Anda di halaman 1dari 10

1.

Candi Borobudur
Sejarah Candi Borobudur terletak di Desa Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Candi ini merupakan candi Buddha terbesar kedua setelah Candi Ankor Wat di Kamboja dan
termasuk dalam salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Ada beberapa versi mengenai asal usul
nama candi ini. Versi pertama mengatakan bahwa nama Borobudur berasal dari bahasa
Sanskerta yaitu bara yang berarti kompleks candi atau biara dan beduhur yang berarti
tinggi/di atas.

Versi kedua mengatakan bahwa nama Sejarah Candi Borobudur kemungkinan berasal dari kata
sambharabudhara yang berarti gunung yang lerengnya berteras-teras. Versi ketiga yang
ditafsirkan oleh Prof. Dr. Poerbotjoroko menerangkan bahwa kata Borobudur berasal dari
kata bhoro yang berarti biara atau asrama dan budur yang berarti di atas.

Pendapat Poerbotjoroko ini dikuatkan oleh Prof. Dr. W.F. Stutterheim yang berpendapat
bahwa Bodorbudur berarti biara di atas sebuah bukit. Sedangkan, versi lainnya lagi yang
dikemukakan oleh Prof. J.G. de Casparis berdasarkan prasati Karang Tengah, menyebutkan
bahwa Borobudur berasal dari kata bhumisambharabudhara yang berarti tempat pemujaan
bagi arwah nenek moyang.

Masih berdasarkan prasasti Karang Tengah dan ditambah dengan prasasti Kahuluan, J.G. de
Casparis dalam disertasinya tahun 1950 mengatakan bahwa Sejarah Candi
Borobudur diperkirakan didirikan oleh Raja Samaratungga dari wangsa Sayilendra sekitar
tahun Sangkala rasa sagara kstidhara atau tahun Caka 746 (824 Masehi) dan baru dapat
diselesaikan oleh puterinya yang bernama Dyah Ayu Pramodhawardhani pada sekitar tahun
847 Masehi. Pembuatan candi ini menurut prasasti Klurak (784 M) dibantu oleh seorang guru
dari Ghandadwipa (Bengalore) bernama Kumaragacya dan seorang pangeran dari Kashmir yang
bernama Visvawarma.

Versi Lainnya

Asal Usul Sejarah Borobudur Candi borobudur merupakan salah satu obyek wisata yang
terkenal di Indonesia yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Candi Borobudur
didirikan sekitar tahun 800-an Masehi oleh para penganut agama Buddha Wahayana.
Dalam sejarah candi borobudur, terdapat berbagai teori yang menjelaskan asal usul nama
candi borobudur. Salah satunya menyatakan bahwa nama borobudur kemungkinan berasal dari
kata Sambharabhudhara yang artinya gunung (bhudara) di mana di lereng-lerengnya
terletak teras-teras.

Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat lainnya. Misalkan kata borobudur berasal dari
ucapan para Buddha yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur. Penjelasan lain ialah
bahwa nama ini berasal dari dua kata bara dan beduhur. Kata bara konon berasal dari kata
vihara, sementara ada pula penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa Sansekerta yang
artinya kompleks candi atau biara dan beduhur artinya ialah tinggi, atau mengingatkan
dalam bahasa Bali yang berarti di atas. Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau asrama yang
berada di tanah tinggi.

Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor pada 1950
berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan prasasti Karangtengah
dan Kahulunan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah raja Mataram dari wangsa
Syailendra bernama Samaratungga, yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M.

Bangunan raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani.
Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad. Dalam prasasti
Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah bebas pajak) oleh
r? Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara Kam?l?n yang disebut Bh?misambh?ra.
Istilah Kam?l?n sendiri berasal dari kata mula yang berarti tempat asal muasal, bangunan suci
untuk memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa Sailendra. Casparis
memperkirakan bahwa Bh?mi Sambh?ra Bhudh?ra dalam bahasa sansekerta yang berarti
Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa, adalah nama asli Borobudur.
Letak candi ini diatas perbukitan yang terletak di Desa Borobudur, Mungkid, Magelang atau
42 km sebelah laut kota Yogyakarta. Dikelilingi Bukit Manoreh yang membujur dari arah
timur ke barat. Sementara di sebelah timur terdapat Gunung Merapi dan Merbau, serta
disebelah barat ada Gunumg Sindoro dan Gunung Sumbing.

Dibutuhkan tak kurang dari 2 juta balok batu andesit atau setara dengan 50.000m persegi
untuk membangun Candi Borobudur ini. Berat keseluruhan candi mencapai 3,5 juta ton.
Seperti umumnya bangunan candi, Bororbudur memiliki 3 bagian bangunan, yaitu kaki, badan
dan atas. Bangunan kaki disebut Kamadhatu, yang menceritakan tentang kesadaran yang
dipenuhi dengan hawa nafsu dan sifat-sifat kebinatangan. Kemudian Ruphadatu, yang
bermakna sebuah tingkatan kesadaran manusia yang masih terikat hawa nafsu, materi dan
bentuk. Sedangkan Aruphadatu yang tak lagi terikat hawa nafsu, materi dan bentuk
digambarkan dalam bentuk stupa induk yang kosong. Hal ini hanya dapat dicapai dengan
keinginan dan kekosongan
2. Candi Banyunabo

Candi Banyuniba terletak di selatan Desa Cepit, Kelurahan Bokoharjo, Kecamatan


Prambanan, Kabupaten Sleman. Letaknya sekitar 200 m dari Candi Barong, sekitar 1 km
sebelah barat daya jalan raya Yogya-Solo. Candi Buddha ini berdiri menghadap ke barat,
menyendiri di lahan pertanian. Sekitar 15 m di depan bangunan candi mengalir sebuah
sungai kecil. Pada saat ditemukan, candi ini hanya berupa reruntuhan. Penelitian dan
rekonstruksi yang pertama di mulai pada tahun 1940. berdasarkan hasil penelitian
diperkirakan bahwa Candi Banyuniba terdiri atas satu candi induk yang menghadap ke
Barat dan dikelilingi deretan candi perwara berbentuk stupa, 3 berderet di selatan dan
3 lagi di timur. Saat ini baru candi induknya yang berhasil dipugar. Tak satupun candi
perwara yang tersisa. Di halaman belakang candi terdapat sebuah lubang seperti sumur.

Ukuran Candi Banyuniba relatif kecil, yaitu lebar 11 m dan panjang sekitar 15 m. Tubuh
candi berdiri di atas batur setinggi 2,5 m yang terletak di tengah hamparan batu
andesit yang tertata rapi. Selisih luas batur dengan tubuh candi membentuk selasar yang
cukup lebar untuk dilalui 1 orang. Dinding dan pelipit atas batur dipenuhi dengan hiasan
bermotif sulur dan dedaunan yang menjulur keluar dari sebuah wadah mirip
tempayan. Di setiap sudut kaki candi terdapat hiasan mirip kepala Kala yang disebut jala
dwara. Hiasan ini berfungsi sebagai saluran pembuang air hujan. Atap candi berbentuk
limasan seperti kubah (dagoba) dengan stupa di puncaknya.

Untuk naik ke selasar di permukaan batur (kaki candi) terdapat tangga selebar sekitar
1,2 m, terletak tepat di depan pintu masuk bilik penampil. Pangkal pipi tangga dihiasi
dengan kepala sepasang naga dengan mulut menganga lebar.

Pintu masuk dilengkapi dengan bilik penampil beratap melengkung yang menjorok sekitar 1 m
keluar tubuh candi. Sisi depan atap bilik penampil dipenuhi dengan hiasan bermotif sulur-
suluran. Tepat di atas ambang pintu, terdapat hiasan Kalamakara tanpa rahang bawah. Di
bagian dalam dinding, di atas ambang pintu, terdapat pahatan yang menggambarkan Hariti,
dewi pelindung anak-anak, sedang duduk bersila diapit oleh dua ekor burung merak. Di
sekeliling wanita itu terdapat anak-anak kecil yang mengerumuninya.

Pada dinding selatan bilik penampil terdapat relief yang menggambarkan Kuwera, dewa
kekayaan, sedang duduk duduk dengan tangan kanan tertumpu paha. Di sebelah kirinya, agak
ke belakang, seorang pelayan memegangi pundi-pundi berisi uang.
Pada dinding di keempat sisi tubuh candi terdapat jendela palsu, yaitu lubang yang terlihat
seperti sebuah jendela, namun sesungguhnya lubang tersebut tidak menembus ke ruang
dalam tubuh candi. Di atas ambang jendela palsu terdapat hiasan Kalamakara, sedangkan di
kiri dan kanannya terdapat relung yang berisi pahatan sosok penghuni kayangan atau surga,
seperti kinara dan kinari, hapsara dan hapsari, serta Hariti dan Avataka. Di antara
kalamakara dan pelipit atas ambang jendela tersembunyi pahatan sosok pria yang sedang
duduk seolah melongok ke bawah. Hiasan semacam ini disebut kudu.

Tidak terdapat arca di ruangan dalam tubuh candi, namun dindingnya dihiasi dengan
sosok anak dan lelaki dalam berbagai posisi. Ada pahatan yang menggambarkan seorang
anak sedang bergantung pada dahan pohon, sederetan orang yang sedang duduk
berpelukan, seorang lelaki duduk bersila, dan sebagainya.
Di halaman candi terdapat sepasang arca lembu dalam posisi duduk. Tidak didapat
informasi apakah arca tersebut memang terletak di tempat aslinya atau sudah
dipindahkan dari tempatnya semula.

3. Candi Dieng

Candi Dieng merupakan kumpulan candi yang terletak di kaki pegunungan Dieng, Wonosobo,
Jawa tengah. Kawasan Candi Dieng menempati dataran pada ketinggian 2000 m di atas
permukaan laut, memanjang arah utara-selatan sekitar 1900 m dengan lebar sepanjang 800
m.Kumpulan candi Hindu beraliran Syiwa yang diperkirakan dibangun antara akhir abad ke-8
sampai awal abad ke-9 ini diduga merupakan candi tertua di Jawa. Sampai saat ini belum
ditemukan informasi tertulis tentang sejarah Candi Dieng, namun para ahli memperkirakan
bahwa kumpulan candi ini dibangun atas perintah raja-raja dari Wangsa Sanjaya. Di kawasan
Dieng ini ditemukan sebuah prasasti berangka tahun 808 M, yang merupakan prasasti tertua
bertuliskan huruf Jawa kuno, yang masih masih ada hingga saat ini. Sebuah Arca Syiwa yang
ditemukan di kawasan ini sekarang tersimpan di Museum Nasional di Jakarta. Pembangunan
Candi Dieng diperkirakan berlangsung dalam dua tahap. Tahap pertama yang berlangsung
antara akhir abad ke-7 sampai dengan perempat pertama abad ke-8, meliputi pembangunan
Candi Arjuna, Candi Semar, Candi Srikandi dan Candi Gatutkaca. Tahap kedua merupakan
kelanjutan dari tahap pertama, yang berlangsung samapi sekitar tahun 780 M.

Candi Dieng pertama kali diketemukan kembali pada tahun 1814. Ketika itu seorang tentara
Inggris yang sedang berwisata ke daerah Dieng melihat sekumpulan candi yang terendam
dalam genangan air telaga. Pada tahun 1956, Van Kinsbergen memimpin upaya pengeringan
telaga tempat kumpulan candi tersebut berada. Upaya pembersihan dilanjutkan oleh
pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1864, dilanjutkan dengan pencatatan dan pengambilan
gambar oleh Van Kinsbergen.

Luas keseluruhan kompleks Candi Dieng mencapai sekitar 1.8 x 0.8 km2. Candi-candi di
kawasan Candi Dieng terbagi dalam 3 kelompok dan 1 candi yang berdiri sendiri yang
dinamakan berdasarkan nama tokoh dalam cerita wayang yang diadopsi dari Kitab
Mahabarata. Ketiga kelompok candi tersebut adalah Kelompok Arjuna, Kelompok Gatutkaca,
Kelompok Dwarawati dan satu candi yang berdiri sendiri adalah Candi Bima.

a. Kelompok Arjuna

Kelompok Arjuna terletak di tengah kawasan Candi Dieng, terdiri atas 4 candi yang berderet
memanjang arah utara-selatan. Candi Arjuna berada di ujung selatan, kemudian berturut-
turut ke arah utara adalah Candi Srikandi, Candi Sembadra dan Candi Puntadewa. Tepat di
depan Candi Arjuna, terdapat Candi Semar. Keempat candi di komples ini menghadap ke
barat, kecuali Candi Semar yang menghadap ke Candi Arjuna. Kelompok candi ini dapat
dikatakan yang paling utuh dibandingkan kelompok candi lainnya di kawasan Dieng.

4. Candi Semar

Candi ini letaknya berhadapan dengan Candi Arjuna. Denah dasarnya berbentuk persegi
empat membujur arah utara-selatan. Batur candi setinggi sekitar 50 cm, polos tanpa hiasan.
Tangga menuju pintu masuk ke ruang dalam tubuh candi terdapat di sisi timur. Pintu masuk
tidak dilengkapi bilik penampil. Ambang pintu diberi bingkai dengan hiasan pola kertas tempel
dan kepala naga di pangkalnya. Di atas ambang pintu terdapat Kalamakara tanpa rahang
bawah.
Pada dinding di kiri dan kanan pintu terdapat lubang jendela kecil. Di dinding utara dan
selatan tubuh candi terdapat, masing-masing, dua lubang yang berfungsi sebagai jendela,
sedangkan di dinding barat (belakang) candi terdapat 3 buah lubang. Ruangan dalam tubuh
candi dalam keadaan kosong. Atap candi berbentuk limasan tanpa hiasan. Puncak atap sudah
hilang, sehingga tidak diketahui lagi bentuk aslinya. Konon Candi Semar digunakan sebagai
gudang untuk menyimpan senjata dan perlengkapan pemujaan.

5. Candi Cangkuang

Asal muasal nama Candi Cangkuang Garut diambil dari nama desa tempat di mana situs ini berada.
Cangkuang sendiri sebenarnya adalah sebuah nama pohon yaitu Pohon Cangkuang. Pohon Cangkuang
memang banyak ditemukan di daerah ini, dan ini yang membuat desa ini disebut dengan nama Desa
Cangkuang.

Sejarah Candi Cangkuang Garut diawali dari sebuah penemuan oleh seorang Belanda bernama
Vorderman, yang kemudian mencatatnya dalam sebuah buku yaitu Notulen Bataviach Genoot Schap.
Buku notulen ini ditulisnya pada tahun 1893. Dan dalam catatannya di buku ini Vorderman menyebutkan
bahwa di bukit Kampung Pulo di Desa Cangkuang telah ditemukan sebuah makam kuno dan sebuah arca
Siwa yang telah rusak.

Sebuah tim penelitian yang dipimpin oleh seorang ahli purbakala bernama Drs.Uka Tjandrasasmita dan
Prof.Harsoyo, pada tanggal 9 Desember 1966 telah menemukan kembali Candi Cangkuang yang telah
lama hilang terpendam.

6. Candi Jiwa
Candi Jiwa yang dikenal sebagai Unur Jiwa, terletak di tengah
areal persawahan berupa gundukan tanah yang berbentuk oval
setinggi 4 meter dari permukaan tanah. Bangunan yang berukuran
19 x 19 meter dengan tinggi 4,7 meter ini tidak mempunyai tangga
masuk dan di bagian permukaan atas terdapat susunan bata yang
melingkar dengan garis tengah sekitar 6 meter yang diduga
merupakan susunan dari bentuk stupa. Nama Candi Jiwa diberikan
penduduk karena setiap kali mereka menambatkan kambing
gembalaannya di atas reruntuhan candi tersebut, ternak tersebut
mati. Candi yang ditemukan di situs ini seperti candi Jiwa,
struktur bagian atasnya menunjukkan bentuk seperti bunga padma
(bunga teratai). Pada bagian tengahnya terdapat denah struktur
melingkar yang sepertinya adalah bekas stupa atau lapik patung
Buddha. Pada candi ini tidak ditemukan tangga, sehingga wujudnya
mirip dengan stupa atau arca Buddha di atas bunga teratai yang
sedang berbunga mekar dan terapung di atas air. Bentuk seperti
ini adalah unik dan belum pernah ditemukan di Indonesia. Ketika
umat Budha melakukan ritual ditempat ini mereka mengitari candi
jiwa seturut dengan perputaran arah jarum jam.
Bangunan candi Jiwa tidak terbuat dari batu, namun dari
lempengan-lempengan batu bata. Pada masa lampau, masyarakat
membuat batu bata dengan menggunakan kayu sebagai media
bakarnya, itulah yang membedakan batu bata pada masa lampau
yang lebih terlihat gosong dibandingkan dengan batu batu masa
sekarang yang dibakar menggunakan oven, walaupun suhu bakaran
kedua-duanya berkisar 45 derajat celcius. Dan yang menjadi
keunikan, batu bata didaerah batujaya itu berukuran sangat besar
dibandingkan dengan ukuran batu bata di daerah Jakarta dan
sekitarnya.

Anda mungkin juga menyukai