang pada tatakannya terpahat angka tahun 1269 Saka (1347 M). Sepanjang
dinding teras pertama dipenuhi pahatan relief cerita.

Teras kedua berukuran lebih kecil dibandingkan dengan teras pertama, karena pada bagian yang menjorok
keluar di teras pertama justru sedikit menjorok ke dalam di teras kedua. Perbedaan ukuran antara teras
pertama dan teras kedua membentuk selasar di lantai teras pertama, yang memungkinkan orang berjalan
mengelilingi bangunan sambil menyaksikan adegan-adegan yang digambarkan dalam relief cerita yang
terpahat di sepanjang dinding. Pada dinding di teras pertama dan kedua berjajar panil pahatan cerita
Ramayana dan dan Krisnayana diselingi dengan hiasan motif medalion.

Pada teras kedua terdapat sebuah tangga naik yang letaknya hampir di pertengahan dinding. Tangga naik
ini bersambung dengan tangga yang berada di teras ketiga.

Teras ketiga berbentuk hampir bujur sangkar. Dindingnya berpahatkan naga bersayap dengan kepala yang
sedikit mendongak ke depan dan singa bersayap dengan kaki belakang dalam posisi berjongkok sedangkan
kaki depannya terangkat ke atas. Pahatan-pahatan pada dinding teras ketiga ini selain untuk mengisi bidang
yang kosong juga berfungsi sebagai pilar bangunan.

Pada waktu dilakukan pembongkaran lantai teras ketiga, dalam rangka pemugaran, didapati bahwa bagian
tengah lantai terbuat dari bata merah. Nampak jelas denah bangunan yang berbentuk persegi empat
dengan bagian-bagian yang menjorok kedepan. Berdasarkan temuan tersebut, timbul dugaan bahwa
bangunan asli Candi Panataran dibuat dari bata merah. Dalam kurun waktu berikutnya Panataran
mengalami perluasan dengan cara menutupi bangunan aslinya menggunakan batu andesit. Perluasan itu
diperkirakan terjadi pada zaman Majapahit.
Teras ketiga merupakan emperan kosong. Di tempat itu seharusnya berdiri tubuh candi yang sampai saat ini
belum berhasil dikembalikan ke wujud aslinya karena belum semua bagian bangunan berhasil ditemukan.
Sebagian dari tubuh candi induk ini telah disusun dalam susunan percobaan di halaman candi.

Prasasti Palah. Di selatan candi utama masih berdiri tegak sebuah batu prasasti. Menilik besarnya ukuran
batu prasasti, para ahli menduga sejak semula batu tersebut memang terletak di tempat itu.

Prasasti yang ditulis menggunakan huruf Jawa Kuno tersebut berangka tahun 1119 Saka (1197 M.), dibuat
atas perintah Raja Srengga dari Kerajaan Kediri. Isi prasasti yang, antara lain, menyebutkan tentang
peresmian sebuah tanah perdikan untuk kepentingan Sira Paduka Batara Palah, mendasari dugaan bahwa
yang dimaksud dengan Palah tidak lain adalah Candi Panataran. Andaikata benar bahwa Palah adalah Candi
Panataran, maka usia Candi Panataran sekurangnya telah mencapai 250 tahun dan pembangunan candi ini
mengalami perjalanan panjang, yaitu dari tahun 1197, zaman kerajaan Kediri, sampai pada tahun 1454,
zaman kerajaan Majapahit. Hampir semua bangunan yang dapat masih dapat disaksikan sekarang berasal
dari masa pemerintahan raja-raja Majapahit. Barangkali bangunan-bangunan yang lebih tua (dari zaman
Kediri) telah lama runtuh.

e. Bangunan lain.
Masih ada dua buah bangunan lain yang letaknya di luar areal Panataran yang masih ada hubungannya
dengan candi Panataran, yaitu sebuah kolam berangka tahun 1337 Saka (1415 M.) yang terletak di sebelah
tenggara dan sebuah kolam 'petirtaan' (tempat mandi) dalam ukuran yang agak besar, yang terletak kira-
kira 200 meter di timur-laut areal candi.

Anda mungkin juga menyukai