Ada dua pendapat mengenai nama Muara Takus. Yang pertama mengatakan bahwa nam
tersebut diambil dari nama sebuah anak sungai kecil bernama Takus yang bermuara ke Sungai
Kampar Kanan. Pendapat lain mengatakan bahwa Muara Takus terdiri dari dua kata, yaitu
“Muara” dan “Takus”. Kata “Muara” mempunyai pengertian yang sudah jelas, yaitu suatu
tempat sebuah sungai mengakhiri alirannya ke laut atau ke sungai yang lebih besar, sedangkan
kata “Takus” berasal dari bahasa Cina, Ta berarti besarr, Ku berarti tua, dan Se berarti candi
atau kuil. Jadi arti keseluruhan kata Muara Takus adalah candi tua yang besar, yang terletak di
muara sungai.
Candi Tuo dibangun dari campuran batu bata yang dicetak dan batu pasir (tuff). Pemugaran
Candi Tuo dilaksanakan secara bertahap akibat keterbatasan anggaran yang tersedia. Pada
tahun 1990, selesai dikerjakan bagian kaki I di sisi timur. Selama tahun anggaran 1992/1993
pemugaran dilanjutkan dengan bagian sisi sebelah barat (kaki I dan II). Volume bangunan
keseluruhan mencapai 2.235 m3, terdiri dari : kaki: 2.028 m3, tubuh: 150 m3, dan puncak: 57
m3. Tinggi bangunan mencapai 8,50 m.
Bangunan kedua dinamakan Candi Mahligai. Bangunan ini
berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10,44 m x 10,60 m.
Tingginya sampai ke puncak 14,30 m berdiri diatas
pondamen segi delapan (astakoma) dan bersisikan sebanyak
28 buah. Pada alasnya terdapat teratai berganda dan di
tengahnya menjulang sebuah menara yang bentuknya mirip
phallus (yoni).
Ukuran Candi Banyuniba relatif kecil, yaitu lebar 11 m dan panjang sekitar 15 m. Tubuh
candi berdiri di atas 'batur' setinggi 2,5 m yang terletak di tengah hamparan batu andesit yang
tertata rapi. Selisih luas batur dengan tubuh candi membentuk selasar yang cukup lebar untuk
dilalui 1 orang. Dinding dan pelipit atas batur dipenuhi dengan hiasan bermotif sulur dan
dedaunan yang menjulur keluar dari sebuah wadah mirip tempayan. Di setiap sudut kaki
candi terdapat hiasan mirip kepala Kala yang disebut 'jala dwara". Hiasan ini berfungsi
sebagai saluran pembuang air hujan. Atap candi berbentuk limasan seperti kubah (dagoba)
dengan stupa di puncaknya.
Untuk naik ke selasar di permukaan 'batur' (kaki candi) terdapat tangga selebar sekitar 1,2 m,
terletak tepat di depan pintu masuk bilik penampil. Pangkal pipi tangga dihiasi dengan kepala
sepasang naga dengan mulut menganga lebar.
Tidak terdapat arca di ruangan dalam tubuh candi, namun dindingnya dihiasi dengan sosok
anak dan lelaki dalam berbagai posisi. Ada pahatan yang menggambarkan seorang anak
sedang bergantung pada dahan pohon, sederetan orang yang sedang duduk berpelukan,
seorang lelaki duduk bersila, dan sebagainya.
Di halaman candi terdapat sepasang arca lembu dalam posisi duduk. Tidak didapat informasi
apakah arca tersebut memang terletak di tempat aslinya atau sudah dipindahkan dari
tempatnya semula.
Candi Barong
Candi barong merupakan candi peninggalan agama Hindu yang terletak di Dusun
Candisari, Bokoharjo, Prambanan. Disebut Candi Barong karena terdapat hiasan kala di
relung tubuh candi yang tampak seperti Barong. Keberadaan Candi Barong yang juga
bernama Candi Sari Suragedug disebutkan dalam Prasasti Ratu Baka (856 M) dalam
bahasa Sansekerta dan ditulis menggunakan huruf Jawa kuno. Dalam prasasti tersebut
diceritakan tentang seorang raja bernama Sri Kumbaja atau Sri Kalasodbhava yang
membangun tiga 'lingga', yaitu Krttiwasalingga dengan pendamping Dewi Sri,
Triyarbakalingga dengan pendamping Dewi Suralaksmi, dan Haralingga dengan
pendamping Dewi Mahalaksmi. Diperkirakan bangunan yang dimaksud adalah Candi
Barong. Dalam Prasasti Pereng (863 M), yang juga ditulis dalam bahasa Sansekerta
dengan menggunakan huruf Jawa kuno, disebutkan bahwa pada tahun 784 Saka (860 M)
Rakai Walaing Pu Kumbhayoni menganugerahkan sawah dan dua bukit di Tamwahurang
untuk keperluan pemeliharaan bangunan suci Syiwa bernama Bhadraloka. Para ahli
berpendapat bahwa Sri Kumbaja atau Sri Kalasodbhava adalah Pu Kumbhayani dan
bangunan Syiwa yang dimaksud adalah Candi Barong.
Teras ketiga, yang berukuran 25 x 38 m2, terletak 5 m dari permukaan teras kedua, dan
dapat dicapai melalui tangga selebar 3,2 m. Tangga tersebut dilengkapi dengan pipi
tangga di kiri-kanannya. Di pangkal tangga terdapat hiasan menyerupai 'ukel' yang
sudah tidak jelas bentuknya. Di kiri dan kanan dinding pipi tangga terdapat hiasan
berupa daun kalpataru yang sebagian sudah rusak. Di puncak tangga terdapat gerbang
beratap (gapura paduraksa) menuju ke pelataran teras ketiga. Di atas ambang gapura
terdapat hiasan Kalamakara.
Dinding teras diberi penguat berupa susunan balok batu andesit yang diperhalus dengan
lapisan batu putih di permukaannya. Dinding teras candi, dari teras terbawah sampai
yang teratas, terlihat polos tanpa hiasan. Mendekati ujung selatan dinding barat teras
ketiga terdapat ceruk yang belum jelas fungsinya.
Di pelataran teras teratas, yang dianggap sebagai tempat yang tersuci terdapat dua
bangunan berjajar arah utara-selatan, masing-masing mempunyai luas dasar 8 x 8 m2.
Bangunan pertama terletak di ujung selatan, sedangkan yang kedua terletak di tengah
pelataran, tepat berhadapan dengan tangga. Di ujung utara terdapat reruntuhan
bangunan yang belum dipugar.
Kedua bangunan yang ada tidak mempunyai mempunyai pintu masuk ke tubuh candi,
karena tidak terdapat ruangan di dalamnya, walaupun, menurut hasil penelitian,
diperkirakan terdapat rongga dalam tubuh bangunan. Relung-relung yang ada saat ini
dalam keadaan kosong. Arca yang pernah ditempatkan di sana sudah tak bersisa,
walaupun konon pada saat pemugarannya ditemukan 3 arca dewi dan 4 arca dewa yang
berciri Syiwaistik. Pada keempat sisi masing-masing bangunan hanya terdapat relung
tempat menaruh arca. Di atas ambang relung terdapat hiasan kalamakara lengkap
dengan rahang bawah yang sangat sederhana pahatannya.
Tidak terdapat hiasan relief pada dinding dan kaki bangunan, hanya ada pahatan berpola
dedaunan dan sosok manusia yang sederhana. Atap candi bersusun dengan puncak
runcing. Pelipit atap berpola bunga dan kumuda.
Candi Barabudhur
Candi Barabudhur terletak di Kabupaten Magelang,
sekitar 15 km ke arah Baratdaya Yogyakarta. Candi
Buddha terbesar di Indonesia ini telah warisan
budaya duniadan telah terdaftar dalam daftar warisan
dunia (world heritage list), yang semula diberi nomor
348 dan kemudian diubah menjadi 582 pada tahun
1991. Lokasi Candi Barabudhur yang merupakan
bukit kecil dikelilingi oleh pegunungan Menoreh, G.
Merapi dan G. Merbabu di timurlaut, serta G.
Sumbing dan G. Sindoro di baratlaut.
Sampai saat ini belum ada kesepakatan di antara para pakar tentang nama Barabudhur. Dalam
Kitab Negarakertagama (1365 M.) disebut-sebut tentang Budur, sebuah bangunan suci
Buddha aliran Vajradhara. Menurut Casparis dalam Prasasti Sri Kahulunan (842 M)
dinyatakan tentang “Kawulan i Bhumi Sambhara”. Berdasarkan hal itu ia berpendapat bahwa
Barabudhur merupakan tempat pemujaan. Bumi Shambara adalah nama tempat di
Barabudhur. Menurut Poerbatjaraka, Barabudhur berarti Biara Budur, sedangkan menurut
Raffles, 'bara' berarti besar dan 'budhur' merupakan kata dalam bahasa Jawa yang berarti
Buddha.
Berdasarkan tulisan yang terdapat di beberapa batu di Candi Barabudhur, para ahli
berpendapat bahwa candi ini mulai dibangun sekitar tahun 780 M, pada masa pemerintahan
raja-raja Wangsa Sanjaya. Pembangunannya memakan waktu berpuluh-puluh tahun dan baru
selesai sekitar tahun 830 M, yaitu pada masa pemerintahan Raja Samaratungga dari Wangsa
Syailendra. Konon arsitek candi yang maha besar ini bernama Gunadharma, namun belum
didapatkan informasi tertulis tentang tokoh ini. Pada tahun 950 M, Candi Barabudhur terkubur
oleh lava letusan G. Merapi dan baru ditemukan kembali hampir seribu tahun kemudian,
tepatnya pada tahun 1814. Penemuan kembali Candi Barabudhur adalah atas jasa Sir Thomas
Stamford Raffles.
Pada saat Raffles berkunjung ke Semarang, ia mendapatkan informasi bahwa di daerah Kedu
ditemukan tumpukan batu bergambar. Konon pada tahun 1814, serombongan orang
mendatangi suatu daerah di Karesidenan Kedu untuk mencari tahu lebih jauh tentang legenda
yang berkaitan dengan sebuah bukit dekat Desa Boro. Setelah membabat semak belukar dan
menggali serta membersihkan gundukan abu gunung berapi, mereka menemukan sejumlah
besar bongkahan batu berpahatkan gambar-gambar aneh. Raffles kemudian memerintahkan
Cornelius, seorang Belanda, untuk membersihkan batu-batu tersebut. Pembersihan tumpukan
batu dan lingkungan di sekitarnya kemudian dilanjutkan oleh Residen Kedu yang bernama
Hartman.
Candi Barabudhur melambangkan tiga tingkatan dalam kehidupan manusia. Kaki candi
disebut Kamadhatu, melambangkan kehidupan di dunia fana, yang masih dipenuhi kama
(hasrat dan nafsu). Pada dinding kaki candi terdapat 160 panil relief Karmawibangga. Saat ini
relief tersebut tidak dapat dilihat karena tertutup urukan. Pada saat pembangunan candi ini
sedang berlangsung, bangunan yang belum selesai tersebut melesak ke bawah, sehingga
arsiteknya memutuskan untuk menguruk bagian kakinya. Konon selain untuk menghindari
longsor, pengurukan bagian kaki ini juga didasarkan atas alasan etika dan estetika.
Tubuh candi terdiri atas 5
tingkat, makin ke atas
makin mengecil, dengan
denah bujur sangkar. Di
setiap tingkat terdapat
selasar yang cukup lebar
mengelilingi tubuh candi.
Tepi selasar diberi dinding
yang dihiasi dengan panil-
panil relief. Tubuh candi disebut Rupadhatu, yang berarti dunia rupa. Dalam dunia ini
manusia masih terikat dengan kehidupan duniawi, namun sudah mulai berusaha
mengendalikan hasrat dan nafsu.
Di beberapa tempat terdapat saluran pembuangan air yang disebut Jaladwara. Dinding atas
tingkat I dihiasi dengan relief cerita yang diambil dari Kitab Lalitawistara, yang mengisahkan
riwayat Sang Buddha sejak turun dari surga Tusita ke bumi, saat menerima wejangan di
Taman Rusa dekat Benares, sampai pada saat mencapai kesempurnaan.
Candi Barabudhur telah mengalami beberapa kali pemugaran. Pemugaran pertama dilakukan
pada masa pemerintahan Belanda, yaitu pada tahun 1907 – 191, di bawah pimpinan Van Erp.
Dalam pemugaran ini yang diutamakan adalah mengembalikan ketiga teras atap candi dan
stupa pusatnya. Pemugaran kedua berlangsung selama sepuluh tahun, yaitu tahun 1973 –
1983. Dalam pemugaran ini Candi Barabudhur dibongkar, fondasi dan dindingnya diberi
penguat beton bertulang, dan batu-batunya diteliti, dibersihkan, diberi pengawet kedap air dan
disusun kembali sesuai susunannya semula.
Candi Bubrah
Candi Bubrah terletak di dalam Kawasan
Wisata Prambanan, yaitu di Dukuh Bener,
Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan,
Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah.
Tidak banyak informasi yang didapat
mengenai candi yang saat ini tinggal berupa
'batur' (kaki candi) yang telah rusak dan
onggokan batu bekas dinding. Nama 'Bubrah'
dalam bahasa Jawa berarti hancur
berantakan. Tidak jelas apakah candi ini
dinamakan Bubrah karena ketika ditemukan kondisinya memang sudah dalam keadaan
(bubrah) berantakan atau karena memang itulah namanya.
Ukuran Candi
Buddha ini relatif
kecil dengan denah
dasar persegi
panjang,
memanjang arah
utara-selatan.
Ukuran tepatnya
tidak bisa didapatkan karena reruntuhan candi ini dikelilingi pagar terkunci. Tinggi batur
(kaki) candi sekitar 2 m. Sepanjang pelipit atas dihiasi dengan pahatan berpola simetris. Tidak
terlihat adanya sisa-sisa relief pada dinding kaki candi. Tangga naik ke selasar di permukaan
batur terletak di sebelah timur.
Candi Dieng
Candi Dieng merupakan kumpulan candi yang terletak di kaki
pegunungan Dieng, Wonosobo, Jawa tengah. Kawasan Candi
Dieng menempati dataran pada ketinggian 2000 m di atas
permukaan laut, memanjang arah utara-selatan sekitar 1900 m
dengan lebar sepanjang 800 m.
Candi Dieng pertama kali diketemukan kembali pada tahun 1814. Ketika itu seorang tentara
Inggris yang sedang berwisata ke daerah Dieng melihat sekumpulan candi yang terendam
dalam genangan air telaga. Pada tahun 1856, Van Kinsbergen memimpin upaya pengeringan
telaga tempat kumpulan candi tersebut berada. Upaya pembersihan dilanjutkan oleh
pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1864, dilanjutkan dengan pencatatan dan pengambilan
gambar oleh Van Kinsbergen.
Luas keseluruhan kompleks Candi Dieng mencapai sekitar 1.8 x 0.8 km2. Candi-candi di
kawasan Candi Dieng terbagi dalam 3 kelompok dan 1 candi yang berdiri sendiri yang
dinamakan berdasarkan nama tokoh dalam cerita wayang yang diadopsi dari Kitab
Mahabarata. Ketiga kelompok candi tersebut adalah Kelompok Arjuna, Kelompok Gatutkaca,
Kelompok Dwarawati dan satu candi yang berdiri sendiri adalah Candi Bima.
a. Kelompok Arjuna
Kelompok Arjuna terletak di tengah kawasan Candi Dieng, terdiri atas 4 candi yang berderet
memanjang arah utara-selatan. Candi Arjuna berada di ujung selatan, kemudian berturut-turut
ke arah utara adalah Candi Srikandi, Candi Sembadra dan Candi Puntadewa. Tepat di depan
Candi Arjuna, terdapat Candi Semar. Keempat candi di komples ini menghadap ke barat,
kecuali Candi Semar yang menghadap ke Candi Arjuna. Kelompok candi ini dapat dikatakan
yang paling utuh dibandingkan kelompok candi lainnya di kawasan Dieng.
Pada dinding luar sisi utara, selatan dan barat terdapat susunan
batu yang menjorok ke luar dinding, membentuk bingkai sebuah relung tempat arca. Bagian
depan bingkai relung dihiasi dengan pahatan berpola kertas tempel. Bagian bawah bingkai
dihiasi sepasang kepala naga dengan mulut menganga. Di bagian atas bingkai terdapat hiasan
kalamakara tanpa rahang bawah. Pada
dinding di kiri dan kanan ambang pintu
bangunan utara terdapat relung tempat
meletakkan arca. Saat ini kedua relung
tersebut dalam keadaan kosong.
Atap candi berbentuk kubus bersusun, makin ke atas makin mengecil. Bagian atas dan puncak
atap sudah hancur. Di setiap sisi masing-masing kubus terdapat relung dan di setiap sudut
terdapat hiasan berbentuk seperti mahkota bulat berujung runcing. Sebagian besar hiasan
tersebut sudah rusak.
Di tengah ruangan di dalam tubuh candi terdapat yang tampak seperti sebuah yoni. Di sudut
luar, menempel pada dinding belakang candi terdapat arca yang sudah rusak.
Candi Semar. Candi ini letaknya berhadapan dengan Candi Arjuna. Denah dasarnya
berbentuk persegi empat membujur arah utara-selatan. Batur candi setinggi sekitar 50 cm,
polos tanpa hiasan. Tangga menuju pintu masuk ke ruang dalam tubuh candi terdapat di sisi
timur. Pintu masuk tidak dilengkapi bilik penampil. Ambang pintu diberi bingkai dengan
hiasan pola kertas tempel dan kepala naga di pangkalnya. Di atas ambang pintu terdapat
Kalamakara tanpa rahang bawah.
Candi Srikandi. Candi ini terletak di utara Candi Arjuna. Batur candi setinggi sekitar 50 cm
dengan denah dasar berbentuk kubus. Di sisi timur terdapat tangga dengan bilik penampil.
Pada dinding utara terdapat pahatan yang menggambarkan Wisnu, pada dinding timur
menggambarkan Syiwa dan pada dinding selatan menggambarkan Brahma. Sebagian besar
pahatan tersebut sudah rusak. Atap candi sudah rusak sehingga tidak terlihat lagi bentuk
aslinya.
Candi Sembadra. Batur candi setinggi sekitar 50 cm dengan denah dasar berbentuk bujur
sangkar. Di pertengahan sisi selatan, timur dan utara terdapat bagian yang menjorok keluar,
membentuk relung seperti bilik penampil. Pintu masuk terletak di sisi barat dan, dilengkapi
dengan bilik penampil. Adanya bilik penampil di sisi barat dan relung di ketiga sisi lainnya
membuat bentuk tubuh candi tampak seperti poligon. Di halaman terdapat batu yang ditata
sebagai jalan setapak menuju pintu.
Sepintas Candi Sembadra terlihat seperti bangunan bertingkat, karena atapnya berbentuk
kubus yang ukurannya hampir sama besar dengan ukuran tubuhnya. Puncak atap sudah
hancur, sehingga tidak terlihat lagi bentuk aslinya. Di keempat sisi atap juga terdapat relung
kecil seperti tempat menaruh arca.
Candi Puntadewa. Seperti candi lainnya, ukuran Candi Puntadewa tidak terlalu besar, namun
candi ini tampak lebih tinggi. Tubuh candi berdiri di atas batur bersusun setinggi sekitar 2,5
m. Tangga menuju pintu masuk ke dalam ruang dalam tubuh candi dilengkapi pipi candi dan
dibuat bersusun dua, sesuai dengan batur candi.
Di utara candi terdapat batu yang disusun berkeliling membentuk ruangan berbentuk persegi
panjang. Di tengah ruangan terdapat dua buah batu berbentuk mirip tempayan yang lebar.
b. Kelompok Gatutkaca
Kelompok Gatutkaca juga terdiri atas 5 candi, yaitu Candi Gatutkaca, Candi Setyaki, Candi
Nakula, Candi Sadewa, Candi Petruk dan Candi Gareng, namun saat ini yang masih dapat
dilihat bangunannya hanya Candi Gatutkaca. Keempat candi lainnya hanya tersisa tinggal
reruntuhannya saja.
c. Kelompok Dwarawati
Kelompok Dwarawati terdiri atas 4 candi, yaitu Candi Dwarawati, Candi Abiyasa, Candi
Pandu, dan Candi Margasari. Akan tetapi, saat ini yang berada dalam kondisi relatif utuh
hanya satu candi, yaitu Candi Dwarawati.
d. Candi Bima
Bentuk atap candi terdiri atas 5 tingkat, masing-masing tingkat mengikuti lekuk bentuk
tubuhnya, makin ke atas makin mengecil. Setiap tingkat dihiasi dengan pelipit padma ganda
dan relung kudu. Kudu ialah arca setengah badan yang nampak se olah-olah sedang
menjenguk ke luar. Hiasan semacam ini terdapat juga di Candi Kalasan. Puncak atap sudah
hancur sehingga tidak diketahui bentuk aslinya.
Candi Gedongsanga
Kompleks Candi Gedong Sanga terletak di puncak G.
Ungaran, tepatnya di Desa Candi, Kecamatan Somawono,
Semarang, Jawa Tengah. Para ahli belum dapat memastikan
waktu dan tujuan pembangunan Candi Gedong Sanga, karena
sampai saat ini belum ada prasasti yang ditemukan yang
menyebut tentang keberadaan bangunan kuno itu. Lokasinya
yang berada di daerah perbukitan mendasari dugaan bahwa
candi ini dibangun pada masa awal perkembangan agama
Hindu di Jawa, yaitu pada masa pemerintahan raja-raja
Wangsa Sanjaya. Menilik gaya arsitektur dan letaknya, candi Hindu Syiwa ini diduga
dibangun untuk keperluan pemujaan. Pada masa itu dataran tinggi atau perbukitan dianggap
sebagai perwujudan dari 'kahyangan', tempat bersemayam para dewa.
Keberadaannya candi ini diungkapkan pertama kali dalam laporan Raffles pada tahun 1740.
Pada awalnya hanya tujuh kelompok bangunan yang ditemukan, sehingga Raffles
menyebutnya Gedong Pitu. Setelah ditemukan, dilakukan beberapa penelitian terhadap candi
oleh para arkeolog Belanda, antara lain Van Stein Callenfels (1908) dan Knebel (1911).
Dalam penelitian tersebut ditemukan dua kelompok candi lain, sehingga namanya diubah
menjadi Gedong Sanga (dalam bahasa Jawa berarti sembilan bangunan). Pada tahun 1928
sampai 1929, dinas purbakala pada zaman pemerintahan Belanda melakukan pemugaran
terhadap Candi Gedong I dan Candi Gedong II. Pemugaran candi dan penataan lingkungan
dilakukan oleh pemerintah Indonesia selama hampir 10 tahun, yaitu tahun 1972 sampai 1982.
Candi Gedong I
Candi Gedong II
Candi Gedong II terdiri satu bangunan utuh dengan denah dasar bujur sangkar seluas sekitar
2,5 m2. Tubuh candi berdiri di atas batur setinggi sekitar 1 m.
Pada dinding luar sisi utara, selatan dan barat terdapat susunan batu yang
menjorok ke luar dinding, membentuk bingkai sebuah relung tempat
arca. Bagian depan bingkai relung dihiasi dengan pahatan berpola kertas
tempel. Bagian bawah bingkai dihiasi sepasang kepala naga dengan
mulut menganga. Di bagian atas bingkai terdapat hiasan kalamakara
tanpa rahang bawah.
Candi Gedong III terdiri dari tiga bangunan, yaitu dua bangunan yang berjajar menghadap ke
timur dan satu bangunan yang meghadap ke barat. Ketiga bangunan tersebut dapat dikatakan
dalam keadaan utuh.
Kedua bangunan yang menghadap timur tersebut berdiri di atas batur yang rendah dengan
denah dasar berbentuk bujur sangkar. Di pertengahan masing-masing sisi kaki candi terdapat
relung, salah satunya berisi arca gajah.
Pada dinding di sisi barat, utara dan selatan masing-masing bangunan terdapat relung tempat
meletakkan arca. Relung-relung pada dinding bangunan candi perwara saat ini dalam keadaan
kosong. Dalam relung pada dinding selatan candi utama terdapat Arca Ganesha dalam posisi
bersila, sedangkan dalam relung pada dinding selatan terdapat Arca Durga bertangan delapan
dalam posisi berdiri.
Candi Gedong IV
Candi Gedong IV terdiri satu bangunan utuh dan sejumlah reruntuhan bangunan lain di
sekelilingnya. Belum diketahui bagaimana bentuk asli dan apa fungsi bangunan-bangunan
yang telah runtuh tersebut, namun ada dugaan bahwa bangunan-bangunan itu merupakan
candi perwara.
Pada dinding luar sisi barat, utara dan selatan terdapat relung-relung berisi arca. Salah satu
arca yang masih ada berupa sosok lelaki dalam posisi berdiri. Arca tersebut dalam keadaan
rusak. Atap Candi Gedong IV berbentuk 3 persegi bersusun, makin ke atas makin mengecil
dengan puncak atap runcing, mirip atap Candi Gedong II. Sekeliling kubus dihiasi dengan
pahatan pola kertas tempel. Di setiap sudut terdapat hiasan berbentuk seperti mahkota bulat
berujung runcing.
Candi Gedong V
Candi Gedong V mirip dengan terdiri satu bangunan utuh dan sejumlah reruntuhan bangunan
lain di sekelilingnya, yang diduga sebagai candi perwara. Bangunan yang masih utuh tersebut
bentuknya mirip dengan bangunan Candi Gedong II dan Candi Gedong IV.
Pada dinding luar sisi barat, utara dan selatan terdapat relung-relung berisi arca. Salah satu
arca yang masih ada adalah Arca Ganesha dalam posisi bersila di atas bangku dengan kedua
tangan di atas paha. Telapak tangan menumpang di atas paha sedangkan telapak tangan kanan
berada di atas lutut. Arca tersebut alam keadaan rusak.
Candi Kalasan
Candi Kalasan terletak di Desa Kalibening, Tirtamani, Kabupaten
Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, tepatnya sekitar 16 km ke arah
timur dari kota Yogyakarta. Dalam Prasasti Kalasan dikatakan bahwa
candi ini disebut juga Candi Kalibening, sesuai dengan nama desa
tempat candi tersebut berada. Tidak jauh dari Candi Kalasan terdapat
sebuah candi yang bernama Candi Sari. Kedua candi tersebut
memiliki kemiripan dalam keindahan bangunan serta kehalusan
pahatannya. Ciri khas lain yang hanya ditemui pada kedua candi itu
ialah digunakannya vajralepa (bajralepa) untuk melapisi ornamen-
ornamen dan relief pada dinding luarnya.
Umumnya sebuah candi dibangun oleh raja atau penguasa kerajaan pada masanya untuk
berbagai kepentingan, misalnya untuk tempat ibadah, tempat tinggal bagi biarawan, pusat
kerajaan atau tempat dilangsungkannya kegiatan belajar-mengajar agama. Keterangan
mengenai Candi Kalasan dimuat dalam Prasasti Kalasan yang ditulis pada tahun Saka 700
(778 M). Prasasti tersebut ditulis dalam bahasa Sanskerta menggunakan huruf pranagari.
Dalam Prasasti Kalasan diterangkan bahwa para penasehat keagamaan Wangsa Syailendra
telah menyarankan agar Maharaja Tejapurnama Panangkarana mendirikan bangunan suci
untuk memuja Dewi Tara dan sebuah biara untuk para pendeta Buddha. Menurut prasasti Raja
Balitung (907 M), yang dimaksud dengan Tejapurnama Panangkarana adalah Rakai
Panangkaran, putra Raja Sanjaya dari Kerajaan Mataram Hindu.
Untuk membangun bangunan suci bagi Dewi Tara, Rakai Panangkaran menganugerahkan
Desa Kalasan dan untuk membangun biara yang diminta para pendeta Buddha. Diperkirakan
bahwa candi yang dibangun untuk memuja Dewi Tara adalah Candi Kalasan, karena di dalam
candi ini semula terdapat patung Dewi Tara, walaupun patung itu sudah tidak berada di
tempatnya. Sementara itu, yang dimaksud dengan biara tempat para pendeta Buddha, menurut
dugaan, adalah Candi Sari yang memang letaknya tidak jauh dari Candi Kalasan. Berdasarkan
tahun penulisan Prasasti Kalasan itulah diperkirakan bahwa tahun 778 Masehi merupakan
tahun didirikannya Candi Kalasan.
Bangunan candi secara keseluruhan berbentuk empat persegi panjang berukuran 34x 45 m,
terdiri atas ruang utama yang berbentuk bujur sangkar dan bilik-bilik yang menjorok keluar di
tengah keempat sisinya. Dinding di sekeliling kaki candi dihiasi dengan pahatan bermotif
kumuda, yaitu daun kalpataru yang keluar dari sebuah jambangan bulat.
Candi Kalasan memiliki 4 buah pintu yang terletak di keempat sisi, namun hanya pintu di sisi
timur dan barat yang mempunyai tangga untuk mencapai pintu dan hanya pintu di sisi timur
yang merupakan pintu masuk ke ruang utama di tengah candi. Dilihat dari letak pintu
utamanya tersebut dapat dikatakan bahwa Candi Kalasan menghadap ke timur. Di sepanjang
dinding candi terdapat cekungan-cekungan yang berisis berbagai arca, walaupun tidak semua
arca masih berada di tempatnya. Diatas semua pintu dan cekungan selalu dihiasi dengan
pahatan bermotif Kala. Tepat di atas ambang pintu, di bawah pahatan Kalamakara, terdapat
hiasan kecil berupa wanita bersila memegang benda di kedua belah tangannya. Relung-relung
di sisi kiri dan kanan atas pintu candi dihiasi dengan sosok dewa dalam posisi berdiri
memegang bunga teratai.
Pada dinding luar di sisi utara, barat dan selatan terdapat relung
tempat meletakkan arca Dhyani Buddha. Jumlah relung pada
masing-masing sisi adalah 3 buah, sehingga jumlah keseluruhan
adalah 9 buah, Saat ini tak satupun relung yang berisi arca. Atap
candi utama sudah hancur, namun diperkirakan berbentuk stupa
dengan ujung runcing, mirip atap candi perwara. Di sekeliling
halaman candi utama terdapat pagar yang saat ini tinggal
reruntuhan.
Atap candi perwara berbentuk kubus bersusun dengan puncak stupa. Setiap sudut kubus
dihiasi dengan stupa kecil. Di ruang dalam tubuh candi perwara terdapat batu mirip tatakan
arca yang disusun berjajar.
Candi Mendut
Candi Mendut terletak di Desa Mendut, Kecamatan Mungkid,
Kabupaten Magelang, Jawa barat, sekitar 38 km ke arah barat
laut dari Yogyakarta. Lokasinya hanya sekitar 3 km dari
Candi Borobudur. Candi Buddha ini diperkirakan mempunyai
kaitan erat dengan Candi Pawon dan Candi Mendut. Ketiga
candi tersebut terletak pada satu garis lurus arah utara-selatan.
Tangga menuju selasar terletak di sisi barat, tepat di depan pintu masuk ke ruangan dalam
tubuh candi. Pintu masuk ke ruangan dalam tubuh candi dilengkapi dengan bilik penampil
yang menjorok keluar. Atap bilik penampil sama tinggi dan menyatu dengan atap tubuh candi.
Tidak terdapat gapura atau bingkai pintu pada dinding depan bilik penampil. Bilik itu sendiri
berbentuk lorong dengan langit-langit berbentuk rongga memanjang dengan penampang segi
tiga.
Dinding pipi tangga dihiasi dengan beberapa panil berpahat yang menggambarkan berbagai
cerita yang mengandung ajaran Buddha. Pangkal pipi tangga dihiasi dengan sepasang kepala
naga yang mulutnya sedang menganga lebar, sementara di dalam mulutnya terdapat seekor
binatang yang mirip singa. Di bawah kepala naga terdapat panil begambar makhluk kerdil
mirip Gana.
Atap candi itu terdiri dari tiga kubus yang disusun makin ke atas makin kecil, mirip atap
candi-candi di Komplek Candi Dieng dan Gedongsanga. Di sekeliling kubus-kubus tersebut
dihiasi dengan 48 stupa kecil. Puncak atap sudah tidak tersisa sehingga tidak diketahui lagi
bentuk aslinya.
Dinding dalam bilik penampil dihiasi dengan relief Kuwera atau Avataka dan relief Hariti.
Relief Kuwera terpahat di dinding utara, relief Hariti terpahat di dinding selatan. Kuwera
adalah seorang raksasa pemakan manusia yang bertobat setelah bertemu dengan Buddha. Ia
berubah menjadi dewa kekayaan dan pelindung anak-anak. Kuwera mempunyai seorang istri
bernama Hariti, yang semula adalah juga seorang raksasa pemakan manusia. Sebagaimana
halnya suaminya, Hariti bertobat setelah bertemu Buddha dan kemudian menjadi pelindung
anak-anak. Relief Kuwera dan Hariti terdapat di banyak candi Buddha Tantrayana, seperti di
Candi Sewu, Candi Banyuniba dan Candi Kalasan.
Pada dinding sisi utara terpahat relief yang menggambarkan Dewi Tara sedang duduk di atas
padmasana, diapit dua orang lelaki. Dalam relief ini Tara digambarakan sebagai dewi
bertangan delapa. Keempat tangan kiri masing-masing memegang tiram, wajra, cakra, dan
tasbih, sedangkan keempat tangan kanan masing-masing memegang sebuah cawan, kapak,
tongkat, dan kitab.
Di sudut selatan, di halaman samping Candi Mendut terdapat batu-batu reruntuhan yang
sedang diidentifikasi dan dicoba untuk direkonstruksi.
Candi Pawon
Candi Pawon terletak di Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur,
Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah. Candi yang mempunyai
nama lain Candi Brajanalan ini lokasinya sekitar 2 km ke arah timur
laut dari Candi Barabudhur dan 1 km ke arah tenggara dari Candi
Mendut. Letak Candi Mendut, Candi Pawon dan Candi Barabudhur
yang berada pada satu garis lurus mendasari dugaan bahwa ketiga candi
Buddha tersebut mempunyai kaitan yang erat. Selain letaknya,
kemiripan motif pahatan di ketiga candi tersebut juga mendasari adanya
keterkaitan di antara ketiganya. Poerbatjaraka, bahkan berpendapat
bahwa candi Pawon merupakan upa angga (bagian dari) Candi
Barabudhur.
Menurut Casparis, Candi Pawon merupakan tempat penimpanan abu jenazah Raja Indra ( 782
- 812 M ), ayah Raja Samarrattungga dari Dinasti Syailendra. Nama "Pawon" sendiri, menurut
sebagian orang, berasal dari kata pawuan yang berarti tempat menyimpan awu (abu). Dalam
ruangan di tubuh Candi Pawon, diperkirakan semula terdapat Arca Bodhhisatwa, sebagai
bentuk penghormatan kepada Raja Indra yang dianggap telah mencapai tataran Bodhisattva,
maka dalam candi ditempatkan arca Bodhisatwva. Dalam Prasasti
Karang Tengah disebutkan bahwa arca tersebut mengeluarkan wajra
(sinar). Pernyataan tersebut menimbulkan dugaan bahwa arca
Bodhisattwa tersebut dibuat dari perunggu.
Pada dinding depan candi, di sebelah utara dan selatan pintu masuk,
terdapat relung yang berisi pahatan yang menggambarkan Kuwera
(Dewa Kekayaan) dalam posisi berdiri. Pahatan yang terdapat di selatan
pintu sudah rusak sehingga tidak terlihat lagi wujud aslinya. Pahatan
yang di utara pintu relatif masih utuh, hanya bagian kepala saja yang
sudah hancur.
Pemugaran Candi Prambanan memakan waktu yang sangat panjang, seakan tak pernah
selesai. Penemuan kembali reruntuhan bangunan yang terbesar, yaitu Candi Syiwa, dilaporkan
oleh C.A. Lons pada tahun 1733. Upaya penggalian dan pencatatan pertama dilaksanakan di
bawah pengawasan Groneman. Penggalian diselesaikan pada tahun 1885, meliputi
pembersihan semak belukar dan pengelompokan batu-batu reruntuhan candi.
Pada tahun 1902, upaya tersebut dilanjutkan kembali oleh van Erp. Pengelompokan dan
identifikasi batu-batu reruntuhan dilaksanakan secara lebih rinci. Pada tahun 1918, pemugaran
terhadap Candi Prambanan dilanjutkan kembali di bawah pengawasan Dinas Purbakala
(Oudheidkundige Dienst) yang dipimpin oleh P.J. Perquin. Melalui upaya ini, sebagian dari
reruntuhan Candi Syiwa dapat direkonstruksi kembali.
Pada tahun 1926, dibentuk sebuah panitia pemugaran di bawah pimpinan De Haan untuk
melanjutkan upaya yang telah dilaksanakan Perquin. Di bawah pengawasan panitia ini, selain
pembangunan kembali Candi Syiwa semakin disempurnakan hasilnya, dimulai juga persiapan
pembangunan Candi Apit.
Pada tahun 1931, De Haan meninggal dan digantikan oleh V.R. van Romondt. Pada tahun
1932, pemugaran kedua Candi Apit berhasil dirampungkan. Pemugaran terpaksa dihentikan
pada tahun 1942, ketika Jepang mengambil alih pemerintahan di Indonesia. Setelah melalui
proses panjang dan tersendat-sendat akibat perang dan peralihan pemerintahan, pada tahun
1953 pemugaran Candi Syiwa dan dua Candi Apit
dinyatakan selesai. Sampai saat ini, pemugaran
Candi Prambanan masih terus dilaksanakan secara
bertahap.
Pelataran dalam, merupakan pelataran yang paling tinggi letaknya dan yang dianggap sebagai
tempat yang paling suci. Pelataran ini berdenah persegi empat seluas 110 m2, dengan tinggi
sekitar 1,5 m dari permukaan teras teratas pelataran tengah. Pelataran ini dikelilingi oleh turap
dan pagar batu. Di keempat sisinya terdapat gerbang berbentuk gapura paduraksa. Saat ini
hanya gapura di sisi selatan yang masih utuh. Di depan masing-masing gerbang pelataran
teratas terdapat sepasang candi kecil, berdenah dasar bujur sangkar seluas 1, 5 m2 dengan
tinggi 4 m.
Di pelataran dalam terdapat 2 barisan candi yang membujur arah utara selatan. Di barisan
barat terdapat 3 buah candi yang menghadap ke timur. Candi yang letaknya paling utara
adalah Candi Wisnu, di tengah adalah Candi Syiwa, dan di selatan adalah Candi Brahma. Di
barisan timur juga terdapat 3 buah candi yang menghadap ke barat. Ketiga candi ini disebut
candi wahana (wahana = kendaraan), karena masing-masing candi diberi nama sesuai dengan
binatang yang merupakan tunggangan dewa yang candinya terletak di hadapannya.
Candi yang berhadapan dengan Candi Wisnu adalah Candi Garuda, yang berhadapan dengan
Candi Syiwa adalah Candi Nandi (lembu), dan yang berhadapan dengan Candi Brahma adalah
Candi Angsa. Dengan demikian, keenam candi ini saling berhadapan membentuk lorong.
Candi Wisnu, Brahma, Angsa, Garuda dan Nandi mempunyai bentuk dan ukuran yang sama,
yaitu berdenah dasar bujur sangkar seluas 15 m2 dengan tinggi 25 m. Di ujung utara dan
selatan lorong masing-masing terdapat sebuah candi kecil yang saling berhadapan, yang
disebut Candi Apit.
CANDI SYIWA
Pada dinding kaki di sisi utara dan selatan Candi Syiwa, hiasan
singa di atas diapit dengan panil yang memuat pahatan sepasang
binatang yang sedang berteduh di bawah sebatang pohon
kalpataru yang tumbuh dalam jambangan. Berbagai binatang
yang digambarkan di sini, di antaranya: kera, merak, kijang,
kelinci, kambing, dan anjing. Di atas setiap pohon bertengger
dua ekor burung.
Pada sisi-sisi lain dinding kaki candi, baik kaki Candi Syiwa
maupun candi besar lainnya, panil bergambar binatang ini diganti
dengan panil ber gambar kinara-kinari, sepasang burung berkepala
manusia, yang juga sedang berteduh di bawah pohon kalpataru.
Di puncak tangga terdapat gapura paduraksa menuju lorong di permukaan batur. Di atas
ambang gapura terdapat pahatan Kalamakara yang indah. Di balik gapura terdapat sepasang
candi kecil yang mempunyai relung di tubuhnya. Relung tersebut berisi Arca Mahakala dan
Nandiswara, dewa-dewa penjaga pintu.
Sepanjang sisi dalam dinding langkan terpahat relief Ramayana. Cerita Ramayana ini
dipahatkan searah jarum jam, dimulai dari adegan Wisnu yang diminta turun ke bumi oleh
para raja guna mengatasi kekacuan yang diperbuat oleh Rahwana dan diakhiri dengan adegan
selesainya pembangunan jembatan melintas samudera menuju Negara Alengka. Sambungan
cerita Ramayana terdapat dinding dalam langkan Candi Brahma.
CANDI WISNU
CANDI BRAHMA
Candi Brahma letaknya di sebelah selatan Candi Siwa. Tubuh candi berdiri di atas batur yang
membentuk selasar berlangkan. Di sepanjang dinding tubuh candi berderet panil dengan
pahatan yang menggambarkan Lokapala.
Sepanjang dinding dalam langkan dihiasi seretan panil yang memuat kelanjutan cerita
Ramayana di dinding dalam langkan Candi Syiwa. Penggalan cerita Ramayana di Candi
Brahma ini mengisahkan peperangan Rama dibantu adiknya, Laksmana, dan bala tentara kera
melawan Rahwana sampai pada Sinta pergi mengembara ke hutan setelah diusir oleh Rama
yang meragukan kesuciannya. Sinta melahirkan putranya di hutan di bawah lindungan
seorang pertapa.
Di atas dinding langkan berderet hiasan ratna. Di bawah ratna, menghadap ke luar, terdapat
relung kecil dengan hiasan Kalamakara di atasnya. Dalam relung terdapat pahatan yang
menggambarkan Brahma sebagai pendeta yang sedang duduk dengan berbagai posisi tangan.
CANDI WAHANA
Candi Nandi. Candi ini mempunyai satu tangga masuk yang menghadap ke barat, yaitu ke
Candi Syiwa. Nandi adalah lembu suci tunggangan Dewa Syiwa. Jika dibandingkan dengan
Candi Garuda dan Candi Angsa yang berada di sebelah kanan dan kirinya, Candi Nandi
mempunyai bentuk yang sama, hanya ukurannya sedikit lebih besar dan lebih tinggi. Tubuh
candi berdiri di atas batur setinggi sekitar 2 m. Seperti yang terdapat di Candi Syiwa, pada
dinding kaki terdapat dua motif pahatan yang letaknya berselang-seling. Yang pertama
merupakan gambar singa yang berdiri di antara dua pohon kalpataru dan yang kedua
merupakan gambar sepasang binatang yang berteduh di bawah pohon kalpataru. Di atas
pohon bertengger dua ekor burung. Gambar-gambar semacam ini terdapat juga pada candi
wahana lainnya.
Candi Garuda. Candi ini letaknya di utara Candi Nandi, berhadapan dengan Candi Wisnu.
Garuda merupakan burung tunggangan Wisnu. Bentuk dan hiasan pada kaki dan tangga Candi
Garuda serupa dengan yang terdapat di Candi Nandi. Walaupun dinamakan candi Garuda,
namun tidak terdapat arca garuda di ruangan dalam tubuh candi. Di lantai ruangan terdapat
Arca Syiwa dalam ukuran yang lebih kecil daripada yang terdapat di Candi Syiwa. Arca ini
diketemukan tertanam di bawah candi, dan sesungguhnya tempatnya bukan di dalam ruangan
tersebut.
Candi Angsa. Candi ini letaknya di selatan Candi Nandi, berhadapan dengan Candi Brahma.
Angsa merupakan burung tunggangan Brahma. Ukuran, bentuk dan hiasan pada kaki dan
tangga Candi Angsa serupa dengan yang terdapat di Candi Garuda. Ruangan di dalam tubuh
candi dalam keadaan kosong. Dinding ruangan juga tidak dihias, hanya terdapat batu yang
menonjol pada dinding di setiap sisi ruangan yang berfungsi sebagai tempat meletakkan
lampu minyak.
CANDI APIT
CANDI PENJAGA
Selain keenam candi besar dan dua candi apit yang telah diuraikan di atas,
di pelataran atas masih terdapat delapan candi berukuran sangat kecil, yaitu
dengan denah dasar sekitar 1,25 m2. Empat di antaranya terletak di masing-masing sudut
latar, sedangkan empat lainnya ditempatkan di dekat gerbang masuk ke pelataran atas.
Dahulu kala di P. Jawa bagian tengah terdapat dua kerajaan yang saling bertetangga, yaitu
Kerajaan Pengging, yang diperintah oleh Raja Pengging, dan Kerajaan Prambanan, yang
diperintah oleh Prabu Baka. Prabu Baka berwujud raksasa yang bertubuh besar dan
mempunyai kesaktian luar biasa. Prabu Baka terkenal kejam karena, untuk mempertahankan
kesaktiannya, ia secara rutin melaksanakan upacara persembahan dengan mengurbankan
manusia. Walaupun wujudnya menyeramkan dan hatinya kejam, Prabu Baka mempunyai
seorang putri yang sangat cantik, bernama Rara Jonggrang.
Raja Pengging sudah lama merasa sedih karena rakyatnya sering mendapat gangguan dari
bala tentara Kerajaan Prambanan. Ia ingin sekali menumpas para penguasa Kerajaan
Prambanan, namun mereka terlalu kuat baginya. Untuk mencapai keinginannya, Raja
Pengging kemudian memerintahkan putranya, Raden Bandung, untuk bertapa dan memohon
kekuatan dari para dewa. Raden Bandung berhasil mendapatkan kesaktian berupa jin,
bernama Bandawasa, yang selalu patuh pada perintahnya. Sejak itu namanya diubah menjadi
Raden Bandung Bandawasa.
Berbekal kesaktiannya itu, Raden Bandung berangkat ke Prambanan bersama bala tentara
Pengging. Setelah mengalami pertempuran yang sengit, Raden Bandung berhasil membunuh
Prabu Baka. Dengan seizin ayahandanya, Raden Bandung bermaksud mendirikan
pemerintahan yang baru di Prambanan. Ketika memasuki istana, ia bertemu dengan Rara
Jonggrang. Tak pelak lagi, Raden Bandung jatuh cinta kepada sang putri dan meminangnya.
Rara Jonggrang tidak ingin diperistri oleh pemuda pembunuh ayahnya, namun ia tidak berani
menolak secara terang-terangan. Secara halus ia mengajukan syarat bahwa, untuk dapat
memperistrinya, Raden Bandung harus sanggup membuatkan 1000 buah candi dalam waktu
semalam. Raden Bandung menyanggupi permintaan Rara Jonggrang. Segera setelah matahari
terbenam, ia pergi ke sebuah tanah lapang yang tidak jauh dari Prambanan. Ia bersemadi
memanggil Bandawasa, jin peliharaannya, dan memerintahkan jin itu untuk membangun 1000
candi seperti yang diminta oleh Rara Jonggrang.
Pada saat itu Bandawasa telah berhasil membuat 999 candi dan sedang menyelesaikan
pembangunan candi yang terakhir. Mendengar suara ayam berkokok, Bandawasa dan kawan-
kawannya segera menghentikan pekerjaannya dan menghilang karena mereka mengira fajar
telah tiba. Raden Bandung yang melihat Bandawasa dan kawan-awannya berlarian langsung
bangkit dari semadinya dan bersiap-siap menyampaikan kegagalannya kepada rara Jonggrang.
Setelah beberapa lama menunggu, Raden Bandung merasa heran karena fajar tak kunjung
tiba. Ia lalu menyelidiki keanehan yang terjadi itu.
Raden Bandung sangat marah setelah mengetahui kecurangan Rara Jonggrang. Ia lalu
mengutuk gadis itu menjadi arca. Sampai saat ini Arca Rara Jonggrang masih dapat ditemui di
Candi Rara Jonggrang yang berada di kompleks Candi Prambanan. Raden Bandung juga
mengutuk para gadis di Prambanan menjadi perawan tua karena tidak seorangpun yang mau
memperistri mereka.
Candi Ratubaka
Candi Baka terletak sekitar 3 km ke arah selatan dari Candi Prambanan atau sekitar 19
km ke arah selatan dari kota Yogyakarta. Kawasan Candi Ratu Baka yang berlokasi di
atas sebuah bukit dengan ketinggian ± 195.97 m diatas permukaan laut, meliputi dua
desa, yaitu Desa Sambirejo dan Desa Dawung.
Situs Ratu Baka sebenarnya bukan merupakan candi, melainkan reruntuhan sebuah
kerajaan. Oleh karena itu, Candi Ratu Baka sering disebut juga Kraton Ratu Baka.
Disebut Kraton Baka, karena menurut legenda situs tersebut merupakan istana Ratu
Baka, ayah Lara Jonggrang. Kata 'kraton' berasal dari kata Ka-ra-tu-an yang berarti
istana raja. Diperkirakan situs Ratu Baka dibangun pada abad ke-8 oleh Wangsa
Syailendra yang beragama Buddha, namun kemudian diambil alih oleh raja-raja Mataram
Hindu. Peralihan 'pemilik' tersebut menyebabkan bangunan Kraton Baka dipengaruhi oleh
Hinduisme dan Buddhisme.
Kraton Ratu Baka ditemukan pertama kali oleh arkeolog Belanda, HJ De Graaf pada abad
ke-17. Pada tahun 1790 Van Boeckholtz menemukan kembali reruntuhan bangunan kuno
tersebut. Penemuannya dipublikasikan sehingga menarik minat para ilmuwan seperti
Makenzie, Junghun, dan Brumun yang melakukan pencatatan di situs tersebut pada
tahun 1814. Pada awal abad ke-20, situs Ratu Baka diteliti kembali oleh FDK Bosch. Hasil
penelitiannya dilaporkan dalam tulisan berjudul Keraton Van Ratoe Boko. Ketika
Mackenzie mengadakan penelitian, ia menemukan sebuah patung yang menggambarkan
seorang laki-laki dan perempuan berkepala dewa sedang berpeluk-pelukan. Dan di
antara tumpukan batu juga diketemukan sebuah tiang batu bergambar binatang-
binatang, seperti gajah, kuda dan lain-lain.
Di situs Ratu Baka ditemukan sebuah prasasti berangka tahun 792 M yang dinamakan
Prasasti Abhayagiriwihara. Isi prasasti tersebut mendasari dugaan bahwa Kraton Ratu
Baka dibangun oleh Rakai Panangkaran. Prasasti Abhayagiriwihara ditulis menggunakan
huruh pranagari, yang merupakan salah satu ciri prasasti Buddha. Dalam prasasti itu
disebutkan bahwa Raja Tejapurnama Panangkarana, yang diperkirakan adalah Rakai
Panangkaran, telah memerintahkan pembangunan Abhayagiriwihara. Nama yang sama
juga disebut-sebut dalam Prasasti Kalasan (779 M), Prasati Mantyasih (907 M), dan
Prasasti Wanua Tengah III (908 M). Menurut para pakar, kata abhaya berarti tanpa
hagaya atau damai, giri berarti gunung atau bukit. Dengan demikian, Abhayagiriwihara
berarti biara yang dibangin di sebuah bukit yang penuh kedamaian. Pada pemerintahan
Rakai Walaing Pu Kombayoni, yaitu tahun 898-908, Abhayagiri Wihara berganti nama
menjadi Kraton Walaing.
Kraton Ratu Baka yang menempati lahan yang cukup luas tersebut terdiri atas beberapa
kelompok bangunan. Sebagian besar di antaranya saat ini hanya berupa reruntuhan.
Gerbang
Gerbang masuk ke kawasan wisata Ratu Baka terletak di sisi barat. Kelompok gerbang ini
terletak di tempat yang cukup tinggi, sehingga dari tempat parkir kendaraan, orang
harus melalui jalan menanjak sejauh sekitar 100 m. Pintu masuk terdiri atas dua
gerbang, yaitu gerbang luar dan gerbang dalam. Gerbang dalam, yang ukurannya lebih
besar merupakan gerbang utama.
Gerbang luar terdiri atas 3 gapura paduraksa yang berjajar arah utara-selatan,
berhimpitan menghadap ke timur. Gapura terbesar, yang merupakan gapura utama,
terletak di antara dua gapura pengapit. Ketiga gapura tersebut terletak di teras yang
tinggi, sehingga untuk sampai ke pelataran teras orang harus menaiki dua tangga
batu, masing-masing setinggi sekitar 2,5 m. Dinding teras diberi penguat berupa
turap yang terbuat dari susunan batu andesit. Tak satupun dari ketiga gapura tersebut
yang atapnya masih utuh, sehingga tidak diketahui bentuk aslinya.
Candi Batukapur
Sekitar 45 m dari gerbang pertama, ke arah timur laut, terdapat fondasi berukuran 5x5
m2 yang dibangun dari batu kapur. Diperkirakan bahwa dinding dan atap bangunan
aslinya tidak terbuat dari batu, melainkan dari bahan lain yang mudah rusak, seperti
kayu dan sirap atau genteng biasa.
Candi pembakaran
Paseban
Pendapa
Sekitar 20 m dari paseban, arah selatan dari gapura, terdapat dinding batu setinggi
setinggi 3 m yang memagari sebuah lahan dengan ukuran panjang 40 m dan lebar 30 m.
Di sisi utara, barat dan selatan pagar tersebut terdapat jalan masuk berupa gapura
paduraksa (gapura beratap).
Tempat pemujaan
Di luar dinding pendapa, arah tenggara, terdapat sebuah teras batu yang masih utuh. Di
ujungnya terdapat 3 buah candi kecil yang digunakan sebagai tempat pemujaan.
Bangunan yang di tengah, yang berukuran lebih besar dibandingkan dengan kedua candi
pengapitnya, adalah tempat untuk memuja Dewa Wisnu. Kedua candi yang mengapitnya,
masing-masing, merupakan tempat memuja Syiwa dan Brahma.
Keputren
Dalam lingkungan yang bersebelahan dengan tempat ketiga kolam persegi di atas
berada, terdapat 8 kolam berbentuk bundar yang berjajar dalam 3 baris.
Gua
Candi Sambisari terletak sekitar 6,5 m di bawah permukaan tanah, sehingga candi tersebut
tidak tampak dari kejauhan. Menurut dugaan, dahulu permukaan tanah daerah di sekeliling
candi tidak lebih tinggi dari lahan datar tempat Candi Sambisari berada, namun tanah pasir
dan bebatuan yang terbawa oleh letusan G. Merapi pada tahun 1006 telah menimbun daerah
itu. Akibatnya, Candi Sambisari ikut terbenam dalam timbunan, sehingga saat ini posisinya
menjadi lebih rendah dari permukaan tanah di sekelilingnya. Saat ini lahan di sekeliling candi
telah digali dan ditata, membentuk lapangan persegi dengan tangga di keempat sisinya.
Kaki candi polos tanpa hiasan, namun bagian luar dinding langkan
dihiasi seretan pahatan bermotif bunga dan sulur-suluran yang
sangat halus pahatannya.
Tangga menuju ke selasar terletak di depan pintu, yaitu di sisi
barat. Tangga ini dilengkapi dengan pipi yang dihiasi pahatan
sepasang kepala naga dengan mulut menganga. Batu di bawah
masing-masing kepala naga dihiasi pahatan berupa Gana dalam
posisi berjongkok dengan kedua tangan diangkat ke atas, seolah-
olah menyangga kepala naga di atasnya. Gana, atau sering juga
disebut Syiwaduta, adalah makhluk kecil pengiring Syiwa.
Pahatan Gana juga terdapat di pintu masuk candi-candi besar di
kompleks Candi Prambanan.
Pada masing-masing sisi dinding luar tubuh candi terdapat relung berisi arca. Dalam relung di
dinding selatan terdapat Arca Agastya atau Syiwa Mahaguru, di dinding timur terdapat Arca
Ganesha, dan di dinding utara terdapat Arca Durga Mahisasuramardini.
Candi Sari ditemukan kembali pada awal abad ke-20 dalam keadaan rusak berat. Pemugaran
pertama dilaksanakan antara tahun 1929 sampai 1930. Mengenai pemugaran tersebut,
Kempers berpendapat bahwa hasilnya kurang memuaskan, dalam arti pemugaran tersebut
belum berhasil mengembalikan keutuhan bangunan aslinya. Hal ini disebabkan oleh
banyaknya bagian candi yang hilang. Selain itu, ketika pertama kali ditemukan, terdapat
bagian-bagian bangunan yang sudah rusak termakan usia, terutama yang bukan terbuat dari
batu.
Candi Sari berbentuk persegi panjang, dengan ukuran 17,30 x 10 m, walaupun konon denah
dasar aslinya lebih panjang dan lebih lebar, karena kaki yang asli menjorok keluar sekitar 1,60
m. Tinggi keseluruhan candi dari permukaan tanah sampai puncak stupa adalah 17 - 18 meter.
Gerbang candi, yang lebarnya kira-kira sepertiga lebar dinding depan dan tingginya separuh
dari tinggi dinding candi, sudah tak ada lagi. Yang tersisa hanya bekas tempat bertemunya
dinding pintu gerbang dengan dinding depan.
Menurut Kempers, Candi Sari ini aslinya memang merupakan bangunan bertingkat dua atau
bahkan tiga. Lantai atas dulunya digunakan untuk menyimpan barang-barang untuk
kepentingan keagamaan, sedangkan lantai bawah dipergunakan untuk kegiatan keagamaan,
seperti belajar-mengajar, berdiskusi, dsb. Tembok candi ini juga dilapisi dengan vajralepa
(brajalepa), lapisan pelindung yang juga didapati di dinding-dinding Candi Kalasan. Dari luar
telah terlihat bahwa tubuh candi terbagi menjadi dua tingkat, yaitu dengan adanya dinding
yang menonjol melintang seperti "sabuk" mengelilingi bagian tengah tubuh candi. Pembagian
tersebut diperjelas dengan adanya tiang-tiang rata di sepanjang dinding tingkat bawah dan
relung-relung bertiang di sepanjang dinding tingkat atas.
Relung-relung di sepanjang dinding luar candi, baik di
tingkat bawah maupun atas, saat ini dalam keadaan kosong.
Diperkirakan, relung-relung tersebut tadinya dihiasi dengan
arca-arca Buddha.
Tangga naik ke permukaan kaki candi telah hancur. Di sisi tangga terdapat sebuah umpak
batu. Tidak jelas apakah umpak batu itu memang berada di tempatnya semula, namun
tampaknya bagian bawah umpak tadinya terbenam dalam
tanah.
Lantai dan bagian bangunan yang terbuat dari kayu sekarang sudah tidak ada, tetapi pada
dinding masih terlihat lubang-lubang bekas tempat menancapkan balok penyangga. Di
dinding bilik yang paling selatan didapati batu-batu yang dipahat menyerong, yang berfungsi
sebagai penyangga ujung tangga yang terbuat dari kayu.
Atap candi berbentuk persegi datar dengan hiasan 3 buah relung di masing-masing sisi.
Bingkai relung juga dihiasi dengan pahatan sulur-suluran dan di atas ambang relung juga
dihiasi dengan Kalamakara. Puncak candi berupa deretan stupa, yang terdiri atas sebuah stupa
di setiap sudut dan sebuah di pertengahan sisi atap. Pada saat pemiotretan dilakukan, yaitu
pada bulan Maret 2003, Candi Sari sedang menjalani pemugaran.
Candi Sewu
Candi Sewu terletak di Dukuh Bener, Desa Bugisan,
Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Propinsi
Jawa Tengah. Dari kota Yogyakarta jaraknya sekitar
17 km ke arah Solo. Candi Sewu merupakan gugus
candi yang letaknya berdekatan dengan Candi
Prambanan, yaitu kurang lebih 800 meter di sebelah
selatan arca Rara Jongrang.
Candi Sewu terletak berdampingan dengan Candi Prambanan, sehingga saat ini Candi Sewu
termasuk dalam kawasan wisata Candi Prambanan. Di lingkungan kawasan wisata tersebut
juga terdapat Candi Lumbung dan Candi Bubrah. Tidak jauh dari kawasan tersebut terdapat
juga beberapa candi lain, yaitu: Candi Gana, sekitar 300 m di sebelah timur, Candi Kulon
sekitar 300 m di sebelah barat, dan Candi Lor sekitar 200 m di sebelah utara. Letak candi
Sewu, candi Buddha terbesar setelah candi Borobudur, dengan candi Prambanan, yang
merupakan candi Hindu, menunjukan bahwa pada masa itu masyarakat beragama Hindu dan
masyarakat beragama Buddha hidup berdampingan secara harmonis.
Nama Sewu, yang dalam bahasa Jawa berarti seribu, menunjukkan bahwa candi yang
tergabung dalam gugusan Candi Sewu tersebut jumlahnya cukup besar, walaupun
sesungguhnya tidak mencapai 1000 buah. Tepatnya, gugusan Candi Sewu terdiri atas 249
buah candi, terdiri atas 1 candi utama, 8 candi pengapit atau candi antara, dan 240 candi
perwara. Candi utama terletak di tengah, di ke empat sisinya dikelilingi oleh candi pengapit
dan candi perwara dalam susunan yang simetris.
Candi Sewu mempunyai 4 pintu gerbang menuju pelataran luar, yaitu di sisi timur, utara,
barat, dan selatan, yang masing-masing dijaga oleh sepasang arca Dwarapala yang saling
berhadapan. Dari pelataran luar ke pelataran dalam juga terdapat 4 pintu masuk yang dijaga
oleh sepasang arca Dwarapala, serupa dengan yang terdapat di gerbang luar.
Arca Dwarapala yang terbuat dari batu utuh tersebut ditempatkan di atas lapik persegi setinggi
sekitar 1,2 m dalam posisi satu kaki berlutut, kaki lainnya ditekuk, dan satu tangan memegang
gada. Tinggi arca Dwarapala ini mencapai sekitar 2,3 m.
Candi utama atau candi induk terletak di pelataran persegi seluas 40 m2, yang dikelilingi
pagar dari susunan batu setinggi 0,85 m. Bangunan candi berbentuk poligon bersudut 20
dengan diameter 29 m. Tinggi bangunan mencapai 30 m dengan 9 atap yang masing-masing
mempunyai stupa di puncaknya.
Tubuh candi berdiri di atas batur setinggi sekitar 2,5 m. Kaki candi dihiasi pahatan bermotif
bunga dalam jambangan. Untuk mencapai permukaan batur yang membentuk selasar, terdapat
tangga selebar sekitar 2 m yang dilengkapi dengan pipi tangga. Pangkal pipi tangga dihiasi
makara, kepala naga dengan mulut menganga lebar, dengan arca Buddha di dalamnya.
Dinding luar pipi tangga dihiasi pahatan berwujud raksasa Kalpawreksa.
Di atas ambang pintu tidak terdapat Kalamakara, namun dinding di kiri dan kanan ambang
pintu dihiasi pahatan kepala naga dengan mulut menganga. Berbeda dari yang terdapat di
pangkal pipi tangga, bukan Buddha yang terdapat dalam mulut naga, melainkan seekor singa.
Candi utama yang dibangun dari batu andesit ini mempunyai pintu utama di sebelah timur,
sehingga dapat dikatakan bahwa candi utama ini menghadap ke timur. Selain pintu utama,
terdapat 3 pintu lain, yaitu yang menghadap ke utara, barat dan selatan. Semua pintu masuk
dilengkapi dengan bilik penampil. Ruang dalam tubuh candi berbentuk kubus dengan dinding
terbuat dari susunan bata merah. Di dalam ruangan ini terdapat sebuah 'asana'. Pada dinding
luar tubuh dan kaki atap candi terdapat relung-relung berisi arca Buddha dalam berbagai
posisi.
Candi perwara dan candi apit seluruhnya terletak di pelataran luar. Di setiap sisi terdapat
sepasang candi apit yang berada di antara candi utama dengan deretan dalam candi perwara.
Setiap pasangan candi apit berhadapan mengapit jalan yang membelah halaman menuju ke
candi utama.
Candi apit berdiri di atas batur setinggi sekitar 1 m, dilengkapi dengan tangga selebar sekitar 1
m menuju ke selasar di permukaan kaki candi. Di atas ambang pintu bukan dihiasi pahatan
Kalamakara, melainkan beberapa panil relief. Atap candi berbentuk stupa dengan deretan
stupa kecil menghiasi pangkalnya. Dinding tubuh candi apit dihiasi dengan sosok-sosok pria
berbusana kebesaran, nampak seperti dewa, dalam posisi berdiri memegang setangaki teratai
di tangannya.
Candi perwara dibangun masing-masing dalam empat deret di sisi terluar mengelilingi candi
utama dan candi apit. Pada deret terdalam terdapat 28 bangunan, deretan kedua terdapat 44
bangunan, deretan ketiga terdapat 80 bangunan, dan deretan ke empat 88 bangunan. Semua
candi perwara, kecuali yang berada dalam deretan ketiga, menghadap ke luar atau
membelakangi candi utama. Hanya yang berada dalam deretan ketiga yang menghadap ke
dalam. Sebagian besar candi perwara dalam keadan rusak, tinggal berupa onggokan batu.
Candi Sukuh
Candi Sukuh terletak di lereng barat G. Lawu, tepatnya di Dusun Sukuh, Desa Berjo,
Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi Candi
Sukuh berada pada ketinggian + 910 merer di atas permukaan laut. Candi Sukuh
ditemukan kembali dalam keadaan runtuh pada tahun 1815 oleh Johnson, Residen
Surakarta pada masa pemerintahan Raffles. Selanjutnya Candi Sukuh diteliti oleh Van
der Vlis pada tahun 1842. Hasil penelitian tersebut dilaporkan dalam buku Van der Vlis
yang berjudul Prove Eener Beschrijten op Soekoeh en Tjeto. Penelitian terhadap candi
tersebut kemudian dilanjutkan oleh Hoepermans pada tahun 1864-1867 dan dilaporkan
dalam bukunya yang berjudul Hindoe Oudheiden van Java. Pada tahun 1889, Verbeek
mengadakan inventarisasi terhadap candi Sukuh, yang dilanjutkan dengan penelitian
oleh Knebel dan WF. Stutterheim pada tahun 1910.
Candi Sukuh berlatar belakang agama Hindu dan diperkirakan dibangun didirikan pada
akhir abad ke-15 M. Berbeda dengan umumnya candi Hindu di Jawa Tengah, arsitektur
Candi Sukuh dinilai menyimpang dari ketentuan dalam kitab pedoman pembuatan
bangunan suci Hindu, Wastu Widya. Menurut ketentuan, sebuah candi harus berdenah
dasar bujur sangkar dengan tempat yang paling suci terletak di tengah. Adanya
penyimpangan tersebut diduga karena Candi Sukuh dibangun pada masa memudarnya
pengaruh Hinduisme di Jawa. Memudarnya pengaruh Hinduisme di Jawa rupanya
menghidupkan kembali unsur-unsur budaya setempat dari zaman Megalitikum. Pengaruh
zaman prasejarah terlihat dari bentuk bangunan Candi Sukuh yang merupakan teras
berundak. Bentuk semacam itu mirip dengan bangunan punden berundak yang
merupakan ciri khas bangunan suci pada masa pra-Hindu. Ciri khas lain bangunan suci
dari masa pra-Hindu adalah tempat yang paling suci terletak di bagian paling tinggi dan
paling belakang.
Menurut dugaan para ahli, Candi Sukuh dibangun untuk tujuan pengruwatan, yaitu
menangkal atau melepaskan kekuatan buruk yang mempengaruhi kehidupan seseorang
akibat ciri-ciri tertentu yang dimilikinya. Dugaan tersebut didasarkan pada relief-relief
yang memuat cerita-cerita pengruwatan, seperti Sudamala dan Garudheya, dan pada
arca kura-kura dan garuda yang terdapat di Candi Sukuh.
Pada sayap selatan gapura terdapat relief seorang tokoh yang ditelan raksasa. Pahatan
tersebut juga merupakan sengkalan yang dibaca gapura buta mangan wong, yang
artinya gapura raksasa memakan manusia. Sengkalan tersebut ditafsirkan sebagai angka
tahun 1359 Saka atau 1437 M, sama dengan sengkalan pada dinding sayap utara
gapura. Pada dinding luar gapura juga terdapat pahatan yang menggambarkan sepasang
burung yang sedang hinggap di atas pohon, sementara di bawahnya terdapat seekor
anjing, dan garuda dengan sayap terbentang sedang mencengkeram seekor ular. Di
halaman depan, di luar gapura, terdapat sekumpulan batu dalam aneka bentuk. Di
antaranya ada yang berlubang di atasnya, mirip sebuah lingga, dan ada yang
menyerupai tempayan.
Di atas ambang pintu gapura, menghadap ke pelataran teras pertama, terdapat hiasan
Kalamakara yang saat ini telah rusak berat. Pada dinding sayap utara dan selatan
terdapat pahatan lelaki dalam posisi berjongkok sambil memegang senjata.
Pelataran teras pertama yang tidak terlalu luas terbelah batu-batu yang disusun
membentuk jalan menuju gapura menuju teras kedua. Di sisi utara pelataran teras
pertama ini terdapat 3 panel batu yang diletakkan berjajar. Panel pertama memuat
gambar seorang lelaki sedang berkuda diiringi oleh pasukan bersenjata tombak. Di
samping kuda seorang lelaki berjalan sambil memayunginya. Panel kedua memuatan
gambar sepasang lembu dan panel ketiga memuat gambar seorang lelaki menunggang
gajah. Di sisi selatan terdapat kumpulan batu berbagai bentuk dan beberapa buah lingga.
Di sisi timurlaut atau bagian belakang pelataran teras kedua terdapat gerbang berupa
gapura bentar yang mengapit tangga menuju ke pelataran teras kedua. Tidak terdapat
pahatan atau hiasan pada dinding gapura ini. Di pelataran teras kedua yang tidak terlalu
luas juga tidak terdapat arca ataupun relief.
Di sisi utara timur atau bagian belakang pelataran teras kedua terdapat gerbang berupa
gapura bentar yang mengapit tangga menuju ke pelataran teras ketiga. Gapura ini dalam
keadaan rusak berat. Di depan gapura terdapat sepasang Arca Dwarapala yang saat ini
dalam keadaan telah aus. Pahatan kedua arca penjaga pintu ini kasar dan kaku dan
wajahnya sama sekali tidak menyeramkan, bahkan terkesan lucu.
Cerita Sudamala mengisahkan tentang Sadhewa, salah satu dari satria kembar di antara
kelima satria Pandawa, yang berhasil meruwat (menghilangkan kutukan) dalam diri Dewi
Uma, istri Bathara Guru. Dewi Uma dikutuk oleh suaminya karena tidak dapat menahan
kemarahannya terhadap suaminya yang minta untuk dilayani pada saat yang
menurutnya kurang layak. Karena menunjukkan kemarahan yang meluap-luap, Sang
Dewi dikutuk dan berubah wujud menjadi seorang raksasa bernama Bathari Durga.
Bathari Durga yang menyamar sebagai Dewi Kunthi, ibu para Pandawa, mendatangi
Sadewa dan meminta satria itu untuk meruwat dirinya. Kisah tersebut dituangkan dalam
lima panel relief.
Relief pertama menggambarkan Dewi Kunti palsu yang merupakan penyamaran Bathari
Durga yang mendatangi Sadewa dan meminta satria itu 'meruwat' (menghilangkan
kutukan) dirinya. Relief kedua menggambarkan ketika Bima, kakak Sadewa, berperang
dengan seorang raksasa. Tangan kiri Bima mengangkat tubuh raksasa, sedangkan
tangan kanannya menancapkan kuku Pancanaka (senjata pusaka Bima) ke perut
lawannya.
Relief ketiga menggambarkan Sadewa, yang menolak untuk 'meruwat' Bathari Durga,
diikatkan ke sebuah pohon. Di hadapannya berdiri Bathari Durga yang mengancamnya
dengan menggunakan sebilah pedang. Relief keempat menggambarkan pernikahan
Sadewa dengan Dewi Pradhapa yang dianugerahkan kepadanya karena berhasil
'meruwat' Bathari Durga. Relief kelima menggambarkan Sadewa beserta pengiringnya
menghadap Dewi Uma yang telah berhasil diruwat.
Di pelataran sebelah selatan jalan batu ada terdapat candi kecil, dan di dalamnya
terdapat arca dengan ukuran yang kecil pula. Menurut mitologi setempat, candi kecil itu
merupakan kediaman Kyai Sukuh sang penguasa kompleks Candi Sukuh.
Di depan bangunan utama terdapat tiga arca bulus kura-kura berukuran besar. Kura-
kura yang melambangkan dunia bawah, yakni dasar gunung Mahameru, juga terdapat di
Candi Cetha.
Upaya pelestarian Candi Sukuh telah dilakukan sejak jaman Belanda. Pemugaran
pertama dilakukan oleh Dinas Purbakala pada tahun 1917. Pada akhir tahun 1970-an
Candi Sukuh mengalami pemugaran kembali oleh Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Candi Batujaya
Situs purbakala Batujaya merupakan
kompleks candi yang menempati areal seluas
40 ha, meliputi dua desa, yaitu Segaran dan
Telagajaya di Kecamatan Batujaya,
Kabupaten Karawang. Dari kota Karawang,
kompleks candi tersebut berjarak 39
kilometer ke arah barat Kota Karawang,
sekitar 6 km dari garis pantai utara.
Saat ini, kompleks Candi Batujaya merupakan areal persawahan dan pemukiman
penduduk. Sebagian besar bangunan purbakala di lokasi tersebut masih tertimbun dalam 'unur'
atau 'lemah duwur' (tanah darat menyembul diantara pesawahan). Sampai dengan pertengahan
tahun 2004 ini, penggalian dan penelitian di kompleks percandian di Batujaya masih terus
berlangsung di bawah pengawasan Tim Peneliti Situs Batujaya dari Universitas Indonesia.
Sejauh ini belum dapat dipastikan kapan dan oleh siapa candi-candi di Batujaya ini
dibangun, karena data yang telah didapatkan mengenai situs purbakala ini sangat sedikit.
Rekonstruksi bangunanan candi juga sulit dilakukan karena candi-candi Batujaya terbuat dari
batu bata. Upaya para arkeolog untuk menemukan jawaban atas pertanyaan itu terhambat oleh
ketidaktersediaan dana. Bantuan dana yang pernah didapat untuk penelitian dan penggalian
kompleks Batujaya ialah dari PT Ford Motor Indonesia, yang diberikan pada tahun 2003.
Walaupun belum didapatkan data mengenai kapan dan oleh siapa candi-candi di
Batujaya dibangun, namun para pakar arkeologi menduga bahwa candi-candi tersebut
merupakan yang tertua di Jawa, yang dibangun pada masa Kerajaan Tarumanegara (Abad ke-
5 sampai ke-6 M). Sampai tahun 1997 sudah 24 situs candi yang ditemukan di Batujaya dan
baru 6 di antaranya, umumnya merupakan hanya sisa bangunan, yang sudah diteliti. Tidak
tertutup kemungkinan bahwa masih ada lagi candi-candi lain di Batujaya yang belum
ditemukan. Yang menarik, semua bangunan candi menghadap ke arah yang sama, yaitu 50
derajat dari arah utara.
Sampai saat ini belum ditemukan sumber tertulis yang menjelaskan hubungan Candi
Bojongmenje dengan kerajaan tertentu yang pernah ada di Jawa Barat namun, berdasarkan
temuan-temuan arkeologi di situs Bojongmenje, diperkirakan bahwa candi tersebut dibangun
pada abad ke-7 dan ke-8. Dengan demikian, usia Candi Bojongmenje lebih tua dibandingkan
dengan usia candi-candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur atau setidaknya setara dengan Candi
Dieng di Jawa Tengah.
Candi Bojongmenje dibangun dari batu andesit, berdenah dasar bujur sangkar dengan
sisi sepanjang 6 m. Bentuk bangunan candi sangat sederhana dan dindingnya hanya terdiri
satu lapis tanpa hiasan relief. Kesederhanaan tersebut menjadi petunjuk bahwa peradaban
manusia yang membuatnya masih lebih sederhana dibandingkan dengan peradaban pada masa
pembangunan Candi Prambanan dan Candi Barabudhur. Di lingkungan candi ditemukan yoni
yang menunjukkan bahwa Candi Bojongmenje berlatar belakang agama Hindu Syiwa.
Candi Cangkuang
Candi Cangkuang terletak di Desa
Cangkuang, Kecamatan Leles Kabupaten
Garut. Lokasi candi berada sekitar 40 km ke
arah tenggara dari kota Bandung. Dari jalan
raya Leles menuju Garut, candi ini hanya
berjarak sekitar 3 km. Candi Cangkuang ini
berdiri di seberang 'Situ' (danau) Cangkuang.
Nama Candi Cangkuang diambil dari nama
desa tempat candi ini berada. Kata '
Cangkuang' sendiri adalah nama sejenis
pohon yang banyak terdapat di Desa
Cangkuang.
Candi Cangkuang berdebah dasar bujur sangkar dengan ukuran 4,5 m2. Tinggi
bangunan candi yang terbuat dari batu andesit ini mencapai 8,5 m. Candi ini ditemukan
kembali pada tanggal 9 Desember 1966 oleh Uka Tjandrasamita, seorang ahli purbakala, ketia
ia meneliti keberadaan makam kuno yang dan arca yang disebutkan dalam tulisan Vorderman
(1893), seorang sejarawan Belanda. Makam kuno yang dimaksud adalah makam Arief
Muhammad. Vorderman sendiri tidak menyebutkan keberadaan sebuah candi di daerah
tersebut.
Tim peneliti yang dipimpin Tjandrasamita merasa yakin bahwa di sekitar ini terdapat
candi karena banyak ditemukan batu-batu andesit berbentuk balok yang kerap kali oleh
masyarakat di sana digunakan sebagai batu nisan. Di dekat kuburan Arief Muhammad peneliti
menemukan fondasi candi berkuran 4,5 x 4,5 meter dan batu-batu candi lainnya yang
berserakan. Setelah pondasi dan batu-batu candi ditemukan, pemugaran pun dilakukan pada
tahun 1974/1976. Akan tetapi, kendala utama rekonstruksi candi adalah batuan candi yang
ditemukan hanya sekitar 40% dari aslinya. Sebagian batu candi sudah lapuk dan sebagian lagi
tidak utuh sehingga bangunan Candi Cangkuang sekarang sebagian besar bukan batu asli.
Candi Cibuaya terletak di Kecamatan Cibuaya, Kabupaten Karawang, tidak jauh dari lokasi
Candi Batujaya. Reruntuhan candi di Cibuaya ini pertama kali diketahui Dinas Purbakala
pada tahun 1952, di antaranya berupa dua buah 'unur' (gundukan tanah di antara persawahan).
Pada mulanya kedua reruntuhan bangunan purbakala itu dianggap reruntuhan benteng
Belanda, namun pendapat tersebut berubah setelah ditemukan arca Wisnu di dekat situs
tersebut. Lima tahun kemudian (1957) ditemukan Arca Wisnu kedua. Arca-arca tersebut saat
ini disimpan di Museum Nasional di Jakarta dengan sebutan Arca Wisnu I dan Arca Wisnu
II.
Pada tahun 1975, ketika Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional melakukan penggalian
penelitian, ditemukan Arca Wisnu Cibuaya III. Sampai saat ini, reruntuhan kedua candi yang
dinamakan Candi Lanang dan Candi Wadon tersebut masih belum dapat direkonstruksi.
Candi Ronggeng
Candi Ronggeng yang di kalangan arkeolog dikenal sebagai Candi Pamarican, terletak
di Kampung Sukawening, Desa Sukajaya. Disebut Candi Pamarican karena lokasi candi
tersebut terletak di Kecamatan Pamarican, Kabupaten Ciamis. Candi Ronggeng dibangun di
dataran subur lembah Kali Ciseel, salah satu anak Sungai Citanduy.
Sebutan Candi Ronggeng mempunyai kaitan erat dengan legenda setempat tentang
kesenian ronggeng gunung yang merupakan kesenian rakyat daerah selatan Ciamis. Konon
Dewi Siti Samboja yang ingin membalaskan kematian kekasihnya, Raden Angga Larang yang
gugur di medan perang, menyamar menjadi penari ronggeng. Bersama para pengikutnya yang
menyamar menjadi penabuh gamelan (alat musik pengiring) sering menggelar pertunjukan
Ronggeng Gunung dalam upaya mencari pembunuh kekasihnya. Menurut masyarakat
setempat, di lokasi candi, terutama pada hari-hari tertentu, sering terdengar suara gamelan
yang terdengar seperti musik pengiring pertunjukan ronggeng.
Reruntuhan candi pertama kali ditemukan pada tahun 1977 melalui survai yang
dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas). Reruntuhan yang
ditemukan berupa Arca Nandi dan batu berbentuk kenong (gong kecil, instrumen musik
tradisional Sunda). Salah satu keunikan Candi Ronggeng adalah bahwa Nandi, kendaraan
Syiwa, bukan digambarkan dalam bentuk arca sapi jantan melainkan arca sapi betina. Adanya
Arca Nandi ini menunjukkan bahwa Candi Ronggeng berlatar belakang agama Hindu,
sehingga diperkirakan mempunyai kaitan dengan Kerajaan Galuh (abad ke-7 sampai abad ke-
16 M). Pusat Kerajaan Galuh diyakini terletak di Kawali, kota kecamatan yang letaknya
sekitar 10 km arah utara kota Ciamis.