Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang di atasnya terdapat tiga
pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat
504 arca Buddha.[4] Borobudur memiliki koleksi relief Buddha terlengkap dan terbanyak di dunia.
[3]
Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga
barisan melingkar 72 stupa berlubang yang di dalamnya terdapat arca Buddha tengah duduk
bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap
tangan) Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).
Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk
memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk menuntun umat manusia
beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha.
[5]
Para peziarah masuk melalui sisi timur dan memulai ritual di dasar candi dengan berjalan
melingkari bangunan suci ini searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui
tiga tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah Kāmadhātu (ranah
hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak berwujud). Dalam
perjalanannya para peziarah berjalan melalui serangkaian lorong dan tangga dengan
menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada dinding dan pagar
langkan.
Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-10 seiring dipindahnya pusat
Kerajaan Mataram Kuno ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok.[6] Dunia mulai menyadari keberadaan
bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang saat itu menjabat
sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu Borobudur telah mengalami
serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran (perbaikan kembali). Proyek pemugaran
terbesar digelar pada kurun waktu 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik
Indonesia dan UNESCO, kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan
Dunia.[3]
Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun umat
Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk
memperingati Trisuci Waisak. Terkait kepariwisataan, Borobudur adalah objek wisata tunggal di
Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan.[7][8][9]
Pada 11 Februari 2022, pemerintah meresmikan status Candi Borobudur kembali sebagai
tempat peribadatan umat Buddha di Indonesia dan dunia.[10]
Nama Bore-Budur, yang kemudian ditulis BoroBudur, kemungkinan ditulis Raffles dalam tata
bahasa Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu yaitu desa Bore (Boro);
kebanyakan candi memang sering kali dinamai berdasarkan desa tempat candi itu berdiri.
Raffles juga menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin berkaitan dengan istilah Buda dalam
bahasa Jawa yang berarti "purba"– maka bermakna, "Boro purba".[11] Akan tetapi arkeolog lain
beranggapan bahwa nama Budur berasal dari istilah bhudhara yang berarti gunung.[14]
Banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa
nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya "gunung" (bhudara) di
mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat
lainnya. Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan "para Buddha" yang karena pergeseran
bunyi menjadi borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata "bara" dan
"beduhur". Kata bara konon berasal dari kata vihara, sementara ada pula penjelasan lain di
mana bara berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya kompleks candi atau biara
dan beduhur artinya ialah "tinggi", atau mengingatkan dalam bahasa Bali yang berarti "di atas".
Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.
Poerbatjaraka berpendapat bahwa arti kata boro adalah "biara", tetapi dibantah oleh Krom yang
menyebutkan bahwa Borobudur bukanlah biara, melainkan stupa. Menurut Krom, berdasarkan
perbandingan dengan stupa yang ada di India, biasanya stupa tidak berdiri sendiri tetapi ada
biara di dekatnya. Biara itu berfungsi sebagai tempat tinggal para biksu yang bertanggung jawab
atas pemeliharaan tempat suci tersebut dan juga untuk menampung peziarah dari tempat lain.
Jika dilihat dari besarnya Candi Borobudur, biara tersebut berukuran cukup besar tetapi sudah
tidak ada lagi jejaknya karena dibangun dari kayu, lokasinya pun juga masih belum diketahui.[15]
Selain Candi Mendut dan Pawon, di sekitar Borobudur juga ditemukan beberapa peninggalan
purbakala lainnya, di antaranya berbagai temuan tembikar seperti periuk dan kendi yang
menunjukkan bahwa di sekitar Borobudur dulu terdapat beberapa wilayah hunian. Temuan-
temuan purbakala di sekitar Borobudur kini disimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur,
yang terletak di sebelah utara candi bersebelahan dengan Museum Samudra Raksa. Tidak
seberapa jauh di sebelah utara Candi Pawon ditemukan reruntuhan bekas candi Hindu yang
disebut Candi Banon. Pada candi ini ditemukan beberapa arca dewa-dewa utama Hindu dalam
keadaan cukup baik yaitu Shiwa, Wishnu, Brahma, serta Ganesha. Akan tetapi batu asli Candi
Banon amat sedikit ditemukan sehingga tidak mungkin dilakukan rekonstruksi. Pada saat
penemuannya arca-arca Banon diangkut ke Batavia (kini Jakarta) dan kini disimpan di Museum
Nasional Indonesia.
Danau purba[sunting | sunting sumber]
Sementara itu pakar geologi justru mendukung pandangan Nieuwenkamp dengan menunjukkan
bukti adanya endapan sedimen lumpur di dekat situs ini.[21] Sebuah penelitian stratigrafi, sedimen
dan analisis sampel serbuk sari yang dilakukan tahun 2000 mendukung keberadaan danau
purba di lingkungan sekitar Borobudur,[20] yang memperkuat gagasan Nieuwenkamp. Ketinggian
permukaan danau purba ini naik-turun berubah-ubah dari waktu ke waktu, dan bukti
menunjukkan bahwa dasar bukit dekat Borobudur pernah kembali terendam air dan menjadi
tepian danau sekitar abad ke-13 dan ke-14. Aliran sungai dan aktivitas vulkanik diduga memiliki
andil dalam mengubah bentang alam dan topografi lingkungan sekitar Borobudur termasuk
danau nya. Salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia adalah Gunung Merapi yang
terletak cukup dekat dengan Borobudur dan telah aktif sejak masa Pleistosen.[22]
Hartmann, seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda di Keresidenan Kedu meneruskan kerja
Cornelius dan pada 1835 akhirnya seluruh bagian bangunan telah tergali dan terlihat. Minatnya
terhadap Borobudur lebih bersifat pribadi daripada tugas kerjanya. Hartmann tidak menulis
laporan atas kegiatannya; secara khusus, beredar kabar bahwa ia telah menemukan arca
buddha besar di stupa utama.[33] Pada 1842, Hartmann menyelidiki stupa utama meskipun apa
yang ia temukan tetap menjadi misteri karena bagian dalam stupa kosong.
Pemerintah Hindia Belanda menugaskan F.C. Wilsen, seorang insinyur pejabat Belanda bidang
teknik, ia mempelajari monumen ini dan menggambar ratusan sketsa relief. J.F.G. Brumund juga
ditunjuk untuk melakukan penelitian lebih terperinci atas monumen ini, yang dirampungkannya
pada 1859. Pemerintah berencana menerbitkan artikel berdasarkan penelitian Brumund yang
dilengkapi sketsa-sketsa karya Wilsen, tetapi Brumund menolak untuk bekerja sama. Pemerintah
Hindia Belanda kemudian menugaskan ilmuwan lain, C. Leemans, yang
mengkompilasi monografi berdasarkan sumber dari Brumund dan Wilsen. Pada 1873, monograf
pertama dan penelitian lebih detil atas Borobudur diterbitkan, dilanjutkan edisi terjemahannya
dalam bahasa Prancis setahun kemudian.[33] Foto pertama monumen ini diambil pada 1873 oleh
ahli engrafi Belanda, Isidore van Kinsbergen.[34]
Penghargaan atas situs ini tumbuh perlahan. Untuk waktu yang cukup lama Borobudur telah
menjadi sumber cenderamata dan pendapatan bagi pencuri, penjarah candi, dan kolektor
"pemburu artefak". Kepala arca Buddha adalah bagian yang paling banyak dicuri. Karena
mencuri seluruh arca buddha terlalu berat dan besar, arca sengaja dijungkirkan dan dijatuhkan
oleh pencuri agar kepalanya terpenggal. Karena itulah kini di Borobudur banyak ditemukan arca
Buddha tanpa kepala. Kepala Buddha Borobudur telah lama menjadi incaran kolektor benda
antik dan museum-museum di seluruh dunia. Pada 1882, kepala inspektur artefak budaya
menyarankan agar Borobudur dibongkar seluruhnya dan reliefnya dipindahkan ke museum
akibat kondisi yang tidak stabil, ketidakpastian dan pencurian yang marak di monumen.
[34]
Akibatnya, pemerintah menunjuk Groenveldt, seorang arkeolog, untuk menggelar penyelidikan
menyeluruh atas situs dan memperhitungkan kondisi aktual kompleks ini; laporannya
menyatakan bahwa kekhawatiran ini berlebihan dan menyarankan agar bangunan ini dibiarkan
utuh dan tidak dibongkar untuk dipindahkan.
Bagian candi Borobudur dicuri sebagai benda cenderamata, arca dan ukirannya diburu kolektor
benda antik. Tindakan penjarahan situs bersejarah ini bahkan salah satunya direstui Pemerintah
Kolonial. Pada tahun 1896, Raja Thailand, Chulalongkorn ketika mengunjungi Jawa di Hindia
Belanda (kini Indonesia) menyatakan minatnya untuk memiliki beberapa bagian dari Borobudur.
Pemerintah Hindia Belanda mengizinkan dan menghadiahkan delapan gerobak penuh arca dan
bagian bangunan Borobudur. Artefak yang diboyong ke Thailand antara lain; lima arca Buddha
bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga
dan gerbang, dan arca penjaga dwarapala yang pernah berdiri di Bukit Dagi — beberapa ratus
meter di barat laut Borobudur. Beberapa artefak ini, yaitu arca singa dan dwarapala, kini
dipamerkan di Museum Nasional Bangkok.[35]
Pemugaran dilakukan pada kurun 1907 dan 1911, menggunakan prinsip anastilosis dan dipimpin
Theodor van Erp.[38] Tujuh bulan pertama dihabiskan untuk menggali tanah di sekitar monumen
untuk menemukan kepala buddha yang hilang dan panel batu. Van Erp membongkar dan
membangun kembali tiga teras melingkar dan stupa di bagian puncak. Dalam prosesnya Van
Erp menemukan banyak hal yang dapat diperbaiki; ia mengajukan proposal lain yang disetujui
dengan anggaran tambahan sebesar 34.600 gulden. Van Erp melakukan rekonstruksi lebih
lanjut, ia bahkan dengan teliti merekonstruksi chattra (payung batu susun tiga) yang memahkotai
puncak Borobudur. Pada pandangan pertama, Borobudur telah pulih seperti pada masa
kejayaannya. Akan tetapi rekonstruksi chattra hanya menggunakan sedikit batu asli dan hanya
rekaan kira-kira. Karena dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan keasliannya, Van Erp
membongkar sendiri bagian chattra. Kini mastaka atau kemuncak Borobudur chattra susun tiga
tersimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur.
Akibat anggaran yang terbatas, pemugaran ini hanya memusatkan perhatian pada
membersihkan patung dan batu, Van Erp tidak memecahkan masalah drainase dan tata air.
Dalam 15 tahun, dinding galeri miring dan relief menunjukkan retakan dan kerusakan.[38] Van Erp
menggunakan beton yang menyebabkan terbentuknya kristal garam alkali dan kalsium
hidroksida yang menyebar ke seluruh bagian bangunan dan merusak batu candi. Hal ini
menyebabkan masalah sehingga renovasi lebih lanjut diperlukan.
Patung Buddha yang tidak sempurna di Museum
Karmawibhangga. Di belakangnya diletakkan chhatra atau parasol tiga lapis yang seharusnya
menghiasi puncak stupa utama borobudur tetapi diturunkan karena sering terkena sambaran
petir.
Pemugaran kecil-kecilan dilakukan sejak itu, tetapi tidak cukup untuk memberikan perlindungan
yang utuh. Pada akhir 1960-an, Pemerintah Indonesia telah mengajukan permintaan kepada
masyarakat internasional untuk pemugaran besar-besaran demi melindungi monumen ini. Pada
1973, rencana induk untuk memulihkan Borobudur dibuat.[39] Pemerintah Indonesia
dan UNESCO mengambil langkah untuk perbaikan menyeluruh monumen ini dalam suatu
proyek besar antara tahun 1975 dan 1982.[38] Proyek pemugaran ini dimulai sejak tahun 1969
dan merupakan bagian dari Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA atau PELITA) dari
Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berdasarkan SK
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 031b/1969 tertanggal 29 April 1969. [40] Proyek
pemugaran ini dipimpin oleh kepala proyek dan memiliki direktorium sebagai penghubung
proyek dan kontraktor. Pada tahun 1969, proyek pemugaran dipimpin oleh Ir. Ars. S. Samingoen
yang secara bersamaan merangkap sebagai bendaharawan proyek. Pada saat itu, S.
Samingoen menjabat sebagai Kepala Dinas Pemeliharaan dan Pemugaran Direktorat Purbakala
dan Sejarah sekaligus sebagai Pjs. Kepala Direktorat Purbakala dan Sejarah pada Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI. Pada Oktober 1970, terjadi pergantian kepemimpinan proyek
yang dipegang oleh Prof. Dr. Soekmono. [40] Pemugaran candi mencakup 8 sektor yang dibagi
menjadi 2 sifat teknis, yaitu Sektor Arkeo-Metrografi dan Sektor Tekno Arkeologi. Sektor Arkeo-
Metrografi berfokus pada pengukuran dan penggambaran, sedangkan sektor Tekno Arkeologi
berfokus pada penggalian, pemilihan batu, pencarian, dan penyesuaian jenis batu pada candi.
Namun, pada tahun 1973, Sektor Arkeo-Metrografi dilebur ke dalam Sektor Tekno Arkeologi
sehubungan pengukuran pada candi yang telah selesai.[41]
Pondasi diperkukuh dan segenap 1.460 panel relief dibersihkan. Pemugaran ini dilakukan
dengan membongkar seluruh lima teras bujur sangkar dan memperbaiki sistem drainase dengan
menanamkan saluran air ke dalam monumen. Lapisan saringan dan kedap air ditambahkan.
Proyek kolosal ini melibatkan 600 orang untuk memulihkan monumen dan menghabiskan biaya
total sebesar 6.901.243 dollar AS.[42] Setelah renovasi, UNESCO memasukkan Borobudur ke
dalam daftar Situs Warisan Dunia pada tahun 1991.[3] Borobudur masuk dalam kriteria Budaya (i)
"mewakili mahakarya kretivitas manusia yang jenius", (ii) "menampilkan pertukaran penting
dalam nilai-nilai manusiawi dalam rentang waktu tertentu di dalam suatu wilayah budaya di
dunia, dalam pembangunan arsitektur dan teknologi, seni yang monumental, perencanaan tata
kota dan rancangan lansekap", dan (vi) "secara langsung dan jelas dihubungkan dengan suatu
peristiwa atau tradisi yang hidup, dengan gagasan atau dengan kepercayaan, dengan karya seni
artistik dan karya sastra yang memiliki makna universal yang luar biasa".[3]
Turis di Borobudur
Setelah pemugaran besar-besaran pada 1973 yang didukung oleh UNESCO,[39] Borobudur
kembali menjadi pusat keagamaan dan ziarah agama Buddha. Sekali setahun pada saat bulan
purnama sekitar bulan Mei atau Juni, umat Buddha di Indonesia memperingati hari suci Waisak,
hari yang memperingati kelahiran, wafat, dan terutama peristiwa pencerahan Siddhartha
Gautama yang mencapai tingkat kebijaksanaan tertinggi menjadi Buddha Shakyamuni. Waisak
adalah hari libur nasional di Indonesia[43] dan upacara peringatan dipusatkan di tiga candi Buddha
utama dengan ritual berjalan dari Candi Mendut menuju Candi Pawon dan prosesi berakhir di
Candi Borobudur.[44]
Pada 21 Januari 1985, sembilan stupa rusak parah akibat sembilan bom.[45] Pada 1991 seorang
penceramah muslim beraliran ekstrem yang tunanetra, Husein Ali Al Habsyie, dihukum penjara
seumur hidup karena berperan sebagai otak serangkaian serangan bom pada pertengahan
dekade 1980-an, termasuk serangan atas Candi Borobudur.[46] Dua anggota kelompok ekstrem
sayap kanan dijatuhi hukuman 20 tahun penjara pada tahun 1986 dan seorang lainnya
menerima hukuman 13 tahun penjara.
Pada 27 Mei 2006, gempa berkekuatan 6,2 skala mengguncang pesisir selatan Jawa Tengah.
Bencana alam ini menghancurkan kawasan dengan korban terbanyak di Yogyakarta, akan tetapi
Borobudur tetap utuh.[48]
Pada 28 Agustus 2006 simposium bertajuk Trail of Civilizations (jejak peradaban) digelar di
Borobudur atas prakarsa Gubernur Jawa Tengah dan Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan,
juga hadir perwakilan UNESCO dan negara-negara mayoritas Buddha di Asia Tenggara, seperti
Thailand, Myanmar, Laos, Vietnam, dan Kamboja.[49] Puncak acara ini adalah pagelaran
sendratari kolosal "Mahakarya Borobudur" di depan Candi Borobudur. Tarian ini diciptakan
dengan berdasarkan gaya tari tradisional Jawa, musik gamelan, dan busananya, menceritakan
tentang sejarah pembangunan Borobudur. Setelah simposium ini, sendratari Mahakarya
Borobudur kembali dipergelarkan beberapa kali, khususnya menjelang peringatan Waisak yang
biasanya turut dihadiri Presiden Republik Indonesia.
Pada 11 Februari 2022, pemerintah meresmikan status Candi Borobudur (bersama dengan
Candi Pawon dan Mendut) kembali sebagai tempat peribadatan umat Buddhis di Indonesia dan
dunia. Selain Candi Borobudur, Candi Prambanan juga diresmikan statusnya sebagai tempat
peribadatan umat Hindu. Pengembalian status ini dicanangkan melalui sebuah nota
kesepakatan yang disepakati antara Pemerintah Daerah Yogyakarta, Pemerintah Provinsi
Jateng, Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi,
Kementerian BUMN, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Nota kesepakatan ini
bertujuan untuk mengembalikan fungsi keempat candi tersebut sebagai tempat peribadatan,
setelah sebelumnya lebih banyak menjadi objek penelitian, cagar pariwisata, dan cagar budaya.
[10]
Rehabilitasi[sunting | sunting sumber]
Borobudur sangat terdampak letusan Gunung Merapi pada Oktober dan November 2010. Debu
vulkanik dari Merapi menutupi kompleks candi yang berjarak 28 kilometer (17 mi) arah barat-
barat daya dari kawah Merapi. Lapisan debu vulkanik mencapai ketebalan 2,5 sentimeter (1 in)
[51]
menutupi bangunan candi kala letusan 3–5 November 2010, debu juga mematikan tanaman di
sekitar, dan para ahli mengkhawatirkan debu vulkanik yang secara kimia bersifat asam dapat
merusak batuan bangunan bersejarah ini. Kompleks candi ditutup 5 sampai 9 November 2010
untuk membersihkan luruhan debu.[52][53]
Mencermati upaya rehabilitasi Borobudur setelah letusan Merapi 2010, UNESCO telah
menyumbangkan dana sebesar 3 juta dollar AS untuk mendanai upaya rehabilitasi.
Membersihkan candi dari endapan debu vulkanik akan menghabiskan waktu sedikitnya 6 bulan,
disusul penghijauan kembali dan penanaman pohon di lingkungan sekitar untuk menstabilkan
suhu, dan terakhir menghidupkan kembali kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat setempat.
[54]
Lebih dari 55.000 blok batu candi harus dibongkar untuk memperbaiki sistem tata air dan
drainase yang tersumbat adonan debu vulkanik bercampur air hujan. Restorasi berakhir
November 2011, lebih awal dari perkiraan semula.[55]
Pada tahun 1885, secara tidak disengaja ditemukan struktur tersembunyi di kaki Borobudur.
[36]
Kaki tersembunyi ini terdapat relief yang 160 di antaranya adalah berkisah
tentang Karmawibhangga. Pada relief panel ini terdapat ukiran aksara yang merupakan petunjuk
bagi pengukir untuk membuat adegan dalam gambar relief.[57] Kaki asli ini tertutup oleh
penambahan struktur batu yang membentuk pelataran yang cukup luas, fungsi sesungguhnya
masih menjadi misteri. Awalnya diduga bahwa penambahan kaki ini untuk mencegah
kelongsoran monumen.[57] Teori lain mengajukan bahwa penambahan kaki ini disebabkan
kesalahan perancangan kaki asli, dan tidak sesuai dengan Wastu Sastra, kitab India mengenai
arsitektur dan tata kota.[36] Apapun alasan penambahan kaki ini, penambahan dan pembuatan
kaki tambahan ini dilakukan dengan teliti dengan mempertimbangkan alasan keagamaan,
estetik, dan teknis.
Kamadhatu
Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai
oleh kama atau "nafsu rendah". Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu
yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian kaki asli yang
tertutup struktur tambahan ini terdapat 160 panel cerita Karmawibhangga yang kini
tersembunyi. Sebagian kecil struktur tambahan di sudut tenggara disisihkan sehingga
orang masih dapat melihat beberapa relief pada bagian ini. Struktur batu andesit kaki
tambahan yang menutupi kaki asli ini memiliki volume 13.000 meter kubik.[5]
Rupadhatu
Empat undak teras yang membentuk lorong keliling yang pada dindingnya dihiasi galeri
relief oleh para ahli dinamakan Rupadhatu. Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu
terdiri dari empat lorong dengan 1.300 gambar relief. Panjang relief seluruhnya 2,5 km
dengan 1.212 panel berukir dekoratif. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat
membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini
melambangkan alam antara yakni, antara alam bawah dan alam atas. Pada bagian
Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada ceruk atau relung dinding di atas
pagar langkan atau selasar. Aslinya terdapat 432 arca Buddha di dalam relung-relung
terbuka di sepanjang sisi luar di pagar langkan.[5] Pada pagar langkan terdapat sedikit
perbedaan rancangan yang melambangkan peralihan dari ranah Kamadhatu menuju
ranah Rupadhatu; pagar langkan paling rendah dimahkotai ratna, sedangkan empat
tingkat pagar langkan diatasnya dimahkotai stupika (stupa kecil). Bagian teras-teras
bujursangkar ini kaya akan hiasan dan ukiran relief.
Arupadhatu
Berbeda dengan lorong-lorong Rupadhatu yang kaya akan relief, mulai lantai kelima
hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu (yang
berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini
melambangkan alam atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan
ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Pada pelataran lingkaran
terdapat 72 dua stupa kecil berterawang yang tersusun dalam tiga barisan yang
mengelilingi satu stupa besar sebagai stupa induk. Stupa kecil berbentuk lonceng ini
disusun dalam 3 teras lingkaran yang masing-masing berjumlah 32, 24, dan 16 (total 72
stupa). Dua teras terbawah stupanya lebih besar dengan lubang berbentuk belah
ketupat, satu teras teratas stupanya sedikit lebih kecil dan lubangnya berbentuk kotak
bujur sangkar. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup
berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu masih tampak
samar-samar. Rancang bangun ini dengan cerdas menjelaskan konsep peralihan
menuju keadaan tanpa wujud, yakni arca Buddha itu ada tetapi tak terlihat.[butuh rujukan]
Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud yang sempurna
dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan polos
tanpa lubang-lubang.[butuh rujukan] Di dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan patung
Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga Buddha yang tidak rampung, yang
disalahsangkakan sebagai patung 'Adibuddha', padahal melalui penelitian lebih
lanjut tidak pernah ada patung di dalam stupa utama, patung yang tidak selesai itu
merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu. Menurut kepercayaan
patung yang salah dalam proses pembuatannya memang tidak boleh dirusak.
Penggalian arkeologi yang dilakukan di halaman candi ini menemukan banyak
patung seperti ini. Stupa utama yang dibiarkan kosong diduga bermakna
kebijaksanaan tertinggi, yaitu kasunyatan, kesunyian dan ketiadaan sempurna di
mana jiwa manusia sudah tidak terikat hasrat, keinginan, dan bentuk serta terbebas
dari lingkaran samsara.
Borobudur amat berbeda dengan rancangan candi lainnya, candi ini tidak dibangun
di atas permukaan datar, tetapi di atas bukit alami. Akan tetapi teknik
pembangunannya serupa dengan candi-candi lain di Jawa. Borobudur tidak memiliki
ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Yang ada ialah lorong-lorong
panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi
candi tingkat demi tingkat. Secara umum rancang bangun Borobudur mirip
dengan piramida berundak. Di lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan
melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Borobudur
mungkin pada awalnya berfungsi lebih sebagai sebuah stupa, daripada kuil atau
candi.[58] Stupa memang dimaksudkan sebagai bangunan suci untuk memuliakan
Buddha. Terkadang stupa dibangun sebagai lambang penghormatan dan pemuliaan
kepada Buddha. Sementara kuil atau candi lebih berfungsi sebagai rumah ibadah.
Rancangannya yang rumit dari monumen ini menunjukkan bahwa bangunan ini
memang sebuah bangunan tempat peribadatan. Bentuk bangunan tanpa ruangan
dan struktur teras bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari
bentuk punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa
prasejarah Indonesia.
Struktur bangunan dapat dibagi atas tiga bagian: dasar (kaki), tubuh, dan puncak.
[59]
Dasar berukuran 123×123 m (403.5 × 403.5 ft) dengan tinggi 4 meter (13 ft).
[58]
Tubuh candi terdiri atas lima batur teras bujur sangkar yang makin mengecil di
atasnya. Teras pertama mundur 7 meter (23 ft) dari ujung dasar teras. Tiap teras
berikutnya mundur 2 meter (6,6 ft), menyisakan lorong sempit pada tiap tingkatan.
Bagian atas terdiri atas tiga teras melingkar, tiap tingkatan menopang barisan stupa
berterawang yang disusun secara konsentris. Terdapat stupa utama yang terbesar
di tengah; dengan pucuk mencapai ketinggian 35 meter (115 ft) dari permukaan
tanah. Tinggi asli Borobudur termasuk chattra (payung susun tiga) yang kini dilepas
adalah 42 meter (138 ft) . Tangga terletak pada bagian tengah keempat sisi mata
angin yang membawa pengunjung menuju bagian puncak monumen melalui
serangkaian gerbang pelengkung yang dijaga 32 arca singa. Gawang pintu gerbang
dihiasi ukiran Kala pada puncak tengah lowong pintu dan ukiran makara yang
menonjol di kedua sisinya. Motif Kala-Makara lazim ditemui dalam arsitektur pintu
candi di Jawa. Pintu utama terletak di sisi timur, sekaligus titik awal untuk membaca
kisah relief. Tangga ini lurus terus tersambung dengan tangga pada lereng bukit
yang menghubungkan candi dengan dataran di sekitarnya.
Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam
bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sanskerta daksina yang artinya
ialah timur.[67] Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain relief-relief
cerita jātaka. Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa dimulai, dan berakhir
pada pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya, mulainya di sebelah kiri dan
berakhir di sebelah kanan pintu gerbang itu. Maka secara nyata bahwa sebelah
timur adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi,
artinya bahwa candi menghadap ke timur meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar.
Adapun susunan dan pembagian relief cerita pada dinding dan pagar langkan candi
adalah sebagai berikut.
Bagan Relief
Kaki candi
----- Karmawibhangga 160
asli
a. Lalitawistara 120
dinding
b. jataka/awadana 120
Tingkat I
a. jataka/awadana 372
langkan
b. jataka/awadana 128
langkan Gandawyuha 88
Bagan Relief
dinding Gandawyuha 84
Tingkat IV
langkan Gandawyuha 72
Jumlah 1460
Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara singkat bermakna sebagai
berikut:
Karmawibhangga
Relung di pagar
Wara Kederma Ratnasa Sela langkan 4 baris
mudra wanan mbhava tan pertama Rupad
hatu sisi selatan
Relung di pagar
Semadi
Dhyana Amitabh Bar langkan 4 baris
atau
mudra a at pertama Rupad
meditasi
hatu sisi barat
Relung di pagar
Abhaya Ketidakge Amogha Utar langkan 4 baris
mudra ntaran siddhi a pertama Rupad
hatu sisi utara
Relung di pagar
langkan baris
Witarka Wairoca Ten
Akal budi kelima
mudra na gah
(teratas) Rupad
hatu semua sisi
Di dalam 72
Dharma Pemutara
Wairoca Ten stupa di 3 teras
chakra n roda
na gah melingkar Arup
mudra dharma
adhatu
Warisan[sunting | sunting sumber]
Presiden Sukarno mengajak Nehru mengunjungi Borobudur
pada bulan Juni 1950.
Pencapaian estetika dan keahlian teknik arsitektur yang
ditampilkan Borobudur, serta ukurannya yang luar biasa,
menjadi bukti keagungan masa lalu, dan telah membangkitkan
kebanggaan bagi Bangsa Indonesia. Sebagaimana
peran Angkor Wat bagi Bangsa Kamboja, Borobudur telah
menjadi simbol yang kuat bagi Indonesia — sebagai saksi
kejayaan masa lalu. Sukarno menegaskannya dengan
mengajak tamu-tamu negara mengunjunginya. Sementara
pemerintahan Suharto — menyadari makna simbolis dan
potensi ekonominya — secara tekun menggelar proyek
pemugaran untuk memulihkan monumen ini dengan bantuan
UNESCO. Banyak museum di Indonesia memamerkan model
skala kecil atau replika Borobudur. Monumen ini telah menjadi
ikon, dikelompokkan bersama wayang dan gamelan sebagai
wujud budaya klasik Jawa yang menjadi inspirasi Indonesia.[70]
Apsara di Borobudur.