Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

CANDI BOROBUDUR

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Sejarah


Indonesia Di SMA SANTO LEO III CIKARANG

Disusun Oleh:
Paulus Anggoro Jatiwaluyo

SMA SANTO LEO III CIKARANG


Alamat : Jl. Dr. Cipto Mangunkusumo, Simpangan, Kec.
Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat 17534
KATA PENGANTAR

Syukur yang tak terhingga kami panjatkan kehadirat Tuhan yang tiada henti-
hentinya mengalirkan segala kearifan dalam setiap kalbu hambanya yang haus dan
cinta akan ilmu yang dengannya tiada akan pernah kering samudera pikir dan
terbukalah setiap mata hati. Begitu pula dengan segala rahmat dan hidayah-Nya-
lah sehingga makalah yang berjudul ”CANDI BOROBUDUR” dapat
terselesaikan.
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini ialah untuk memenuhi salah satu
tugas mata pelajaran di SMA Santo Leo III Cikarang.
Kami berharap agar laporan ini dapat memberikan manfaat bagi para
pembaca. Kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami
harapkan demi kesempurnaan laporan ini
Demikianlah makalah ini dibuat dan tidak menutup kemungkinan dalam
penyusunannya terdapat kekurangan dan kesalahan didalamnya. Oleh karena itu,
kami mengharapkan saran dan komentarnya yang dapat dijadikan masukan guna
perbaikan pembuatan makalah selanjutnya.
.

Cikarang, 2 Februari 2023

Paulus Anggoro

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN............................................................. i
KATA PENGANTAR...................................................................... ii
DAFTAR ISI..................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................................. 2
C. Tujuan.................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Candi Borobudur................................................................ 3
B. Arsitektur Candi Borobudur........................................................... 5
C. Relief Candi Borobudur......................................................... 11
D. Arca Buda di Candi Borobudur..................................................... 15
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................ 18
B. Saran...................................................................................... 18
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Borobudur adalah sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur,
Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km
di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km
di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi berbentuk stupa ini didirikan oleh para
penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa
pemerintahan wangsa Syailendra. Borobudur adalah candi atau kuil Buddha
terbesar di dunia, sekaligus salah satu monumen Buddha terbesar di dunia.
Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang
diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan
2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha. Borobudur memiliki
koleksi relief Buddha terlengkap dan terbanyak di dunia. Stupa utama terbesar
teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga
barisan melingkar 72 stupa berlubang yang di dalamnya terdapat arca buddha
tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap
tangan) Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).
Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai
tempat suci untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat
ziarah untuk menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju
pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha. Para peziarah masuk
melalui sisi timur memulai ritual di dasar candi dengan berjalan melingkari
bangunan suci ini searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya
melalui tiga tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu
adalah Kāmadhātu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan
Arupadhatu (ranah tak berwujud). Dalam perjalanannya ini peziarah berjalan
melalui serangkaian lorong dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari
1.460 panel relief indah yang terukir pada dinding dan pagar langkan.

1
Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14
seiring melemahnya pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta mulai
masuknya pengaruh Islam. Dunia mulai menyadari keberadaan bangunan ini
sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang saat itu
menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu
Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran.
Proyek pemugaran terbesar digelar pada kurun 1975 hingga 1982 atas upaya
Pemerintah Republik Indonesia dan UNESCO, kemudian situs bersejarah ini
masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia.
Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap
tahun umat Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara
berkumpul di Borobudur untuk memperingati Trisuci Waisak. Dalam dunia
pariwisata, Borobudur adalah objek wisata tunggal di Indonesia yang paling
banyak dikunjungi wisatawan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah Candi Borobudur?
2. Bagaimana bentuk arsitektur Candi Borobudur?
3. Bagaimana bentuk relief Candi Borobudur?
4. Bagaimana bentuk arca Buda di Candi Borobudur?

C. Tujuan
1. Berdasarkan rumusan masalah di atas maka dapat dituliskan tujuan berikut
Mengetahui sejarah Candi Borobudur
2. Mengetahui bentuk arsitektur candi Borobudur
3. Mengetahui bentuk relief Candi Borobudur
4. Mengetahui Arca Buda di Candi Borobudur

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Candi Borobudur


Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang
membangun Borobudur dan apa kegunaannya. Waktu pembangunannya
diperkirakan berdasarkan perbandingan antara jenis aksara yang tertulis di
kaki tertutup Karmawibhangga dengan jenis aksara yang lazim digunakan
pada prasasti kerajaan abad ke-8 dan ke-9. Diperkirakan Borobudur dibangun
sekitar tahun 800 masehi. Kurun waktu ini sesuai dengan kurun antara 760
dan 830 M, masa puncak kejayaan wangsa Syailendra di Jawa Tengah, yang
kala itu dipengaruhi Kemaharajaan Sriwijaya. Pembangunan Borobudur
diperkirakan menghabiskan waktu 75 - 100 tahun lebih dan benar-benar
dirampungkan pada masa pemerintahan raja Samaratungga pada tahun 825.
(Trimaryanto, Aldriyanto Candi-Candi Bersejarah di Indonesia, 2019)

Gambar 2.1 (Lukisan karya G.B.Hooijer, dibuat kurun 1916-1919, merekroktuksi


suasana di Borobudur pada masa jayanya)
Terdapat kesimpangsiuran fakta mengenai apakah raja yang berkuasa di
Jawa kala itu beragama Hindu atau Buddha. Wangsa Sailendra diketahui
sebagai penganut agama Buddha aliran Mahayana yang taat, akan tetapi
melalui temuan prasasti Sojomerto menunjukkan bahwa mereka mungkin
awalnya beragama Hindu Siwa. Pada kurun waktu itulah dibangun berbagai
candi Hindu dan Buddha di Dataran Kedu. Berdasarkan Prasasti Canggal,

3
pada tahun 732 M, raja beragama Siwa Sanjaya memerintahkan
pembangunan bangunan suci Shiwalingga yang dibangun di perbukitan
Gunung Wukir, letaknya hanya 10 km (6.2 mi) sebelah timur dari Borobudur.
Candi Buddha Borobudur dibangun pada kurun waktu yang hampir
bersamaan dengan candi-candi di Dataran Prambanan, meskipun demikian
Borobudur diperkirakan sudah rampung sekitar 825 M, dua puluh lima tahun
lebih awal sebelum dimulainya pembangunan candi Siwa Prambanan sekitar
tahun 850 M.
(Dr. Soekmono, Candi Borobudur - Pusaka Norma budaya Umat Manusia,
Jakarta: Pustaka Jaya 1978)
Pembangunan candi-candi Buddha termasuk Borobudur saat itu
dimungkinkan karena pewaris Sanjaya, Rakai Panangkaran memberikan izin
kepada umat Buddha untuk membangun candi. Bahkan untuk menunjukkan
penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan desa Kalasan kepada
sangha (komunitas Buddha), untuk pemeliharaan dan pembiayaan Candi
Kalasan yang dibangun untuk memuliakan Bodhisattwadewi Tara,
sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Kalasan berangka tahun 778 Masehi.
Petunjuk ini dipahami oleh para arkeolog, bahwa pada masyarakat Jawa kuno,
agama tidak pernah menjadi masalah yang dapat menuai konflik, dengan
dicontohkan raja penganut agama Hindu bisa saja menyokong dan mendanai
pembangunan candi Buddha, demikian pula sebaliknya. Akan tetapi diduga
terdapat persaingan antara dua wangsa kerajaan pada masa itu wangsa
Syailendra yang menganut Buddha dan wangsa Sanjaya yang memuja Siwa
yang kemudian wangsa Sanjaya memenangi pertempuran pada tahun 856 di
perbukitan Ratu Boko. Ketidakjelasan juga timbul mengenai candi Lara
Jonggrang di Prambanan, candi megah yang dipercaya dibangun oleh sang
pemenang Rakai Pikatan sebagai jawaban wangsa Sanjaya untuk menyaingi
kemegahan Borobudur milik wangsa Syailendra, akan tetapi banyak pihak
percaya bahwa terdapat suasana toleransi dan kebersamaan yang penuh
kedamaian antara kedua wangsa ini yaitu pihak Sailendra juga terlibat dalam
pembangunan Candi Siwa di Prambanan.
(Dr. Soekmono, Candi Borobudur - Pusaka Norma budaya Umat Manusia,
Jakarta: Pustaka Jaya 1978)

4
B. Arsitektur Candi Borobudur
Borobudur merupakan mahakarya seni rupa Buddha Indonesia, sebagai
contoh puncak pencapaian keselarasan teknik arsitektur dan estetika seni rupa
Buddha di Jawa. Bangunan ini diilhami gagasan dharma dari India, antara lain
stupa, dan mandala, tetapi dipercaya juga merupakan kelanjutan unsur lokal;
struktur megalitik punden berundak atau piramida bertingkat yang ditemukan
dari periode prasejarah Indonesia. Sebagai perpaduan antara pemujaan leluhur
asli Indonesia dan perjuangan mencapai Nirwana dalam ajaran Buddha.
(Rizem Aized, Pasang Surut Runtuhnya Kerajaan Hindu-buddha Dan Bangkitnya
Kerajaan Islam Di Nusantara, 2022)
1. Konsep rancang bangun
Pada hakikatnya Borobudur adalah sebuah stupa yang bila dilihat dari
atas membentuk pola Mandala besar. Mandala adalah pola rumit yang
tersusun atas bujursangkar dan lingkaran konsentris yang melambangkan
kosmos atau alam semesta yang lazim ditemukan dalam Buddha aliran
Wajrayana-Mahayana. Sepuluh
pelataran yang dimiliki Borobudur
menggambarkan secara jelas filsafat
mazhab Mahayana yang secara
bersamaan menggambarkan
kosmologi yaitu konsep alam semesta,
sekaligus tingkatan alam pikiran
dalam ajaran Buddha. Bagaikan
sebuah kitab,

Gambar 2.2 (Denah Borobudur membentuk mandala, lambing dunia semesta dalam
kosmologi Buddha)
Borobudur menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus
dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha. Dasar denah bujur
sangkar berukuran 123 meter (404 ft) pada tiap sisinya. Bangunan ini
memiliki sembilan teras, enam teras terbawah berbentuk bujur sangkar dan
tiga teras teratas berbentuk lingkaran. Pada tahun 1885, secara tidak
disengaja ditemukan struktur tersembunyi di kaki Borobudur.

5
Kaki tersembunyi ini terdapat relief yang 160 di antaranya adalah
berkisah tentang Karmawibhangga. Pada relief panel ini terdapat ukiran
aksara yang merupakan petunjuk bagi pengukir untuk membuat adegan
dalam gambar relief. Kaki asli ini tertutup oleh penambahan struktur batu
yang membentuk pelataran yang cukup luas, fungsi sesungguhnya masih
menjadi misteri. Awalnya diduga bahwa penambahan kaki ini untuk
mencegah kelongsoran monumen. Teori lain mengajukan bahwa
penambahan kaki ini disebabkan kesalahan perancangan kaki asli, dan
tidak sesuai dengan Wastu Sastra, kitab India mengenai arsitektur dan tata
kota. Apapun alasan penambahan kaki ini, penambahan dan pembuatan
kaki tambahan ini dilakukan dengan teliti dengan mempertimbangkan
alasan keagamaan, estetik, dan teknis.

Gambar 2.3 (Model Borobudur)


Ketiga tingkatan ranah spiritual dalam kosmologi Buddha adalah:
a. Kamadhatu
Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia
yang masih dikuasai oleh kama atau "nafsu rendah".
Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang diduga
dibuat untuk memperkuat konstruksi candi.
Pada bagian kaki asli yang tertutup struktur tambahan ini terdapat
160 panel cerita Karmawibhangga yang kini tersembunyi.

6
Sebagian kecil struktur tambahan di sudut tenggara disisihkan
sehingga orang masih dapat melihat beberapa relief pada bagian ini.
Struktur batu andesit kaki tambahan yang menutupi kaki asli ini
memiliki volume 13.000 meter kubik.

b. Rupadhatu
Empat undak teras yang membentuk lorong keliling yang pada
dindingnya dihiasi galeri relief oleh para ahli dinamakan Rupadhatu.
Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu terdiri dari empat lorong
dengan 1.300 gambar relief. Panjang relief seluruhnya 2,5 km dengan
1.212 panel berukir dekoratif. Rupadhatu adalah dunia yang sudah
dapat membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan
bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam antara yakni, antara alam
bawah dan alam atas. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung
Buddha terdapat pada ceruk atau relung dinding di atas pagar langkan
atau selasar. Aslinya terdapat 432 arca Buddha di dalam relung-relung
terbuka di sepanjang sisi luar di pagar langkan. Pada pagar langkan
terdapat sedikit perbedaan rancangan yang melambangkan peralihan
dari ranah Kamadhatu menuju ranah Rupadhatu; pagar langkan paling
rendah dimahkotai ratna, sedangkan empat tingkat pagar langkan
diatasnya dimahkotai stupika (stupa kecil). Bagian teras-teras
bujursangkar ini kaya akan hiasan dan ukiran relief.

c. Arupadhatu
Berbeda dengan lorong-lorong Rupadhatu yang kaya akan relief,
mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief.
Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau
tidak berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran.
Tingkatan ini melambangkan alam atas, di mana manusia sudah
bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum
mencapai nirwana.

7
Pada pelataran lingkaran terdapat 72 dua stupa kecil berterawang
yang tersusun dalam tiga barisan yang mengelilingi satu stupa besar
sebagai stupa induk. Stupa kecil berbentuk lonceng ini disusun dalam
3 teras lingkaran yang masing-masing berjumlah 32, 24, dan 16 (total
72 stupa). Dua teras terbawah stupanya lebih besar dengan lubang
berbentuk belah ketupat, satu teras teratas stupanya sedikit lebih kecil
dan lubangnya berbentuk kotak bujur sangkar. Patung-patung Buddha
ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti
dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu masih tampak samar-
samar. Rancang bangun ini dengan cerdas menjelaskan konsep
peralihan menuju keadaan tanpa wujud, yakni arca Buddha itu ada
tetapi tak terlihat.

Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud yang


sempurna dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa
digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini
pernah ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga
Buddha yang tidak rampung, yang disalahsangkakan sebagai patung
'Adibuddha',
padahal
melalui
penelitian
lebih lanjut
tidak pernah
ada patung di
dalam stupa
utama, patung
yang tidak
selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu.

Gambar 2.4 (Penampag candi Borobudur terdapat rasio perbandingan 4:6:9 selang
bidang kaki, tubuh, dan kepala)

8
Menurut kepercayaan patung yang salah dalam proses pembuatannya
memang tidak boleh dirusak. Penggalian arkeologi yang dilakukan di
halaman candi ini menemukan banyak patung seperti ini.
Stupa utama yang dibiarkan kosong diduga bermakna kebijaksanaan
tertinggi, yaitu kasunyatan, kesunyian dan ketiadaan sempurna di mana
jiwa manusia sudah tidak terikat hasrat, keinginan, dan bentuk serta
terbebas dari lingkaran samsara.

2. Struktur bangunan
Sekitar 55.000 meter kubik batu andesit diangkut dari tambang batu
dan tempat penatahan untuk membangun monumen ini. Batu ini dipotong
dalam ukuran tertentu, diangkut menuju situs dan disatukan tanpa
menggunakan semen. Struktur Borobudur tidak memakai semen sama
sekali, melainkan sistem interlock (saling kunci) yaitu seperti balok-balok
lego yang bisa menempel tanpa perekat. Batu-batu ini disatukan dengan
tonjolan dan lubang yang tepat dan muat satu sama lain, serta bentuk "ekor
merpati" yang mengunci dua blok batu. Relief dibuat di lokasi setelah
struktur bangunan dan dinding rampung.
Monumen ini dilengkapi dengan sistem drainase yang cukup baik
untuk wilayah dengan curah hujan yang tinggi. Untuk mencegah genangan
dan kebanjiran, 100 pancuran dipasang disetiap sudut, masing-masing
dengan rancangan yang unik berbentuk kepala raksasa kala atau makara.
Borobudur amat berbeda dengan rancangan candi lainnya, candi ini
tidak dibangun di atas permukaan datar, tetapi di atas bukit alami. Akan
tetapi teknik pembangunannya serupa dengan candi-candi lain di Jawa.
Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain.
Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit.
Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat.
Secara umum rancang bangun Borobudur mirip dengan piramida
berundak. Di lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan melakukan
upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Borobudur
mungkin pada awalnya berfungsi lebih sebagai sebuah stupa,

9
daripada kuil atau candi. Stupa memang dimaksudkan sebagai
bangunan suci untuk memuliakan Buddha. Terkadang stupa dibangun
sebagai lambang penghormatan dan pemuliaan kepada Buddha.
Sementara kuil atau candi lebih berfungsi sebagai rumah ibadah.
Rancangannya yang rumit dari monumen ini menunjukkan bahwa
bangunan ini memang sebuah bangunan tempat peribadatan. Bentuk
bangunan tanpa ruangan dan struktur teras bertingkat-tingkat ini diduga
merupakan perkembangan dari bentuk punden berundak, yang merupakan
bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia.
Menurut legenda setempat arsitek perancang Borobudur bernama
Gunadharma, sedikit yang diketahui tentang arsitek misterius ini.
Namanya lebih berdasarkan dongeng dan legenda Jawa dan bukan
berdasarkan prasasti bersejarah. Legenda Gunadharma terkait dengan
cerita rakyat mengenai perbukitan Menoreh yang bentuknya menyerupai
tubuh orang berbaring. Dongeng lokal ini menceritakan bahwa tubuh
Gunadharma yang berbaring berubah menjadi jajaran perbukitan Menoreh,
tentu saja legenda ini hanya fiksi dan dongeng belaka.
Perancangan Borobudur menggunakan satuan ukur tala, yaitu panjang
wajah manusia antara ujung garis rambut di dahi hingga ujung dagu, atau
jarak jengkal antara ujung ibu jari dengan ujung jari kelingking ketika
telapak tangan dikembangkan sepenuhnya. Tentu saja satuan ini bersifat
relatif dan sedikit berbeda antar individu, akan tetapi satuan ini tetap pada
monumen ini. Penelitian pada 1977 mengungkapkan rasio perbandingan
4:6:9 yang ditemukan di monumen ini. Arsitek menggunakan formula ini
untuk menentukan dimensi yang tepat dari suatu fraktal geometri
perulangan swa-serupa dalam rancangan Borobudur. Rasio matematis ini
juga ditemukan dalam rancang bangun Candi Mendut dan Pawon di
dekatnya. Arkeolog yakin bahwa rasio 4:6:9 dan satuan tala memiliki
fungsi dan makna penanggalan, astronomi, dan kosmologi. Hal yang sama
juga berlaku di candi Angkor Wat di Kamboja.
Struktur bangunan dapat dibagi atas tiga bagian: dasar (kaki), tubuh,
dan puncak. Dasar berukuran 123×123 m (403.5 × 403.5 ft) dengan tinggi

10
4 meter (13 ft). Tubuh candi terdiri atas lima batur teras bujur sangkar
yang makin mengecil di atasnya. Teras pertama mundur 7 meter (23 ft)
dari ujung dasar teras. Tiap teras berikutnya mundur 2 meter (6.6 ft),
menyisakan lorong sempit pada tiap tingkatan. Bagian atas terdiri atas tiga
teras melingkar, tiap tingkatan menopang barisan stupa berterawang yang
disusun secara konsentris. Terdapat stupa utama yang terbesar di tengah;
dengan pucuk mencapai ketinggian 35 meter (115 ft) dari permukaan
tanah. Tinggi asli Borobudur termasuk chattra (payung susun tiga) yang
kini dilepas adalah 42 meter (138 ft). Tangga terletak pada bagian tengah
keempat sisi mata angin yang membawa pengunjung menuju bagian
puncak monumen melalui serangkaian gerbang pelengkung yang dijaga 32
arca singa. Gawang pintu gerbang dihiasi ukiran Kala pada puncak tengah
lowong pintu dan ukiran makara yang menonjol di kedua sisinya. Motif
Kala-Makara lazim ditemui dalam arsitektur pintu candi di Jawa. Pintu
utama terletak di sisi timur, sekaligus titik awal untuk membaca kisah
relief. Tangga ini lurus terus tersambung dengan tangga pada lereng bukit
yang menghubungkan candi dengan dataran di sekitarnya.

C. Relief Candi Borobudur


Pada dinding candi di setiap
tingkatan kecuali pada teras-teras
Arupadhatu dipahatkan panel-panel
bas-relief yang dibuat dengan sangat
teliti dan halus. Relief dan pola hias
Borobudur bergaya naturalis dengan
proporsi yang ideal dan selera estetik
yang halus. Gambar 2.5 (Seni pahat Borobudur memiliki kehalusan gaya dan citrarasa
estetik yang anggun)

Relief-relief ini sangat indah, bahkan dianggap sebagai yang paling elegan
dan anggun dalam kesenian dunia Buddha. Relief Borobudur juga menerapkan
disiplin senirupa India,

11
seperti berbagai sikap tubuh yang memiliki makna atau nilai estetis
tertentu. Relief-relief berwujud manusia mulia seperti pertapa, raja dan wanita
bangsawan,
bidadari atapun makhluk yang mencapai derajat kesucian laksana dewa,
seperti tara dan boddhisatwa, seringkali digambarkan dengan posisi tubuh
tribhanga.
Posisi tubuh ini disebut "lekuk tiga" yaitu melekuk atau sedikit condong
pada bagian leher, pinggul, dan pergelangan kaki dengan beban tubuh hanya
bertumpu pada satu kaki, sementara kaki yang lainnya dilekuk beristirahat.
Posisi tubuh yang luwes ini menyiratkan keanggunan, misalnya figur bidadari
Surasundari yang berdiri dengan sikap tubuh tribhanga sambil menggenggam
teratai bertangkai panjang.
Relief Borobudur menampilkan banyak gambar; seperti sosok manusia
baik bangsawan, rakyat
jelata, atau pertapa, aneka
tumbuhan dan hewan, serta
menampilkan bentuk
bangunan vernakular
tradisional Nusantara.
Borobudur tak ubahnya
bagaikan kitab yang
merekam berbagai aspek
kehidupan masyarakat
Jawa kuno. Banyak
arkeolog meneliti
kehidupan masa lampau di
Gambar 2.6
(Kedudukan relief kisah-kisah naskah suci Buddha di dinding Borobudur)
Jawa kuno dan Nusantara abad ke-8 dan ke-9 dengan mencermati dan
merujuk ukiran relief Borobudur. Bentuk rumah panggung, lumbung, istana
dan candi, bentuk perhiasan, busana serta persenjataan, aneka tumbuhan dan
margasatwa, serta alat transportasi, dicermati oleh para peneliti. Salah satunya
adalah relief terkenal yang menggambarkan Kapal Borobudur. Kapal kayu

12
bercadik khas Nusantara ini menunjukkan kebudayaan bahari purbakala.
Replika bahtera yang dibuat berdasarkan relief Borobudur tersimpan di
Museum Samudra Raksa yang terletak di sebelah utara Borobudur.
Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina
dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sanskerta daksina yang
artinya ialah timur. Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya,
antara lain relief-relief cerita jātaka. Pembacaan cerita-cerita relief ini
senantiasa dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur di setiap
tingkatnya, mulainya di sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu
gerbang itu. Maka secara nyata bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang
sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi, artinya bahwa candi
menghadap ke timur meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar.
(Murwanto, H.; Gunnell, Y; Suharsono, S.; Sutikno, S. and Lavigne, F (2004).
"Borobudur monument (Java, Indonesia) stood by a natural lake:
chronostratigraphic evidence and historical implications". The Holocene 14 (3):
459–463)
Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara singkat bermakna
sebagai berikut:
1. Karmawibhangga

13
Sesuai dengan
Gambar 2.7 (Salah satu ukiran Karmawibhangga di dinding candi Borobudur,
lantai 0 sudut tenggara)

makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi dinding batur
yang terselubung tersebut menggambarkan hukum karma.
Karmawibhangga adalah naskah yang menggambarkan ajaran mengenai
karma, yakni sebab-akibat perbuatan baik dan jahat. Deretan relief tersebut
bukan merupakan cerita seri (serial), tetapi pada setiap pigura
menggambarkan suatu cerita yang mempunyai hubungan sebab akibat.
Relief tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap perbuatan
tercela manusia disertai dengan hukuman yang akan diperolehnya, tetapi
juga perbuatan baik manusia dan pahala. Secara keseluruhan merupakan
penggambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir - hidup - mati
(samsara) yang tidak pernah berakhir, dan oleh agama Buddha rantai
tersebutlah yang akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan. Kini hanya
bagian tenggara yang terbuka dan dapat dilihat oleh pengujung. Foto
lengkap relief Karmawibhangga dapat disaksikan di Museum
Karmawibhangga di sisi utara candi Borobudur.

14
2. Lalitawistara
Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan relief-
relief (tetapi bukan merupakan riwayat yang lengkap) yang dimulai dari
turunnya Sang Buddha dari surga Tushita, dan berakhir dengan wejangan
pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief ini berderet dari tangga
pada sisi sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak 27
pigura yang dimulai dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura tersebut
menggambarkan kesibukan, baik di sorga maupun di dunia, sebagai
persiapan untuk menyambut hadirnya penjelmaan terakhir Sang
Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief tersebut menggambarkan
lahirnya Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha, putra
Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief
tersebut berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama,
yang secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran
Sang Buddha di sebut dharma yang juga berarti "hukum", sedangkan
dharma dilambangkan sebagai roda.
3. Jataka dan Awadana
Jataka adalah berbagai cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan
sebagai Pangeran Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan
perbuatan-perbuatan baik, seperti sikap rela berkorban dan suka menolong
yang membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain manapun juga.
Beberapa kisah Jataka menampilkan kisah fabel yakni kisah yang
melibatkan tokoh satwa yang bersikap dan berpikir seperti manusia.
Sesungguhnya, pengumpulan jasa atau perbuatan baik merupakan tahapan
persiapan dalam usaha menuju ketingkat ke-Buddha-an.
Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan
tetapi pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan
ceritanya dihimpun dalam kitab Diwyawadana yang berarti perbuatan
mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau seratus cerita Awadana.
Pada relief candi Borobudur Jataka dan Awadana, diperlakukan sama,
artinya keduanya terdapat dalam deretan yang sama tanpa dibedakan.
Himpunan yang paling terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah

15
Jatakamala atau untaian cerita Jataka, karya penyair Aryasura yang hidup
dalam abad ke-4 Masehi.

4. Gandawyuha
Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong ke-2,adalah cerita
Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari
Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana.
Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab suci Buddha
Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya
berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.

D. Arca Buda di Candi Borobudur


Selain wujud buddha dalam kosmologi buddhis yang terukir di dinding, di
Borobudur terdapat banyak arca buddha duduk bersila dalam posisi teratai
serta menampilkan mudra atau sikap tangan simbolis tertentu. Patung buddha
dengan tinggi 1,5 meter ini dipahat dari bahan batu andesit.
Patung buddha dalam relung-relung di tingkat Rupadhatu, diatur
berdasarkan barisan di sisi luar pagar langkan. Jumlahnya semakin berkurang
pada sisi atasnya. Barisan pagar langkan pertama terdiri dari 104 relung, baris
kedua 104 relung, baris ketiga 88 relung, baris keempat 72 relung, dan baris
kelima 64 relung.
Jumlah total terdapat 432 arca Buddha di tingkat Rupadhatu. Pada bagian
Arupadhatu (tiga pelataran melingkar), arca Buddha diletakkan di dalam
stupa-stupa berterawang (berlubang). Pada pelataran melingkar pertama
terdapat 32 stupa, pelataran kedua 24 stupa, dan pelataran ketiga terdapat 16
stupa, semuanya total 72 stupa.
Dari jumlah asli sebanyak 504 arca Buddha, lebih dari 300 telah rusak
(kebanyakan tanpa kepala) dan 43 hilang (sejak penemuan monumen ini,
kepala buddha sering dicuri sebagai barang koleksi, kebanyakan oleh museum
luar negeri).
Secara sepintas semua arca buddha ini terlihat serupa, akan tetapi terdapat
perbedaan halus di antaranya, yaitu pada mudra atau posisi sikap tangan.

16
Terdapat lima golongan mudra: Utara, Timur, Selatan, Barat, dan Tengah,
kesemuanya berdasarkan lima arah utama kompas menurut ajaran Mahayana.
Keempat pagar langkan memiliki empat mudra: Utara, Timur, Selatan, dan
Barat, di mana masing-masing arca buddha yang menghadap arah tersebut
menampilkan mudra yang khas. Arca Buddha pada pagar langkan kelima dan
arca buddha di dalam 72 stupa berterawang di pelataran atas menampilkan
mudra: Tengah atau Pusat. Masing-masing mudra melambangkan lima Dhyani
Buddha; masing-masing dengan makna simbolisnya tersendiri.

Arah
Melambangka Dhyani
Arca Mudra Mata Lokasi Arca
n Buddha
Angin

Relung di
pagar langkan
Memanggil
Bhumisparsa 4 baris
bumi sebagai Aksobhya Timur
mudra pertama Rupa
saksi
dhatu sisi
timur

Relung di
pagar langkan
4 baris
Wara mudra Kedermawanan Ratnasambhawa Selatan
pertama Rupa
dhatu sisi
selatan

Relung di
pagar langkan
Dhyana Semadi atau 4 baris
Amitabha Barat
mudra meditasi pertama Rupa
dhatu sisi
barat

Relung di
pagar langkan
Abhaya Ketidakgentara 4 baris
Amoghasiddhi Utara
mudra n pertama Rupa
dhatu sisi
utara

17
Arah
Melambangka Dhyani
Arca Mudra Mata Lokasi Arca
n Buddha
Angin

Relung di
pagar langkan
Witarka Daya upaya baris kelima
Wairocana Tengah
mudra budi (teratas) Rup
adhatu semua
sisi

Di dalam 72
stupa di 3
Dharmachakr Pemutaran
Wairocana Tengah teras
a mudra roda dharma
melingkar Ar
upadhatu
Tabel 2.1 (Murdra arca-arca Buddha di Borobudur)

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Borobudur adalah candi atau kuil Buddha terbesar di dunia, sekaligus
salah satu monumen Buddha terbesar di dunia. Pembangunan candi-candi
Buddha termasuk Borobudur saat itu dimungkinkan karena pewaris Sanjaya,
Rakai Panangkaran memberikan izin kepada umat Buddha untuk membangun
candi. Bahkan untuk menunjukkan penghormatannya, Panangkaran
menganugerahkan desa Kalasan kepada sangha (komunitas Buddha), untuk
pemeliharaan dan pembiayaan Candi Kalasan yang dibangun untuk
memuliakan Bodhisattwadewi Tara, sebagaimana disebutkan dalam Prasasti
Kalasan berangka tahun 778 Masehi.
Borobudur merupakan mahakarya seni rupa Buddha Indonesia, sebagai
contoh puncak pencapaian keselarasan teknik arsitektur dan estetika seni rupa
Buddha di Jawa. Bangunan ini diilhami gagasan dharma dari India, antara
lain stupa, dan mandala, tetapi dipercaya juga merupakan kelanjutan unsur
lokal; struktur megalitik punden berundak atau piramida bertingkat yang
ditemukan dari periode prasejarah Indonesia.
Relief Borobudur menampilkan banyak gambar; seperti sosok manusia
baik bangsawan, rakyat jelata, atau pertapa, aneka tumbuhan dan hewan, serta
menampilkan bentuk bangunan vernakular tradisional Nusantara. Borobudur
tak ubahnya bagaikan kitab yang merekam berbagai aspek kehidupan
masyarakat Jawa kuno.
B. Saran
Lestarikan dan kembangkan potensi warisan budaya agar Candi
Borobudur yang sebagai peninggalan bersejarah yang tak ternilai harganya ini
mampu memaksimalkan potensi. Sebaiknya upaya-upaya yang dilakukan
pemerintah untuk menjaga dan melestarikan Candi Borobudur tersebut tetap
menjadi daya tarik terutama dari segi kepariwisataan, arkeologi dan ilmu
pengetahuan.

19
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1......................................................................................................... 3
Gambar 2.2......................................................................................................... 5
Gambar 2.3......................................................................................................... 6
Gambar 2.4......................................................................................................... 8
Gambar 2.5......................................................................................................... 11
Gambar 2.6......................................................................................................... 12
Gambar 2.7......................................................................................................... 13

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1.............................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA

Anomi. (1983). Pariwisata Jawa Tengah. Semarang: Dinas Pariwisata Jawa


Tengah.

Moertjipto. (1993). Borobudur, Pawon, dan Mendut. Yogyakarta: Kanisus.

Soedirman. (1980). Borobudur Salah Satu Keajaiban Dunia. Yogyakarta: Pustaka


Jaya.

Soeharsono. (1969). Petunjuk Singkat Untuk Bangunan Suci Borobudur.


Yogjakarta: Taman Siswa Yogyakarta.

Soekmono. (1978). Candi Borobudur - Pusaka Budaya Umat Manusia. Jakarta:


Pustaka Jaya.

Soetarno, R. (1994). Borobudur Selayang Padang. Solo: Tiga Serangkai.

Widya, Dharma. (2000). Riwayat Hidup Sang Budha Gautama. Jakarta: Yayasan
Dana Pendidikan Budhis.

Dr. Soekmono, Candi Borobudur - Pusaka Norma budaya Umat Manusia,


Jakarta: Pustaka Jaya (1978)

21

Anda mungkin juga menyukai