204°E
Borobudur
Untuk kegunaan lain, lihat Borobudur (disambiguasi).
Pada 11 Februari 2022, pemerintah meresmikan status Tinggi (maks) 42 meter (138 ft)
Candi Borobudur kembali sebagai tempat peribadatan (dengan chattra)
umat Buddhis di Indonesia dan dunia.[10] 35 meter (115 ft) (tanpa
chattra)
Banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa nama
ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya "gunung" (bhudara) di
mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat
lainnya. Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan "para Buddha" yang karena pergeseran
bunyi menjadi borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata "bara" dan
"beduhur". Kata bara konon berasal dari kata vihara, sementara ada pula penjelasan lain di mana
bara berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya kompleks candi atau biara dan beduhur artinya
ialah "tinggi", atau mengingatkan dalam bahasa Bali yang berarti "di atas". Jadi maksudnya ialah
sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.
Poerbatjaraka berpendapat bahwa arti kata boro adalah "biara", tetapi dibantah oleh Krom yang
menyebutkan bahwa Borobudur bukanlah biara, melainkan stupa. Menurut Krom, berdasarkan
perbandingan dengan stupa yang ada di India, biasanya stupa tidak berdiri sendiri tetapi ada biara
di dekatnya. Biara itu berfungsi sebagai tempat tinggal para biksu yang bertanggung jawab atas
pemeliharaan tempat suci tersebut dan juga untuk menampung peziarah dari tempat lain. Jika
dilihat dari besarnya Candi Borobudur, biara tersebut berukuran cukup besar tetapi sudah tidak
ada lagi jejaknya karena dibangun dari kayu, lokasinya pun juga masih belum diketahui.[15]
Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor pada 1950
berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan prasasti Karangtengah dan
Tri Tepusan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah raja Mataram ke 2 Rakai
Panangkaran 770 M dan di lanjutkan wangsa Syailendra bernama Samaratungga, yang melakukan
pembangunan sekitar tahun 824 M. Bangunan dapat diselesaikan pada masa Rakai Pikatan Dan
Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad.
Dalam prasasti Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah
bebas pajak) oleh Çrī Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara Kamūlān yang disebut
Bhūmisambhāra.[16] Istilah Kamūlān sendiri berasal dari kata mula yang berarti tempat asal
muasal, bangunan suci untuk memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa Sailendra.
Casparis memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa Sanskerta yang
berarti "Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa", adalah nama asli
Borobudur.[17]
Lingkungan sekitar
Terletak sekitar 40 kilometer (25 mi) barat laut dari Kota Yogyakarta, Borobudur terletak di atas
bukit pada dataran yang dikeliling dua pasang gunung kembar; Gunung Sindoro-Sumbing di
sebelah barat laut dan Merbabu-Merapi di sebelah timur laut, di sebelah utaranya terdapat Bukit
Tidar, lebih dekat di sebelah selatan terdapat jajaran perbukitan Menoreh, serta candi ini terletak
dekat pertemuan dua sungai yaitu Sungai Progo dan Sungai Elo di sebelah timur. Menurut legenda
Jawa, daerah yang dikenal sebagai
Dataran Kedu adalah tempat yang
dianggap suci dalam kepercayaan Jawa
dan disanjung sebagai 'Taman pulau
Jawa' karena keindahan alam dan
kesuburan tanahnya.[18]
Selain Candi Mendut dan Pawon, di sekitar Borobudur juga ditemukan beberapa peninggalan
purbakala lainnya, di antaranya berbagai temuan tembikar seperti periuk dan kendi yang
menunjukkan bahwa di sekitar Borobudur dulu terdapat beberapa wilayah hunian. Temuan-
temuan purbakala di sekitar Borobudur kini disimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur,
yang terletak di sebelah utara candi bersebelahan dengan Museum Samudra Raksa. Tidak
seberapa jauh di sebelah utara Candi Pawon ditemukan reruntuhan bekas candi Hindu yang
disebut Candi Banon. Pada candi ini ditemukan beberapa arca dewa-dewa utama Hindu dalam
keadaan cukup baik yaitu Shiwa, Wishnu, Brahma, serta Ganesha. Akan tetapi batu asli Candi
Banon amat sedikit ditemukan sehingga tidak mungkin dilakukan rekonstruksi. Pada saat
penemuannya arca-arca Banon diangkut ke Batavia (kini Jakarta) dan kini disimpan di Museum
Nasional Indonesia.
Danau purba
Sementara itu pakar geologi justru mendukung pandangan Nieuwenkamp dengan menunjukkan
bukti adanya endapan sedimen lumpur di dekat situs ini.[21] Sebuah penelitian stratigrafi, sedimen
dan analisis sampel serbuk sari yang dilakukan tahun 2000 mendukung keberadaan danau purba
di lingkungan sekitar Borobudur,[20] yang memperkuat gagasan Nieuwenkamp. Ketinggian
permukaan danau purba ini naik-turun berubah-ubah dari waktu ke waktu, dan bukti
menunjukkan bahwa dasar bukit dekat Borobudur pernah kembali terendam air dan menjadi
tepian danau sekitar abad ke-13 dan ke-14. Aliran sungai dan aktivitas vulkanik diduga memiliki
andil dalam mengubah bentang alam dan topografi lingkungan sekitar Borobudur termasuk danau
nya. Salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia adalah Gunung Merapi yang terletak cukup
dekat dengan Borobudur dan telah aktif sejak masa Pleistosen.[22]
Sejarah
Pembangunan
Terdapat kesimpangsiuran fakta mengenai apakah raja yang berkuasa di Jawa kala itu beragama
Hindu atau Buddha. Wangsa Sailendra diketahui sebagai penganut agama Buddha aliran
Mahayana yang taat, akan tetapi melalui temuan prasasti Sojomerto menunjukkan bahwa mereka
mungkin awalnya beragama Hindu Siwa.[25] Pada kurun waktu itulah dibangun berbagai candi
Hindu dan Buddha di Dataran Kedu. Berdasarkan Prasasti Canggal, pada tahun 732 M, raja
beragama Siwa Sanjaya memerintahkan pembangunan bangunan suci Shiwalingga yang dibangun
di perbukitan Gunung Wukir, letaknya hanya 10 km (6,2 mi) sebelah timur dari Borobudur.[27]
Candi Buddha Borobudur dibangun pada kurun waktu yang hampir bersamaan dengan candi-
candi di Dataran Prambanan, meskipun demikian Borobudur diperkirakan sudah rampung sekitar
825 M, dua puluh lima tahun lebih awal sebelum dimulainya pembangunan candi Siwa
Prambanan sekitar tahun 850 M.
Borobudur diterlantarkan
Monumen ini tidak sepenuhnya dilupakan, melalui dongeng rakyat Borobudur beralih dari sebagai
bukti kejayaan masa lampau menjadi kisah yang lebih bersifat tahayul yang dikaitkan dengan
kesialan, kemalangan dan penderitaan. Dua Babad Jawa yang ditulis abad ke-18 menyebutkan
nasib buruk yang dikaitkan dengan monumen ini. Menurut Babad Tanah Jawi (Sejarah Jawa),
monumen ini merupakan faktor fatal bagi Mas Dana, pembangkang yang memberontak kepada
Pakubuwono I, raja Kesultanan Mataram pada 1709.[6] Disebutkan bahwa bukit "Redi Borobudur"
dikepung dan para pemberontak dikalahkan dan dihukum mati oleh raja. Dalam Babad Mataram
(Sejarah Kerajaan Mataram), monumen ini dikaitkan dengan kesialan putra mahkota Kesultanan
Yogyakarta yang mengunjungi monumen ini pada 1757.[32] Meskipun terdapat tabu yang melarang
orang untuk mengunjungi monumen ini, "Sang Pangeran datang mengunjungi satria yang
terpenjara di dalam kurungan (arca buddha yang terdapat di dalam stupa berterawang)". Setelah
kembali ke keraton, sang Pangeran jatuh sakit dan meninggal dunia sehari kemudian. Dalam
kepercayaan Jawa pada masa Mataram Islam, reruntuhan bangunan percandian dianggap sebagai
tempat bersemayamnya roh halus dan dianggap wingit (angker) sehingga dikaitkan dengan
kesialan atau kemalangan yang mungkin menimpa siapa saja yang mengunjungi dan mengganggu
situs ini. Meskipun secara ilmiah diduga, mungkin setelah situs ini tidak terurus dan ditutupi
semak belukar, tempat ini pernah menjadi sarang wabah penyakit seperti demam berdarah atau
malaria.
Penemuan kembali
Pemerintah Hindia Belanda menugaskan F.C. Wilsen, seorang insinyur pejabat Belanda bidang
teknik, ia mempelajari monumen ini dan menggambar ratusan sketsa relief. J.F.G. Brumund juga
ditunjuk untuk melakukan penelitian lebih terperinci atas monumen ini, yang dirampungkannya
pada 1859. Pemerintah berencana menerbitkan artikel berdasarkan penelitian Brumund yang
dilengkapi sketsa-sketsa karya Wilsen, tetapi Brumund menolak untuk bekerja sama. Pemerintah
Hindia Belanda kemudian menugaskan ilmuwan lain, C. Leemans, yang mengkompilasi monografi
berdasarkan sumber dari Brumund dan Wilsen. Pada 1873, monograf pertama dan penelitian lebih
detil atas Borobudur diterbitkan, dilanjutkan edisi terjemahannya dalam bahasa Prancis setahun
kemudian.[33] Foto pertama monumen ini diambil pada 1873 oleh ahli engrafi Belanda, Isidore van
Kinsbergen.[34]
Penghargaan atas situs ini tumbuh perlahan. Untuk waktu yang cukup lama Borobudur telah
menjadi sumber cenderamata dan pendapatan bagi pencuri, penjarah candi, dan kolektor
"pemburu artefak". Kepala arca Buddha adalah bagian yang paling banyak dicuri. Karena mencuri
seluruh arca buddha terlalu berat dan besar, arca sengaja dijungkirkan dan dijatuhkan oleh
pencuri agar kepalanya terpenggal. Karena itulah kini di Borobudur banyak ditemukan arca
Buddha tanpa kepala. Kepala Buddha Borobudur telah lama menjadi incaran kolektor benda antik
dan museum-museum di seluruh dunia. Pada 1882, kepala inspektur artefak budaya menyarankan
agar Borobudur dibongkar seluruhnya dan reliefnya dipindahkan ke museum akibat kondisi yang
tidak stabil, ketidakpastian dan pencurian yang marak di monumen.[34] Akibatnya, pemerintah
menunjuk Groenveldt, seorang arkeolog, untuk menggelar penyelidikan menyeluruh atas situs dan
memperhitungkan kondisi aktual kompleks ini; laporannya menyatakan bahwa kekhawatiran ini
berlebihan dan menyarankan agar bangunan ini dibiarkan utuh dan tidak dibongkar untuk
dipindahkan.
Bagian candi Borobudur dicuri sebagai benda cenderamata, arca dan ukirannya diburu kolektor
benda antik. Tindakan penjarahan situs bersejarah ini bahkan salah satunya direstui Pemerintah
Kolonial. Pada tahun 1896, Raja Thailand, Chulalongkorn ketika mengunjungi Jawa di Hindia
Belanda (kini Indonesia) menyatakan minatnya untuk memiliki beberapa bagian dari Borobudur.
Pemerintah Hindia Belanda mengizinkan dan menghadiahkan delapan gerobak penuh arca dan
bagian bangunan Borobudur. Artefak yang diboyong ke Thailand antara lain; lima arca Buddha
bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga
dan gerbang, dan arca penjaga dwarapala yang pernah berdiri di Bukit Dagi — beberapa ratus
meter di barat laut Borobudur. Beberapa artefak ini, yaitu arca singa dan dwarapala, kini
dipamerkan di Museum Nasional Bangkok.[35]
Pemugaran
Borobudur kembali menarik perhatian pada 1885, ketika Yzerman, Ketua Masyarakat Arkeologi di
Yogyakarta, menemukan kaki tersembunyi.[36] Foto-foto yang menampilkan relief pada kaki
tersembunyi dibuat pada kurun 1890–1891.[37] Penemuan ini mendorong pemerintah Hindia
Belanda untuk mengambil langkah menjaga kelestarian monumen ini. Pada 1900, pemerintah
membentuk komisi yang terdiri atas tiga pejabat untuk meneliti monumen ini: Brandes, seorang
sejarawan seni, Theodoor van Erp, seorang insinyur yang juga anggota tentara Belanda, dan Van
de Kamer, insinyur ahli konstruksi bangunan dari Departemen Pekerjaan Umum.
Pada 1902, komisi ini mengajukan proposal tiga langkah rencana pelestarian Borobudur kepada
pemerintah. Pertama, bahaya yang mendesak harus segera diatasi dengan mengatur kembali
sudut-sudut bangunan, memindahkan batu yang membahayakan batu lain di sebelahnya,
memperkuat pagar langkan pertama, dan memugar beberapa relung, gerbang, stupa dan stupa
utama. Kedua, memagari halaman candi, memelihara dan memperbaiki sistem drainase dengan
memperbaiki lantai dan pancuran. Ketiga, semua batuan lepas dan longgar harus dipindahkan,
monumen ini dibersihkan hingga pagar langkan pertama, batu yang rusak dipindahkan dan stupa
utama dipugar. Total biaya yang diperlukan pada saat itu ditaksir sekitar 48.800 Gulden.
Pemugaran dilakukan pada kurun 1907 dan 1911, menggunakan
prinsip anastilosis dan dipimpin Theodor van Erp.[38] Tujuh bulan
pertama dihabiskan untuk menggali tanah di sekitar monumen
untuk menemukan kepala buddha yang hilang dan panel batu.
Van Erp membongkar dan membangun kembali tiga teras
melingkar dan stupa di bagian puncak. Dalam prosesnya Van Erp
menemukan banyak hal yang dapat diperbaiki; ia mengajukan
proposal lain yang disetujui dengan anggaran tambahan sebesar
34.600 gulden. Van Erp melakukan rekonstruksi lebih lanjut, ia
bahkan dengan teliti merekonstruksi chattra (payung batu susun
Penanaman beton dan pipa tiga) yang memahkotai puncak Borobudur. Pada pandangan
PVC untuk memperbaiki sistem pertama, Borobudur telah pulih seperti pada masa kejayaannya.
drainase Borobudur pada Akan tetapi rekonstruksi chattra hanya menggunakan sedikit batu
pemugaran tahun 1973 asli dan hanya rekaan kira-kira. Karena dianggap tidak dapat
dipertanggungjawabkan keasliannya, Van Erp membongkar
sendiri bagian chattra. Kini mastaka atau kemuncak Borobudur
chattra susun tiga tersimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur.
Akibat anggaran yang terbatas, pemugaran ini hanya memusatkan perhatian pada membersihkan
patung dan batu, Van Erp tidak memecahkan masalah drainase dan tata air. Dalam 15 tahun,
dinding galeri miring dan relief menunjukkan retakan dan kerusakan.[38] Van Erp menggunakan
beton yang menyebabkan terbentuknya kristal garam alkali dan kalsium hidroksida yang
menyebar ke seluruh bagian bangunan dan merusak batu candi. Hal ini menyebabkan masalah
sehingga renovasi lebih lanjut diperlukan.
Metrografi dan Sektor Tekno Arkeologi. Sektor Arkeo-Metrografi berfokus pada pengukuran dan
penggambaran, sedangkan sektor Tekno Arkeologi berfokus pada penggalian, pemilihan batu,
pencarian, dan penyesuaian jenis batu pada candi. Namun, pada tahun 1973, Sektor Arkeo-
Metrografi dilebur ke dalam Sektor Tekno Arkeologi sehubungan pengukuran pada candi yang
telah selesai.[41]
Pondasi diperkukuh dan segenap 1.460 panel relief dibersihkan. Pemugaran ini dilakukan dengan
membongkar seluruh lima teras bujur sangkar dan memperbaiki sistem drainase dengan
menanamkan saluran air ke dalam monumen. Lapisan saringan dan kedap air ditambahkan.
Proyek kolosal ini melibatkan 600 orang untuk memulihkan monumen dan menghabiskan biaya
total sebesar 6.901.243 dollar AS.[42] Setelah renovasi, UNESCO memasukkan Borobudur ke
dalam daftar Situs Warisan Dunia pada tahun 1991.[3] Borobudur masuk dalam kriteria Budaya (i)
"mewakili mahakarya kretivitas manusia yang jenius", (ii) "menampilkan pertukaran penting
dalam nilai-nilai manusiawi dalam rentang waktu tertentu di dalam suatu wilayah budaya di
dunia, dalam pembangunan arsitektur dan teknologi, seni yang monumental, perencanaan tata
kota dan rancangan lansekap", dan (vi) "secara langsung dan jelas dihubungkan dengan suatu
peristiwa atau tradisi yang hidup, dengan gagasan atau dengan kepercayaan, dengan karya seni
artistik dan karya sastra yang memiliki makna universal yang luar biasa".[3]
Peristiwa kontemporer
Pada 27 Mei 2006, gempa berkekuatan 6,2 skala mengguncang pesisir selatan Jawa Tengah.
Bencana alam ini menghancurkan kawasan dengan korban terbanyak di Yogyakarta, akan tetapi
Borobudur tetap utuh.[48]
Pada 28 Agustus 2006 simposium bertajuk Trail of Civilizations (jejak peradaban) digelar di
Borobudur atas prakarsa Gubernur Jawa Tengah dan Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan,
juga hadir perwakilan UNESCO dan negara-negara mayoritas Buddha di Asia Tenggara, seperti
Thailand, Myanmar, Laos, Vietnam, dan Kamboja. Puncak acara ini adalah pagelaran sendratari
kolosal "Mahakarya Borobudur" di depan Candi Borobudur. Tarian ini diciptakan dengan
berdasarkan gaya tari tradisional Jawa, musik gamelan, dan busananya, menceritakan tentang
sejarah pembangunan Borobudur. Setelah simposium ini, sendratari Mahakarya Borobudur
kembali dipergelarkan beberapa kali, khususnya menjelang peringatan Waisak yang biasanya turut
dihadiri Presiden Republik Indonesia.
Pada 11 Februari 2022, pemerintah meresmikan status Candi Borobudur (bersama dengan Candi
Pawon dan Mendut) kembali sebagai tempat peribadatan umat Buddhis di Indonesia dan dunia.
Selain Candi Borobudur, Candi Prambanan juga diresmikan statusnya sebagai tempat peribadatan
umat Hindu. Pengembalian status ini dicanangkan melalui sebuah nota kesepakatan yang
disepakati antara Pemerintah Daerah Yogyakarta, Pemerintah Provinsi Jateng, Kementerian
Agama, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Kementerian BUMN,
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Nota kesepakatan ini bertujuan untuk
mengembalikan fungsi keempat candi tersebut sebagai tempat peribadatan, setelah sebelumnya
lebih banyak menjadi objek penelitian, cagar pariwisata, dan cagar budaya.[10]
Rehabilitasi
Borobudur sangat terdampak letusan Gunung Merapi pada Oktober dan November 2010. Debu
vulkanik dari Merapi menutupi kompleks candi yang berjarak 28 kilometer (17 mi) arah barat-
barat daya dari kawah Merapi. Lapisan debu vulkanik mencapai ketebalan 2,5 sentimeter (1 in)[50]
menutupi bangunan candi kala letusan 3–5 November 2010, debu juga mematikan tanaman di
sekitar, dan para ahli mengkhawatirkan debu vulkanik yang secara kimia bersifat asam dapat
merusak batuan bangunan bersejarah ini. Kompleks candi ditutup 5 sampai 9 November 2010
untuk membersihkan luruhan debu.[51][52]
Mencermati upaya rehabilitasi Borobudur setelah letusan Merapi 2010, UNESCO telah
menyumbangkan dana sebesar 3 juta dollar AS untuk mendanai upaya rehabilitasi. Membersihkan
candi dari endapan debu vulkanik akan menghabiskan waktu sedikitnya 6 bulan, disusul
penghijauan kembali dan penanaman pohon di lingkungan sekitar untuk menstabilkan suhu, dan
terakhir menghidupkan kembali kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat setempat.[53] Lebih
dari 55.000 blok batu candi harus dibongkar untuk memperbaiki sistem tata air dan drainase yang
tersumbat adonan debu vulkanik bercampur air hujan. Restorasi berakhir November 2011, lebih
awal dari perkiraan semula.[54]
Arsitektur
Borobudur merupakan mahakarya
seni rupa Buddha Indonesia, sebagai
contoh puncak pencapaian
keselarasan teknik arsitektur dan
estetika seni rupa Buddha di Jawa.
Bangunan ini diilhami gagasan
dharma dari India, antara lain stupa,
dan mandala, tetapi dipercaya juga
merupakan kelanjutan unsur lokal; Borobudur dilihat dari pelataran sudut barat laut
struktur megalitik punden berundak
atau piramida bertingkat yang
ditemukan dari periode prasejarah Indonesia. Sebagai
perpaduan antara pemujaan leluhur asli Indonesia dan
perjuangan mencapai Nirwana dalam ajaran Buddha.[3]
Pada tahun 1885, secara tidak disengaja ditemukan struktur tersembunyi di kaki Borobudur.[36]
Kaki tersembunyi ini terdapat relief yang 160 di antaranya adalah berkisah tentang
Karmawibhangga. Pada relief panel ini terdapat ukiran aksara yang merupakan petunjuk bagi
pengukir untuk membuat adegan dalam gambar relief.[56] Kaki asli ini tertutup oleh penambahan
struktur batu yang membentuk pelataran yang cukup luas, fungsi sesungguhnya masih menjadi
misteri. Awalnya diduga bahwa penambahan kaki ini untuk
mencegah kelongsoran monumen.[56] Teori lain mengajukan
bahwa penambahan kaki ini disebabkan kesalahan
perancangan kaki asli, dan tidak sesuai dengan Wastu Sastra,
kitab India mengenai arsitektur dan tata kota.[36] Apapun
alasan penambahan kaki ini, penambahan dan pembuatan kaki
tambahan ini dilakukan dengan teliti dengan
mempertimbangkan alasan keagamaan, estetik, dan teknis.
Kamadhatu
Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia
yang masih dikuasai oleh kama atau "nafsu rendah". Bagian ini
sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat
untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian kaki asli yang
tertutup struktur tambahan ini terdapat 160 panel cerita
Karmawibhangga yang kini tersembunyi. Sebagian kecil struktur
tambahan di sudut tenggara disisihkan sehingga orang masih
dapat melihat beberapa relief pada bagian ini. Struktur batu
andesit kaki tambahan yang menutupi kaki asli ini memiliki
volume 13.000 meter kubik.[5]
Rupadhatu
Empat undak teras yang membentuk lorong keliling yang pada
dindingnya dihiasi galeri relief oleh para ahli dinamakan Lorong koridor dengan
Rupadhatu. Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu terdiri dari galeri dinding berukir relief
empat lorong dengan 1.300 gambar relief. Panjang relief
seluruhnya 2,5 km dengan 1.212 panel berukir dekoratif.
Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih
terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam antara yakni, antara alam
bawah dan alam atas. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada
ceruk atau relung dinding di atas pagar langkan atau selasar. Aslinya terdapat 432 arca
Buddha di dalam relung-relung terbuka di sepanjang sisi luar di pagar langkan.[5] Pada
pagar langkan terdapat sedikit perbedaan rancangan yang melambangkan peralihan dari
ranah Kamadhatu menuju ranah Rupadhatu; pagar langkan paling rendah dimahkotai ratna,
sedangkan empat tingkat pagar langkan diatasnya dimahkotai stupika (stupa kecil). Bagian
teras-teras bujursangkar ini kaya akan hiasan dan ukiran relief.
Arupadhatu
Berbeda dengan lorong-lorong Rupadhatu yang kaya akan relief, mulai lantai kelima hingga
ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak
berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini melambangkan
alam atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa,
namun belum mencapai nirwana. Pada pelataran lingkaran terdapat 72 dua stupa kecil
berterawang yang tersusun dalam tiga barisan yang mengelilingi satu stupa besar sebagai
stupa induk. Stupa kecil berbentuk lonceng ini disusun dalam 3 teras lingkaran yang masing-
masing berjumlah 32, 24, dan 16 (total 72 stupa). Dua teras terbawah stupanya lebih besar
dengan lubang berbentuk belah ketupat, satu teras teratas stupanya sedikit lebih kecil dan
lubangnya berbentuk kotak bujur sangkar. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam
stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu
masih tampak samar-samar. Rancang bangun ini dengan cerdas menjelaskan konsep
peralihan menuju keadaan tanpa wujud, yakni arca Buddha itu ada tetapi tak terlihat.
Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud yang sempurna dilambangkan berupa
stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa
terbesar ini pernah ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga Buddha
yang tidak rampung, yang disalahsangkakan sebagai patung 'Adibuddha', padahal melalui
penelitian lebih lanjut tidak pernah ada patung di dalam stupa utama, patung yang tidak selesai itu
merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu. Menurut kepercayaan patung yang salah
dalam proses pembuatannya memang tidak boleh dirusak. Penggalian arkeologi yang dilakukan di
halaman candi ini menemukan banyak patung seperti ini. Stupa utama yang dibiarkan kosong
diduga bermakna kebijaksanaan tertinggi, yaitu kasunyatan, kesunyian dan ketiadaan sempurna di
mana jiwa manusia sudah tidak terikat hasrat, keinginan, dan bentuk serta terbebas dari lingkaran
samsara.
Struktur bangunan
Sekitar 55.000 meter kubik batu andesit diangkut dari tambang batu
dan tempat penatahan untuk membangun monumen ini.[57] Batu ini
dipotong dalam ukuran tertentu, diangkut menuju situs dan disatukan
tanpa menggunakan semen. Struktur Borobudur tidak memakai
semen sama sekali, melainkan sistem interlock (saling kunci) yaitu
seperti balok-balok lego yang bisa menempel tanpa perekat. Batu-batu
ini disatukan dengan tonjolan dan lubang yang tepat dan muat satu
sama lain, serta bentuk "ekor merpati" yang mengunci dua blok batu.
Relief dibuat di lokasi setelah struktur bangunan dan dinding
rampung.
Monumen ini dilengkapi dengan sistem drainase yang cukup baik Arca singa penjaga
untuk wilayah dengan curah hujan yang tinggi. Untuk mencegah gerbang
genangan dan kebanjiran, 100 pancuran dipasang disetiap sudut,
masing-masing dengan
rancangan yang unik
berbentuk kepala raksasa
kala atau makara.
Struktur bangunan dapat dibagi atas tiga bagian: dasar (kaki), tubuh, dan puncak.[58] Dasar
berukuran 123×123 m (403.5 × 403.5 ft) dengan tinggi 4 meter (13 ft).[57] Tubuh candi terdiri atas
lima batur teras bujur sangkar yang makin mengecil di atasnya. Teras pertama mundur 7 meter
(23 ft) dari ujung dasar teras. Tiap teras berikutnya mundur 2 meter (6,6 ft), menyisakan lorong
sempit pada tiap tingkatan. Bagian atas terdiri atas tiga teras melingkar, tiap tingkatan menopang
barisan stupa berterawang yang disusun secara konsentris. Terdapat stupa utama yang terbesar di
tengah; dengan pucuk mencapai ketinggian 35 meter (115 ft) dari permukaan tanah. Tinggi asli
Borobudur termasuk chattra (payung susun tiga) yang kini dilepas adalah 42 meter (138 ft) .
Tangga terletak pada bagian tengah keempat sisi mata angin yang membawa pengunjung menuju
bagian puncak monumen melalui serangkaian gerbang pelengkung yang dijaga 32 arca singa.
Gawang pintu gerbang dihiasi ukiran Kala pada puncak tengah lowong pintu dan ukiran makara
yang menonjol di kedua sisinya. Motif Kala-Makara lazim ditemui dalam arsitektur pintu candi di
Jawa. Pintu utama terletak di sisi timur, sekaligus titik awal untuk membaca kisah relief. Tangga
ini lurus terus tersambung dengan tangga pada lereng bukit yang menghubungkan candi dengan
dataran di sekitarnya.
Relief
Pada dinding candi di setiap tingkatan — kecuali pada teras-teras Arupadhatu — dipahatkan
panel-panel bas-relief yang dibuat dengan sangat teliti dan halus.[61] Relief dan pola hias
Borobudur bergaya naturalis dengan proporsi yang ideal dan selera estetik yang halus. Relief-relief
ini sangat indah, bahkan dianggap sebagai yang paling elegan dan anggun dalam kesenian dunia
Buddha.[62] Relief Borobudur juga menerapkan disiplin senirupa India, seperti berbagai sikap
tubuh yang memiliki makna atau nilai estetis tertentu. Relief-relief berwujud manusia mulia
seperti pertapa, raja dan wanita bangsawan, bidadari atapun makhluk yang mencapai derajat
kesucian laksana dewa, seperti tara dan boddhisatwa, sering kali digambarkan dengan posisi
tubuh tribhanga. Posisi tubuh ini disebut "lekuk tiga" yaitu melekuk atau sedikit condong pada
bagian leher, pinggul, dan pergelangan kaki dengan beban tubuh hanya bertumpu pada satu kaki,
sementara kaki yang lainnya dilekuk beristirahat. Posisi tubuh
yang luwes ini menyiratkan keanggunan, misalnya figur
bidadari Surasundari yang berdiri dengan sikap tubuh
tribhanga sambil menggenggam teratai bertangkai panjang.[63]
dinding Gandawyuha 84
Tingkat IV
langkan Gandawyuha 72
Jumlah 1460
Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara singkat bermakna sebagai berikut:
Karmawibhangga
Arca Buddha
Selain wujud buddha dalam kosmologi buddhis yang terukir di
dinding, di Borobudur terdapat banyak arca buddha duduk bersila
dalam posisi teratai serta menampilkan mudra atau sikap tangan
simbolis tertentu. Patung buddha dengan tinggi 1,5 meter ini dipahat
dari bahan batu andesit.[5]
Secara sepintas semua arca buddha ini terlihat serupa, akan tetapi terdapat perbedaan halus di
antaranya, yaitu pada mudra atau posisi sikap tangan. Terdapat lima golongan mudra: Utara,
Timur, Selatan, Barat, dan Tengah, kesemuanya berdasarkan lima arah utama kompas menurut
ajaran Mahayana. Keempat pagar langkan memiliki empat mudra: Utara, Timur, Selatan, dan
Barat, di mana masing-masing arca buddha yang menghadap arah tersebut menampilkan mudra
yang khas. Arca Buddha pada pagar langkan kelima dan arca buddha di dalam 72 stupa
berterawang di pelataran atas menampilkan mudra: Tengah atau Pusat. Masing-masing mudra
melambangkan lima Dhyani Buddha; masing-masing dengan makna simbolisnya tersendiri.[68]
Mengikuti urutan Pradakshina yaitu gerakan mengelilingi searah jarum jam dimulai dari sisi
Timur, maka mudra arca-arca buddha di Borobudur adalah:
Arah
Dhyani Lokasi
Arca Mudra Melambangkan Mata
Buddha Arca
Angin
Relung di
pagar
langkan 4
Bhumisparsa Memanggil bumi
Akshobhya Timur baris
mudra sebagai saksi
pertama
Rupadhatu
sisi timur
Relung di
pagar
langkan 4
Wara mudra Kedermawanan Ratnasambhava Selatan baris
pertama
Rupadhatu
sisi selatan
Relung di
pagar
langkan 4
Semadi atau
Dhyana mudra Amitabha Barat baris
meditasi
pertama
Rupadhatu
sisi barat
Relung di
pagar
langkan 4
Abhaya mudra Ketidakgentaran Amoghasiddhi Utara baris
pertama
Rupadhatu
sisi utara
Relung di
pagar
langkan
baris
Witarka mudra Akal budi Wairocana Tengah
kelima
(teratas)
Rupadhatu
semua sisi
Di dalam
72 stupa di
Dharmachakra Pemutaran roda
Wairocana Tengah 3 teras
mudra dharma
melingkar
Arupadhatu
Warisan
Pencapaian estetika dan keahlian teknik arsitektur yang ditampilkan Borobudur, serta ukurannya
yang luar biasa, menjadi bukti keagungan masa lalu, dan telah membangkitkan kebanggaan bagi
Bangsa Indonesia. Sebagaimana peran Angkor Wat bagi Bangsa Kamboja, Borobudur telah
menjadi simbol yang kuat bagi Indonesia — sebagai saksi kejayaan masa lalu. Sukarno
menegaskannya dengan mengajak tamu-tamu negara
mengunjunginya. Sementara pemerintahan Suharto —
menyadari makna simbolis dan potensi ekonominya — secara
tekun menggelar proyek pemugaran untuk memulihkan
monumen ini dengan bantuan UNESCO. Banyak museum di
Indonesia memamerkan model skala kecil atau replika
Borobudur. Monumen ini telah menjadi ikon, dikelompokkan
bersama wayang dan gamelan sebagai wujud budaya klasik
Jawa yang menjadi inspirasi Indonesia.[69]
Presiden Sukarno mengajak Nehru
Beberapa artefak arkeologi dari mengunjungi Borobudur pada bulan
Borobudur, atau replikanya, Juni 1950.
dipamerkan di beberapa museum
di Indonesia dan mancanegara.
Selain Museum Karmawibhangga dalam kompleks Borobudur,
beberapa museum menyimpan relik dari Borobudur, antara lain
Museum Nasional Indonesia, Tropenmuseum di Amsterdam, British
Museum di London, dan Museum Nasional Bangkok. Sementara
Museum Louvre di Paris, Museum Negara Malaysia di Kuala Lumpur,
dan Museum Agama Dunia di Taipei juga menampilkan replika
Lambang provinsi Jawa Borobudur.[70] Monumen ini telah menarik perhatian dunia kepada
Tengah menampilkan peradaban klasik Buddha Jawa Kuno.
Borobudur.
Penemuan kembali dan pemugaran Borobudur telah disanjung-
sanjung oleh Umat Buddha Indonesia sebagai pertanda kebangkitan
ajaran Buddha di Indonesia. Pada 1934, Narada Thera, seorang biksu penceramah dari Sri Lanka,
mengunjungi Indonesia untuk pertama kalinya sebagai bagian dari perjalanannya menyebarkan
ajaran Dharma di Asia Tenggara. Kesempatan ini dimanfaatkan umat Buddha setempat untuk
membangkitkan kembali seruan Dharma di Indonesia. Pada kesempatan itu digelar upacara
penanaman Pohon Bodhi di sisi tenggara Borobudur, pada tanggal 10 Maret 1934 dengan diberkati
oleh Narada Thera, sekaligus pengangkatan beberapa Upasaka menjadi Bhiksu.[71] Setiap tahun,
ribuan umat Buddha dari seluruh Indonesia dan negara-negara tetangga, berkumpul di Borobudur
untuk memperingati hari Trisuci Waisak.[72]
Lambang provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Magelang, menampilkan gambar Borobudur.
Candi ini telah menjadi simbol Jawa Tengah, dan Indonesia secara luas. Borobudur telah menjadi
nama beberapa institusi dan badan usaha, seperti Universitas Borobudur, Hotel Borobudur
Jakarta, serta beberapa rumah makan Indonesia di luar negeri. Borobudur ditampilkan dalam
uang rupiah, perangko, dibahas dalam beberapa buku, berita, publikasi, dokumenter, serta materi
promosi pariwisata Indonesia. Candi ini menjadi atraksi wisata terkemuka di Indonesia, penting
untuk menggerakan roda perekonomian lokal dan di kawasan sekitar Borobudur. Misalnya, sektor
pariwisata Kota Yogyakarta tumbuh berkembang salah satunya berkat kedekatannya dengan candi
Borobudur dan Prambanan.
Galeri
Relief
Relief panel kapal Pemusik Apsara di Borobudur. Gambar Raja dan Ratu
Borobudur. mempertunjukkan bersama dengan
pagelaran musik, bawahan mereka.
mungkin berupa bentuk
awal gamelan.
Salah satu relief di Sebuah senjata, Sebuah pahatan batu Tara membawa
dinding koridor. kemungkinan bentuk relief secara mendetail. Chamara
awal dari keris.
Tara memegang Sebuah relief dari jarak
setangkai teratai dekat
BWCF
Artikel utama: Borobudur Writers and Cultural Festival
Sejak tahun 2012, kawasan Candi Borobudur dijadikan sebagai salah satu tempat penyelenggaraan
perhelatan berskala internasional, Borobudur Writers and Cultural Festival yang dihadiri oleh para
seniman dan budayawan.
Referensi
1. "Largest Buddhist temple". Guinness World Records. Guinness World Records. Diakses
tanggal 27 January 2014.
2. "Guinness names Borobudur world's largest Buddha temple". The Jakarta Post. Wednesday,
July 04 2012, 4:50 PM. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-11-05. Diakses tanggal
27 January 2014.
3. "Borobudur Temple Compounds". UNESCO World Heritage Centre. UNESCO. Diakses tanggal
28 December 2008.
4. Soekmono (1976), halaman 35–36.
5. Kartapranata, Gunawan (2007-06-01). "Upacara Waisak di Borobudur (Infografik)" (Infographic)
(dalam bahasa Indonesian). Harian "Kompas".
6. Soekmono (1976), halaman 4.
7. Mark Elliott ... (2003). Indonesia. Melbourne: Lonely Planet Publications Pty Ltd. hlm. 211–215.
ISBN 1-74059-154-2. .
8. Mark P. Hampton (2005). "Heritage, Local Communities and Economic Development". Annals
of Tourism Research. 32 (3): 735–759. doi:10.1016/j.annals.2004.10.010.
9. E. Sedyawati (1997). "Potential and Challenges of Tourism: Managing the National Cultural
Heritage of Indonesia". Dalam W. Nuryanti (ed.). Tourism and Heritage Management.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press. hlm. 25–35.
10. "Candi Borobudur dan Prambanan Resmi Jadi Tempat Peribadatan Dunia". CNN Indonesia.
Diakses tanggal 2022-02-11.
11. Soekmono (1976), halaman 13.
12. Thomas Stamford Raffles (1817). The History of Java (edisi ke-1978). Oxford University Press.
ISBN 0-19-580347-7.
13. J. L. Moens (1951). "Barabudur, Mendut en Pawon en hun onderlinge samenhang (Barabudur,
Mendut and Pawon and their mutual relationship)" (PDF). Tijdschrift voor de Indische Taai-,
Land- en Volkenkunde. Het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen: 326–
386. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2007-08-10. Diakses tanggal 2011-11-01. "trans. by
Mark Long"
14. J.G. de Casparis, "The Dual Nature of Barabudur", in Gómez and Woodward (1981), halaman
70 dan 83.
15. Nastiti, Titi Surti (2018-09-30). "Re-interpretasi Nama Borobudur". AMERTA. Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 36 (1): 16.
doi:10.24832/amt.v36i1.326.
16. Drs. R. Soekmono, (1973, 5th reprint edition in 1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan
Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 46.
17. Walubi. "Borobudur : Candi Berbukit Kebajikan". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-05-10.
Diakses tanggal 2009-12-21.
18. Soekmono (1976), halaman 1.
19. N. J. Krom (1927). Borobudur, Archaeological Description. The Hague: Nijhoff. Diarsipkan dari
versi asli tanggal 2008-08-17. Diakses tanggal 17 August 2008.
20. Murwanto, H.; Gunnell, Y; Suharsono, S.; Sutikno, S. and Lavigne, F (2004). "Borobudur
monument (Java, Indonesia) stood by a natural lake: chronostratigraphic evidence and
historical implications". The Holocene. 14 (3): 459–463. doi:10.1191/0959683604hl721rr.
21. R.W. van Bemmelen (1949). The geology of Indonesia, general geology of Indonesia and
adjacent archipelago, vol 1A, The Hague, Government Printing Office, Martinus Nijhoff. cited in
Murwanto (2004).
22. Newhall C.G., Bronto S., Alloway B., Banks N.G., Bahar I., del Marmol M.A., Hadisantono R.D.,
Holcomb R.T., McGeehin J., Miksic J.N., Rubin M., Sayudi S.D., Sukhyar R., Andreastuti S.,
Tilling R.I., Torley R., Trimble D., and Wirakusumah A.D. (2000). "10,000 Years of explosive
eruptions of Merapi Volcano, Central Java: archaeological and modern implications". Journal of
Volcanology and Geothermal Research. 100 (1): 9–50. doi:10.1016/S0377-0273(00)00132-3.
23. Soekmono (1976), halaman 9.
24. Miksic (1990)
25. Dumarçay (1991).
26. Paul Michel Munoz (2007). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay
Peninsula. Singapore: Didier Millet. hlm. 143. ISBN 981-4155-67-5.
27. W. J. van der Meulen (1977). "In Search of "Ho-Ling" ". Indonesia. 23: 87–112.
28. W. J. van der Meulen (1979). "King Sañjaya and His Successors". Indonesia. 28 (28): 17–54.
doi:10.2307/3350894. JSTOR 3350894.
29. Soekmono (1976), halaman 10.
30. D.G.E. Hall (1956). "Problems of Indonesian Historiography". Pacific Affairs. 38 (3/4): 353–359.
doi:10.2307/2754037. JSTOR 2754037.
31. Roy E. Jordaan (1993). Imagine Buddha in Prambanan: Reconsidering the Buddhist
Background of the Loro Jonggrang Temple Complex. Leiden: Vakgroep Talen en Culturen van
Zuidoost-Azië en Ocenanië, Rijksuniversiteit te Leiden. ISBN 90-73084-08-3.
32. Soekmono (1976), halaman 5.
33. Soekmono (1976), halaman 6.
34. Soekmono (1976), halaman 42.
35. John Miksic, Marcello Tranchini, Anita Tranchini (1996). "Borobudur: Golden Tales of the
Buddhas". Tuttle publishing. hlm. 29. Diakses tanggal 2 April 2012.
36. "Borobudur Pernah Salah Design?". Kompas.com (dalam bahasa Indonesian). Kompas. 7 April
2000. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-12-26. Diakses tanggal 23 August 2008.
37. Soekmono (1976), halaman 43.
38. UNESCO (31 August 2004). UNESCO experts mission to Prambanan and Borobudur Heritage
Sites. Siaran pers.
39. Caesar Voute; Voute, Caesar (1973). "The Restoration and Conservation Project of Borobudur
Temple, Indonesia. Planning: Research: Design". Studies in Conservation. 18 (3): 113–130.
doi:10.2307/1505654. JSTOR 1505654.
40. "Pemimpin Proyek (PP)".
41. "Arsip Sektor Tekno Arkeologi".
42. UNESCO. Cultural heritage and partnership; 1999 (http://unesdoc.unesco.org/images/0011/001
163/116321Eo.pdf) (PDF). Siaran pers. Diakses pada 17 August 2008.
43. Coordinating Ministry for Public Welfare. Keputusan Bersama tentang Hari Libur Nasional dan
Cuti Bersama tahun 2006 (http://menkokesra.go.id/content/view/460/73/) (dalam Indonesian).
Siaran pers. Diakses pada 17 August 2008. "Salinan arsip". Archived from the original on 2008-
03-07. Diakses tanggal 2021-02-04.
44. "The Meaning of Procession". Waisak. Walubi (Buddhist Council of Indonesia). Diarsipkan dari
versi asli tanggal 2009-02-11. Diakses tanggal 28 December 2008.
45. "1,100-Year-Old Buddhist Temple Wrecked By Bombs in Indonesia". The Miami Herald. 22
January 1985. Diakses tanggal 17 August 2008.
46. Harold Crouch (2002). "The Key Determinants of Indonesia's Political Future" (PDF). Institute of
Southeast Asian Studies. 7. ISSN 0219-3213. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2015-03-
20. Diakses tanggal 2011-11-01.
47. Jamie James (27 January 2003). "Battle of Borobudur". Time. Diarsipkan dari versi asli tanggal
2007-09-30. Diakses tanggal 23 August 2008.
48. Sebastien Berger (30 May 2006). "An ancient wonder reduced to rubble". The Sydney Morning
Herald. Diakses tanggal 23 August 2008.
49. "Section II: Periodic Report on the State of Conservation" (PDF). State of Conservation of the
World Heritage Properties in the Asia-Pacific Region. UNESCO World Heritage. Diakses
tanggal 23 February 2010.
50. "Covered in volcanic ash, Borobudur closed temporarily". ANTARA News. from, Magelang, C
Java (by ANTARA News). 6 November 2010. Diakses tanggal 6 November 2010.
51. "Borobudur Temple Forced to Close While Workers Remove Merapi Ash". Jakarta Globe. 7
November 2010. Diakses tanggal 7 November 2010.
52. "Inilah Foto-foto Kerusakan Candi". Tribunnews.com. Tribun News. 7 November 2010. Diakses
tanggal 7 November 2010.
53. "Borobudur's post-Merapi eruption rehabilitating may take three years: Official". 2011-02-17.
Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-08-06. Diakses tanggal 2011-11-01.
54. http://www.thejakartapost.com/news/2011/06/28/borobudur-clean-finish-november.html
55. A. Wayman (1981). "Reflections on the Theory of Barabudur as a Mandala". Barabudu History
and Significance of a Buddhist Monument. Berkeley: Asian Humanities Press.
56. Soekmono (1976), halaman 18.
57. Soekmono (1976), halaman 16.
58. Caesar Voûte and Mark Long. Borobudur: Pyramid of the Cosmic Buddha. D.K. Printworld Ltd.
Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-06-08. Diakses tanggal 17 August 2008.
59. Atmadi (1988).
60. H. Situngkir (2010). "Borobudur Was Built Algorithmically". BFI Working Paper Series WP-9-
2010. Bandung Fe Institute.
61. "Borobudur" (dalam bahasa Inggris). Buddhist Travel. 2008. Diakses tanggal 2011-11-11.
62. Tom Cockrem, Sydney Morening Herald, May 18, 2008 (2008). "Temple of enlightenment"
(dalam bahasa Inggris). The Buddhist Channel.tv. Diakses tanggal 2011-11-11.
63. "Surasundari" (dalam bahasa Inggris). Art and Archaeology.com. Diakses tanggal 2011-11-11.
64. "The Cinnamon Route" (dalam bahasa Inggris). Borobudur Park. Diarsipkan dari versi asli
tanggal 2010-09-25. Diakses tanggal 2011-12-14.
65. "The Borobudur Ship Expedition, Indonesia to Africa 2003-2004" (dalam bahasa Inggris). The
Borobudur Ship Expedition. 2004. Diakses tanggal 2011-12-14.
66. Sugata, Ferlina (2016). "Keterkaitan Aktivitas Pradaksina pada Ragam Tipologi Bangunan
Stupa". Journal of Design. 1 (2): 210.
67. Hiram W. Woodward Jr. (1979). "Acquisition". Critical Inquiry. 6 (2): 291–303.
doi:10.1086/448048.
68. Roderick S. Bucknell and Martin Stuart-Fox (1995). The Twilight Language: Explorations in
Buddhist Meditation and Symbolism. UK: Routledge. ISBN 0700702342.
69. Wood, Michael. "The Borderlands of Southeast Asia Chapter 2ː Archaeology, National
Histories, and National Borders in Southeast Asia" (PDF): 38. Diarsipkan dari versi asli (PDF)
tanggal 2015-05-05. Diakses tanggal 4 May 2015.
70. "The Greatest Sacred Buildings". Museum of World Religions, Taipei. Diarsipkan dari versi asli
tanggal 2017-02-07. Diakses tanggal 4 May 2015.
71. "Buddhism in Indonesia". Buddhanet. Diakses tanggal 4 May 2015.
72. "Vesak Festival: A Truly Sacred Experience". Wonderful Indonesia. Diakses tanggal 4 May
2015.
73. "Arsip pemugaran Borobudur diajukan jadi Memory of the World – KWRI UNESCO | Delegasi
Tetap Republik Indonesia untuk UNESCO". kwriu.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal
2023-10-12.
74. Borobudur, Balai Konservasi (2019-07-11). "Theodoor van Erp". Balai Konservasi Borobudur
(dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-10-12.
Lihat pula
Agama Buddha di Indonesia
Agama Buddha di Asia Tenggara
Candi
Candi Prambanan
Kompleks Candi Borobudur
Daftar pustaka
Dr. Soekmono, Candi Borobudur - Pusaka Budaya Umat Manusia, Jakarta: Pustaka Jaya
(1978)
Pranala luar
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Borobudur.