Anda di halaman 1dari 15

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik.
Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah
Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.
Dalam penyusunan makalah ini, kami banyak mendapat tantangan dan
hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa
teratasi. Olehnya itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini,
semoga bantuannya mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna baik dari
bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat
kami harapkan untuk penyempurnaan selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.

Indonesia, Februari 2022

Penyusun
DAFTAR ISI
 KATA PENGANTAR
 DAFTAR ISI
 BAB I  PENDAHULUAN
 A. Latar Belakang
 B. Rumusan Masalah
 BAB II PEMBAHASAN
 A. Sejarah Candi Borobudur
 B. Arsitektur Candi Borobudur
 1. Konsep rancang bangun
 a. Kamadhatu
 b. Rupadhatu
 c. Arupadhatu
 2. Struktur bangunan
 C. Relief Candi Borobudur
 1. Karmawibhangga
 2. Lalitawistara
 3. Jataka dan Awadana
 4. Gandawyuha
 D. Arca Buda di Candi Borobudur
 BAB III PENUTUP
 A. Kesimpulan
 B. Saran
 DAFTAR PUSTAKA
BAB I 
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Borobudur adalah sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur,
Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di
sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di
sebelah barat laut Yogyakarta. Candi berbentuk stupa ini didirikan oleh para
penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa
pemerintahan wangsa Syailendra. Borobudur adalah candi atau kuil Buddha
terbesar di dunia, sekaligus salah satu monumen Buddha terbesar di dunia.
Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang
diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan
2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha. Borobudur memiliki
koleksi relief Buddha terlengkap dan terbanyak di dunia. Stupa utama terbesar
teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan
melingkar 72 stupa berlubang yang di dalamnya terdapat arca buddha tengah
duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap tangan)
Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).
Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai
tempat suci untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah
untuk menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju
pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha. Para peziarah masuk
melalui sisi timur memulai ritual di dasar candi dengan berjalan melingkari
bangunan suci ini searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya
melalui tiga tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu
adalah Kāmadhātu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan
Arupadhatu (ranah tak berwujud). Dalam perjalanannya ini peziarah berjalan
melalui serangkaian lorong dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari
1.460 panel relief indah yang terukir pada dinding dan pagar langkan.
Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14
seiring melemahnya pengaruh Kerajaan Hindu-Buddha di Jawa serta mulai
masuknya pengaruh Islam. Dunia mulai menyadari keberadaan bangunan ini
sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang saat itu menjabat
sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu Borobudur telah
mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran. Proyek pemugaran
terbesar digelar pada kurun 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik
Indonesia dan UNESCO, kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs
Warisan Dunia.
Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap
tahun umat Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara
berkumpul di Borobudur untuk memperingati Trisuci Waisak. Dalam dunia
pariwisata, Borobudur adalah objek wisata tunggal di Indonesia yang paling
banyak dikunjungi wisatawan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana sejarah Candi Borobudur?
2. Bagaimana bentuk arsitektur Candi Borobudur?
3. Bagaimana bentuk relief Candi Borobudur?
4. Bagaimana bentuk arca Buda di Candi Borobudur?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Candi Borobudur
Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang
membangun Borobudur dan apa kegunaannya. Waktu pembangunannya
diperkirakan berdasarkan perbandingan antara jenis aksara yang tertulis di kaki
tertutup Karmawibhangga dengan jenis aksara yang lazim digunakan pada
prasasti kerajaan abad ke-8 dan ke-9. Diperkirakan Borobudur dibangun sekitar
tahun 800 masehi. Kurun waktu ini sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M,
masa puncak kejayaan wangsa Syailendra di Jawa Tengah, yang kala itu
dipengaruhi Kemaharajaan Sriwijaya. Pembangunan Borobudur diperkirakan
menghabiskan waktu 75 – 100 tahun lebih dan benar-benar dirampungkan pada
masa pemerintahan raja Samaratungga pada tahun 825.
Terdapat kesimpangsiuran fakta mengenai apakah raja yang berkuasa di
Jawa kala itu beragama Hindu atau Buddha. Wangsa Sailendra diketahui sebagai
penganut agama Buddha aliran Mahayana yang taat, akan tetapi melalui temuan
prasasti Sojomerto menunjukkan bahwa mereka mungkin awalnya beragama
Hindu Siwa. Pada kurun waktu itulah dibangun berbagai candi Hindu dan Buddha
di Dataran Kedu. Berdasarkan Prasasti Canggal, pada tahun 732 M, raja beragama
Siwa Sanjaya memerintahkan pembangunan bangunan suci Shiwalingga yang
dibangun di perbukitan Gunung Wukir, letaknya hanya 10 km (6.2 mi) sebelah
timur dari Borobudur. Candi Buddha Borobudur dibangun pada kurun waktu
yang hampir bersamaan dengan candi-candi di dataran Prambanan, meskipun
demikian Borobudur diperkirakan sudah rampung sekitar 825 M, dua puluh lima
tahun lebih awal sebelum dimulainya pembangunan candi Siwa Prambanan
sekitar tahun 850 M.
Pembangunan candi-candi Buddha termasuk Borobudur saat itu
dimungkinkan karena pewaris Sanjaya, Rakai Panangkaran memberikan izin
kepada umat Buddha untuk membangun candi. Bahkan untuk menunjukkan
penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan desa Kalasan kepada sangha
(komunitas Buddha), untuk pemeliharaan dan pembiayaan Candi Kalasan yang
dibangun untuk memuliakan Bodhisattwadewi Tara, sebagaimana disebutkan
dalam Prasasti Kalasan berangka tahun 778 Masehi. Petunjuk ini dipahami oleh
para arkeolog, bahwa pada masyarakat Jawa kuno, agama tidak pernah menjadi
masalah yang dapat menuai konflik, dengan dicontohkan raja penganut agama
Hindu bisa saja menyokong dan mendanai pembangunan candi Buddha,
demikian pula sebaliknya. Akan tetapi diduga terdapat persaingan antara dua
wangsa kerajaan pada masa itu wangsa Syailendra yang menganut Buddha dan
wangsa Sanjaya yang memuja Siwa yang kemudian wangsa Sanjaya memenangi
pertempuran pada tahun 856 di perbukitan Ratu Boko.
Ketidakjelasan juga timbul mengenai candi Lara Jonggrang di Prambanan,
candi megah yang dipercaya dibangun oleh sang pemenang Rakai Pikatan
sebagai jawaban wangsa Sanjaya untuk menyaingi kemegahan Borobudur milik
wangsa Syailendra, akan tetapi banyak pihak percaya bahwa terdapat suasana
toleransi dan kebersamaan yang penuh kedamaian antara kedua wangsa ini yaitu
pihak Sailendra juga terlibat dalam pembangunan Candi Siwa di Prambanan.

B. Arsitektur Candi Borobudur


Borobudur merupakan mahakarya seni rupa Buddha Indonesia, sebagai
contoh puncak pencapaian keselarasan teknik arsitektur dan estetika seni rupa
Buddha di Jawa. Bangunan ini diilhami gagasan dharma dari India, antara lain
stupa, dan mandala, tetapi dipercaya juga merupakan kelanjutan unsur lokal;
struktur megalitik punden berundak atau piramida bertingkat yang ditemukan
dari periode prasejarah Indonesia. Sebagai perpaduan antara pemujaan leluhur
asli Indonesia dan perjuangan mencapai Nirwana dalam ajaran Buddha.
1. Konsep rancang bangun
Pada hakikatnya Borobudur adalah sebuah stupa yang bila dilihat dari atas
membentuk pola Mandala besar. Mandala adalah pola rumit yang tersusun atas
bujursangkar dan lingkaran konsentris yang melambangkan kosmos atau alam
semesta yang lazim ditemukan dalam Buddha aliran Wajrayana-Mahayana.
Sepuluh pelataran yang dimiliki Borobudur menggambarkan secara jelas filsafat
mazhab Mahayana yang secara bersamaan menggambarkan kosmologi yaitu
konsep alam semesta, sekaligus tingkatan alam pikiran dalam ajaran Buddha.
Bagaikan sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh tingkatan
Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha.
Dasar denah bujur sangkar berukuran 123 meter (404 ft) pada tiap sisinya.
Bangunan ini memiliki sembilan teras, enam teras terbawah berbentuk bujur
sangkar dan tiga teras teratas berbentuk lingkaran.
Pada tahun 1885, secara tidak disengaja ditemukan struktur tersembunyi di
kaki Borobudur. Kaki tersembunyi ini terdapat relief yang 160 di antaranya adalah
berkisah tentang Karmawibhangga. Pada relief panel ini terdapat ukiran aksara
yang merupakan petunjuk bagi pengukir untuk membuat adegan dalam gambar
relief. Kaki asli ini tertutup oleh penambahan struktur batu yang membentuk
pelataran yang cukup luas, fungsi sesungguhnya masih menjadi misteri. Awalnya
diduga bahwa penambahan kaki ini untuk mencegah kelongsoran monumen.
Teori lain mengajukan bahwa penambahan kaki ini disebabkan kesalahan
perancangan kaki asli, dan tidak sesuai dengan Wastu Sastra, kitab India
mengenai arsitektur dan tata kota. Apapun alasan penambahan kaki ini,
penambahan dan pembuatan kaki tambahan ini dilakukan dengan teliti dengan
mempertimbangkan alasan keagamaan, estetik, dan teknis.
Ketiga tingkatan ranah spiritual dalam kosmologi Buddha adalah:
a. Kamadhatu
Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih
dikuasai oleh kama atau “nafsu rendah”. Bagian ini sebagian besar tertutup oleh
tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada
bagian kaki asli yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 160 panel cerita
Karmawibhangga yang kini tersembunyi. Sebagian kecil struktur tambahan di
sudut tenggara disisihkan sehingga orang masih dapat melihat beberapa relief
pada bagian ini. Struktur batu andesit kaki tambahan yang menutupi kaki asli ini
memiliki volume 13.000 meter kubik.
b. Rupadhatu
Empat undak teras yang membentuk lorong keliling yang pada dindingnya
dihiasi galeri relief oleh para ahli dinamakan Rupadhatu. Lantainya berbentuk
persegi. Rupadhatu terdiri dari empat lorong dengan 1.300 gambar relief.
Panjang relief seluruhnya 2,5 km dengan 1.212 panel berukir dekoratif.
Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu, tetapi
masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam antara
yakni, antara alam bawah dan alam atas. Pada bagian Rupadhatu ini patung-
patung Buddha terdapat pada ceruk atau relung dinding di atas pagar langkan
atau selasar.
Aslinya terdapat 432 arca Buddha di dalam relung-relung terbuka di
sepanjang sisi luar di pagar langkan. Pada pagar langkan terdapat sedikit
perbedaan rancangan yang melambangkan peralihan dari ranah Kamadhatu
menuju ranah Rupadhatu; pagar langkan paling rendah dimahkotai ratna,
sedangkan empat tingkat pagar langkan diatasnya dimahkotai stupika (stupa
kecil). Bagian teras-teras bujursangkar ini kaya akan hiasan dan ukiran relief.
c. Arupadhatu
Berbeda dengan lorong-lorong Rupadhatu yang kaya akan relief, mulai
lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan
Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai
berbentuk lingkaran. Tingkatan ini melambangkan alam atas, di mana manusia
sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum
mencapai nirwana. Pada pelataran lingkaran terdapat 72 dua stupa kecil
berterawang yang tersusun dalam tiga barisan yang mengelilingi satu stupa
besar sebagai stupa induk. Stupa kecil berbentuk lonceng ini disusun dalam 3
teras lingkaran yang masing-masing berjumlah 32, 24, dan 16 (total 72 stupa).
Dua teras terbawah stupanya lebih besar dengan lubang berbentuk belah
ketupat, satu teras teratas stupanya sedikit lebih kecil dan lubangnya berbentuk
kotak bujur sangkar.
Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup
berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu masih
tampak samar-samar. Rancang bangun ini dengan cerdas menjelaskan konsep
peralihan menuju keadaan tanpa wujud, yakni arca Buddha itu ada tetapi tak
terlihat.
Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud yang sempurna
dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan
polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan
patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga Buddha yang tidak
rampung, yang disalahsangkakan sebagai patung ‘Adibuddha’, padahal melalui
penelitian lebih lanjut tidak pernah ada patung di dalam stupa utama, patung
yang tidak selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu.
Menurut kepercayaan patung yang salah dalam proses pembuatannya memang
tidak boleh dirusak. Penggalian arkeologi yang dilakukan di halaman candi ini
menemukan banyak patung seperti ini. Stupa utama yang dibiarkan kosong
diduga bermakna kebijaksanaan tertinggi, yaitu kasunyatan, kesunyian dan
ketiadaan sempurna di mana jiwa manusia sudah tidak terikat hasrat, keinginan,
dan bentuk serta terbebas dari lingkaran samsara.
2. Struktur bangunan
Sekitar 55.000 meter kubik batu andesit diangkut dari tambang batu dan
tempat penatahan untuk membangun monumen ini. Batu ini dipotong dalam
ukuran tertentu, diangkut menuju situs dan disatukan tanpa menggunakan
semen. Struktur Borobudur tidak memakai semen sama sekali, melainkan sistem
interlock (saling kunci) yaitu seperti balok-balok lego yang bisa menempel tanpa
perekat. Batu-batu ini disatukan dengan tonjolan dan lubang yang tepat dan
muat satu sama lain, serta bentuk “ekor merpati” yang mengunci dua blok batu.
Relief dibuat di lokasi setelah struktur bangunan dan dinding rampung.
Monumen ini dilengkapi dengan sistem drainase yang cukup baik untuk wilayah
dengan curah hujan yang tinggi. Untuk mencegah genangan dan kebanjiran, 100
pancuran dipasang di setiap sudut, masing-masing dengan rancangan yang unik
berbentuk kepala raksasa kala atau makara.
Borobudur amat berbeda dengan rancangan candi lainnya, candi ini tidak
dibangun di atas permukaan datar, tetapi di atas bukit alami. Akan tetapi teknik
pembangunannya serupa dengan candi-candi lain di Jawa. Borobudur tidak
memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Yang ada ialah lorong-
lorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi dinding
mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Secara umum rancang bangun
Borobudur mirip dengan piramida berundak. Di lorong-lorong inilah umat
Buddha diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah
kanan. Borobudur mungkin pada awalnya berfungsi lebih sebagai sebuah stupa,
daripada kuil atau candi. Stupa memang dimaksudkan sebagai bangunan suci
untuk memuliakan Buddha. Terkadang stupa dibangun sebagai lambang
penghormatan dan pemuliaan kepada Buddha. Sementara kuil atau candi lebih
berfungsi sebagai rumah ibadah. Rancangannya yang rumit dari monumen ini
menunjukkan bahwa bangunan ini memang sebuah bangunan tempat
peribadatan. Bentuk bangunan tanpa ruangan dan struktur teras bertingkat-
tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari bentuk punden berundak,
yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia.
Menurut legenda setempat arsitek perancang Borobudur bernama
Gunadharma, sedikit yang diketahui tentang arsitek misterius ini. Namanya lebih
berdasarkan dongeng dan legenda Jawa dan bukan berdasarkan prasasti
bersejarah. Legenda Gunadharma terkait dengan cerita rakyat mengenai
perbukitan Menoreh yang bentuknya menyerupai tubuh orang berbaring.
Dongeng lokal ini menceritakan bahwa tubuh Gunadharma yang berbaring
berubah menjadi jajaran perbukitan Menoreh, tentu saja legenda ini hanya fiksi
dan dongeng belaka.
Perancangan Borobudur menggunakan satuan ukur tala, yaitu panjang
wajah manusia antara ujung garis rambut di dahi hingga ujung dagu, atau jarak
jengkal antara ujung ibu jari dengan ujung jari kelingking ketika telapak tangan
dikembangkan sepenuhnya. Tentu saja satuan ini bersifat relatif dan sedikit
berbeda antar individu, akan tetapi satuan ini tetap pada monumen ini. Penelitian
pada 1977 mengungkapkan rasio perbandingan 4:6:9 yang ditemukan di
monumen ini. Arsitek menggunakan formula ini untuk menentukan dimensi yang
tepat dari suatu fraktal geometri perulangan swa-serupa dalam rancangan
Borobudur. Rasio matematis ini juga ditemukan dalam rancang bangun Candi
Mendut dan Pawon di dekatnya. Arkeolog yakin bahwa rasio 4:6:9 dan satuan tala
memiliki fungsi dan makna penanggalan, astronomi, dan kosmologi. Hal yang
sama juga berlaku di candi Angkor Wat di Kamboja.
Struktur bangunan dapat dibagi atas tiga bagian: dasar (kaki), tubuh, dan
puncak. Dasar berukuran 123×123 m (403.5 × 403.5 ft) dengan tinggi 4 meter (13
ft). Tubuh candi terdiri atas lima batur teras bujur sangkar yang makin mengecil
di atasnya. Teras pertama mundur 7 meter (23 ft) dari ujung dasar teras. Tiap
teras berikutnya mundur 2 meter (6.6 ft), menyisakan lorong sempit pada tiap
tingkatan. Bagian atas terdiri atas tiga teras melingkar, tiap tingkatan menopang
barisan stupa berterawang yang disusun secara konsentris. Terdapat stupa utama
yang terbesar di tengah; dengan pucuk mencapai ketinggian 35 meter (115 ft)
dari permukaan tanah. Tinggi asli Borobudur termasuk chattra (payung susun
tiga) yang kini dilepas adalah 42 meter (138 ft).
Tangga terletak pada bagian tengah keempat sisi mata angin yang
membawa pengunjung menuju bagian puncak monumen melalui serangkaian
gerbang pelengkung yang dijaga 32 arca singa. Gawang pintu gerbang dihiasi
ukiran Kala pada puncak tengah lowong pintu dan ukiran makara yang menonjol
di kedua sisinya. Motif Kala-Makara lazim ditemui dalam arsitektur pintu candi di
Jawa. Pintu utama terletak di sisi timur, sekaligus titik awal untuk membaca kisah
relief. Tangga ini lurus terus tersambung dengan tangga pada lereng bukit yang
menghubungkan candi dengan dataran di sekitarnya.

C. Relief Candi Borobudur


Pada dinding candi di setiap tingkatan kecuali pada teras-teras Arupadhatu
dipahatkan panel-panel bas-relief yang dibuat dengan sangat teliti dan halus.
Relief dan pola hias Borobudur bergaya naturalis dengan proporsi yang ideal dan
selera estetik yang halus. Relief-relief ini sangat indah, bahkan dianggap sebagai
yang paling elegan dan anggun dalam kesenian dunia Buddha. Relief Borobudur
juga menerapkan disiplin seni rupa India, seperti berbagai sikap tubuh yang
memiliki makna atau nilai estetis tertentu. Relief-relief berwujud manusia mulia
seperti pertapa, raja dan wanita bangsawan, bidadari atapun makhluk yang
mencapai derajat kesucian laksana dewa, seperti tara dan boddhisatwa, sering
kali digambarkan dengan posisi tubuh tribhanga. Posisi tubuh ini disebut “lekuk
tiga” yaitu melekuk atau sedikit condong pada bagian leher, pinggul, dan
pergelangan kaki dengan beban tubuh hanya bertumpu pada satu kaki,
sementara kaki yang lainnya dilekuk beristirahat. Posisi tubuh yang luwes ini
menyiratkan keanggunan, misalnya figur bidadari Surasundari yang berdiri
dengan sikap tubuh tribhanga sambil menggenggam teratai bertangkai panjang.
Relief Borobudur menampilkan banyak gambar; seperti sosok manusia baik
bangsawan, rakyat jelata, atau pertapa, aneka tumbuhan dan hewan, serta
menampilkan bentuk bangunan vernakular tradisional Nusantara. Borobudur tak
ubahnya bagaikan kitab yang merekam berbagai aspek kehidupan masyarakat
Jawa kuno. Banyak arkeolog meneliti kehidupan masa lampau di Jawa kuno dan
Nusantara abad ke-8 dan ke-9 dengan mencermati dan merujuk ukiran relief
Borobudur. Bentuk rumah panggung, lumbung, istana dan candi, bentuk
perhiasan, busana serta persenjataan, aneka tumbuhan dan margasatwa, serta
alat transportasi, dicermati oleh para peneliti. Salah satunya adalah relief terkenal
yang menggambarkan Kapal Borobudur. Kapal kayu bercadik khas Nusantara ini
menunjukkan kebudayaan bahari purbakala. Replika bahtera yang dibuat
berdasarkan relief Borobudur tersimpan di Museum Samudra Raksa yang terletak
di sebelah utara Borobudur.
Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina
dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sanskerta daksina yang artinya
ialah timur. Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain relief-relief
cerita jātaka. Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa dimulai, dan berakhir
pada pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya, mulainya di sebelah kiri dan
berakhir di sebelah kanan pintu gerbang itu. Maka secara nyata bahwa sebelah
timur adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi,
artinya bahwa candi menghadap ke timur meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar.
Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara singkat bermakna
sebagai berikut:
1. Karmawibhangga
Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi
dinding batur yang terselubung tersebut menggambarkan hukum karma.
Karmawibhangga adalah naskah yang menggambarkan ajaran mengenai karma,
yakni sebab-akibat perbuatan baik dan jahat. Deretan relief tersebut bukan
merupakan cerita seri (serial), tetapi pada setiap pigura menggambarkan suatu
cerita yang mempunyai hubungan sebab akibat. Relief tersebut tidak saja
memberi gambaran terhadap perbuatan tercela manusia disertai dengan
hukuman yang akan diperolehnya, tetapi juga perbuatan baik manusia dan
pahala. Secara keseluruhan merupakan penggambaran kehidupan manusia
dalam lingkaran lahir – hidup – mati (samsara) yang tidak pernah berakhir, dan
oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri untuk menuju
kesempurnaan. Kini hanya bagian tenggara yang terbuka dan dapat dilihat oleh
pengujung. Foto lengkap relief Karmawibhangga dapat disaksikan di Museum
Karmawibhangga di sisi utara candi Borobudur.
2. Lalitawistara
Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan relief-relief
(tetapi bukan merupakan riwayat yang lengkap) yang dimulai dari turunnya Sang
Buddha dari surga Tushita, dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman
Rusa dekat kota Banaras. Relief ini berderet dari tangga pada sisi sebelah selatan,
setelah melampui deretan relief sebanyak 27 pigura yang dimulai dari tangga sisi
timur. Ke-27 pigura tersebut menggambarkan kesibukan, baik di sorga maupun
di dunia, sebagai persiapan untuk menyambut hadirnya penjelmaan terakhir
Sang Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief tersebut menggambarkan lahirnya
Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha, putra Raja
Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief tersebut
berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang secara
simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di
sebut dharma yang juga berarti “hukum”, sedangkan dharma dilambangkan
sebagai roda.
3. Jataka dan Awadana
Jataka adalah berbagai cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan
sebagai Pangeran Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan perbuatan-
perbuatan baik, seperti sikap rela berkorban dan suka menolong yang
membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain manapun juga. Beberapa kisah
Jataka menampilkan kisah fabel yakni kisah yang melibatkan tokoh satwa yang
bersikap dan berpikir seperti manusia. Sesungguhnya, pengumpulan jasa atau
perbuatan baik merupakan tahapan persiapan dalam usaha menuju ketingkat ke-
Buddha-an.
Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan
tetapi pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan ceritanya
dihimpun dalam kitab Diwyawadana yang berarti perbuatan mulia kedewaan, dan
kitab Awadanasataka atau seratus cerita Awadana. Pada relief candi Borobudur
Jataka dan Awadana, diperlakukan sama, artinya keduanya terdapat dalam
deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan yang paling terkenal dari
kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala atau untaian cerita Jataka, karya
penyair Aryasura yang hidup dalam abad ke-4 Masehi.
4. Gandawyuha
Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong ke-2,adalah cerita
Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari
Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana.
Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab suci Buddha
Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya
berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.
D. Arca Buda di Candi Borobudur
Selain wujud buddha dalam kosmologi buddhis yang terukir di dinding, di
Borobudur terdapat banyak arca buddha duduk bersila dalam posisi teratai serta
menampilkan mudra atau sikap tangan simbolis tertentu. Patung buddha dengan
tinggi 1,5 meter ini dipahat dari bahan batu andesit. Patung buddha dalam
relung-relung di tingkat Rupadhatu, diatur berdasarkan barisan di sisi luar pagar
langkan. Jumlahnya semakin berkurang pada sisi atasnya. Barisan pagar langkan
pertama terdiri dari 104 relung, baris kedua 104 relung, baris ketiga 88 relung,
baris keempat 72 relung, dan baris kelima 64 relung. Jumlah total terdapat 432
arca Buddha di tingkat Rupadhatu. Pada bagian Arupadhatu (tiga pelataran
melingkar), arca Buddha diletakkan di dalam stupa-stupa berterawang
(berlubang). Pada pelataran melingkar pertama terdapat 32 stupa, pelataran
kedua 24 stupa, dan pelataran ketiga terdapat 16 stupa, semuanya total 72 stupa.
Dari jumlah asli sebanyak 504 arca Buddha, lebih dari 300 telah rusak
(kebanyakan tanpa kepala) dan 43 hilang (sejak penemuan monumen ini, kepala
buddha sering dicuri sebagai barang koleksi, kebanyakan oleh museum luar
negeri).
Secara sepintas semua arca buddha ini terlihat serupa, akan tetapi terdapat
perbedaan halus di antaranya, yaitu pada mudra atau posisi sikap tangan.
Terdapat lima golongan mudra: Utara, Timur, Selatan, Barat, dan Tengah,
kesemuanya berdasarkan lima arah utama kompas menurut ajaran Mahayana.
Keempat pagar langkan memiliki empat mudra: Utara, Timur, Selatan, dan Barat,
di mana masing-masing arca buddha yang menghadap arah tersebut
menampilkan mudra yang khas. Arca Buddha pada pagar langkan kelima dan
arca Buddha di dalam 72 stupa berterawang di pelataran atas menampilkan
mudra: Tengah atau Pusat. Masing-masing mudra melambangkan lima Dhyani
Buddha; masing-masing dengan makna simbolisnya tersendiri.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Borobudur adalah candi atau kuil Buddha terbesar di dunia, sekaligus salah
satu monumen Buddha terbesar di dunia. Pembangunan candi-candi Buddha
termasuk Borobudur saat itu dimungkinkan karena pewaris Sanjaya, Rakai
Panangkaran memberikan izin kepada umat Buddha untuk membangun candi.
Bahkan untuk menunjukkan penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan
desa Kalasan kepada sangha (komunitas Buddha), untuk pemeliharaan dan
pembiayaan Candi Kalasan yang dibangun untuk memuliakan Bodhisattwadewi
Tara, sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Kalasan berangka tahun 778
Masehi.
Borobudur merupakan mahakarya seni rupa Buddha Indonesia, sebagai
contoh puncak pencapaian keselarasan teknik arsitektur dan estetika seni rupa
Buddha di Jawa. Bangunan ini diilhami gagasan dharma dari India, antara lain
stupa, dan mandala, tetapi dipercaya juga merupakan kelanjutan unsur lokal;
struktur megalitik punden berundak atau piramida bertingkat yang ditemukan
dari periode prasejarah Indonesia.
Relief Borobudur menampilkan banyak gambar; seperti sosok manusia baik
bangsawan, rakyat jelata, atau pertapa, aneka tumbuhan dan hewan, serta
menampilkan bentuk bangunan vernakular tradisional Nusantara. Borobudur tak
ubahnya bagaikan kitab yang merekam berbagai aspek kehidupan masyarakat
Jawa kuno.

B. Saran
Lestarikan dan kembangkan potensi warisan budaya agar Candi Borobudur
yang sebagai peninggalan bersejarah yang tak ternilai harganya ini mampu
memaksimalkan potensi. Sebaiknya upaya-upaya yang dilakukan pemerintah
untuk menjaga dan melestarikan Candi Borobudur tersebut tetap menjadi daya
tarik terutama dari segi kepariwisataan, arkeologi dan ilmu pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Anomi. (1983). Pariwisata Jawa Tengah. Semarang: Dinas Pariwisata Jawa Tengah.

Moertjipto. (1993). Borobudur, Pawon, dan Mendut. Yogyakarta: Kanisus.

Soedirman. (1980). Borobudur Salah Satu Keajaiban Dunia. Yogyakarta: Pustaka


Jaya.

Soeharsono. (1969). Petunjuk Singkat untuk Bangunan Suci Borobudur. Yogjakarta:


Taman Siswa Yogyakarta.

Soekmono. (1978). Candi Borobudur – Pusaka Budaya Umat Manusia. Jakarta:


Pustaka Jaya.

Soetarno, R. (1994). Borobudur Selayang Padang. Solo: Tiga Serangkai.

Widya, Dharma. (2000). Riwayat Hidup Sang Budha Gautama. Jakarta: Yayasan


Dana Pendidikan Budhis.

https://id.wikipedia.org/wiki/Borobudur

Anda mungkin juga menyukai