Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENELITIAN OUTING

CLASS CANDI PRAMBANAN

Disusun oleh:

Nama:Marco Munfarid

Kelas:X Mipa 3

No:20

Tahun pelajaran 2018/2019


KATA PENGANTAR

Assalamualikum Wr. Wb,

Pertama-tama saya ucapkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan laporan perjalanan
Outing class ke Yogyakarta, Kelas 10 SMA Negeri 2 Wonogiri tahun ajaran 2018/2019.

Dalam laporan ini saya akan menjelaskan tentang perjalanan dan kegiatan serta tempat yang
menjadi tujuan Outing class.

Lewat laporan ini juga saya ucapkan terima kasih khususnya kepada Bapak/Ibu guru SMA
Negeri 2 Wonogiri yang telah mendampingi saya dengan teman-teman dalam kegiatan
Outing class. Serta semua pihak yang telah membantu berjalannya kegiatan Outing class ini,
sehingga dapat berjalan dengan baik.

Wonogiri, 14 Februari 2019

Penyusun

Marco munfarid Xmipa 3


BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
 Mengetahui sejarah dan peninggalan kuno
 Melestariakan peninggalan jaman dahulu

B. RUMUSAN MASALAH
BAB II

ISI DAN PEMBAHASAN

Prambanan adalah candi Hindu terbesar dan termegah yang pernah dibangun di Jawa kuno,
pembangunan candi Hindu kerajaan ini dimulai oleh Rakai Pikatan sebagai tandingan candi
Buddha Borobudur dan juga candi Sewu yang terletak tak jauh dari Prambanan. Beberapa
sejarawan lama menduga bahwa pembangunan candi agung Hindu ini untuk menandai
kembali berkuasanya keluarga Sanjaya atas Jawa, hal ini terkait teori wangsa kembar berbeda
keyakinan yang saling bersaing; yaitu wangsa Sanjaya penganut Hindu dan wangsa Sailendra
penganut Buddha. Pastinya, dengan dibangunnya candi ini menandai bahwa Hinduisme aliran
Saiwa kembali mendapat dukungan keluarga kerajaan, setelah sebelumnya wangsa Sailendra
cenderung lebih mendukung Buddha aliran Mahayana. Hal ini menandai bahwa kerajaan
Medang beralih fokus dukungan keagamaanya, dari Buddha Mahayana ke pemujaan terhadap
Siwa.

Bangunan ini pertama kali dibangun sekitar tahun 850 Masehi oleh Rakai Pikatan dan secara
berkelanjutan disempurnakan dan diperluas oleh Raja Lokapala dan raja Balitung Maha
Sambu. Berdasarkan prasasti Siwagrha berangka tahun 856 M, bangunan suci ini dibangun
untuk memuliakan dewa Siwa, dan nama asli bangunan ini dalam bahasa Sanskerta adalah
Siwagrha (Sanskerta:Shiva-grha yang berarti: 'Rumah Siwa') atau Siwalaya
(Sanskerta:Shiva-laya yang berarti: 'Ranah Siwa' atau 'Alam Siwa').[6] Dalam prasasti ini
disebutkan bahwa saat pembangunan candi Siwagrha tengah berlangsung, dilakukan juga
pekerjaan umum perubahan tata air untuk memindahkan aliran sungai di dekat candi ini.
Sungai yang dimaksud adalah sungai Opak yang mengalir dari utara ke selatan sepanjang sisi
barat kompleks candi Prambanan. Sejarawan menduga bahwa aslinya aliran sungai ini
berbelok melengkung ke arah timur, dan dianggap terlalu dekat dengan candi sehingga erosi
sungai dapat membahayakan konstruksi candi. Proyek tata air ini dilakukan dengan membuat
sodetan sungai baru yang memotong lengkung sungai dengan poros utara-selatan sepanjang
dinding barat di luar kompleks candi. Bekas aliran sungai asli kemudian ditimbun untuk
memberikan lahan yang lebih luas bagi pembangunan deretan candi perwara (candi pengawal
atau candi pendamping).

Beberapa arkeolog berpendapat bahwa arca Siwa di garbhagriha (ruang utama) dalam candi
Siwa sebagai candi utama merupakan arca perwujudan raja Balitung, sebagai arca
pedharmaan anumerta dia.[7]

Kompleks bangunan ini secara berkala terus disempurnakan oleh raja-raja Medang Mataram
berikutnya, seperti raja Daksa dan Tulodong, dan diperluas dengan membangun ratusan
candi-candi tambahan di sekitar candi utama. Karena kemegahan candi ini, candi Prambanan
berfungsi sebagai candi agung Kerajaan Mataram, tempat digelarnya berbagai upacara
penting kerajaan. Pada masa puncak kejayaannya, sejarawan menduga bahwa ratusan pendeta
brahmana dan murid-muridnya berkumpul dan menghuni pelataran luar candi ini untuk
mempelajari kitab Weda dan melaksanakan berbagai ritual dan upacara Hindu. Sementara
pusat kerajaan atau keraton kerajaan Mataram diduga terletak di suatu tempat di dekat
Prambanan di Dataran Kewu.

Ditelantarkan

Sekitar tahun 930-an, ibu kota kerajaan berpindah ke Jawa Timur oleh MpuSindok, yang
mendirikan Wangsa Isyana. Penyebab kepindahan pusat kekuasaan ini tidak diketahui secara
pasti. Akan tetapi sangat mungkin disebabkan oleh letusan hebat Gunung Merapi yang
menjulang sekitar 20 kilometer di utara candi Prambanan. Kemungkinan penyebab lainnya
adalah peperangan dan perebutan kekuasaan. Setelah perpindahan ibu kota, candi Prambanan
mulai telantar dan tidak terawat, sehingga pelan-pelan candi ini mulai rusak dan runtuh.

Bangunan candi ini diduga benar-benar runtuh akibat gempa bumi hebat pada abad
ke-16. Meskipun tidak lagi menjadi pusat keagamaan dan ibadah umat Hindu, candi
ini masih dikenali dan diketahui keberadaannya oleh warga Jawa yang menghuni desa
sekitar. Candi-candi serta arca Durga dalam bangunan utama candi ini mengilhami
dongeng rakyat Jawa yaitu legenda Rara Jonggrang.

Pada awal tahun 1990-an pemerintah memindahkan pasar dan kampung yang
merebak secara liar di sekitar candi, menggusur kawasan perkampungan dan sawah di
sekitar candi, dan memugarnya menjadi taman purbakala. Taman purbakala ini
meliputi wilayah yang luas di tepi jalan raya Yogyakarta-Solo di sisi selatannya,
meliputi seluruh kompleks candi Prambanan, termasuk Candi Lumbung, Candi
Bubrah, dan Candi Sewu di sebelah utaranya. Pada tahun 1992 Pemerintah Indonesia
Perusahaan milik negara, Persero PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan,
dan Ratu Boko. Badan usaha ini bertugas mengelola taman wisata purbakala di
Borobudur, Prambanan, Ratu Boko, serta kawasan sekitarnya. Prambanan adalah
salah satu daya tarik wisata terkenal di Indonesia yang banyak dikunjungi wisatawan
dalam negeri ataupun wisatwan mancanegara.

Setelah pemugaran besar-besaran tahun 1990-an, Prambanan juga kembali menjadi


pusat ibadah agama Hindu di Jawa. Kebangkitan kembali nilai keagamaan Prambanan
adalah karena terdapat cukup banyak masyarakat penganut Hindu, baik pendatang
dari Bali atau warga Jawa yang kembali menganut Hindu yang bermukim di
Yogyakarta, Klaten dan sekitarnya. Tiap tahun warga Hindu dari provinsi Jawa
Tengah dan Yogyakarta berkumpul di candi Prambanan untuk menggelar upacara
pada hari suci Galungan, Tawur Kesanga, dan Nyepi.[9][10]

Pada 27 Mei 2006 gempa bumi dengan kekuatan 5,9 pada skala Richter (sementara
United States GeologicalSurvey melaporkan kekuatan gempa 6,2 pada skala Richter)
menghantam daerah Bantul dan sekitarnya. Gempa ini menyebabkan kerusakan hebat
terhadap banyak bangunan dan kematian pada penduduk sekitar. Gempa ini berpusat
pada patahan tektonik Opak yang patahannya sesuai arah lembah sungai Opak dekat
Prambanan. Salah satu bangunan yang rusak parah adalah kompleks Candi
Prambanan, khususnya Candi Brahma. Foto awal menunjukkan bahwa meskipun
kompleks bangunan tetap utuh, kerusakan cukup signifikan. Pecahan batu besar,
termasuk panil-panil ukiran, dan kemuncak wajra berjatuhan dan berserakan di atas
tanah. Candi-candi ini sempat ditutup dari kunjungan wisatawan hingga kerusakan
dan bahaya keruntuhan dapat diperhitungkan. Balai arkeologi Yogyakarta
menyatakan bahwa diperlukan waktu berbulan-bulan untuk mengetahui sejauh mana
kerusakan yang diakibatkan gempa ini.[11][12] Beberapa minggu kemudian, pada
tahun 2006 situs ini kembali dibuka untuk kunjungan wisata. Pada tahun 2008,
tercatat sejumlah 856.029 wisatawan Indonesia dan 114.951 wisatawan mancanegara
mengunjungi Prambanan. Pada 6 Januari 2009 pemugaran candi Nandi selesai.[13]
Pada tahun 2009, ruang dalam candi utama tertutup dari kunjungan wisatawan atas
alasan keamanan.
BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai