Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH DESTINISAI

WISATA DI INDONESIA
CANDI BOROBUDUR

Disusun Oleh:
IRA AZZAHRA

KELAS XII IPA 2

SMA NEGERI 12 PANDEGLANG


TAHUN PELAJARAN 2022/2023
Alamat : Jl. Raya Munjul Km. 1 Kp. Kadumula Desa Kolelet Kec. Picung – Pandeglang 42275
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat
dan karunia Nya sehingga Makalah Candi Borobudur ini dapat diselesaikan dengan baik.
Tidak lupa shalawat dalam salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad
SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan Makalah yang berjudul Makalah Candi Borobudur ini. Dan kami juga
menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu
dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah. Kami juga mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya
selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami
menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Makalah Candi Borobudur ini
sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
penyempurnaan makalah ini.
Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan
kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan
kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga Makalah Candi Borobudur ini dapat
bermanfaat bagi kita semuanya.

Pandeglang, 16 Februari 2023


Penulis

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .....................................................................................................................i


KATA PENGANTAR ......................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................1


A. Latar Belakang .......................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................2
A. Sejarah Candi Borobudur........................................................................................2
B. Arsitektur Candi Borobudur ...................................................................................3
1. Konsep Rancang Bangun ..................................................................................3
2. Struktur Bangunan ............................................................................................5
C. Relief Candi Borobudur ..........................................................................................7
1. Karmawibhangga ..............................................................................................8
2. Lalitawistara ......................................................................................................9
3. Jataka Dan Awadana .........................................................................................9
4. Gandawyuha .....................................................................................................10
D. Arca Buda Di Candi Borobudur .............................................................................10
BAB III PENUTUP ..........................................................................................................11
A. Kesimpulan ..............................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................12

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Borobudur adalah sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa
Tengah, Indonesia. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang,
86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi
berbentuk stupa ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-
an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Borobudur adalah candi atau kuil
Buddha terbesar di dunia, sekaligus salah satu monumen Buddha terbesar di dunia.
Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang diatasnya terdapat tiga
pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat
504 arca Buddha. Borobudur memiliki koleksi relief Buddha terlengkap dan terbanyak di
dunia. Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi
oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang di dalamnya terdapat arca buddha tengah
duduk bersila dalam posis

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Candi Borobudur
Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang membangun
Borobudur dan apa kegunaannya. Waktu pembangunannya diperkirakan berdasarkan
perbandingan antara jenis aksara yang tertulis di kaki tertutup Karmawibhangga dengan
jenis aksara yang lazim digunakan pada prasasti kerajaan abad ke-8 dan ke-9.
Diperkirakan Borobudur dibangun sekitar tahun 800 masehi. Kurun waktu ini sesuai
dengan kurun antara 760 dan 830 M, masa puncak kejayaan wangsa Syailendra di Jawa
Tengah, yang kala itu dipengaruhi Kemaharajaan Sriwijaya. Pembangunan Borobudur
diperkirakan menghabiskan waktu 75 – 100 tahun lebih dan benar-benar dirampungkan
pada masa pemerintahan raja Samaratungga pada tahun 825.
Terdapat kesimpangsiuran fakta mengenai apakah raja yang berkuasa di Jawa kala itu
beragama Hindu atau Buddha. Wangsa Sailendra diketahui sebagai penganut agama
Buddha aliran Mahayana yang taat, akan tetapi melalui temuan prasasti Sojomerto
menunjukkan bahwa mereka mungkin awalnya beragama Hindu Siwa. Pada kurun waktu
itulah dibangun berbagai candi Hindu dan Buddha di Dataran Kedu. Berdasarkan Prasasti
Canggal, pada tahun 732 M, raja beragama Siwa Sanjaya memerintahkan pembangunan
bangunan suci Shiwalingga yang dibangun di perbukitan Gunung Wukir, letaknya hanya
10 km (6.2 mi) sebelah timur dari Borobudur. Candi Buddha Borobudur dibangun pada
kurun waktu yang hampir bersamaan dengan candi-candi di dataran Prambanan, meskipun
demikian Borobudur diperkirakan sudah rampung sekitar 825 M, dua puluh lima tahun
lebih awal sebelum dimulainya pembangunan candi Siwa Prambanan sekitar tahun 850 M.
Pembangunan candi-candi Buddha termasuk Borobudur saat itu dimungkinkan karena
pewaris Sanjaya,Rakai Panangkaran memberikan izin kepada umat Buddha untuk
membangun candi. Bahkan untuk menunjukkan penghormatannya, Panangkaran
menganugerahkan desa Kalasan kepada sangha (komunitas Buddha), untuk pemeliharaan
dan pembiayaan Candi Kalasan yang dibangun untuk memuliakan Bodhisattwadewi Tara,
sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Kalasan berangka tahun 778 Masehi. Petunjuk ini
dipahami oleh para arkeolog, bahwa pada masyarakat Jawa kuno, agama tidak pernah
menjadi masalah yang dapat menuai konflik, dengan dicontohkan raja penganut agama
Hindu bisa saja menyokong dan mendanai pembangunan candi Buddha, demikian pula
sebaliknya. Akan tetapi diduga terdapat persaingan antara dua wangsa kerajaan pada masa

2
itu wangsa Syailendra yang menganut Buddha dan wangsa Sanjaya yang memuja Siwa
yang kemudian wangsa Sanjaya memenangi pertempuran
pada tahun 856 di perbukitan Ratu Boko.Ketidakjelasan juga timbul mengenai candi
Lara Jonggrang di Prambanan, candi megah yang dipercaya dibangun oleh sang pemenang
Rakai Pikatan sebagai jawaban wangsa Sanjaya untuk menyaingi kemegahan Borobudur
milik wangsa Syailendra, akan tetapi banyak pihak percaya bahwa terdapat suasana
toleransi dan kebersamaan yang penuh kedamaian antara kedua wangsa ini yaitu pihak
Sailendra juga terlibat dalam pembangunan Candi Siwa di Prambanan.

B. Arsitektur Candi Borobudur


Borobudur merupakan mahakarya seni rupa Buddha Indonesia, sebagai contoh puncak
pencapaian keselarasan teknik arsitektur dan estetika seni rupa Buddha di Jawa.
Bangunan ini diilhami gagasan dharma dari India, antara lain stupa, dan mandala, tetapi
dipercaya juga merupakan kelanjutan unsur lokal; struktur megalitik punden berundak
atau piramida bertingk at yang ditemukan dari periode prasejarah Indonesia. Sebagai
perpaduan antara pemujaan leluhur asli Indonesia dan perjuangan mencapai Nirwana
dalam ajaran Buddha.
1. Konsep rancang bangun
Pada hakikatnya Borobudur adalah sebuah stupa yang bila dilihat dari atas
membentuk pola Mandala besar.Mandala adalah pola rumit yang tersusun atas
bujursangkar dan lingkaran konsentris yang melambangkan kosmos atau alam semesta
yang lazim ditemukan dalam Buddha aliran Wajrayana-Mahayana. Sepuluh pelataran
yang dimiliki Borobudur menggambarkan secara jelas filsafat mazhab Mahayana yang
secara bersamaan menggambarkan kosmologi yaitu konsep alam semesta, sekaligus
tingkatan alam pikiran dalam ajaran Buddha. Bagaikan sebuah kitab, Borobudur
menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai
kesempurnaan menjadi Buddha. Dasar denah bujur sangkar berukuran 123 meter (404
ft) pada tiap sisinya. Bangunan ini memiliki sembilan teras, enam teras terbawah
berbentuk bujur sangkar dan tiga teras teratas berbentuk lingkaran
Pada tahun 1885, secara tidak disengaja ditemukan struktur tersembunyi di
kaki Borobudur. Kaki tersembunyi ini terdapat relief yang 160 di antaranya adalah
berkisah tentang Karmawibhangga. Pada relief panel ini terdapat ukiran aksara yang
merupakan petunjuk bagi pengukir untuk membuat adegan dalam gambar relief. Kaki
asli ini tertutup oleh penambahan struktur batu yang membentuk pelataran yang cukup

3
luas, fungsi sesungguhnya masih menjadi misteri. Awalnya diduga bahwa
penambahan kaki ini untuk mencegah kelongsoran monumen. Teori lain mengajukan
bahwa penambahan kaki ini disebabkan kesalahan perancangan kaki asli, dan tidak
sesuai dengan Wastu Sastra, kitab India mengenai arsitektur dan tata kota. Apapun
alasan penambahan kaki ini, penambahan dan pembuatan kaki tambahan ini dilakukan
dengan teliti dengan mempertimbangkan alasan keagamaan, estetik, dan teknis.
Ketiga tingkatan ranah spiritual dalam kosmologi Buddha adalah:
a) Kamadhatu
Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih
dikuasai oleh kama atau “nafsu rendah”. Bagian ini sebagian besar tertutup oleh
tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada
bagian kaki asli yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 160 panel cerita
Karmawibhangga yang kini tersembunyi. Sebagian kecil struktur tambahan di
sudut tenggara disisihkan sehingga orang masih dapat melihat beberapa relief pada
bagian ini. Struktur batu andesit kaki tambahan yang menutupi kaki asli ini
memiliki volume 13.000 meter kubik.
b) Rupadhatu
Empat undak teras yang membentuk lorong keliling yang pada dindingnya dihiasi
galeri relief oleh para ahli dinamakan Rupadhatu. Lantainya berbentuk persegi.
Rupadhatu terdiri dari empat lorong dengan 1.300 gambar relief. Panjang relief
seluruhnya 2,5 km dengan 1.212 panel berukir dekoratif. Rupadhatu adalah dunia
yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan
bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam antara yakni, antara alam bawah dan
alam atas. Pada bagian Rupa dhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada ceruk
atau relung dinding di atas pagar langkan atau selasar. Aslinya terdapat 432 arca
Buddha di dalam relung-relung terbuka di sepanjang sisi luar di pagar langkan.
Pada pagar langkan terdapat sedikit perbedaan rancangan yang melambangkan
peralihan dari ranah Kamadhatu menuju ranah Rupadhatu; pagar langkan paling
rendah dimahkotai ratna, sedangkan empat tingkat pagar langkan diatasnya
dimahkotai stupika (stupa kecil). Bagian teras-teras bujursangkar ini kaya akan
hiasan dan ukiran relief.

4
c) Arupadhatu
Berbeda dengan lorong-lorong Rupadhatu yang kaya akan relief, mulai lantai
kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan
Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai
berbentuk lingkaran. Tingkatan ini melambangkan alam atas, di mana manusia
sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum
mencapai nirwana. Pada pelataran lingkaran terdapat 72 dua stupa kecil
berterawang yang tersusun dalam tiga barisan yang mengelilingi satu stupa besar
sebagai stupa induk. Stupa kecil berbentuk lonceng ini disusun dalam 3 teras
lingkaran yang masing-masing berjumlah 32, 24, dan 16 (total 72 stupa). Dua teras
terbawah stupanya lebih besar dengan lubang berbentuk belah ketupat, satu teras
teratas stupanya sedikit lebih kecil dan lubangnya berbentuk kotak bujur sangkar.
Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang
seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu masih tampak samar-samar.
Rancang bangun ini dengan cerdas menjelaskan konsep peralihan menuju keadaan
tanpa wujud, yakni arca Buddha itu ada tetapi tak terlihat.
Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud yang sempurna
dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan polos
tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan patung Buddha
yang tidak sempurna atau disebut juga Buddha yang tidak rampung, yang
disalahsangkakan sebagai patung ‘Adibuddha’, padahal melalui penelitian lebih
lanjut tidak pernah ada patung di dalam stupa utama, patung yang tidak selesai itu
merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu. Menurut kepercayaan
patung yang salah dalam proses pembuatannya memang tidak boleh dirusak.
Penggalian arkeologi yang dilakukan di halaman candi ini menemukan banyak
patung seperti ini. Stupa utama yang dibiarkan kosong diduga bermakna
kebijaksanaan tertinggi, yaitu kasunyatan, kesunyian dan ketiadaan sempurna di
mana jiwa manusia sudah tidak terikat hasrat, keinginan, dan bentuk serta terbebas
dari lingkaran samsara.
2. Struktur bangunan
Sekitar 55.000 meter kubik batu andesit diangkut dari tambang batu dan tempat
penatahan untuk membangun monumen ini. Batu ini dipotong dalam ukuran tertentu,
diangkut menuju situs dan disatukan tanpa menggunakan semen. Struktur Borobudur
tidak memakai semen sama sekali, melainkan sistem interlock (saling kunci) yaitu

5
seperti balok-balok lego yang bisa menempel tanpa perekat. Batu-batu ini disatukan
dengan tonjolan dan lubang yang tepat dan muat satu sama lain, serta bentuk “ekor
merpati” yang mengunci dua blok batu. Relief dibuat di lokasi setelah struktur
bangunan dan dinding rampung. Monumen ini dilengkapi dengan sistem drainase
yang cukup baik untuk wilayah dengan curah hujan yang tinggi. Untuk mencegah
genangan dan kebanjiran, 100 pancuran dipasang di setiap sudut, masing-masing
dengan rancangan yang unik berbentuk kepala raksasa kala atau makara.
Borobudur amat berbeda dengan rancangan candi lainnya, candi ini tidak
dibangun di atas permukaan datar, tetapi di atas bukit alami. Akan tetapi teknik
pembangunannya serupa dengan candi-candi lain di Jawa.
Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain.
Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong
dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Secara umum rancang
bangun Borobudur mirip dengan piramida berundak. Di lorong-lorong inilah umat
Buddha diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah
kanan. Borobudur mungkin pada awalnya berfungsi lebih sebagai sebuah stupa,
daripada kuil atau candi. Stupa memang dimaksudkan sebagai bangunan suci untuk
memuliakan Buddha. Terkadang stupa dibangun sebagai lambang penghormatan dan
pemuliaan kepada Buddha. Sementara kuil atau candi lebih berfungsi sebagai rumah
ibadah. Rancangannya yang rumit dari monumen ini menunjukkan bahwa bangunan
ini memang sebuah bangunan tempat peribadatan. Bentuk bangunan tanpa ruangan
dan struktur teras bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari bentuk
punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah
Indonesia.
Menurut legenda setempat arsitek perancang Borobudur bernama
Gunadharma, sedikit yang diketahui tentang arsitek misterius ini. Namanya lebih
berdasarkan dongeng dan legenda Jawa dan bukan berdasarkan prasasti bersejarah.
Legenda Gunadharma terkait dengan cerita rakyat mengenai perbukitan Menoreh
yang bentuknya menyerupai tubuh orang berbaring. Dongeng lokal ini menceritakan
bahwa tubuh Gunadharma yang berbaring berubah menjadi jajaran perbukitan
Menoreh, tentu saja legenda ini hanya fiksi dan dongeng belaka
tangga pada lereng bukit yang menghubungkan candi dengan dataran di
sekitarnya. Perancangan Borobudur menggunakan satuan ukur tala, yaitu panjang
wajah manusia antara ujung garis rambut di dahi hingga ujung dagu, atau jarak

6
jengkal antara ujung ibu jari dengan ujung jari kelingking ketika telapak tangan
dikembangkan sepenuhnya. Tentu saja satuan ini bersifat relatif dan sedikit berbeda
antar individu, akan tetapi satuan ini tetap pada monumen ini. Penelitian pada 1977
mengungkapkan rasio perbandingan 4:6:9 yang ditemukan di monumen ini. Arsitek
menggunakan formula ini untuk menentukan dimensi yang tepat dari suatu fraktal
geometri perulangan swa-serupa dalam rancangan Borobudur. Rasio matematis ini
juga ditemukan dalam rancang bangun Candi Mendut dan Pawon di dekatnya.
Arkeolog yakin bahwa rasio 4:6:9 dan satuan tala memiliki fungsi dan makna
penanggalan, astronomi, dan kosmologi. Hal yang sama juga berlaku di candi Angkor
Wat di Kamboja.
Struktur bangunan dapat dibagi atas tiga bagian: dasar (kaki), tubuh, dan
puncak. Dasar berukuran 123×123 m (403.5 × 403.5 ft) dengan tinggi 4 meter (13 ft).
Tubuh candi terdiri atas lima batur teras bujur sangkar yang makin mengecil di
atasnya. Teras pertama mundur 7 meter (23 ft) dari ujung dasar teras. Tiap teras
berikutnya mundur 2 meter (6.6 ft), menyisakan lorong sempit pada tiap tingkatan.
Bagian atas terdiri atas tiga teras melingkar, tiap tingkatan menopang barisan stupa
berterawang yang disusun secara konsentris. Terdapat stupa utama yang terbesar di
tengah; dengan pucuk mencapai ketinggian 35 meter (115 ft) dari permukaan tanah.
Tinggi asli Borobudur termasuk chattra (payung susun tiga) yang kini dilepas adalah
42 meter (138 ft).

C. Relief Candi Borobudur


Pada dinding candi di setiap tingkatan kecuali pada teras-teras Arupadhatu dipahatkan
panel-panel bas-relief yang dibuat dengan sangat teliti dan halus. Relief dan pola hias
Borobudur bergaya naturalis dengan proporsi yang ideal dan selera estetik yang halus.
Relief-relief ini sangat indah, bahkan dianggap sebagai yang paling elegan dan anggun
dalam kesenian dunia Buddha. Relief Borobudur juga menerapkan disiplin seni rupa
India, seperti berbagai sikap tubuh yang memiliki makna atau nilai estetis tertentu. Relief-
relief berwujud manusia mulia seperti pertapa, raja dan wanita bangsawan, bidadari
atapun makhluk yang mencapai derajat kesucian laksana dewa, seperti tara dan
boddhisatwa, sering kali digambarkan dengan posisi tubuh tribhanga. Posisi tubuh ini
disebut “lekuk tiga” yaitu melekuk atau sedikit condong pada bagian leher, pinggul, dan
pergelangan kaki dengan beban tubuh hanya bertumpu pada satu kaki, sementara kaki
yang lainnya dilekuk beristirahat. Posisi tubuh yang luwes ini menyiratkan keanggunan,

7
misalnya figur bidadari Surasundari yang berdiri dengan sikap tubuh tribhanga sambil
menggenggam teratai bertangkai panjang.
Relief Borobudur menampilkan banyak gambar; seperti sosok manusia baik
bangsawan, rakyat jelata, atau pertapa, aneka tumbuhan dan hewan, serta menampilkan
bentuk bangunan vernakular tradisional Nusantara. Borobudur tak ubahnya bagaikan
kitab yang merekam berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa kuno. Banyak arkeolog
meneliti kehidupan masa lampau di Jawa kuno dan Nusantara abad ke-8 dan ke-9 dengan
mencermati dan merujuk ukiran relief Borobudur. Bentuk rumah panggung, lumbung,
istana dan candi, bentuk perhiasan, busana serta persenjataan, aneka tumbuhan dan
margasatwa, serta alat transportasi, dicermati oleh para peneliti. Salah satunya adalah
relief terkenal yang menggambarkan Kapal Borobudur. Kapal kayu bercadik khas
Nusantara ini menunjukkan kebudayaan bahari purbakala. Replika bahtera yang dibuat
berdasarkan relief Borobudur tersimpan di Museum Samudra Raksa yang terletak di
sebelah utara Borobudur.
Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa
Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sanskerta daksina yang artinya ialah timur. Relief-
relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain relief-relief cerita jātaka. Pembacaan
cerita-cerita relief ini senantiasa dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur di
setiap tingkatnya, mulainya di sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu gerbang
itu. Maka secara nyata bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang sesungguhnya
(utama) dan menuju puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke timur meskipun
sisi-sisi lainnya serupa benar.
Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara singkat bermakna sebagai berikut:
1. Karmawibhangga
Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi dinding batur
yang terselubung tersebut menggambarkan hukum karma. Karmawibhangga adalah
naskah yang menggambarkan ajaran mengenai karma, yakni sebab-akibat perbuatan
baik dan jahat. Deretan relief tersebut bukan merupakan cerita seri (serial), tetapi pada
setiap pigura menggambarkan suatu cerita yang mempunyai hubungan sebab akibat.
Relief tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap perbuatan tercela manusia
disertai dengan hukuman yang akan diperolehnya, tetapi juga perbuatan baik manusia
dan pahala. Secara keseluruhan merupakan penggambaran kehidupan manusia dalam
lingkaran lahir – hidup – mati (samsara) yang tidak pernah berakhir, dan oleh agama
Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan. Kini hanya

8
bagian tenggara yang terbuka dan dapat dilihat oleh pengujung. Foto lengkap relief
Karmawibhangga dapat disaksikan di Museum Karmawibhangga di sisi utara candi
Borobudur.
2. Lalitawistara
Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan relief-relief (tetapi
bukan merupakan riwayat yang lengkap) yang dimulai dari turunnya Sang Buddha
dari surga Tushita, dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota
Banaras. Relief ini berderet dari tangga pada sisi sebelah selatan, setelah melampui
deretan relief sebanyak 27 pigura yang dimulai dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura
tersebut menggambarkan kesibukan, baik di sorga maupun di dunia, sebagai persiapan
untuk menyambut hadirnya penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa selaku calon
Buddha. Relief tersebut menggambarkan lahirnya Sang Buddha di arcapada ini
sebagai Pangeran Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari
Negeri Kapilawastu. Relief tersebut berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan
wejangan pertama, yang secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma,
ajaran Sang Buddha di sebut dharma yang juga berarti “hukum”, sedangkan dharma
dilambangkan sebagai roda.
3. Jataka dan Awadana
hampir sama dengan Jataka akan tetapi pelakunya bukan Sang Bodhisattwa,
melainkan orang lain dan ceritanya dihimpun dalam kitab Diwyawadana yang berarti
perbuatan mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau seratus cerita Awadana.
Pada relief candi Borobudur Jataka dan Awadana, diperlakukan sama, artinya
keduanya terdapat dalam deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan yang paling
terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala atau untaian cerita
Jataka, karya penyair Aryasura Jataka adalah berbagai cerita tentang Sang Buddha
sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan
perbuatan-perbuatan baik, seperti sikap rela berkorban dan suka menolong yang
membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain manapun juga. Beberapa kisah
Jataka menampilkan kisah fabel yakni kisah yang melibatkan tokoh satwa yang
bersikap dan berpikir seperti manusia. Sesungguhnya, pengumpulan jasa atau
perbuatan baik merupakan tahapan persiapan dalam usaha menuju ketingkat ke-
Buddha-an.
Sedangkan Awadana, pada dasarnya yang hidup dalam abad ke-4 Masehi.

9
4. Gandawyuha
Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong ke-2,adalah cerita Sudhana yang
berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi
tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana. Penggambarannya dalam 460 pigura
didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk
bagian penutupnya berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.

D. Arca Buda di Candi Borobudur


Selain wujud buddha dalam kosmologi buddhis yang terukir di dinding, di Borobudur
terdapat banyak arca buddha duduk bersila dalam posisi teratai serta menampilkan mudra
atau sikap tangan simbolis tertentu. Patung buddha dengan tinggi 1,5 meter ini dipahat
dari bahan batu andesit. Patung buddha dalam relung-relung di tingkat Rupadhatu, diatur
berdasarkan barisan di sisi luar pagar langkan. Jumlahnya semakin berkurang pada sisi
atasnya. Barisan pagar langkan pertama terdiri dari 104 relung, baris kedua 104 relung,
baris ketiga 88 relung, baris keempat 72 relung, dan baris kelima 64 relung. Jumlah total
terdapat 432 arca Buddha di tingkat Rupadhatu. Pada bagian Arupadhatu (tiga pelataran
melingkar), arca Buddha diletakkan di dalam stupa-stupa berterawang (berlubang). Pada
pelataran melingkar pertama terdapat 32 stupa, pelataran kedua 24 stupa, dan pelataran
ketiga terdapat 16 stupa, semuanya total 72 stupa. Dari jumlah asli sebanyak 504 arca
Buddha, lebih dari 300 telah rusak (kebanyakan tanpa kepala) dan 43 hilang.

10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Borobudur adalah candi atau kuil Buddha terbesar di dunia, sekaligus salah satu
monumen Buddha terbesar di dunia. Pembangunan candi-candi Buddha termasuk
Borobudur saat itu dimungkinkan karena pewaris Sanjaya, Rakai Panangkaran
memberikan izin kepada umat Buddha untuk membangun candi. Bahkan untuk
menunjukkan penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan desa Kalasan kepada
sangha (komunitas Buddha), untuk pemeliharaan dan pembiayaan Candi Kalasan yang
dibangun untuk memuliakan Bodhisattwadewi Tara, sebagaimana disebutkan dalam
Prasasti Kalasan berangka tahun 778 Masehi.
Borobudur merupakan mahakarya seni rupa Buddha Indonesia, sebagai contoh puncak
pencapaian keselarasan teknik arsitektur dan estetika seni rupa Buddha di Jawa.
Bangunan ini diilhami gagasan dharma dari India, antara lain stupa, dan mandala, tetapi
dipercaya juga merupakan kelanjutan unsur lokal; struktur megalitik punden berundak
atau piramida bertingkat yang ditemukan dari periode prasejarah Indonesia.
Relief Borobudur menampilkan banyak gambar; seperti sosok manusia baik
bangsawan, rakyat jelata, atau pertapa, aneka tumbuhan dan hewan, serta menampilkan
bentuk bangunan vernakular tradisional Nusantara. Borobudur tak ubahnya bagaikan
kitab yang merekam berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa kuno.

11
DAFTAR PUSTAKA

Anomi. (1983). Pariwisata Jawa Tengah. Semarang: Dinas Pariwisata Jawa Tengah.
Moertjipto. (1993). Borobudur, Pawon, dan Mendut. Yogyakarta: Kanisus.
Soedirman. (1980). Borobudur Salah Satu Keajaiban Dunia. Yogyakarta: Pustaka Jaya.
Soeharsono. (1969). Petunjuk Singkat Untuk Bangunan Suci Borobudur. Yogjakarta:
Taman Siswa Yogyakarta.
Soekmono. (1978). Candi Borobudur - Pusaka Budaya Umat Manusia. Jakarta: Pustaka
Jaya.
Soetarno, R. (1994). Borobudur Selayang Padang. Solo: Tiga Serangkai.
Widya, Dharma. (2000). Riwayat Hidup Sang Budha Gautama. Jakarta: Yayasan Dana
Pendidikan Budhis.

12

Anda mungkin juga menyukai