Anda di halaman 1dari 4

Candi Borobudur 

(Jawa: ꦕꦟ꧀ꦝꦶꦧꦫꦧꦸꦝꦸꦂ, translit. Candhi Båråbudhur) adalah


sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Candi ini
terletak kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta,
dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi dengan banyak stupa ini didirikan oleh para
penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa
pemerintahan wangsa Syailendra. Borobudur adalah candi atau kuil Buddha terbesar di dunia,[1]
[2]
 sekaligus salah satu monumen Buddha terbesar di dunia.[3]
Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang di atasnya terdapat tiga
pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat
504 arca Buddha.[4] Borobudur memiliki koleksi relief Buddha terlengkap dan terbanyak di dunia.
[3]
 Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga
barisan melingkar 72 stupa berlubang yang di dalamnya terdapat arca Buddha tengah duduk
bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap tangan) Dharmachakra
mudra (memutar roda dharma).
Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk
memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk menuntun umat manusia
beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha.
[5]
 Para peziarah masuk melalui sisi timur dan memulai ritual di dasar candi dengan berjalan
melingkari bangunan suci ini searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui
tiga tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah Kāmadhātu (ranah
hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak berwujud). Dalam
perjalanannya para peziarah berjalan melalui serangkaian lorong dan tangga dengan
menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada dinding dan pagar
langkan.
Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-10 seiring dipindahnya pusat
Kerajaan Mataram Kuno ke Jawa Timur oleh Pu Sindok.[6] Dunia mulai menyadari keberadaan
bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang saat itu menjabat
sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu Borobudur telah mengalami
serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran (perbaikan kembali). Proyek pemugaran
terbesar digelar pada kurun waktu 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik
Indonesia dan UNESCO, kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan
Dunia.[3]
Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun umat
Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk
memperingati Trisuci Waisak. Terkait kepariwisataan, Borobudur adalah objek wisata tunggal di
Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan.[7][8][9]
Pada 11 Februari 2022, pemerintah meresmikan status Candi Borobudur kembali sebagai
tempat peribadatan umat Buddhis di Indonesia dan dunia.[10]

Nama Borobudur[sunting | sunting sumber]

Stupa Borobudur dengan jajaran perbukitan Menoreh. Selama berabad-abad bangunan suci ini sempat
terlupakan.
Dalam bahasa Indonesia, bangunan keagamaan purbakala disebut candi; istilah candi juga
digunakan secara lebih luas untuk merujuk kepada semua bangunan purbakala yang berasal
dari masa Hindu-Buddha di Nusantara, misalnya gerbang, gapura, dan petirtaan (kolam dan
pancuran pemandian). Asal mula nama Borobudur tidak jelas,[11] meskipun memang nama asli
dari kebanyakan candi di Indonesia tidak diketahui.[11] Nama Borobudur pertama kali ditulis dalam
buku "Sejarah Pulau Jawa" karya Sir Thomas Stamford Raffles.[12] Raffles menulis mengenai
monumen bernama borobudur, akan tetapi tidak ada dokumen yang lebih tua yang menyebutkan
nama yang sama persis.[11] Satu-satunya naskah Jawa kuno yang memberi petunjuk mengenai
adanya bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk kepada Borobudur
adalah Nagarakretagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1365.[13]
Nama Bore-Budur, yang kemudian ditulis BoroBudur, kemungkinan ditulis Raffles dalam tata
bahasa Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu yaitu desa Bore (Boro);
kebanyakan candi memang sering kali dinamai berdasarkan desa tempat candi itu berdiri.
Raffles juga menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin berkaitan dengan istilah Buda dalam
bahasa Jawa yang berarti "purba"– maka bermakna, "Boro purba".[11] Akan tetapi arkeolog lain
beranggapan bahwa nama Budur berasal dari istilah bhudhara yang berarti gunung.[14]
Banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa
nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya "gunung" (bhudara) di
mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat
lainnya. Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan "para Buddha" yang karena pergeseran
bunyi menjadi borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata "bara" dan
"beduhur". Kata bara konon berasal dari kata vihara, sementara ada pula penjelasan lain di
mana bara berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya kompleks candi atau biara
dan beduhur artinya ialah "tinggi", atau mengingatkan dalam bahasa Bali yang berarti "di atas".
Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.
Poerbatjaraka berpendapat bahwa arti kata boro adalah "biara", tetapi dibantah oleh Krom yang
menyebutkan bahwa Borobudur bukanlah biara, melainkan stupa. Menurut Krom, berdasarkan
perbandingan dengan stupa yang ada di India, biasanya stupa tidak berdiri sendiri tetapi ada
biara di dekatnya. Biara itu berfungsi sebagai tempat tinggal para biksu yang bertanggung jawab
atas pemeliharaan tempat suci tersebut dan juga untuk menampung peziarah dari tempat lain.
Jika dilihat dari besarnya Candi Borobudur, biara tersebut berukuran cukup besar tetapi sudah
tidak ada lagi jejaknya karena dibangun dari kayu, lokasinya pun juga masih belum diketahui.[15]
Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor
pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan prasasti
Karangtengah dan Tri Tepusan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah
raja Mataram ke 2 Rakai Panangkaran 770 M dan di lanjutkan
wangsa Syailendra bernama Samaratungga, yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824
M. Bangunan dapat diselesaikan pada masa Rakai Pikatan Dan Pramudawardhani.
Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad. Dalam prasasti
Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah bebas pajak) oleh
Çrī Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara Kamūlān yang disebut Bhūmisambhāra.
[16]
 Istilah Kamūlān sendiri berasal dari kata mula yang berarti tempat asal muasal, bangunan suci
untuk memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa Sailendra. Casparis
memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa Sanskerta yang berarti "Bukit
himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa", adalah nama asli Borobudur.[17]

Lingkungan sekitar[sunting | sunting sumber]


Borobudur, Pawon, dan Mendut terbujur dalam satu garis lurus yang menunjukan kesatuan perlambang

Terletak sekitar 40 kilometer (25 mi) barat laut dari Kota Yogyakarta, Borobudur terletak di atas
bukit pada dataran yang dikeliling dua pasang gunung kembar; Gunung Sindoro-Sumbing di
sebelah barat laut dan Merbabu-Merapi di sebelah timur laut, di sebelah utaranya terdapat
Bukit Tidar, lebih dekat di sebelah selatan terdapat jajaran perbukitan Menoreh, serta candi ini
terletak dekat pertemuan dua sungai yaitu Sungai Progo dan Sungai Elo di sebelah timur.
Menurut legenda Jawa, daerah yang dikenal sebagai Dataran Kedu adalah tempat yang
dianggap suci dalam kepercayaan Jawa dan disanjung sebagai 'Taman pulau Jawa' karena
keindahan alam dan kesuburan tanahnya.[18]

Tiga candi serangkai[sunting | sunting sumber]


Selain Borobudur, terdapat beberapa candi Buddha dan Hindu di kawasan ini. Pada masa
penemuan dan pemugaran di awal abad ke-20 ditemukan candi Buddha lainnya yaitu Candi
Mendut dan Candi Pawon yang terbujur membentang dalam satu garis lurus.[19] Awalnya diduga
hanya suatu kebetulan, akan tetapi berdasarkan dongeng penduduk setempat, dulu terdapat
jalan berlapis batu yang dipagari pagar langkan di kedua sisinya yang menghubungkan ketiga
candi ini. Tidak ditemukan bukti fisik adanya jalan raya beralas batu dan berpagar dan mungkin
ini hanya dongeng belaka, akan tetapi para pakar menduga memang ada kesatuan perlambang
dari ketiga candi ini. Ketiga candi ini (Borobudur-Pawon-Mendut) memiliki kemiripan langgam
arsitektur dan ragam hiasnya dan memang berasal dari periode yang sama yang memperkuat
dugaan adanya keterkaitan ritual antar ketiga candi ini. Keterkaitan suci pasti ada, akan tetapi
bagaimanakah proses ritual keagamaan ziarah dilakukan, belum diketahui secara pasti.[13]
Selain Candi Mendut dan Pawon, di sekitar Borobudur juga ditemukan beberapa peninggalan
purbakala lainnya, di antaranya berbagai temuan tembikar seperti periuk dan kendi yang
menunjukkan bahwa di sekitar Borobudur dulu terdapat beberapa wilayah hunian. Temuan-
temuan purbakala di sekitar Borobudur kini disimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur,
yang terletak di sebelah utara candi bersebelahan dengan Museum Samudra Raksa. Tidak
seberapa jauh di sebelah utara Candi Pawon ditemukan reruntuhan bekas candi Hindu yang
disebut Candi Banon. Pada candi ini ditemukan beberapa arca dewa-dewa utama Hindu dalam
keadaan cukup baik yaitu Shiwa, Wishnu, Brahma, serta Ganesha. Akan tetapi batu asli Candi
Banon amat sedikit ditemukan sehingga tidak mungkin dilakukan rekonstruksi. Pada saat
penemuannya arca-arca Banon diangkut ke Batavia (kini Jakarta) dan kini disimpan di Museum
Nasional Indonesia.

Danau purba[sunting | sunting sumber]


Borobudur di tengah kehijauan alam dataran Kedu. Diduga dulu kawasan di sekeliling Borobudur adalah
danau purba.

Tidak seperti candi lainnya yang dibangun di atas tanah datar, Borobudur dibangun di atas bukit
dengan ketinggian 265 m (869 ft) dari permukaan laut dan 15 m (49 ft) di atas dasar danau
purba yang telah mengering.[20] Keberadaan danau purba ini menjadi bahan perdebatan yang
hangat di kalangan arkeolog pada abad ke-20; dan menimbulkan dugaan bahwa Borobudur
dibangun di tepi atau bahkan di tengah danau. Pada tahun 1931, seorang seniman dan pakar
arsitektur Hindu Buddha, W.O.J. Nieuwenkamp, mengajukan teori bahwa Dataran Kedu dulunya
adalah sebuah danau, dan Borobudur dibangun melambangkan bunga teratai yang mengapung
di atas permukaan danau.[14] Bunga teratai baik dalam bentuk padma (teratai
merah), utpala (teratai biru), ataupun kumuda (teratai putih) dapat ditemukan dalam semua
ikonografi seni keagamaan Buddha. sering kali digenggam
oleh Boddhisatwa sebagai laksana (lambang regalia), menjadi alas duduk singgasana Buddha
atau sebagai lapik stupa. Bentuk arsitektur Borobudur sendiri menyerupai bunga teratai, dan
postur Budha di Borobudur melambangkan Sutra Teratai yang kebanyakan ditemui dalam
naskah keagamaan Buddha mahzab Mahayana (aliran Buddha yang kemudian menyebar ke
Asia Timur). Tiga pelataran melingkar di puncak Borobudur juga diduga melambangkan kelopak
bunga teratai.[20] Akan tetapi teori Nieuwenkamp yang terdengar luar biasa dan fantastis ini
banyak menuai bantahan dari para arkeolog. pada daratan di sekitar monumen ini telah
ditemukan bukti-bukti arkeologi yang membuktikan bahwa kawasan sekitar Borobudur pada
masa pembangunan candi ini adalah daratan kering, bukan dasar danau purba.
Sementara itu pakar geologi justru mendukung pandangan Nieuwenkamp dengan menunjukkan
bukti adanya endapan sedimen lumpur di dekat situs ini.[21] Sebuah penelitian stratigrafi, sedimen
dan analisis sampel serbuk sari yang dilakukan tahun 2000 mendukung keberadaan danau
purba di lingkungan sekitar Borobudur,[20] yang memperkuat gagasan Nieuwenkamp. Ketinggian
permukaan danau purba ini naik-turun berubah-ubah dari waktu ke waktu, dan bukti
menunjukkan bahwa dasar bukit dekat Borobudur pernah kembali terendam air dan menjadi
tepian danau sekitar abad ke-13 dan ke-14. Aliran sungai dan aktivitas vulkanik diduga memiliki
andil dalam mengubah bentang alam dan topografi lingkungan sekitar Borobudur termasuk
danau nya. Salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia adalah Gunung Merapi yang
terletak cukup dekat dengan Borobudur dan telah aktif sejak masa Pleistosen.[22]

Anda mungkin juga menyukai