Anda di halaman 1dari 29

Candi Borobudur (Jawa: ꦕꦟ꧀ꦝꦶꦧꦫꦧꦸꦝꦸꦂ , translit.

Candhi Båråbudhur) adalah


sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Candi ini
terletak kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta,
dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi dengan banyak stupa ini didirikan oleh para
penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa
pemerintahan wangsa Syailendra. Borobudur adalah candi atau kuil Buddha terbesar di dunia,[1]
[2]
sekaligus salah satu monumen Buddha terbesar di dunia.[3]

Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang di atasnya terdapat tiga
pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat
504 arca Buddha.[4] Borobudur memiliki koleksi relief Buddha terlengkap dan terbanyak di dunia.
[3]
Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga
barisan melingkar 72 stupa berlubang yang di dalamnya terdapat arca Buddha tengah duduk
bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap
tangan) Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).

Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk
memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk menuntun umat manusia
beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha.
[5]
Para peziarah masuk melalui sisi timur dan memulai ritual di dasar candi dengan berjalan
melingkari bangunan suci ini searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui
tiga tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah Kāmadhātu (ranah
hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak berwujud). Dalam
perjalanannya para peziarah berjalan melalui serangkaian lorong dan tangga dengan
menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada dinding dan pagar
langkan.

Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-10 seiring dipindahnya pusat
Kerajaan Mataram Kuno ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok.[6] Dunia mulai menyadari keberadaan
bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang saat itu menjabat
sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu Borobudur telah mengalami
serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran (perbaikan kembali). Proyek pemugaran
terbesar digelar pada kurun waktu 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik
Indonesia dan UNESCO, kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan
Dunia.[3]

Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun umat
Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk
memperingati Trisuci Waisak. Terkait kepariwisataan, Borobudur adalah objek wisata tunggal di
Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan.[7][8][9]

Pada 11 Februari 2022, pemerintah meresmikan status Candi Borobudur kembali sebagai
tempat peribadatan umat Buddha di Indonesia dan dunia.[10]

Nama Borobudur[sunting | sunting sumber]


Stupa Borobudur dengan jajaran perbukitan Menoreh.
Selama berabad-abad bangunan suci ini sempat terlupakan.
Dalam bahasa Indonesia, bangunan keagamaan purbakala disebut candi; istilah candi juga
digunakan secara lebih luas untuk merujuk kepada semua bangunan purbakala yang berasal
dari masa Hindu-Buddha di Nusantara, misalnya gerbang, gapura, dan petirtaan (kolam dan
pancuran pemandian). Asal mula nama Borobudur tidak jelas,[11] meskipun memang nama asli
dari kebanyakan candi di Indonesia tidak diketahui.[11] Nama Borobudur pertama kali ditulis dalam
buku "Sejarah Pulau Jawa" karya Sir Thomas Stamford Raffles.[12] Raffles menulis mengenai
monumen bernama borobudur, akan tetapi tidak ada dokumen yang lebih tua yang menyebutkan
nama yang sama persis.[11] Satu-satunya naskah Jawa kuno yang memberi petunjuk mengenai
adanya bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk kepada Borobudur
adalah Nagarakretagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1365.[13]

Nama Bore-Budur, yang kemudian ditulis BoroBudur, kemungkinan ditulis Raffles dalam tata
bahasa Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu yaitu desa Bore (Boro);
kebanyakan candi memang sering kali dinamai berdasarkan desa tempat candi itu berdiri.
Raffles juga menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin berkaitan dengan istilah Buda dalam
bahasa Jawa yang berarti "purba"– maka bermakna, "Boro purba".[11] Akan tetapi arkeolog lain
beranggapan bahwa nama Budur berasal dari istilah bhudhara yang berarti gunung.[14]

Banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa
nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya "gunung" (bhudara) di
mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat
lainnya. Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan "para Buddha" yang karena pergeseran
bunyi menjadi borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata "bara" dan
"beduhur". Kata bara konon berasal dari kata vihara, sementara ada pula penjelasan lain di
mana bara berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya kompleks candi atau biara
dan beduhur artinya ialah "tinggi", atau mengingatkan dalam bahasa Bali yang berarti "di atas".
Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.

Poerbatjaraka berpendapat bahwa arti kata boro adalah "biara", tetapi dibantah oleh Krom yang
menyebutkan bahwa Borobudur bukanlah biara, melainkan stupa. Menurut Krom, berdasarkan
perbandingan dengan stupa yang ada di India, biasanya stupa tidak berdiri sendiri tetapi ada
biara di dekatnya. Biara itu berfungsi sebagai tempat tinggal para biksu yang bertanggung jawab
atas pemeliharaan tempat suci tersebut dan juga untuk menampung peziarah dari tempat lain.
Jika dilihat dari besarnya Candi Borobudur, biara tersebut berukuran cukup besar tetapi sudah
tidak ada lagi jejaknya karena dibangun dari kayu, lokasinya pun juga masih belum diketahui.[15]

Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor


pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan prasasti
Karangtengah dan Tri Tepusan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah
raja Mataram ke 2 Rakai Panangkaran 770 M dan di lanjutkan
wangsa Syailendra bernama Samaratungga, yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824
M. Bangunan dapat diselesaikan pada masa Rakai Pikatan Dan Pramudawardhani.
Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad. Dalam prasasti
Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah bebas pajak) oleh
Çrī Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara Kamūlān yang disebut Bhūmisambhāra.
Istilah Kamūlān sendiri berasal dari kata mula yang berarti tempat asal muasal, bangunan suci
[16]

untuk memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa Sailendra. Casparis


memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa Sanskerta yang berarti "Bukit
himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa", adalah nama asli Borobudur.[17]

Lingkungan sekitar[sunting | sunting sumber]

Borobudur, Pawon, dan Mendut


terbujur dalam satu garis lurus yang menunjukan kesatuan perlambang
Terletak sekitar 40 kilometer (25 mi) barat laut dari Kota Yogyakarta, Borobudur terletak di atas
bukit pada dataran yang dikeliling dua pasang gunung kembar; Gunung Sindoro-Sumbing di
sebelah barat laut dan Merbabu-Merapi di sebelah timur laut, di sebelah utaranya terdapat
Bukit Tidar, lebih dekat di sebelah selatan terdapat jajaran perbukitan Menoreh, serta candi ini
terletak dekat pertemuan dua sungai yaitu Sungai Progo dan Sungai Elo di sebelah timur.
Menurut legenda Jawa, daerah yang dikenal sebagai Dataran Kedu adalah tempat yang
dianggap suci dalam kepercayaan Jawa dan disanjung sebagai 'Taman pulau Jawa' karena
keindahan alam dan kesuburan tanahnya.[18]

Tiga candi serangkai[sunting | sunting sumber]


Selain Borobudur, terdapat beberapa candi Buddha dan Hindu di kawasan ini. Pada masa
penemuan dan pemugaran di awal abad ke-20 ditemukan candi Buddha lainnya yaitu Candi
Mendut dan Candi Pawon yang terbujur membentang dalam satu garis lurus.[19] Awalnya diduga
hanya suatu kebetulan, akan tetapi berdasarkan dongeng penduduk setempat, dulu terdapat
jalan berlapis batu yang dipagari pagar langkan di kedua sisinya yang menghubungkan ketiga
candi ini. Tidak ditemukan bukti fisik adanya jalan raya beralas batu dan berpagar dan mungkin
ini hanya dongeng belaka, akan tetapi para pakar menduga memang ada kesatuan perlambang
dari ketiga candi ini. Ketiga candi ini (Borobudur-Pawon-Mendut) memiliki kemiripan langgam
arsitektur dan ragam hiasnya dan memang berasal dari periode yang sama yang memperkuat
dugaan adanya keterkaitan ritual antar ketiga candi ini. Keterkaitan suci pasti ada, akan tetapi
bagaimanakah proses ritual keagamaan ziarah dilakukan, belum diketahui secara pasti.[13]

Selain Candi Mendut dan Pawon, di sekitar Borobudur juga ditemukan beberapa peninggalan
purbakala lainnya, di antaranya berbagai temuan tembikar seperti periuk dan kendi yang
menunjukkan bahwa di sekitar Borobudur dulu terdapat beberapa wilayah hunian. Temuan-
temuan purbakala di sekitar Borobudur kini disimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur,
yang terletak di sebelah utara candi bersebelahan dengan Museum Samudra Raksa. Tidak
seberapa jauh di sebelah utara Candi Pawon ditemukan reruntuhan bekas candi Hindu yang
disebut Candi Banon. Pada candi ini ditemukan beberapa arca dewa-dewa utama Hindu dalam
keadaan cukup baik yaitu Shiwa, Wishnu, Brahma, serta Ganesha. Akan tetapi batu asli Candi
Banon amat sedikit ditemukan sehingga tidak mungkin dilakukan rekonstruksi. Pada saat
penemuannya arca-arca Banon diangkut ke Batavia (kini Jakarta) dan kini disimpan di Museum
Nasional Indonesia.
Danau purba[sunting | sunting sumber]

Borobudur di tengah kehijauan


alam dataran Kedu. Diduga dulu kawasan di sekeliling Borobudur adalah danau purba.
Tidak seperti candi lainnya yang dibangun di atas tanah datar, Borobudur dibangun di atas bukit
dengan ketinggian 265 m (869 ft) dari permukaan laut dan 15 m (49 ft) di atas dasar danau
purba yang telah mengering.[20] Keberadaan danau purba ini menjadi bahan perdebatan yang
hangat di kalangan arkeolog pada abad ke-20; dan menimbulkan dugaan bahwa Borobudur
dibangun di tepi atau bahkan di tengah danau. Pada tahun 1931, seorang seniman dan pakar
arsitektur Hindu Buddha, W.O.J. Nieuwenkamp, mengajukan teori bahwa Dataran Kedu dulunya
adalah sebuah danau, dan Borobudur dibangun melambangkan bunga teratai yang mengapung
di atas permukaan danau.[14] Bunga teratai baik dalam bentuk padma (teratai
merah), utpala (teratai biru), ataupun kumuda (teratai putih) dapat ditemukan dalam semua
ikonografi seni keagamaan Buddha. sering kali digenggam
oleh Boddhisatwa sebagai laksana (lambang regalia), menjadi alas duduk singgasana Buddha
atau sebagai lapik stupa. Bentuk arsitektur Borobudur sendiri menyerupai bunga teratai, dan
postur Budha di Borobudur melambangkan Sutra Teratai yang kebanyakan ditemui dalam
naskah keagamaan Buddha mahzab Mahayana (aliran Buddha yang kemudian menyebar ke
Asia Timur). Tiga pelataran melingkar di puncak Borobudur juga diduga melambangkan kelopak
bunga teratai.[20] Akan tetapi teori Nieuwenkamp yang terdengar luar biasa dan fantastis ini
banyak menuai bantahan dari para arkeolog. pada daratan di sekitar monumen ini telah
ditemukan bukti-bukti arkeologi yang membuktikan bahwa kawasan sekitar Borobudur pada
masa pembangunan candi ini adalah daratan kering, bukan dasar danau purba.

Sementara itu pakar geologi justru mendukung pandangan Nieuwenkamp dengan menunjukkan
bukti adanya endapan sedimen lumpur di dekat situs ini.[21] Sebuah penelitian stratigrafi, sedimen
dan analisis sampel serbuk sari yang dilakukan tahun 2000 mendukung keberadaan danau
purba di lingkungan sekitar Borobudur,[20] yang memperkuat gagasan Nieuwenkamp. Ketinggian
permukaan danau purba ini naik-turun berubah-ubah dari waktu ke waktu, dan bukti
menunjukkan bahwa dasar bukit dekat Borobudur pernah kembali terendam air dan menjadi
tepian danau sekitar abad ke-13 dan ke-14. Aliran sungai dan aktivitas vulkanik diduga memiliki
andil dalam mengubah bentang alam dan topografi lingkungan sekitar Borobudur termasuk
danau nya. Salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia adalah Gunung Merapi yang
terletak cukup dekat dengan Borobudur dan telah aktif sejak masa Pleistosen.[22]

Sejarah[sunting | sunting sumber]


Pembangunan[sunting | sunting sumber]
Lukisan karya G.B. Hooijer (dibuat kurun 1916—1919) merekonstruksi suasana di
Borobudur pada masa jayanya
Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang membangun Borobudur dan apa
kegunaannya.[23] Waktu pembangunannya diperkirakan berdasarkan perbandingan antara jenis
aksara yang tertulis di kaki tertutup Karmawibhangga dengan jenis aksara yang lazim digunakan
pada prasasti kerajaan abad ke-8 dan ke-9. Diperkirakan Borobudur dibangun sekitar tahun 800
masehi.[23] Kurun waktu ini sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M, masa puncak kejayaan
wangsa Syailendra di Jawa Tengah,[24] yang kala itu menguasai tahta Kerajaan Medang.
Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan waktu 75 - 100 tahun lebih dan benar-
benar dirampungkan pada masa pemerintahan raja Samaratungga pada tahun 825.[25][26]
Terdapat kesimpangsiuran fakta mengenai apakah raja yang berkuasa di Jawa kala itu
beragama Hindu atau Buddha. Wangsa Sailendra diketahui sebagai penganut agama Buddha
aliran Mahayana yang taat, akan tetapi melalui temuan prasasti Sojomerto menunjukkan bahwa
mereka mungkin awalnya beragama Hindu Siwa.[25] Pada kurun waktu itulah dibangun berbagai
candi Hindu dan Buddha di Dataran Kedu. Berdasarkan Prasasti Canggal, pada tahun 732 M,
raja beragama Siwa Sanjaya memerintahkan pembangunan bangunan suci Shiwalingga yang
dibangun di perbukitan Gunung Wukir, letaknya hanya 10 km (6,2 mi) sebelah timur dari
Borobudur.[27] Candi Buddha Borobudur dibangun pada kurun waktu yang hampir bersamaan
dengan candi-candi di Dataran Prambanan, meskipun demikian Borobudur diperkirakan sudah
rampung sekitar 825 M, dua puluh lima tahun lebih awal sebelum dimulainya pembangunan
candi Siwa Prambanan sekitar tahun 850 M.

Pembangunan candi-candi Buddha — termasuk Borobudur — saat itu dimungkinkan karena


pewaris Sanjaya, Rakai Panangkaran memberikan izin kepada umat Buddha untuk membangun
candi.[28] Bahkan untuk menunjukkan penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan
desa Kalasan kepada sangha (komunitas Buddha), untuk pemeliharaan dan pembiayaan Candi
Kalasan yang dibangun untuk memuliakan Bodhisattwadewi Tara, sebagaimana disebutkan
dalam Prasasti Kalasan berangka tahun 778 Masehi.[28] Petunjuk ini dipahami oleh para arkeolog,
bahwa pada masyarakat Jawa kuno, agama tidak pernah menjadi masalah yang dapat menuai
konflik, dengan dicontohkan raja penganut agama Hindu bisa saja menyokong dan mendanai
pembangunan candi Buddha, demikian pula sebaliknya.[29] Akan tetapi diduga terdapat
persaingan antara dua wangsa kerajaan pada masa itu — wangsa Syailendra yang menganut
Buddha dan wangsa Sanjaya yang memuja Siwa — yang kemudian wangsa Sanjaya
memenangi pertempuran pada tahun 856 di perbukitan Ratu Boko.[30] Ketidakjelasan juga timbul
mengenai candi Lara Jonggrang di Prambanan, candi megah yang dipercaya dibangun oleh
sang pemenang Rakai Pikatan sebagai jawaban wangsa Sanjaya untuk menyaingi kemegahan
Borobudur milik wangsa Syailendra,[30] akan tetapi banyak pihak percaya bahwa terdapat
suasana toleransi dan kebersamaan yang penuh kedamaian antara kedua wangsa ini yaitu
pihak Sailendra juga terlibat dalam pembangunan Candi Siwa di Prambanan.[31]

Borobudur diterlantarkan[sunting | sunting sumber]

Meletusnya Gunung Merapi diduga sebagai penyebab


utama diterlantarkannya Borobudur
Borobudur tersembunyi dan telantar selama berabad-abad terkubur di bawah lapisan tanah dan
debu vulkanik yang kemudian ditumbuhi pohon dan semak belukar sehingga Borobudur kala itu
benar-benar menyerupai bukit. Alasan sesungguhnya penyebab Borobudur ditinggalkan hingga
kini masih belum diketahui. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan bangunan suci ini tidak lagi
menjadi pusat ziarah umat Buddha. Pada kurun 928 dan 1006, Raja Mpu Sindok memindahkan
ibu kota kerajaan Medang ke kawasan Jawa Timur setelah serangkaian letusan gunung berapi;
tidak dapat dipastikan apakah faktor inilah yang menyebabkan Borobudur ditinggalkan, akan
tetapi beberapa sumber menduga bahwa sangat mungkin Borobudur mulai ditinggalkan pada
periode ini.[6][20] Bangunan suci ini disebutkan secara samar-samar sekitar tahun 1365, oleh Mpu
Prapanca dalam naskahnya Nagarakretagama yang ditulis pada masa kerajaan Majapahit. Ia
menyebutkan adanya "Wihara di Budur". Selain itu Soekmono (1976) juga mengajukan pendapat
populer bahwa candi ini mulai benar-benar ditinggalkan sejak penduduk sekitar beralih
keyakinan kepada Islam pada abad ke-15.[6]
Monumen ini tidak sepenuhnya dilupakan, melalui dongeng rakyat Borobudur beralih dari
sebagai bukti kejayaan masa lampau menjadi kisah yang lebih bersifat tahayul yang dikaitkan
dengan kesialan, kemalangan dan penderitaan. Dua Babad Jawa yang ditulis abad ke-18
menyebutkan nasib buruk yang dikaitkan dengan monumen ini. Menurut Babad Tanah
Jawi (Sejarah Jawa), monumen ini merupakan faktor fatal bagi Mas Dana, pembangkang yang
memberontak kepada Pakubuwono I, raja Kesultanan Mataram pada 1709.[6] Disebutkan bahwa
bukit "Redi Borobudur" dikepung dan para pemberontak dikalahkan dan dihukum mati oleh raja.
Dalam Babad Mataram (Sejarah Kerajaan Mataram), monumen ini dikaitkan dengan kesialan
putra mahkota Kesultanan Yogyakarta yang mengunjungi monumen ini pada 1757.[32] Meskipun
terdapat tabu yang melarang orang untuk mengunjungi monumen ini, "Sang Pangeran datang
mengunjungi satria yang terpenjara di dalam kurungan (arca buddha yang terdapat di dalam
stupa berterawang)". Setelah kembali ke keraton, sang Pangeran jatuh sakit dan meninggal
dunia sehari kemudian. Dalam kepercayaan Jawa pada masa Mataram Islam, reruntuhan
bangunan percandian dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh halus dan
dianggap wingit (angker) sehingga dikaitkan dengan kesialan atau kemalangan yang mungkin
menimpa siapa saja yang mengunjungi dan mengganggu situs ini. Meskipun secara ilmiah
diduga, mungkin setelah situs ini tidak terurus dan ditutupi semak belukar, tempat ini pernah
menjadi sarang wabah penyakit seperti demam berdarah atau malaria.

Penemuan kembali[sunting | sunting sumber]

Foto Borobudur oleh Isidore van Kinsbergen (1873)


setelah monumen ini dibersihkan dari tanaman yang tumbuh pada tubuh candi. Bendera
Belanda tampak pada stupa utama candi.Teras tertinggi setelah restorasi Van Erp. Stupa
utama memiliki menara dengan chattra (payung) susun tiga.
Setelah Perang Inggris-Belanda dalam memperebutkan pulau Jawa, Jawa di bawah
pemerintahan Britania (Inggris) pada kurun 1811 hingga 1816. Thomas Stamford Raffles ditunjuk
sebagai Gubernur Jenderal, dan ia memiliki minat istimewa terhadap sejarah Jawa. Ia
mengumpulkan artefak-artefak antik kesenian Jawa kuno dan membuat catatan mengenai
sejarah dan kebudayaan Jawa yang dikumpulkannya dari perjumpaannya dengan rakyat
setempat dalam perjalanannya keliling Jawa. Pada kunjungan inspeksinya di Semarang tahun
1814, ia dikabari mengenai adanya sebuah monumen besar jauh di dalam hutan dekat desa
Bumisegoro.[32] Karena berhalangan dan tugasnya sebagai Gubernur Jenderal, ia tidak dapat
pergi sendiri untuk mencari bangunan itu dan mengutus H.C. Cornelius, seorang insinyur
Belanda, untuk menyelidiki keberadaan bangunan besar ini. Dalam dua bulan, Cornelius beserta
200 bawahannya menebang pepohonan dan semak belukar yang tumbuh di bukit Borobudur
dan membersihkan lapisan tanah yang mengubur candi ini. Karena ancaman longsor, ia tidak
dapat menggali dan membersihkan semua lorong. Ia melaporkan penemuannya kepada Raffles
termasuk menyerahkan berbagai gambar sketsa candi Borobudur. Meskipun penemuan ini
hanya menyebutkan beberapa kalimat, Raffles dianggap berjasa atas penemuan kembali
monumen ini, serta menarik perhatian dunia atas keberadaan monumen yang pernah hilang ini.
[12]

Hartmann, seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda di Keresidenan Kedu meneruskan kerja
Cornelius dan pada 1835 akhirnya seluruh bagian bangunan telah tergali dan terlihat. Minatnya
terhadap Borobudur lebih bersifat pribadi daripada tugas kerjanya. Hartmann tidak menulis
laporan atas kegiatannya; secara khusus, beredar kabar bahwa ia telah menemukan arca
buddha besar di stupa utama.[33] Pada 1842, Hartmann menyelidiki stupa utama meskipun apa
yang ia temukan tetap menjadi misteri karena bagian dalam stupa kosong.

Pemerintah Hindia Belanda menugaskan F.C. Wilsen, seorang insinyur pejabat Belanda bidang
teknik, ia mempelajari monumen ini dan menggambar ratusan sketsa relief. J.F.G. Brumund juga
ditunjuk untuk melakukan penelitian lebih terperinci atas monumen ini, yang dirampungkannya
pada 1859. Pemerintah berencana menerbitkan artikel berdasarkan penelitian Brumund yang
dilengkapi sketsa-sketsa karya Wilsen, tetapi Brumund menolak untuk bekerja sama. Pemerintah
Hindia Belanda kemudian menugaskan ilmuwan lain, C. Leemans, yang
mengkompilasi monografi berdasarkan sumber dari Brumund dan Wilsen. Pada 1873, monograf
pertama dan penelitian lebih detil atas Borobudur diterbitkan, dilanjutkan edisi terjemahannya
dalam bahasa Prancis setahun kemudian.[33] Foto pertama monumen ini diambil pada 1873 oleh
ahli engrafi Belanda, Isidore van Kinsbergen.[34]

Penghargaan atas situs ini tumbuh perlahan. Untuk waktu yang cukup lama Borobudur telah
menjadi sumber cenderamata dan pendapatan bagi pencuri, penjarah candi, dan kolektor
"pemburu artefak". Kepala arca Buddha adalah bagian yang paling banyak dicuri. Karena
mencuri seluruh arca buddha terlalu berat dan besar, arca sengaja dijungkirkan dan dijatuhkan
oleh pencuri agar kepalanya terpenggal. Karena itulah kini di Borobudur banyak ditemukan arca
Buddha tanpa kepala. Kepala Buddha Borobudur telah lama menjadi incaran kolektor benda
antik dan museum-museum di seluruh dunia. Pada 1882, kepala inspektur artefak budaya
menyarankan agar Borobudur dibongkar seluruhnya dan reliefnya dipindahkan ke museum
akibat kondisi yang tidak stabil, ketidakpastian dan pencurian yang marak di monumen.
[34]
Akibatnya, pemerintah menunjuk Groenveldt, seorang arkeolog, untuk menggelar penyelidikan
menyeluruh atas situs dan memperhitungkan kondisi aktual kompleks ini; laporannya
menyatakan bahwa kekhawatiran ini berlebihan dan menyarankan agar bangunan ini dibiarkan
utuh dan tidak dibongkar untuk dipindahkan.

Bagian candi Borobudur dicuri sebagai benda cenderamata, arca dan ukirannya diburu kolektor
benda antik. Tindakan penjarahan situs bersejarah ini bahkan salah satunya direstui Pemerintah
Kolonial. Pada tahun 1896, Raja Thailand, Chulalongkorn ketika mengunjungi Jawa di Hindia
Belanda (kini Indonesia) menyatakan minatnya untuk memiliki beberapa bagian dari Borobudur.
Pemerintah Hindia Belanda mengizinkan dan menghadiahkan delapan gerobak penuh arca dan
bagian bangunan Borobudur. Artefak yang diboyong ke Thailand antara lain; lima arca Buddha
bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga
dan gerbang, dan arca penjaga dwarapala yang pernah berdiri di Bukit Dagi — beberapa ratus
meter di barat laut Borobudur. Beberapa artefak ini, yaitu arca singa dan dwarapala, kini
dipamerkan di Museum Nasional Bangkok.[35]

Pemugaran[sunting | sunting sumber]


Borobudur kembali menarik perhatian pada 1885, ketika Yzerman, Ketua Masyarakat Arkeologi
di Yogyakarta, menemukan kaki tersembunyi.[36] Foto-foto yang menampilkan relief pada kaki
tersembunyi dibuat pada kurun 1890–1891.[37] Penemuan ini mendorong pemerintah Hindia
Belanda untuk mengambil langkah menjaga kelestarian monumen ini. Pada 1900, pemerintah
membentuk komisi yang terdiri atas tiga pejabat untuk meneliti monumen ini: Brandes, seorang
sejarawan seni, Theodoor van Erp, seorang insinyur yang juga anggota tentara Belanda, dan
Van de Kamer, insinyur ahli konstruksi bangunan dari Departemen Pekerjaan Umum.
Penanaman beton dan pipa PVC untuk memperbaiki sistem

drainase Borobudur pada pemugaran tahun 1973


Sistem pembuangan air hujan di candi Borobudur
Pada 1902, komisi ini mengajukan proposal tiga langkah rencana pelestarian Borobudur kepada
pemerintah.[butuh rujukan] Pertama, bahaya yang mendesak harus segera diatasi dengan mengatur
kembali sudut-sudut bangunan, memindahkan batu yang membahayakan batu lain di
sebelahnya, memperkuat pagar langkan pertama, dan memugar beberapa relung, gerbang,
stupa dan stupa utama. Kedua, memagari halaman candi, memelihara dan memperbaiki sistem
drainase dengan memperbaiki lantai dan pancuran. Ketiga, semua batuan lepas dan longgar
harus dipindahkan, monumen ini dibersihkan hingga pagar langkan pertama, batu yang rusak
dipindahkan dan stupa utama dipugar. Total biaya yang diperlukan pada saat itu ditaksir sekitar
48.800 Gulden.

Pemugaran dilakukan pada kurun 1907 dan 1911, menggunakan prinsip anastilosis dan dipimpin
Theodor van Erp.[38] Tujuh bulan pertama dihabiskan untuk menggali tanah di sekitar monumen
untuk menemukan kepala buddha yang hilang dan panel batu. Van Erp membongkar dan
membangun kembali tiga teras melingkar dan stupa di bagian puncak. Dalam prosesnya Van
Erp menemukan banyak hal yang dapat diperbaiki; ia mengajukan proposal lain yang disetujui
dengan anggaran tambahan sebesar 34.600 gulden. Van Erp melakukan rekonstruksi lebih
lanjut, ia bahkan dengan teliti merekonstruksi chattra (payung batu susun tiga) yang memahkotai
puncak Borobudur. Pada pandangan pertama, Borobudur telah pulih seperti pada masa
kejayaannya. Akan tetapi rekonstruksi chattra hanya menggunakan sedikit batu asli dan hanya
rekaan kira-kira. Karena dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan keasliannya, Van Erp
membongkar sendiri bagian chattra. Kini mastaka atau kemuncak Borobudur chattra susun tiga
tersimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur.

Akibat anggaran yang terbatas, pemugaran ini hanya memusatkan perhatian pada
membersihkan patung dan batu, Van Erp tidak memecahkan masalah drainase dan tata air.
Dalam 15 tahun, dinding galeri miring dan relief menunjukkan retakan dan kerusakan.[38] Van Erp
menggunakan beton yang menyebabkan terbentuknya kristal garam alkali dan kalsium
hidroksida yang menyebar ke seluruh bagian bangunan dan merusak batu candi. Hal ini
menyebabkan masalah sehingga renovasi lebih lanjut diperlukan.
Patung Buddha yang tidak sempurna di Museum
Karmawibhangga. Di belakangnya diletakkan chhatra atau parasol tiga lapis yang seharusnya
menghiasi puncak stupa utama borobudur tetapi diturunkan karena sering terkena sambaran
petir.
Pemugaran kecil-kecilan dilakukan sejak itu, tetapi tidak cukup untuk memberikan perlindungan
yang utuh. Pada akhir 1960-an, Pemerintah Indonesia telah mengajukan permintaan kepada
masyarakat internasional untuk pemugaran besar-besaran demi melindungi monumen ini. Pada
1973, rencana induk untuk memulihkan Borobudur dibuat.[39] Pemerintah Indonesia
dan UNESCO mengambil langkah untuk perbaikan menyeluruh monumen ini dalam suatu
proyek besar antara tahun 1975 dan 1982.[38] Proyek pemugaran ini dimulai sejak tahun 1969
dan merupakan bagian dari Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA atau PELITA) dari
Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berdasarkan SK
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 031b/1969 tertanggal 29 April 1969. [40] Proyek
pemugaran ini dipimpin oleh kepala proyek dan memiliki direktorium sebagai penghubung
proyek dan kontraktor. Pada tahun 1969, proyek pemugaran dipimpin oleh Ir. Ars. S. Samingoen
yang secara bersamaan merangkap sebagai bendaharawan proyek. Pada saat itu, S.
Samingoen menjabat sebagai Kepala Dinas Pemeliharaan dan Pemugaran Direktorat Purbakala
dan Sejarah sekaligus sebagai Pjs. Kepala Direktorat Purbakala dan Sejarah pada Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI. Pada Oktober 1970, terjadi pergantian kepemimpinan proyek
yang dipegang oleh Prof. Dr. Soekmono. [40] Pemugaran candi mencakup 8 sektor yang dibagi
menjadi 2 sifat teknis, yaitu Sektor Arkeo-Metrografi dan Sektor Tekno Arkeologi. Sektor Arkeo-
Metrografi berfokus pada pengukuran dan penggambaran, sedangkan sektor Tekno Arkeologi
berfokus pada penggalian, pemilihan batu, pencarian, dan penyesuaian jenis batu pada candi.
Namun, pada tahun 1973, Sektor Arkeo-Metrografi dilebur ke dalam Sektor Tekno Arkeologi
sehubungan pengukuran pada candi yang telah selesai.[41]

Pondasi diperkukuh dan segenap 1.460 panel relief dibersihkan. Pemugaran ini dilakukan
dengan membongkar seluruh lima teras bujur sangkar dan memperbaiki sistem drainase dengan
menanamkan saluran air ke dalam monumen. Lapisan saringan dan kedap air ditambahkan.
Proyek kolosal ini melibatkan 600 orang untuk memulihkan monumen dan menghabiskan biaya
total sebesar 6.901.243 dollar AS.[42] Setelah renovasi, UNESCO memasukkan Borobudur ke
dalam daftar Situs Warisan Dunia pada tahun 1991.[3] Borobudur masuk dalam kriteria Budaya (i)
"mewakili mahakarya kretivitas manusia yang jenius", (ii) "menampilkan pertukaran penting
dalam nilai-nilai manusiawi dalam rentang waktu tertentu di dalam suatu wilayah budaya di
dunia, dalam pembangunan arsitektur dan teknologi, seni yang monumental, perencanaan tata
kota dan rancangan lansekap", dan (vi) "secara langsung dan jelas dihubungkan dengan suatu
peristiwa atau tradisi yang hidup, dengan gagasan atau dengan kepercayaan, dengan karya seni
artistik dan karya sastra yang memiliki makna universal yang luar biasa".[3]

Peristiwa kontemporer[sunting | sunting sumber]


Biksu peziarah tengah bermeditasi di pelataran puncak

Turis di Borobudur
Setelah pemugaran besar-besaran pada 1973 yang didukung oleh UNESCO,[39] Borobudur
kembali menjadi pusat keagamaan dan ziarah agama Buddha. Sekali setahun pada saat bulan
purnama sekitar bulan Mei atau Juni, umat Buddha di Indonesia memperingati hari suci Waisak,
hari yang memperingati kelahiran, wafat, dan terutama peristiwa pencerahan Siddhartha
Gautama yang mencapai tingkat kebijaksanaan tertinggi menjadi Buddha Shakyamuni. Waisak
adalah hari libur nasional di Indonesia[43] dan upacara peringatan dipusatkan di tiga candi Buddha
utama dengan ritual berjalan dari Candi Mendut menuju Candi Pawon dan prosesi berakhir di
Candi Borobudur.[44]

Pada 21 Januari 1985, sembilan stupa rusak parah akibat sembilan bom.[45] Pada 1991 seorang
penceramah muslim beraliran ekstrem yang tunanetra, Husein Ali Al Habsyie, dihukum penjara
seumur hidup karena berperan sebagai otak serangkaian serangan bom pada pertengahan
dekade 1980-an, termasuk serangan atas Candi Borobudur.[46] Dua anggota kelompok ekstrem
sayap kanan dijatuhi hukuman 20 tahun penjara pada tahun 1986 dan seorang lainnya
menerima hukuman 13 tahun penjara.

Sendratari "Mahakarya Borobudur" digelar di Borobudur


Monumen ini adalah objek wisata tunggal yang paling banyak dikunjungi di Indonesia. Pada
1974 sebanyak 260.000 wisatawan yang 36.000 di antaranya adalah wisatawan mancanegara
telah mengunjungi monumen ini.[8] Angka ini meningkat hingga mencapai 2,5 juta pengunjung
setiap tahunnya (80% adalah wisatawan domestik) pada pertengahan 1990-an, sebelum Krisis
finansial Asia 1997.[9] Akan tetapi pembangunan pariwisata dikritik tidak melibatkan masyarakat
setempat sehingga beberapa konflik lokal kerap terjadi.[8] Pada 2003, penduduk dan wirausaha
skala kecil di sekitar Borobudur menggelar pertemuan dan protes dengan pembacaan puisi,
menolak rencana pemerintah provinsi yang berencana membangun kompleks mal berlantai tiga
yang disebut 'Java World'.[47] Upaya masyarakat setempat untuk mendapatkan penghidupan dari
sektor pariwisata Borobudur telah meningkatkan jumlah usaha kecil di sekitar Borobudur. Akan
tetapi usaha mereka untuk mencari nafkah sering kali malah mengganggu kenyamanan
pengunjung. Misalnya pedagang cenderamata asongan yang mengganggu dengan bersikeras
menjual dagangannya; meluasnya lapak-lapak pasar cenderamata sehingga saat hendak keluar
kompleks candi, pengunjung malah digiring berjalan jauh memutar memasuki labirin pasar
cenderamata. Jika tidak tertata maka semua ini membuat kompleks candi Borobudur semakin
semrawut.

Pada 27 Mei 2006, gempa berkekuatan 6,2 skala mengguncang pesisir selatan Jawa Tengah.
Bencana alam ini menghancurkan kawasan dengan korban terbanyak di Yogyakarta, akan tetapi
Borobudur tetap utuh.[48]

Pada 28 Agustus 2006 simposium bertajuk Trail of Civilizations (jejak peradaban) digelar di
Borobudur atas prakarsa Gubernur Jawa Tengah dan Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan,
juga hadir perwakilan UNESCO dan negara-negara mayoritas Buddha di Asia Tenggara, seperti
Thailand, Myanmar, Laos, Vietnam, dan Kamboja.[49] Puncak acara ini adalah pagelaran
sendratari kolosal "Mahakarya Borobudur" di depan Candi Borobudur. Tarian ini diciptakan
dengan berdasarkan gaya tari tradisional Jawa, musik gamelan, dan busananya, menceritakan
tentang sejarah pembangunan Borobudur. Setelah simposium ini, sendratari Mahakarya
Borobudur kembali dipergelarkan beberapa kali, khususnya menjelang peringatan Waisak yang
biasanya turut dihadiri Presiden Republik Indonesia.

Batu peringatan pemugaran candi Borobudur dengan bantuan


UNESCO
UNESCO mengidentifikasi tiga permasalahan penting dalam upaya pelestarian Borobudur: (i)
vandalisme atau pengrusakan oleh pengunjung; (ii) erosi tanah di bagian tenggara situs; (iii)
analisis dan pengembalian bagian-bagian yang hilang.[50] Tanah yang gembur, beberapa kali
gempa bumi, dan hujan lebat dapat menggoyahkan struktur bangunan ini. Gempa bumi adalah
faktor yang paling parah, karena tidak saja batuan dapat jatuh dan pelengkung ambruk, tanah
sendiri bergerak bergelombang yang dapat merusak struktur bangunan.[50] Meningkatnya
popularitas stupa menarik banyak pengunjung yang kebanyakan adalah warga Indonesia.
Meskipun terdapat banyak papan peringatan untuk tidak menyentuh apapun, pengumandangan
peringatan melalui pengeras suara dan adanya penjaga, vandalisme berupa pengrusakan dan
pencorat-coretan relief dan arca sering terjadi, hal ini jelas merusak situs ini. Pada 2009, tidak
ada sistem untuk membatasi jumlah wisatawan yang boleh berkunjung per hari, atau
menerapkan tiap kunjungan harus didampingi pemandu agar pengunjung selalu dalam
pengawasan.[50]

Pada 11 Februari 2022, pemerintah meresmikan status Candi Borobudur (bersama dengan
Candi Pawon dan Mendut) kembali sebagai tempat peribadatan umat Buddhis di Indonesia dan
dunia. Selain Candi Borobudur, Candi Prambanan juga diresmikan statusnya sebagai tempat
peribadatan umat Hindu. Pengembalian status ini dicanangkan melalui sebuah nota
kesepakatan yang disepakati antara Pemerintah Daerah Yogyakarta, Pemerintah Provinsi
Jateng, Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi,
Kementerian BUMN, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Nota kesepakatan ini
bertujuan untuk mengembalikan fungsi keempat candi tersebut sebagai tempat peribadatan,
setelah sebelumnya lebih banyak menjadi objek penelitian, cagar pariwisata, dan cagar budaya.
[10]
Rehabilitasi[sunting | sunting sumber]
Borobudur sangat terdampak letusan Gunung Merapi pada Oktober dan November 2010. Debu
vulkanik dari Merapi menutupi kompleks candi yang berjarak 28 kilometer (17 mi) arah barat-
barat daya dari kawah Merapi. Lapisan debu vulkanik mencapai ketebalan 2,5 sentimeter (1 in)
[51]
menutupi bangunan candi kala letusan 3–5 November 2010, debu juga mematikan tanaman di
sekitar, dan para ahli mengkhawatirkan debu vulkanik yang secara kimia bersifat asam dapat
merusak batuan bangunan bersejarah ini. Kompleks candi ditutup 5 sampai 9 November 2010
untuk membersihkan luruhan debu.[52][53]

Mencermati upaya rehabilitasi Borobudur setelah letusan Merapi 2010, UNESCO telah
menyumbangkan dana sebesar 3 juta dollar AS untuk mendanai upaya rehabilitasi.
Membersihkan candi dari endapan debu vulkanik akan menghabiskan waktu sedikitnya 6 bulan,
disusul penghijauan kembali dan penanaman pohon di lingkungan sekitar untuk menstabilkan
suhu, dan terakhir menghidupkan kembali kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat setempat.
[54]
Lebih dari 55.000 blok batu candi harus dibongkar untuk memperbaiki sistem tata air dan
drainase yang tersumbat adonan debu vulkanik bercampur air hujan. Restorasi berakhir
November 2011, lebih awal dari perkiraan semula.[55]

Arsitektur[sunting | sunting sumber]

Borobudur dilihat dari

pelataran sudut barat laut Denah Borobudur


membentuk Mandala, lambang alam semesta dalam kosmologi Buddha.
Model Borobudur Lorong
koridor dengan galeri dinding berukir relief
Borobudur merupakan mahakarya seni rupa Buddha Indonesia, sebagai contoh puncak
pencapaian keselarasan teknik arsitektur dan estetika seni rupa Buddha di Jawa. Bangunan ini
diilhami gagasan dharma dari India, antara lain stupa, dan mandala, tetapi dipercaya juga
merupakan kelanjutan unsur lokal; struktur megalitik punden berundak atau piramida bertingkat
yang ditemukan dari periode prasejarah Indonesia. Sebagai perpaduan antara pemujaan leluhur
asli Indonesia dan perjuangan mencapai Nirwana dalam ajaran Buddha.[3]

Konsep rancang bangun[sunting | sunting sumber]


Pada hakikatnya Borobudur adalah sebuah stupa yang bila dilihat dari atas membentuk
pola Mandala besar. Mandala adalah pola rumit yang tersusun atas bujursangkar dan lingkaran
konsentris yang melambangkan kosmos atau alam semesta yang lazim ditemukan dalam
Buddha aliran Wajrayana-Mahayana. Sepuluh pelataran yang dimiliki Borobudur
menggambarkan secara jelas filsafat mazhab Mahayana yang secara bersamaan
menggambarkan kosmologi yaitu konsep alam semesta, sekaligus tingkatan alam pikiran dalam
ajaran Buddha.[56] Bagaikan sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh
tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha. Dasar
denah bujur sangkar berukuran 123 meter (404 ft) pada tiap sisinya. Bangunan ini memiliki
sembilan teras, enam teras terbawah berbentuk bujur sangkar dan tiga teras teratas berbentuk
lingkaran.

Pada tahun 1885, secara tidak disengaja ditemukan struktur tersembunyi di kaki Borobudur.
[36]
Kaki tersembunyi ini terdapat relief yang 160 di antaranya adalah berkisah
tentang Karmawibhangga. Pada relief panel ini terdapat ukiran aksara yang merupakan petunjuk
bagi pengukir untuk membuat adegan dalam gambar relief.[57] Kaki asli ini tertutup oleh
penambahan struktur batu yang membentuk pelataran yang cukup luas, fungsi sesungguhnya
masih menjadi misteri. Awalnya diduga bahwa penambahan kaki ini untuk mencegah
kelongsoran monumen.[57] Teori lain mengajukan bahwa penambahan kaki ini disebabkan
kesalahan perancangan kaki asli, dan tidak sesuai dengan Wastu Sastra, kitab India mengenai
arsitektur dan tata kota.[36] Apapun alasan penambahan kaki ini, penambahan dan pembuatan
kaki tambahan ini dilakukan dengan teliti dengan mempertimbangkan alasan keagamaan,
estetik, dan teknis.

Ketiga tingkatan ranah spiritual dalam kosmologi Buddha adalah:

Kamadhatu
Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai
oleh kama atau "nafsu rendah". Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu
yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian kaki asli yang
tertutup struktur tambahan ini terdapat 160 panel cerita Karmawibhangga yang kini
tersembunyi. Sebagian kecil struktur tambahan di sudut tenggara disisihkan sehingga
orang masih dapat melihat beberapa relief pada bagian ini. Struktur batu andesit kaki
tambahan yang menutupi kaki asli ini memiliki volume 13.000 meter kubik.[5]
Rupadhatu
Empat undak teras yang membentuk lorong keliling yang pada dindingnya dihiasi galeri
relief oleh para ahli dinamakan Rupadhatu. Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu
terdiri dari empat lorong dengan 1.300 gambar relief. Panjang relief seluruhnya 2,5 km
dengan 1.212 panel berukir dekoratif. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat
membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini
melambangkan alam antara yakni, antara alam bawah dan alam atas. Pada bagian
Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada ceruk atau relung dinding di atas
pagar langkan atau selasar. Aslinya terdapat 432 arca Buddha di dalam relung-relung
terbuka di sepanjang sisi luar di pagar langkan.[5] Pada pagar langkan terdapat sedikit
perbedaan rancangan yang melambangkan peralihan dari ranah Kamadhatu menuju
ranah Rupadhatu; pagar langkan paling rendah dimahkotai ratna, sedangkan empat
tingkat pagar langkan diatasnya dimahkotai stupika (stupa kecil). Bagian teras-teras
bujursangkar ini kaya akan hiasan dan ukiran relief.
Arupadhatu
Berbeda dengan lorong-lorong Rupadhatu yang kaya akan relief, mulai lantai kelima
hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu (yang
berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini
melambangkan alam atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan
ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Pada pelataran lingkaran
terdapat 72 dua stupa kecil berterawang yang tersusun dalam tiga barisan yang
mengelilingi satu stupa besar sebagai stupa induk. Stupa kecil berbentuk lonceng ini
disusun dalam 3 teras lingkaran yang masing-masing berjumlah 32, 24, dan 16 (total 72
stupa). Dua teras terbawah stupanya lebih besar dengan lubang berbentuk belah
ketupat, satu teras teratas stupanya sedikit lebih kecil dan lubangnya berbentuk kotak
bujur sangkar. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup
berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu masih tampak
samar-samar. Rancang bangun ini dengan cerdas menjelaskan konsep peralihan
menuju keadaan tanpa wujud, yakni arca Buddha itu ada tetapi tak terlihat.[butuh rujukan]
Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud yang sempurna
dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan polos
tanpa lubang-lubang.[butuh rujukan] Di dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan patung
Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga Buddha yang tidak rampung, yang
disalahsangkakan sebagai patung 'Adibuddha', padahal melalui penelitian lebih
lanjut tidak pernah ada patung di dalam stupa utama, patung yang tidak selesai itu
merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu. Menurut kepercayaan
patung yang salah dalam proses pembuatannya memang tidak boleh dirusak.
Penggalian arkeologi yang dilakukan di halaman candi ini menemukan banyak
patung seperti ini. Stupa utama yang dibiarkan kosong diduga bermakna
kebijaksanaan tertinggi, yaitu kasunyatan, kesunyian dan ketiadaan sempurna di
mana jiwa manusia sudah tidak terikat hasrat, keinginan, dan bentuk serta terbebas
dari lingkaran samsara.

Struktur bangunan[sunting | sunting sumber]


Arca singa penjaga gerbang
Ukiran raksasa sebagai kepala pancuran drainase

Penampang candi Borobudur terdapat


rasio perbandingan 4:6:9 antara bagian kaki, tubuh, dan kepala

Tangga Borobudur mendaki melalui serangkaian


gapura berukir Kala-Makara
Sekitar 55.000 meter kubik batu andesit diangkut dari tambang batu dan tempat
penatahan untuk membangun monumen ini.[58] Batu ini dipotong dalam ukuran
tertentu, diangkut menuju situs dan disatukan tanpa menggunakan semen. Struktur
Borobudur tidak memakai semen sama sekali, melainkan sistem interlock (saling
kunci) yaitu seperti balok-balok lego yang bisa menempel tanpa perekat. Batu-batu
ini disatukan dengan tonjolan dan lubang yang tepat dan muat satu sama lain, serta
bentuk "ekor merpati" yang mengunci dua blok batu. Relief dibuat di lokasi setelah
struktur bangunan dan dinding rampung.
Monumen ini dilengkapi dengan sistem drainase yang cukup baik untuk wilayah
dengan curah hujan yang tinggi. Untuk mencegah genangan dan kebanjiran, 100
pancuran dipasang disetiap sudut, masing-masing dengan rancangan yang unik
berbentuk kepala raksasa kala atau makara.[butuh rujukan]

Borobudur amat berbeda dengan rancangan candi lainnya, candi ini tidak dibangun
di atas permukaan datar, tetapi di atas bukit alami. Akan tetapi teknik
pembangunannya serupa dengan candi-candi lain di Jawa. Borobudur tidak memiliki
ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Yang ada ialah lorong-lorong
panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi
candi tingkat demi tingkat. Secara umum rancang bangun Borobudur mirip
dengan piramida berundak. Di lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan
melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Borobudur
mungkin pada awalnya berfungsi lebih sebagai sebuah stupa, daripada kuil atau
candi.[58] Stupa memang dimaksudkan sebagai bangunan suci untuk memuliakan
Buddha. Terkadang stupa dibangun sebagai lambang penghormatan dan pemuliaan
kepada Buddha. Sementara kuil atau candi lebih berfungsi sebagai rumah ibadah.
Rancangannya yang rumit dari monumen ini menunjukkan bahwa bangunan ini
memang sebuah bangunan tempat peribadatan. Bentuk bangunan tanpa ruangan
dan struktur teras bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari
bentuk punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa
prasejarah Indonesia.

Menurut legenda setempat arsitek perancang Borobudur bernama Gunadharma,


sedikit yang diketahui tentang arsitek misterius ini.[59] Namanya lebih berdasarkan
dongeng dan legenda Jawa dan bukan berdasarkan prasasti bersejarah. Legenda
Gunadharma terkait dengan cerita rakyat mengenai perbukitan Menoreh yang
bentuknya menyerupai tubuh orang berbaring. Dongeng lokal ini menceritakan
bahwa tubuh Gunadharma yang berbaring berubah menjadi jajaran perbukitan
Menoreh, tentu saja legenda ini hanya fiksi dan dongeng belaka.

Perancangan Borobudur menggunakan satuan ukur tala, yaitu panjang wajah


manusia antara ujung garis rambut di dahi hingga ujung dagu, atau jarak jengkal
antara ujung ibu jari dengan ujung jari kelingking ketika telapak tangan
dikembangkan sepenuhnya.[60] Tentu saja satuan ini bersifat relatif dan sedikit
berbeda antar individu, akan tetapi satuan ini tetap pada monumen ini. Penelitian
pada 1977 mengungkapkan rasio perbandingan 4:6:9 yang ditemukan di monumen
ini. Arsitek menggunakan formula ini untuk menentukan dimensi yang tepat dari
suatu fraktal geometri perulangan swa-serupa dalam rancangan Borobudur.[60]
[61]
Rasio matematis ini juga ditemukan dalam rancang bangun Candi Mendut dan
Pawon di dekatnya. Arkeolog yakin bahwa rasio 4:6:9 dan satuan tala memiliki
fungsi dan makna penanggalan, astronomi, dan kosmologi. Hal yang sama juga
berlaku di candi Angkor Wat di Kamboja.[59]

Struktur bangunan dapat dibagi atas tiga bagian: dasar (kaki), tubuh, dan puncak.
[59]
Dasar berukuran 123×123 m (403.5 × 403.5 ft) dengan tinggi 4 meter (13 ft).
[58]
Tubuh candi terdiri atas lima batur teras bujur sangkar yang makin mengecil di
atasnya. Teras pertama mundur 7 meter (23 ft) dari ujung dasar teras. Tiap teras
berikutnya mundur 2 meter (6,6 ft), menyisakan lorong sempit pada tiap tingkatan.
Bagian atas terdiri atas tiga teras melingkar, tiap tingkatan menopang barisan stupa
berterawang yang disusun secara konsentris. Terdapat stupa utama yang terbesar
di tengah; dengan pucuk mencapai ketinggian 35 meter (115 ft) dari permukaan
tanah. Tinggi asli Borobudur termasuk chattra (payung susun tiga) yang kini dilepas
adalah 42 meter (138 ft) . Tangga terletak pada bagian tengah keempat sisi mata
angin yang membawa pengunjung menuju bagian puncak monumen melalui
serangkaian gerbang pelengkung yang dijaga 32 arca singa. Gawang pintu gerbang
dihiasi ukiran Kala pada puncak tengah lowong pintu dan ukiran makara yang
menonjol di kedua sisinya. Motif Kala-Makara lazim ditemui dalam arsitektur pintu
candi di Jawa. Pintu utama terletak di sisi timur, sekaligus titik awal untuk membaca
kisah relief. Tangga ini lurus terus tersambung dengan tangga pada lereng bukit
yang menghubungkan candi dengan dataran di sekitarnya.

Relief[sunting | sunting sumber]

Seni pahat Borobudur memiliki kehalusan gaya

dan citarasa estetik yang anggun Letak relief


kisah-kisah naskah suci Buddha di dinding BorobudurBorobudur
Pada dinding candi di setiap tingkatan — kecuali pada teras-teras Arupadhatu —
dipahatkan panel-panel bas-relief yang dibuat dengan sangat teliti dan halus.
[62]
Relief dan pola hias Borobudur bergaya naturalis dengan proporsi yang ideal dan
selera estetik yang halus. Relief-relief ini sangat indah, bahkan dianggap sebagai
yang paling elegan dan anggun dalam kesenian dunia Buddha.[63] Relief Borobudur
juga menerapkan disiplin senirupa India, seperti berbagai sikap tubuh yang memiliki
makna atau nilai estetis tertentu. Relief-relief berwujud manusia mulia seperti
pertapa, raja dan wanita bangsawan, bidadari atapun makhluk yang mencapai
derajat kesucian laksana dewa, seperti tara dan boddhisatwa, sering kali
digambarkan dengan posisi tubuh tribhanga. Posisi tubuh ini disebut "lekuk tiga"
yaitu melekuk atau sedikit condong pada bagian leher, pinggul, dan pergelangan
kaki dengan beban tubuh hanya bertumpu pada satu kaki, sementara kaki yang
lainnya dilekuk beristirahat. Posisi tubuh yang luwes ini menyiratkan keanggunan,
misalnya figur bidadari Surasundari yang berdiri dengan sikap tubuh tribhanga
sambil menggenggam teratai bertangkai panjang.[64]

Relief Borobudur menampilkan banyak gambar; seperti sosok manusia baik


bangsawan, rakyat jelata, atau pertapa, aneka tumbuhan dan hewan, serta
menampilkan bentuk bangunan vernakular tradisional Nusantara. Borobudur tak
ubahnya bagaikan kitab yang merekam berbagai aspek kehidupan masyarakat
Jawa kuno. Banyak arkeolog meneliti kehidupan masa lampau di Jawa kuno dan
Nusantara abad ke-8 dan ke-9 dengan mencermati dan merujuk ukiran relief
Borobudur. Bentuk rumah panggung, lumbung, istana dan candi, bentuk perhiasan,
busana serta persenjataan, aneka tumbuhan dan margasatwa, serta alat
transportasi, dicermati oleh para peneliti. Salah satunya adalah relief terkenal yang
menggambarkan Kapal Borobudur.[65] Kapal kayu bercadik khas Nusantara ini
menunjukkan kebudayaan bahari purbakala. Replika bahtera yang dibuat
berdasarkan relief Borobudur tersimpan di Museum Samudra Raksa yang terletak di
sebelah utara Borobudur.[66]

Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam
bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sanskerta daksina yang artinya
ialah timur.[67] Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain relief-relief
cerita jātaka. Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa dimulai, dan berakhir
pada pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya, mulainya di sebelah kiri dan
berakhir di sebelah kanan pintu gerbang itu. Maka secara nyata bahwa sebelah
timur adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi,
artinya bahwa candi menghadap ke timur meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar.

Adapun susunan dan pembagian relief cerita pada dinding dan pagar langkan candi
adalah sebagai berikut.

Bagan Relief

Tingkat Posisi/letak Cerita Relief Jumlah Pigura

Kaki candi
----- Karmawibhangga 160
asli

a. Lalitawistara 120
dinding
b. jataka/awadana 120
Tingkat I
a. jataka/awadana 372
langkan
b. jataka/awadana 128

dinding Gandawyuha 128


Tingkat II
langkan jataka/awadana 100

Tingkat III dinding Gandawyuha 88

langkan Gandawyuha 88
Bagan Relief

Tingkat Posisi/letak Cerita Relief Jumlah Pigura

dinding Gandawyuha 84
Tingkat IV
langkan Gandawyuha 72

Jumlah 1460

Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara singkat bermakna sebagai
berikut:

Karmawibhangga

Salah satu ukiran Karmawibhangga di dinding


candi Borobudur (lantai 0 sudut tenggara)
Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi dinding batur
yang terselubung tersebut menggambarkan hukum karma. Karmawibhangga adalah
naskah yang menggambarkan ajaran mengenai karma, yakni sebab-akibat perbuatan
baik dan jahat. Deretan relief tersebut bukan merupakan cerita seri (serial), tetapi pada
setiap pigura menggambarkan suatu cerita yang mempunyai hubungan sebab akibat.
Relief tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap perbuatan tercela manusia
disertai dengan hukuman yang akan diperolehnya, tetapi juga perbuatan baik manusia
dan pahala. Secara keseluruhan merupakan penggambaran kehidupan manusia dalam
lingkaran lahir - hidup - mati (samsara) yang tidak pernah berakhir, dan oleh agama
Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan. Kini hanya
bagian tenggara yang terbuka dan dapat dilihat oleh pengujung. Foto lengkap relief
Karmawibhangga dapat disaksikan di Museum Karmawibhangga di sisi utara candi
Borobudur.
Lalitawistara
Pangeran Siddhartha Gautama mencukur
rambutnya dan menjadi pertapa
Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan relief-relief (tetapi bukan
merupakan riwayat yang lengkap) yang dimulai dari turunnya Sang Buddha dari surga
Tushita, dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras.
Relief ini berderet dari tangga pada sisi sebelah selatan, setelah melampui deretan relief
sebanyak 27 pigura yang dimulai dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura tersebut
menggambarkan kesibukan, baik di sorga maupun di dunia, sebagai persiapan untuk
menyambut hadirnya penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief
tersebut menggambarkan lahirnya Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran
Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu.
Relief tersebut berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang
secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di
sebut dharma yang juga berarti "hukum", sedangkan dharma dilambangkan sebagai
roda.[butuh rujukan]
Jataka dan Awadana
Jataka adalah berbagai cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai
Pangeran Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan perbuatan-perbuatan baik,
seperti sikap rela berkorban dan suka menolong yang membedakan Sang Bodhisattwa
dari makhluk lain manapun juga. Beberapa kisah Jataka menampilkan kisah fabel yakni
kisah yang melibatkan tokoh satwa yang bersikap dan berpikir seperti manusia.
Sesungguhnya, pengumpulan jasa atau perbuatan baik merupakan tahapan persiapan
dalam usaha menuju ketingkat ke-Buddha-an.[butuh rujukan]
Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan tetapi
pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan ceritanya dihimpun dalam
kitab Diwyawadana yang berarti perbuatan mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka
atau seratus cerita Awadana. Pada relief candi Borobudur Jataka dan Awadana,
diperlakukan sama, artinya keduanya terdapat dalam deretan yang sama tanpa
dibedakan. Himpunan yang paling terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah
Jatakamala atau untaian cerita Jataka, karya penyair Aryasura yang hidup dalam abad
ke-4 Masehi.[butuh rujukan]
Gandawyuha
Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong ke-2,adalah cerita Sudhana yang
berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi
tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana. Penggambarannya dalam 460 pigura
didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk
bagian penutupnya berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.[butuh rujukan]

Arca Buddha[sunting | sunting sumber]


Sebuah arca Buddha di dalam
stupa berterawang
Selain wujud buddha dalam kosmologi buddhis yang terukir di
dinding, di Borobudur terdapat banyak arca buddha duduk
bersila dalam posisi teratai serta menampilkan mudra atau
sikap tangan simbolis tertentu. Patung buddha dengan tinggi
1,5 meter ini dipahat dari bahan batu andesit.[5]

Patung buddha dalam relung-relung di tingkat Rupadhatu,


diatur berdasarkan barisan di sisi luar pagar langkan.
Jumlahnya semakin berkurang pada sisi atasnya. Barisan
pagar langkan pertama terdiri dari 104 relung, baris kedua 104
relung, baris ketiga 88 relung, baris keempat 72 relung, dan
baris kelima 64 relung. Jumlah total terdapat 432 arca Buddha
di tingkat Rupadhatu.[4] Pada bagian Arupadhatu (tiga pelataran
melingkar), arca Buddha diletakkan di dalam stupa-stupa
berterawang (berlubang). Pada pelataran melingkar pertama
terdapat 32 stupa, pelataran kedua 24 stupa, dan pelataran
ketiga terdapat 16 stupa, semuanya total 72 stupa.[4] Dari jumlah
asli sebanyak 504 arca Buddha, lebih dari 300 telah rusak
(kebanyakan tanpa kepala) dan 43 hilang (sejak penemuan
monumen ini, kepala buddha sering dicuri sebagai barang
koleksi, kebanyakan oleh museum luar negeri).[68]

Secara sepintas semua arca buddha ini terlihat serupa, akan


tetapi terdapat perbedaan halus di antaranya, yaitu
pada mudra atau posisi sikap tangan. Terdapat lima
golongan mudra: Utara, Timur, Selatan, Barat, dan Tengah,
kesemuanya berdasarkan lima arah utama kompas menurut
ajaran Mahayana. Keempat pagar langkan memiliki
empat mudra: Utara, Timur, Selatan, dan Barat, di mana
masing-masing arca buddha yang menghadap arah tersebut
menampilkan mudra yang khas. Arca Buddha pada pagar
langkan kelima dan arca buddha di dalam 72 stupa
berterawang di pelataran atas menampilkan mudra: Tengah
atau Pusat. Masing-masing mudra melambangkan lima Dhyani
Buddha; masing-masing dengan makna simbolisnya tersendiri.
[69]

Mengikuti urutan Pradakshina yaitu gerakan mengelilingi


searah jarum jam dimulai dari sisi Timur, maka mudra arca-arca
buddha di Borobudur adalah:
A
ra
h
Dhyan M
Arc Mudr Melamb i at
Lokasi Arca
a a angkan Budd a
ha A
n
gi
n

Memanggi Relung di pagar


Bhumis
l bumi Akshobh Tim langkan 4 baris
parsa
sebagai ya ur pertama Rupad
mudra
saksi hatu sisi timur

Relung di pagar
Wara Kederma Ratnasa Sela langkan 4 baris
mudra wanan mbhava tan pertama Rupad
hatu sisi selatan

Relung di pagar
Semadi
Dhyana Amitabh Bar langkan 4 baris
atau
mudra a at pertama Rupad
meditasi
hatu sisi barat

Relung di pagar
Abhaya Ketidakge Amogha Utar langkan 4 baris
mudra ntaran siddhi a pertama Rupad
hatu sisi utara

Relung di pagar
langkan baris
Witarka Wairoca Ten
Akal budi kelima
mudra na gah
(teratas) Rupad
hatu semua sisi

Di dalam 72
Dharma Pemutara
Wairoca Ten stupa di 3 teras
chakra n roda
na gah melingkar Arup
mudra dharma
adhatu
Warisan[sunting | sunting sumber]
Presiden Sukarno mengajak Nehru mengunjungi Borobudur
pada bulan Juni 1950.
Pencapaian estetika dan keahlian teknik arsitektur yang
ditampilkan Borobudur, serta ukurannya yang luar biasa,
menjadi bukti keagungan masa lalu, dan telah membangkitkan
kebanggaan bagi Bangsa Indonesia. Sebagaimana
peran Angkor Wat bagi Bangsa Kamboja, Borobudur telah
menjadi simbol yang kuat bagi Indonesia — sebagai saksi
kejayaan masa lalu. Sukarno menegaskannya dengan
mengajak tamu-tamu negara mengunjunginya. Sementara
pemerintahan Suharto — menyadari makna simbolis dan
potensi ekonominya — secara tekun menggelar proyek
pemugaran untuk memulihkan monumen ini dengan bantuan
UNESCO. Banyak museum di Indonesia memamerkan model
skala kecil atau replika Borobudur. Monumen ini telah menjadi
ikon, dikelompokkan bersama wayang dan gamelan sebagai
wujud budaya klasik Jawa yang menjadi inspirasi Indonesia.[70]

Lambang provinsi Jawa


Tengah menampilkan Borobudur.
Beberapa artefak arkeologi dari Borobudur, atau replikanya,
dipamerkan di beberapa museum di Indonesia dan
mancanegara. Selain Museum Karmawibhangga dalam
kompleks Borobudur, beberapa museum menyimpan relik dari
Borobudur, antara lain Museum Nasional
Indonesia, Tropenmuseum di Amsterdam, British Museum di
London, dan Museum Nasional Bangkok. Sementara Museum
Louvre di Paris, Museum Negara Malaysia di Kuala Lumpur,
dan Museum Agama Dunia di Taipei juga menampilkan replika
Borobudur.[71] Monumen ini telah menarik perhatian dunia
kepada peradaban klasik Buddha Jawa Kuno.

Penemuan kembali dan pemugaran Borobudur telah disanjung-


sanjung oleh Umat Buddha Indonesia sebagai pertanda
kebangkitan ajaran Buddha di Indonesia. Pada 1934, Narada
Thera, seorang biksu penceramah dari Sri Lanka, mengunjungi
Indonesia untuk pertama kalinya sebagai bagian dari
perjalanannya menyebarkan ajaran Dharma di Asia Tenggara.
Kesempatan ini dimanfaatkan umat Buddha setempat untuk
membangkitkan kembali seruan Dharma di Indonesia. Pada
kesempatan itu digelar upacara penanaman Pohon Bodhi di sisi
tenggara Borobudur, pada tanggal 10 Maret 1934 dengan
diberkati oleh Narada Thera, sekaligus pengangkatan beberapa
Upasaka menjadi Bhiksu.[72] Setiap tahun, ribuan umat Buddha
dari seluruh Indonesia dan negara-negara tetangga, berkumpul
di Borobudur untuk memperingati hari Trisuci Waisak.[73]

Lambang provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Magelang,


menampilkan gambar Borobudur. Candi ini telah menjadi
simbol Jawa Tengah, dan Indonesia secara luas. Borobudur
telah menjadi nama beberapa institusi dan badan usaha,
seperti Universitas Borobudur, Hotel Borobudur Jakarta, serta
beberapa rumah makan Indonesia di luar negeri. Borobudur
ditampilkan dalam uang rupiah, perangko, dibahas dalam
beberapa buku, berita, publikasi, dokumenter, serta materi
promosi pariwisata Indonesia. Candi ini menjadi atraksi wisata
terkemuka di Indonesia, penting untuk menggerakan roda
perekonomian lokal dan di kawasan sekitar Borobudur.
Misalnya, sektor pariwisata Kota Yogyakarta tumbuh
berkembang salah satunya berkat kedekatannya dengan candi
Borobudur dan Prambanan.

Pada tahun 2017, Museum Nasional menyelenggarakan


pameran bertajuk “Melestarikan Dokumen Sejarah Pemugaran
Candi Borobudur sebagai Memory of the World”. Dokumentasi
yang dipamerkan di antaranya Arsip pemugaran Borobudur
tahun 1973-1983 dan terdiri atas 70 ribu foto pemugaran, 13
ribu slide foto, rol film, gambar berskala, termasuk daftar
absensi para pekerja yang terlibat selama masa pemugaran
tersebut. [74] Selain itu, pameran ini juga menampilkan
dokumentasi terkait penemuan Candi Borobudur oleh
Sir Thomas Stamford Raffles, dokumentasi pemugaran pada
masa pemerintahan Hindia Belanda oleh Theodore van Erp di
tahun 1907-1911[75], serta lukisan pertama Candi Borobudur
dalam buku "Boro-Boedoer, Het Eiland Java” karya FC Wilsen,
JFG Brumund, dan C Leemans yang diterbitkan pada tahun
1873.[74]

Ikhtisar waktu proses pemugaran


Candi Borobudur[sunting | sunting sumber]
 1814 - Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal
Britania Raya di Jawa, mendengar adanya penemuan
benda purbakala di desa Borobudur. Raffles
memerintahkan H.C. Cornelius untuk menyelidiki lokasi
penemuan, berupa bukit yang dipenuhi semak belukar.
 1873 - monografi pertama tentang candi diterbitkan.
 1900 - pemerintahan Hindia Belanda menetapkan sebuah
panitia pemugaran dan perawatan candi Borobudur.
 1907 - Theodoor van Erp memimpin pemugaran hingga
tahun 1911.
 1926 - Borobudur dipugar kembali, tetapi terhenti pada
tahun 1940 akibat krisis malaise dan Perang Dunia II.
 1956 - Pemerintah Indonesia meminta
bantuan UNESCO. Prof. Dr. C. Coremans datang ke
Indonesia dari Belgia untuk meneliti sebab-sebab
kerusakan Borobudur.
 1963 - Pemerintah Indonesia mengeluarkan surat
keputusan untuk memugar Borobudur, tetapi berantakan
setelah terjadi peristiwa G-30-S.
 1968 - Pada konferensi-15 di Prancis, UNESCO setuju
untuk memberi bantuan untuk menyelamatkan Borobudur.
 1971 - Pemerintah Indonesia membentuk badan
pemugaran Borobudur yang diketuai Prof.Ir.Roosseno.
 1972 - International Consultative Committee dibentuk
dengan melibatkan berbagai negara dan Roosseno
sebagai ketuanya. Komite yang disponsori UNESCO
menyediakan 5 juta dolar Amerika Serikat dari biaya
pemugaran 7.750 juta dolar Amerika Serikat. Sisanya
ditanggung Indonesia.
 10 Agustus 1973 - Presiden Soeharto meresmikan
dimulainya pemugaran Borobudur; pemugaran selesai
pada tahun 1984
 21 Januari 1985 - terjadi serangan bom yang merusakkan
beberapa stupa pada Candi Borobudur yang kemudian
segera diperbaiki kembali. Serangan dilakukan oleh
kelompok Islam ekstremis yang dipimpin oleh Husein Ali Al
Habsyi.
 1991 - Borobudur ditetapkan sebagai Warisan
Dunia oleh UNESCO.

Galeri[sunting | sunting sumber]


Dari masa ke masa[sunting | sunting sumber]

Borobudur pada sekitar tahun 1866

 Borobudur pada sekitar tahun 1873

Borobudur pada sekitar tahun 1900


Borobudur sebelum tahun 1905

Borobudur pada sekitar tahun 1910. Difoto oleh Sem Cephas


(putra dari Kassian Cephas)

 Borobodur pada tahun 1923

Borobudur pada tahun 1933

Borobudur pada sekitar tahun 1970-an

Borobudur pada tahun 1992


Borobudur pada tahun 2007

Borobudur pada tahun 2011

Borobudur pada tahun 2017


Relief[sunting | sunting sumber]

Relief panel kapal Borobudur.

Pemusik mempertunjukkan pagelaran musik, mungkin berupa bentuk


awal gamelan.

Apsara di Borobudur.

Gambar Raja dan Ratu bersama dengan bawahan mereka.

Salah satu relief di dinding koridor.

Sebuah senjata, kemungkinan bentuk awal dari keris.

Sebuah pahatan batu relief secara mendetail.


Tara membawa Chamara

Tara memegang setangkai teratai

Sebuah relief dari jarak dekat

BWCF[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Borobudur Writers and Cultural Festival
Sejak tahun 2012, kawasan Candi Borobudur dijadikan sebagai
salah satu tempat penyelenggaraan perhelatan
berskala internasional, Borobudur Writers and Cultural
Festival yang dihadiri oleh para seniman dan budayawan.

Anda mungkin juga menyukai