Anda di halaman 1dari 62

Candi Muara Takus

Candi Muara Takus terletak di desa Muara Takus,


Kecamatan Tigabelas Koto Kampar, Kabupaten Kampar,
Propinsi Riau. Jaraknya dari Pekanbaru, Ibukota Propinsi
Riau, sekitar 128 Km. Perjalanan menuju Desa Muara Takus
hanya dapat dilakukan melalui jalan darat yaitu dari
Pekanbaru ke arah Bukittinggi sampai di Muara Mahat. Dari
Muara Mahat melalui jalan kecil menuju ke Desa Muara
Takus. Kompleks Candi Muara Takus, satu-satunya
peninggalan sejarah yang berbentuk candi di Riau. Candi
bernuansa Buddhistis ini merupakan bukti bahwa agama Budha pernah berkembang di
kawasan ini. Kendatipun demikian, para pakar purbakala belum dapat menentukan secara
pasti kapan candi ini didirikan.

Ada dua pendapat mengenai nama Muara Takus. Yang pertama mengatakan bahwa nam
tersebut diambil dari nama sebuah anak sungai kecil bernama Takus yang bermuara ke Sungai
Kampar Kanan. Pendapat lain mengatakan bahwa Muara Takus terdiri dari dua kata, yaitu
“Muara” dan “Takus”. Kata “Muara” mempunyai pengertian yang sudah jelas, yaitu suatu
tempat sebuah sungai mengakhiri alirannya ke laut atau ke sungai yang lebih besar, sedangkan
kata “Takus” berasal dari bahasa Cina, Ta berarti besarr, Ku berarti tua, dan Se berarti candi
atau kuil. Jadi arti keseluruhan kata Muara Takus adalah candi tua yang besar, yang terletak di
muara sungai. 

Candi Muara Takus merupakan candi Buddha, terlihat dari


adanya stupa, yang merupakan lambang Buddha Gautama.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa candi ini merupakan
campuran dari bentuk candi Buddha dan Syiwa. Pendapat
tersebut didasarkan pada bentuk bentuk Candi Mahligai,
salah satu bangunan di kompleks Candi Muara takus, yang
menyerupai bentuk lingga (kelamin laki-laki) dan yoni
(kelamin perempuan). Arsitektur candi ini juga mempunyai
kemiripan dengan arsitektur candi-candi di Myanmar. Candi
Muara Takus merupakan sebuah kompleks yang terdiri atas beberapa bangunan. 

Bangunan yang utama adalah yang disebut Candi Tuo. Candi


ini berukuran 32,80 m x 21,80 m dan merupakan candi
bangunan terbesar di antara bangunan yang ada. Letaknya di
sebelah utara Candi Bungsu. Pada sisi sebelah timur dan
barat terdapat tangga, yang menurut perkiraan aslinya dihiasi
stupa, sedangkan pada bagian bawah dihiasi patung singa
dalam posisi duduk. Bangunan ini mempunyai sisi 36 buah
dan terdiri dari bagian kaki I, kaki II, tubuh dan puncak.
Bagian puncaknya telah rusak dan batu-batunya telah banyak
yang hilang. 

Candi Tuo dibangun dari campuran batu bata yang dicetak dan batu pasir (tuff). Pemugaran
Candi Tuo dilaksanakan secara bertahap akibat keterbatasan anggaran yang tersedia. Pada
tahun 1990, selesai dikerjakan bagian kaki I di sisi timur. Selama tahun anggaran 1992/1993
pemugaran dilanjutkan dengan bagian sisi sebelah barat (kaki I dan II). Volume bangunan
keseluruhan mencapai 2.235 m3, terdiri dari : kaki: 2.028 m3, tubuh: 150 m3, dan puncak: 57
m3. Tinggi bangunan mencapai 8,50 m.
Bangunan kedua dinamakan Candi Mahligai. Bangunan ini
berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10,44 m x 10,60 m.
Tingginya sampai ke puncak 14,30 m berdiri diatas
pondamen segi delapan (astakoma) dan bersisikan sebanyak
28 buah. Pada alasnya terdapat teratai berganda dan di
tengahnya menjulang sebuah menara yang bentuknya mirip
phallus (yoni). 

Pada tahun 1860, seorang arkeolog Belanda bernama Cornel


de Groot berkunjung ke Muara Takus. Pada waktu itu di
setiap sisi ia masih menemukan patung singa dalam posisi
duduk. Saat ini patung-patung tersebut sudah tidak ada
bekasnya. Di sebelah timur, terdapat teras bujur sangkar
dengan ukuran 5,10 x 5,10 m dengan tangga di bagian
depannya. Volume bangunan Candi Mahligai 423,20 m3
yang terdiri dari volume
bagian kaki 275,3 m3,
tubuh 66,6 m3 dan puncak
81,3 m3. Candi Mahligai
mulai dipugar pada tahun 1978 dan selesai pada tahun
1983. 

Bangunan ketiga disebut Candi Palangka, yang terletak 3,85


m sebelah timur Candi Mahligai. Bangunan ini terdiri dari
batu bata merah yang tidak dicetak. Candi Palangka
merupakan candi yang terkecil, relung-relung penyusunan
batu tidak sama dengan dinding Candi Mahligai. Dulu
sebelum dipugar bagian kakinya terbenam sekitar satu
meter. Candi Palangka mulai dipugar pada tahun 1987 dan
selesai pada tahun 1989. Pemugaran dilaksanakan hanya
pada bagian kaki dan tubuh candi, karena bagian puncaknya
yang masih ditemukan pada tahun 1860 sudah tidak ada
lagi. Di bagian sebelah utara terdapat tangga yang telah
rusak, sehingga tidak dapat diketahui bentuk aslinya. Kaki
candi berbentuk segi delapan dengan sudut banyak, berukuran panjang 6,60 m, lebar 5,85 m
serta tingginya 1,45 m dari permukaan tanah dengan volume 52,9 m3. 

Bangunan keempat dinamakan Candi Bungsu. Candi Bungsu


terletak di sebelah barat Candi Mahligai. Bangunannya
terbuat dari dua jenis batu, yaitu batu pasir (tuff) terdapat
pada bagian depan, sedangkan batu bata terdapat pada bagian
belakang. Pemugaran candi ini dimulai tahun 1988 dan
selesai dikerjakan tahun 1990. Melalu pemugaran tersebut
candi ini dikembalikan ke bentuk aslinya, yaitu empat
persegi panjang dengan ukuran 7,50 m x 16,28 m. Bagian
puncak tidak dapat dipugar, karena tidak diketahui bentuk
sebenarnya. Tinggi setelah dipugar 6,20 m dari permukaan
tanah, dan volume nya 365,8 m3.

Menurut gambar yang dibuat oleh J.W. Yzerman bersama-


sama dengan TH. A.F. Delprat dan Opziter (Sinder) H.L.
Leijdie Melvile, di atas bangunan yang terbuat dari bata
merah terdapat 8 buah stupa kecil yang mengelilingi sebuah
stupa besar.
Candi Banyuniba
Candi Banyuniba terletak di selatan Desa Cepit, Kelurahan
Bokoharjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman.
Letaknya sekitar 200 m dari Candi Barong, sekitar 1 km
sebelah barat daya jalan raya Yogya-Solo. Candi Buddha ini
berdiri menghadap ke barat, menyendiri di lahan pertanian.
Sekitar 15 m di depan bangunan candi mengalir sebuah sungai
kecil. Pada saat ditemukan, candi ini hanya berupa reruntuhan.
Penelitian dan rekonstruksi yang pertama di mulai pada tahun
1940. berdasarkan hasil penelitian diperkirakan bahwa Candi
Banyuniba terdiri atas satu candi induk yang menghadap ke Barat dan dikelilingi deretan
candi perwara berbentuk stupa, 3 berderet di selatan dan 3 lagi di timur. Saat ini baru candi
induknya yang berhasil dipugar. Tak satupun candi perwara yang tersisa. Di halaman
belakang candi terdapat sebuah lubang seperti sumur.

Ukuran Candi Banyuniba relatif kecil, yaitu lebar 11 m dan panjang sekitar 15 m. Tubuh
candi berdiri di atas 'batur' setinggi 2,5 m yang terletak di tengah hamparan batu andesit yang
tertata rapi. Selisih luas batur dengan tubuh candi membentuk selasar yang cukup lebar untuk
dilalui 1 orang. Dinding dan pelipit atas batur dipenuhi dengan hiasan bermotif sulur dan
dedaunan yang menjulur keluar dari sebuah wadah mirip tempayan.  Di setiap sudut kaki
candi terdapat hiasan mirip kepala Kala yang disebut 'jala dwara". Hiasan ini berfungsi
sebagai saluran pembuang air hujan. Atap candi berbentuk limasan seperti kubah (dagoba)
dengan stupa di puncaknya. 

Untuk naik ke selasar di permukaan 'batur' (kaki candi) terdapat tangga selebar sekitar 1,2 m,
terletak tepat di depan pintu masuk bilik penampil. Pangkal pipi tangga dihiasi dengan kepala
sepasang naga dengan mulut menganga lebar.

Pintu masuk dilengkapi


dengan bilik 'penampil'
beratap melengkung yang
menjorok sekitar 1 m keluar
tubuh candi. Sisi depan atap
bilik penampil dipenuhi
dengan hiasan bermotif sulur-
suluran. Tepat di atas ambang pintu, terdapat hiasan Kalamakara tanpa rahang bawah. Di
bagian dalam dinding, di atas ambang pintu, terdapat pahatan yang menggambarkan Hariti,
dewi pelindung anak-anak, sedang duduk bersila diapit oleh dua ekor burung merak. Di
sekeliling wanita itu terdapat anak-anak kecil yang mengerumuninya.

Pada dinding selatan bilik penampil terdapat relief yang


menggambarkan Kuwera, dewa kekayaan, sedang duduk
duduk dengan tangan kanan tertumpu paha. Di sebelah
kirinya, agak ke belakang, seorang pelayan memegangi
pundi-pundi berisi uang.
Pada dinding di keempat sisi tubuh candi terdapat jendela
palsu, yaitu lubang yang terlihat seperti sebuah jendela,
namun sesungguhnya lubang tersebut tidak menembus ke
ruang dalam tubuh candi. Di atas ambang jendela palsu
terdapat hiasan Kalamakara, sedangkan di kiri dan kanannya
terdapat relung yang berisi pahatan sosok penghuni kayangan atau surga, seperti kinara dan
kinari, hapsara dan hapsari, serta Hariti dan Avataka. Di antara kalamakara dan pelipit atas
ambang jendela tersembunyi pahatan sosok pria yang sedang duduk seolah melongok ke
bawah. Hiasan semacam ini disebut 'kudu'.

Tidak terdapat arca di ruangan dalam tubuh candi, namun dindingnya dihiasi dengan sosok
anak dan lelaki dalam berbagai posisi. Ada pahatan yang menggambarkan seorang anak
sedang bergantung pada dahan pohon, sederetan orang yang sedang duduk berpelukan,
seorang lelaki duduk bersila, dan sebagainya.

Di halaman candi terdapat sepasang arca lembu dalam posisi duduk. Tidak didapat informasi
apakah arca tersebut memang terletak di tempat aslinya atau sudah dipindahkan dari
tempatnya semula.
Candi Barong

Candi barong merupakan candi peninggalan agama Hindu yang terletak di Dusun
Candisari, Bokoharjo, Prambanan. Disebut Candi Barong karena terdapat hiasan kala di
relung tubuh candi yang tampak seperti Barong. Keberadaan Candi Barong yang juga
bernama Candi Sari Suragedug disebutkan dalam Prasasti Ratu Baka (856 M) dalam
bahasa Sansekerta dan ditulis menggunakan huruf Jawa kuno. Dalam prasasti tersebut
diceritakan tentang seorang raja bernama Sri Kumbaja atau Sri Kalasodbhava yang
membangun tiga 'lingga', yaitu Krttiwasalingga dengan pendamping Dewi Sri,
Triyarbakalingga dengan pendamping Dewi Suralaksmi, dan Haralingga dengan
pendamping Dewi Mahalaksmi. Diperkirakan bangunan yang dimaksud adalah Candi
Barong. Dalam Prasasti Pereng (863 M), yang juga ditulis dalam bahasa Sansekerta
dengan menggunakan huruf Jawa kuno, disebutkan bahwa pada tahun 784 Saka (860 M)
Rakai Walaing Pu Kumbhayoni menganugerahkan sawah dan dua bukit di Tamwahurang
untuk keperluan pemeliharaan bangunan suci Syiwa bernama Bhadraloka. Para ahli
berpendapat bahwa Sri Kumbaja atau Sri Kalasodbhava adalah Pu Kumbhayani dan
bangunan Syiwa yang dimaksud adalah Candi Barong.

Berbeda dengan candi-candi lainnya di Jawa


Tengah, Candi Barong merupakan bangunan
punden berundak, yaitu model bangunan suci
pada masa prahindu. Candi ini terdiri atas teras
bersusun tiga, makin ke atas main sempit. Luas
teras pertama adalah 90 x 63 m2, sedangkan
teras kedua adalah 50 x 50 m2. Dilihat dari letak
tangga naik dari teras ke terasnya, candi Hindu ini
menghadap ke barat. Di pertengahan sisi barat
terdapat tangga naik dari teras pertama ke teras
kedua setinggi sekitar 4 m dengan lebar 3 m.

Teras ketiga, yang berukuran 25 x 38 m2, terletak 5 m dari permukaan teras kedua, dan
dapat dicapai melalui tangga selebar 3,2 m. Tangga tersebut dilengkapi dengan pipi
tangga di kiri-kanannya. Di pangkal tangga terdapat hiasan menyerupai 'ukel' yang
sudah tidak jelas bentuknya. Di kiri dan kanan dinding pipi tangga terdapat hiasan
berupa daun kalpataru yang sebagian sudah rusak. Di puncak tangga terdapat gerbang
beratap (gapura paduraksa) menuju ke pelataran teras ketiga. Di atas ambang gapura
terdapat hiasan Kalamakara.
Dinding teras diberi penguat berupa susunan balok batu andesit yang diperhalus dengan
lapisan batu putih di permukaannya. Dinding teras candi, dari teras terbawah sampai
yang teratas, terlihat polos tanpa hiasan. Mendekati ujung selatan dinding barat teras
ketiga terdapat ceruk yang belum jelas fungsinya.

Di pelataran teras teratas, yang dianggap sebagai tempat yang tersuci terdapat dua
bangunan berjajar arah utara-selatan, masing-masing mempunyai luas dasar 8 x 8 m2.
Bangunan pertama terletak di ujung selatan, sedangkan yang kedua terletak di tengah
pelataran, tepat berhadapan dengan tangga. Di ujung utara terdapat reruntuhan
bangunan yang belum dipugar.

Kedua bangunan yang ada tidak mempunyai mempunyai pintu masuk ke tubuh candi,
karena tidak terdapat ruangan di dalamnya, walaupun, menurut hasil penelitian,
diperkirakan terdapat rongga dalam tubuh bangunan. Relung-relung yang ada saat ini
dalam keadaan kosong. Arca yang pernah ditempatkan di sana sudah tak bersisa,
walaupun konon pada saat pemugarannya ditemukan 3 arca dewi dan 4 arca dewa yang
berciri Syiwaistik. Pada keempat sisi masing-masing bangunan hanya terdapat relung
tempat menaruh arca. Di atas ambang relung terdapat hiasan kalamakara lengkap
dengan rahang bawah yang sangat sederhana pahatannya.

Tidak terdapat hiasan relief pada dinding dan kaki bangunan, hanya ada pahatan berpola
dedaunan dan sosok manusia yang sederhana. Atap candi bersusun dengan puncak
runcing. Pelipit atap berpola bunga dan kumuda.
Candi Barabudhur
Candi Barabudhur  terletak di Kabupaten Magelang,
sekitar 15 km ke arah Baratdaya Yogyakarta. Candi
Buddha terbesar di Indonesia ini telah warisan
budaya duniadan telah terdaftar dalam daftar warisan
dunia (world heritage list), yang semula diberi nomor
348 dan kemudian diubah menjadi 582 pada tahun
1991. Lokasi Candi Barabudhur yang merupakan
bukit kecil dikelilingi oleh pegunungan Menoreh, G.
Merapi dan G. Merbabu di timurlaut, serta G.
Sumbing dan G. Sindoro di baratlaut.

Sampai saat ini belum ada kesepakatan di antara para pakar tentang nama Barabudhur. Dalam
Kitab Negarakertagama (1365 M.) disebut-sebut tentang Budur, sebuah bangunan suci
Buddha aliran Vajradhara. Menurut Casparis dalam Prasasti Sri Kahulunan (842 M)
dinyatakan tentang “Kawulan i Bhumi Sambhara”. Berdasarkan hal itu ia berpendapat bahwa
Barabudhur merupakan tempat pemujaan. Bumi Shambara adalah nama tempat di
Barabudhur.  Menurut Poerbatjaraka, Barabudhur berarti Biara Budur, sedangkan menurut
Raffles, 'bara' berarti besar dan 'budhur' merupakan kata dalam bahasa Jawa yang berarti
Buddha.

Berdasarkan tulisan yang terdapat di beberapa batu di Candi Barabudhur, para ahli
berpendapat bahwa candi ini mulai dibangun sekitar tahun 780 M, pada masa pemerintahan
raja-raja Wangsa Sanjaya. Pembangunannya memakan waktu berpuluh-puluh tahun dan baru
selesai sekitar tahun 830 M, yaitu pada masa pemerintahan Raja Samaratungga dari Wangsa
Syailendra. Konon arsitek candi yang maha besar ini bernama Gunadharma, namun belum
didapatkan informasi tertulis tentang tokoh ini. Pada tahun 950 M, Candi Barabudhur terkubur
oleh lava letusan G. Merapi dan baru ditemukan kembali hampir seribu tahun kemudian,
tepatnya pada tahun 1814. Penemuan kembali Candi Barabudhur adalah atas jasa Sir Thomas
Stamford Raffles.

Pada saat Raffles berkunjung ke Semarang, ia mendapatkan informasi bahwa di daerah Kedu
ditemukan tumpukan batu bergambar. Konon pada tahun 1814, serombongan orang
mendatangi suatu daerah di Karesidenan Kedu untuk mencari tahu lebih jauh tentang legenda
yang berkaitan dengan sebuah bukit dekat Desa Boro. Setelah membabat semak belukar dan
menggali serta membersihkan gundukan abu gunung berapi, mereka menemukan sejumlah
besar bongkahan batu berpahatkan gambar-gambar aneh. Raffles kemudian memerintahkan
Cornelius, seorang Belanda, untuk membersihkan batu-batu tersebut. Pembersihan tumpukan
batu dan lingkungan di sekitarnya kemudian dilanjutkan oleh Residen Kedu yang bernama
Hartman.

Candi Barabudhur berdiri di atas bukit yang


memanjang arah timur-barat. Candi ini dibangun dari
balok batu andesit sebanyak 47,500 m3, yang disusun
rapi tanpa perekat, dan dilapisi dengan lapisan putuh
'vajralepa', seperti yang terdapat di Candi Kalasan
dan Candi Sari. Bangunan kuno Barabudhur
berbentuk limas bersusun dengan tangga naik di
keempat sisi, yaitu sisi timur, selatan, barat, dan
utara. Konon di sisi timur, di bawah kaki candi,
pernah ditemukan jalan naik ke atas bukit. Hal itu
mendasari dugaan bahwa Candi Barabudhur
menghadap ke timur dan pintu utama adalah yang
terletak di sisi timur.
Tangga paling bawah dihiasi dengan kepala
naga dengan mulut menganga dan seekor
singa duduk di dalamnya. Dugaan bahwa
Candi Barabudhur menghadap ke timur
diperkuat dengan adanya pahatan relief
pradaksina ( yang dibaca memutar searah
jarum jam), berawal dari dan berakhir di
sisi timur. Selain itu, arca singa yang
terbesar juga terdapat di sisi timur. Tangga
menuju ke tingkat yang lebih tinggi
dilengkapi dengan gerbang yang berukir
indah dengan kalamakara tanpa rahang
bawah di atas ambang pintu. Pada mulanya tinggi keseluruhan bangunan kuno ini mencapai
42 m, namun setelah pemugaran tingginya hanya mencapai 34,5 m. Batur atau kaki candi
berdenah bujur sangkar dengan luas denah dasar 123 x 123 m, dilengkapi penampil yang
menjorok keluar di setiap sisi. Keseluruhan bangunan terdiri atas 10 lantai yang luasnya
mencapai 15, 13 m2. Lantai I sampai dengan lantai VII berbentuk persegi, sedangkan lantai
VII sampai dengan lantai X berbentuk lingkaran.

Candi Barabudhur tidak mempunyai


ruangan untuk tempat beribadah atau
melakukan pemujaan karena candi ini
dibangun untuk tempat berziarah dan
memperdalam pengetahuan tentang
Buddha. Luas dinding keseluruhan
mencapai 1500 m2, dihiasi dengan  1460
panil relief, masing-masing selebar 2 m.

Jumlah Arca Buddha, termasuk yang telah


rusak, mencapai 504 buah.  Arca-arca
Buddha tersebut menggambarkan Buddha
dalam berbagai sikap.

 Arca-arca di sisi timur menggambarkan Dhyani Buddha Aksobhya, yaitu Buddha


bersila dengan sikap tangan menyinggung tanah atau sikap Bhumiparsyamudra.
 Arca-arca di sisi selatan menggambarkan Dhyani Buddha Ratnasambhawa, yaitu
Buddha bersila dengan sikap tangan memberi anugrah atau sikap Varamudra. 
 Arca-arca di sisi barat menggambarkan Dhyani Buddha Amitabha, yaitu Buddha
bersila dengan sikap tangan bersemadi sikap Dhyanamudra.
 Arca-arca di sisi utara menggambarkan Dhyani Buddha Amogasidhi, yaitu Buddha
bersila dengan sikap tangan menentramkam atau sikap Abhayamudra.
 Arca-arca di puncak menggambarkan Dhyani Buddha Vairosyana, yaitu Buddha
bersila dengan sikap tangan mengajar (ibu jari dan telunjuk bersentuhan dan ketiga jari
lain terangkat) atau sikap Vitarkamudra.
 Arca-arca di undakan lingkaran menggambarkan Dhyani Buddha Vairosyana, yaitu
Buddha bersila dengan sikap tangan mewejangkan ajaran atau sikap
Dharmacakramudra.

Candi Barabudhur melambangkan tiga tingkatan dalam kehidupan manusia. Kaki candi
disebut Kamadhatu,  melambangkan kehidupan di dunia fana, yang masih dipenuhi kama
(hasrat dan nafsu). Pada dinding kaki candi terdapat 160 panil relief Karmawibangga. Saat ini
relief tersebut tidak dapat dilihat karena tertutup urukan. Pada saat pembangunan candi ini
sedang berlangsung, bangunan yang belum selesai tersebut melesak ke bawah, sehingga
arsiteknya memutuskan untuk menguruk bagian kakinya. Konon selain untuk menghindari
longsor, pengurukan bagian kaki ini juga didasarkan atas alasan etika dan estetika.
Tubuh candi terdiri atas 5
tingkat, makin ke atas
makin mengecil, dengan
denah bujur sangkar. Di
setiap tingkat terdapat
selasar yang cukup lebar
mengelilingi tubuh candi.
Tepi selasar diberi dinding
yang dihiasi dengan panil-
panil relief. Tubuh candi disebut Rupadhatu, yang berarti dunia rupa. Dalam dunia ini
manusia masih terikat dengan kehidupan duniawi, namun sudah mulai berusaha
mengendalikan hasrat dan nafsu.

Di beberapa tempat terdapat saluran pembuangan air yang disebut Jaladwara. Dinding atas
tingkat I dihiasi dengan relief cerita yang diambil dari Kitab Lalitawistara, yang mengisahkan
riwayat Sang Buddha sejak turun dari surga Tusita ke bumi, saat menerima wejangan di
Taman Rusa dekat Benares, sampai pada saat mencapai kesempurnaan.

Dinding bawah dihiasi dengan


relief Jatakamala, kisah kehidupan
Jataka dan Avadana, yang
diwujudkan sebagai Boddhisatwa
karena perilakunya yang baik
dalam kehidupannya yang lalu.
Bagian lain dari Kitab Jatakamala
menghiasi sepanjang bagian atas
dan bagian bawah pagar selasar
tingkat I dan tingkat II. Dinding
candi di tingkat II dihiasi relief dari
Kitab Gandawyuha. Demikan juga
dinding dan pagar selasar di tingkat
III dan tingkat IV. Kisah Sudhana
yang dalam upayanya mencari
pengetahuan dan kebenaran telah bertemu Gandawyuha yang mengajari tentang kebijakan
untuk mencapai kesempurnaan dalam hidup.

Atap candi yang terdiri atas 3 tingkat


disebut Arupadhatu, yang berarti dunia
tanpa rupa (wujud). Pada tataran
kehidupan ini manusia sudah terlepas dari
hasrat dan nafsu. Atap candi berupa batur
bersusun 3 dengan denah bundar
membentuk 3 lingkaran bersusun dengan
pusat yang sama dengan stupa-stupa
berisi arca Buddha. Dalam lingkaran di
tingkat I terdapat 32 stupa, di tingkat II
terdapat 24 stupa dengan lubang-lubang berbentuk wajik, bersisi horisontal datar dan sisi
vertikal miring. Lubang berbentuk wajik melambangkan adanya nafsu yang masih tersisa. Di
tingkat III terdapat 16 stupa dengan lubang hiasan berbentuk persegi, bersisi horisontal datar
dan sisi vertikal tegak. Lubang berbentuk persegi ini melambangkan nafsu yang telah lenyap
tak bersisa. Puncak atap merupakan sebuah stupa yang sangat besar. Konon dalam stupa ini
dahulu terdapat arca Sang Adhi Buddha, yaitu Dhyani Buddha tertinggi dalam agama Buddha
Mahayana.

Candi Barabudhur telah mengalami beberapa kali pemugaran. Pemugaran pertama dilakukan
pada masa pemerintahan Belanda, yaitu pada tahun 1907 – 191, di bawah pimpinan Van Erp.
Dalam pemugaran ini yang diutamakan adalah mengembalikan ketiga teras atap candi dan
stupa pusatnya. Pemugaran kedua berlangsung selama sepuluh tahun, yaitu tahun 1973 –
1983. Dalam pemugaran ini  Candi Barabudhur dibongkar, fondasi dan dindingnya diberi
penguat beton bertulang, dan batu-batunya diteliti, dibersihkan, diberi pengawet kedap air dan
disusun kembali sesuai susunannya semula.
Candi Bubrah
Candi Bubrah terletak di dalam Kawasan
Wisata Prambanan, yaitu di Dukuh Bener,
Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan,
Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah.
Tidak banyak informasi yang didapat
mengenai candi yang saat ini tinggal berupa
'batur' (kaki candi) yang telah rusak dan
onggokan batu bekas dinding. Nama 'Bubrah'
dalam bahasa Jawa berarti hancur
berantakan. Tidak jelas apakah candi ini
dinamakan Bubrah karena ketika ditemukan kondisinya memang sudah dalam keadaan
(bubrah) berantakan atau karena memang itulah namanya.

Ukuran Candi
Buddha ini relatif
kecil dengan denah
dasar persegi
panjang,
memanjang arah
utara-selatan.
Ukuran tepatnya
tidak bisa didapatkan karena reruntuhan candi ini dikelilingi pagar terkunci. Tinggi batur
(kaki) candi sekitar 2 m. Sepanjang pelipit atas dihiasi dengan pahatan berpola simetris. Tidak
terlihat adanya sisa-sisa relief pada dinding kaki candi. Tangga naik ke selasar di permukaan
batur terletak di sebelah timur.
Candi Dieng
Candi Dieng merupakan kumpulan candi yang terletak di kaki
pegunungan Dieng, Wonosobo, Jawa tengah. Kawasan Candi
Dieng menempati dataran pada ketinggian 2000 m di atas
permukaan laut, memanjang arah utara-selatan sekitar 1900 m
dengan lebar sepanjang 800 m.

Kumpulan candi Hindu beraliran Syiwa yang diperkirakan


dibangun antara akhir abad ke-8 sampai awal abad ke-9 ini
diduga merupakan candi tertua di Jawa. Sampai saat ini belum
ditemukan informasi tertulis tentang sejarah Candi Dieng,
namun para ahli memperkirakan bahwa kumpulan candi ini dibangun atas perintah raja-raja
dari Wangsa Sanjaya. Di kawasan Dieng ini ditemukan sebuah prasasti berangka tahun 808
M, yang merupakan prasasti tertua bertuliskan huruf Jawa kuno, yang masih masih ada hingga
saat ini. Sebuah Arca Syiwa yang ditemukan di kawasan ini sekarang tersimpan di Museum
Nasional di Jakarta. Pembangunan Candi Dieng diperkirakan berlangsung dalam dua tahap.
Tahap pertama yang berlangsung antara akhir abad ke-7 sampai dengan perempat pertama
abad ke-8, meliputi pembangunan Candi Arjuna, Candi Semar, Candi Srikandi dan Candi
Gatutkaca. Tahap kedua merupakan kelanjutan dari tahap pertama, yang berlangsung samapi
sekitar tahun 780 M.

Candi Dieng pertama kali diketemukan kembali pada tahun 1814. Ketika itu seorang tentara
Inggris yang sedang berwisata ke daerah Dieng melihat sekumpulan candi yang terendam
dalam genangan air telaga. Pada tahun 1856, Van Kinsbergen memimpin upaya pengeringan
telaga tempat kumpulan candi tersebut berada. Upaya pembersihan dilanjutkan oleh
pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1864, dilanjutkan dengan pencatatan dan pengambilan
gambar oleh Van Kinsbergen. 

Luas keseluruhan kompleks Candi Dieng mencapai sekitar 1.8 x 0.8 km2. Candi-candi di
kawasan Candi Dieng terbagi dalam 3 kelompok dan 1 candi yang berdiri sendiri yang
dinamakan berdasarkan nama tokoh dalam cerita wayang yang diadopsi dari Kitab
Mahabarata. Ketiga kelompok candi tersebut adalah Kelompok Arjuna, Kelompok Gatutkaca,
Kelompok Dwarawati dan satu candi yang berdiri sendiri adalah Candi Bima.

a. Kelompok Arjuna

Kelompok Arjuna terletak di tengah kawasan Candi Dieng, terdiri atas 4 candi yang berderet
memanjang arah utara-selatan. Candi Arjuna berada di ujung selatan, kemudian berturut-turut
ke arah utara adalah Candi Srikandi, Candi Sembadra dan Candi Puntadewa. Tepat di depan
Candi Arjuna, terdapat Candi Semar. Keempat candi di komples ini menghadap ke barat,
kecuali Candi Semar yang menghadap ke Candi Arjuna. Kelompok candi ini dapat dikatakan
yang paling utuh dibandingkan kelompok candi lainnya di kawasan Dieng.

Candi Arjuna. Candi ini mirip dengan candi-candi di komples


Gedong Sanga. Berdenah dasar persegi dengan luas sekitar
ukuran sekitar 4 m2. Tubuh candi berdiri diatas batur setinggi
sekitar 1 m. Di sisi barat terdapat tangga menuju pintu masuk
ke ruangan kecil dalam tubuh candi. Pintu candi dilengkapi
dengan semacam bilik penampil yang menjorok keluar sekitar
1 m dari tubuh candi. Di atas ambang pintu dihiasi dengan
pahatan Kalamakara.

Pada dinding luar sisi utara, selatan dan barat terdapat susunan
batu yang menjorok ke luar dinding, membentuk bingkai sebuah relung tempat arca. Bagian
depan bingkai relung dihiasi dengan pahatan berpola kertas tempel. Bagian bawah bingkai
dihiasi sepasang kepala naga dengan mulut menganga. Di bagian atas bingkai terdapat hiasan
kalamakara tanpa rahang bawah. Pada
dinding di kiri dan kanan ambang pintu
bangunan utara terdapat relung tempat
meletakkan arca. Saat ini kedua relung
tersebut dalam keadaan kosong.

Pada dinding di sisi selatan, barat dan utara


terdapat relung tempat meletakkan arca.
Ambang relung diberi bingkai dengan
hiasan pola kertas tempel dan Kalamakara di
atasnya. Kaki bingkai dihiasi dengan
pahatan kepala naga dengan mulut
menganga. Tepat di pertengahan dinding di bawah relung terdapat jaladwara (saluran air).

Atap candi berbentuk kubus bersusun, makin ke atas makin mengecil. Bagian atas dan puncak
atap sudah hancur. Di setiap sisi masing-masing kubus terdapat relung dan di setiap sudut
terdapat hiasan berbentuk seperti mahkota bulat berujung runcing. Sebagian besar hiasan
tersebut sudah rusak.

Di tengah ruangan di dalam tubuh candi terdapat yang tampak seperti sebuah yoni. Di sudut
luar, menempel pada dinding belakang candi terdapat arca yang sudah rusak.

Candi Semar. Candi ini letaknya berhadapan dengan Candi Arjuna. Denah dasarnya
berbentuk persegi empat membujur arah utara-selatan. Batur candi setinggi sekitar 50 cm,
polos tanpa hiasan. Tangga menuju pintu masuk ke ruang dalam tubuh candi terdapat di sisi
timur. Pintu masuk tidak dilengkapi bilik penampil. Ambang pintu diberi bingkai dengan
hiasan pola kertas tempel dan kepala naga di pangkalnya. Di atas ambang pintu terdapat
Kalamakara tanpa rahang bawah.

Pada dinding di kiri dan kanan pintu terdapat lubang jendela


kecil. Di dinding utara dan selatan tubuh candi terdapat,
masing-masing, dua lubang yang berfungsi sebagai jendela,
sedangkan di dinding barat (belakang) candi terdapat 3 buah
lubang. Ruangan dalam tubuh candi dalam keadaan kosong.
Atap candi berbentuk limasan tanpa hiasan. Puncak atap
sudah hilang, sehingga tidak diketahui lagi bentuk aslinya.
Konon Candi Semar digunakan sebagai gudang untuk
menyimpan senjata dan perlengkapan pemujaan.

Candi Srikandi. Candi ini terletak di utara Candi Arjuna. Batur candi setinggi sekitar 50 cm
dengan denah dasar berbentuk kubus. Di sisi timur terdapat tangga dengan bilik penampil.
Pada dinding utara terdapat pahatan yang menggambarkan Wisnu, pada dinding timur
menggambarkan Syiwa dan pada dinding selatan menggambarkan Brahma. Sebagian besar
pahatan tersebut sudah rusak. Atap candi sudah rusak sehingga tidak terlihat lagi bentuk
aslinya.

Candi Sembadra.  Batur candi setinggi sekitar 50 cm dengan denah dasar berbentuk bujur
sangkar. Di pertengahan sisi selatan, timur dan utara terdapat bagian yang menjorok keluar,
membentuk relung seperti bilik penampil. Pintu masuk terletak di sisi barat dan, dilengkapi
dengan bilik penampil. Adanya bilik penampil di sisi barat dan relung di ketiga sisi lainnya
membuat bentuk tubuh candi tampak seperti poligon. Di halaman terdapat batu yang ditata
sebagai jalan setapak menuju pintu.

Sepintas Candi Sembadra terlihat seperti bangunan bertingkat, karena atapnya berbentuk
kubus yang ukurannya hampir sama besar dengan ukuran tubuhnya. Puncak atap sudah
hancur, sehingga tidak terlihat lagi bentuk aslinya. Di keempat sisi atap juga terdapat relung
kecil seperti tempat menaruh arca.

Candi Puntadewa. Seperti candi lainnya, ukuran Candi Puntadewa tidak terlalu besar, namun
candi ini tampak lebih tinggi. Tubuh candi berdiri di atas batur bersusun setinggi sekitar 2,5
m. Tangga menuju pintu masuk ke dalam ruang dalam tubuh candi dilengkapi pipi candi dan
dibuat bersusun dua, sesuai dengan batur candi.

Atap candi mirip dengan atap Candi Sembadra,


yaitu berbentuk kubus besar. Puncak atap juga
sudah hancur, sehingga tidak terlihat lagi
bentuk aslinya. Di keempat sisi atap juga
terdapat relung kecil seperti tempat menaruh
arca. Pintu dilengkapi dengan bilik penampil
dan diberi bingkai yang berhiaskan motif
kertas tempel.

Ruang dalam tubuh candi sempit dan kosong.


Di ketiga sisi lainnya terdapat jendela yang
bingkainya diberi hiasan mirip dengan yang
terdapat di pintu. Sekitar setengah meter di luar kaki candi terdapat batu yang disusun
berkeliling memagari kaki candi. Di depan candi terdapat batu yang disusun berkeliling
membentuk ruangan berbentuk bujur sangkar. Di tengah ruangan terdapat dua buah susunan
tumpukan dua buah batu bulat yang puncaknya berujung runcing.

Di utara candi terdapat batu yang disusun berkeliling membentuk ruangan berbentuk persegi
panjang. Di tengah ruangan terdapat dua buah batu berbentuk mirip tempayan yang lebar.

b. Kelompok Gatutkaca

Kelompok Gatutkaca juga terdiri atas 5 candi, yaitu Candi Gatutkaca, Candi Setyaki, Candi
Nakula, Candi Sadewa, Candi Petruk dan Candi Gareng, namun saat ini yang masih dapat
dilihat bangunannya hanya Candi Gatutkaca. Keempat candi lainnya hanya tersisa tinggal
reruntuhannya saja.

Candi Gatutkaca. Batur candi setinggi sekitar 1 m dibuat bersusun dua


dengan denah dasar berbentuk bujur sangkar. Di pertengahan sisi
selatan, timur dan utara terdapat bagian yang menjorok keluar,
membentuk relung seperti bilik penampil. Pintu masuk terletak di sisi
barat dan, dilengkapi dengan bilik penampil. Anak tangga di batur
terlindung dalam dalam bilik penampil.

Sepintas Candi Gatutkaca juga terlihat seperti


bangunan bertingkat, karena bentuk atapnya
dibuat sama dengan bentuk tubuh candi. Puncak
atap sudah hancur, sehingga tidak terlihat lagi
bentuk aslinya. Di keempat sisi atap juga terdapat relung kecil seperti
tempat menaruh arca. Sekitar setengah meter di luar kaki candi terdapat
batu yang disusun berkeliling memagari kaki candi. Di halaman
Kompleks Candi Gatutkaca terdapat tumpukan batu reruntuhan keempat
candi lain yang belum dapat disusun kembali.

c. Kelompok Dwarawati

Kelompok Dwarawati terdiri atas 4 candi, yaitu Candi Dwarawati, Candi Abiyasa, Candi
Pandu, dan Candi Margasari. Akan tetapi, saat ini yang berada dalam kondisi relatif utuh
hanya satu candi, yaitu Candi Dwarawati.

Candi Dwarawati. Bentuk Candi Dwarawati


mirip dengan Candi Gatutkaca, yaitu
berdenah dasar segi empat dengan penampil
di keempat sisinya. Tubuh candi berdiri di
atas batur setinggi sekitar 50 cm. Tangga dan
pintu masuk, yang terletak di sisi barat, saat
ini dalam keadaan polos tanpa pahatan.

Pada pertengahan dinding tubuh candi di sisi


utara, timur dan selatan terdapat semacam bilik penampil yang menjorok keluar membentuk
relung tempat meletakkan arca. Bagian atas relung melengkung dan meruncing pada
puncaknya. Ambang relung dihiasi pahatan bermotif bunga yang sederhana. Demikian juga
sisi atas dinding bilik penampil. Ketiga relung pada dinding tubuh candi tersebut saat ini
Sepintas candi ini juga terlihat seperti bangunan bertingkat, karena bentuk atapnya dibuat
sama dengan bentuk tubuh candi. Di keempat sisi atap terdapat relung tempat meletakkan
arca. Saat ini, relung-relung tersebut juga dalam keadaan kosong. Puncak atap sudah tak
tersisa lagi sehingga tidak diketahui bentuk aslinya. Di halaman depan candi terdapat susunan
batu yang mirip sebuah lingga dan yoni.

d. Candi Bima

Candi Bima terletak menyendiri di atas bukit. Candi ini


merupakan bangunan terbesar di antara kumpulan Candi Dieng.
Bentuknya berbeda dari candi-candi di Jawa tengah pada
umumnya. Kaki candi mempunyai denah dasar bujur sangkar,
namun karena di setiap sisi terdapat penampil yang agak
menonjol keluar, maka seolah-olah denah dasar Candi Bima
berbentuk segi delapan.

Penampil di bagian depan menjorok sekitar 1,5 m, berfungsi


sebagai bilik penampil menuju ruang utama dalam tubuh candi. Penampil di ketiga sisi
lainnya membentuk relung tempat meletakkan arca. Saat ini semuanya dalam keadaan
kosong. Tak satupun arca yang masih tersisa.

Bentuk atap candi terdiri atas 5 tingkat, masing-masing tingkat mengikuti lekuk bentuk
tubuhnya, makin ke atas makin mengecil. Setiap tingkat dihiasi dengan pelipit padma ganda
dan relung kudu. Kudu ialah arca setengah badan yang nampak se olah-olah sedang
menjenguk ke luar. Hiasan semacam ini terdapat juga di Candi Kalasan. Puncak atap sudah
hancur sehingga tidak diketahui bentuk aslinya.
Candi Gedongsanga
Kompleks Candi Gedong Sanga terletak di puncak G.
Ungaran, tepatnya di Desa Candi, Kecamatan Somawono,
Semarang, Jawa Tengah. Para ahli belum dapat memastikan
waktu dan tujuan pembangunan Candi Gedong Sanga, karena
sampai saat ini belum ada prasasti yang ditemukan yang
menyebut tentang keberadaan bangunan kuno itu. Lokasinya
yang berada di daerah perbukitan mendasari dugaan bahwa
candi ini dibangun pada masa awal perkembangan agama
Hindu di Jawa, yaitu pada masa pemerintahan raja-raja
Wangsa Sanjaya. Menilik gaya arsitektur dan letaknya, candi Hindu Syiwa ini diduga
dibangun untuk keperluan pemujaan.  Pada masa itu dataran tinggi atau perbukitan dianggap
sebagai perwujudan dari 'kahyangan', tempat bersemayam para dewa.

Keberadaannya candi ini diungkapkan pertama kali dalam laporan Raffles pada tahun 1740.
Pada awalnya hanya tujuh kelompok bangunan yang ditemukan, sehingga Raffles
menyebutnya Gedong Pitu. Setelah ditemukan, dilakukan beberapa penelitian terhadap candi
oleh para arkeolog Belanda, antara lain Van Stein Callenfels (1908) dan Knebel (1911).
Dalam penelitian tersebut ditemukan dua kelompok candi lain, sehingga namanya diubah
menjadi Gedong Sanga (dalam bahasa Jawa berarti sembilan bangunan). Pada tahun 1928
sampai 1929, dinas purbakala pada zaman pemerintahan Belanda melakukan pemugaran
terhadap Candi Gedong I dan Candi Gedong II. Pemugaran candi dan penataan lingkungan
dilakukan oleh pemerintah Indonesia selama hampir 10 tahun, yaitu tahun 1972 sampai 1982.

Candi Gedong I

Candi Gedong I terdiri satu bangunan utuh, berukuran relatif


kecil dengan denah dasar persegi panjang. Atap candi berbentuk
segi empat bersusun dengan hiasan pola kertas tempel di
sekelilingnya. Separuh dari puncak atap terlihat telah hancur. Di
sebelah tenggara terlihat G. Telomoyo, G. Merbabu, dan G.
Merapi.

Batur (kaki candi) dengan denah dasar segi


empat dihiasi dengan deretan panel dengan
pahatan bermotif bunga (padma) dan sulur-suluran yang sederhana. Tinggi
batur sekitar 1 m, dengan tangga menuju ruangan kecil dalam tubuh candi
terletak di sisi timur. Permukaan batur membentuk selasar selebar sekitar
0,5 m mengelilingi tubuh candi. Sepanjang tepi selasar diberi pagar, namun
sebagian besar batu pagar sudah tanggal atau bahkan hilang.

Dinding luar tubuh candi polos tanpa relief atau relung


tempat menaruh arca. Di pertengahan dinding terdapat
pahatan bermotif bunga yang membentuk semacam bingkai
kosong. Tidak dapat dipastikan apakah dalam bingkai
tersebut tadinya terdapat arca atau pahatan lain.

Candi Gedong II
Candi Gedong II terdiri satu bangunan utuh dengan denah dasar bujur sangkar seluas sekitar
2,5 m2. Tubuh candi berdiri di atas batur setinggi sekitar 1 m.

Pelipit atas batur menjorok ke luar


membentuk selasar selebar 0,5 m
mengelilingi tubuh candi.  Tangga
naik ke selasar terdapat di sisi timur,
tepat di depan pintu mauk ke
ruangan kecil dalam tubuh candi.
Pintu candi dilengkapi dengan
semacam bilik penampil yang
menjorok keluar sekitar 1 m dari
tubuh candi. Di atas ambang pintu dihiasi dengan pahatan Kalamakara.

Pada dinding luar sisi utara, selatan dan barat terdapat susunan batu yang
menjorok ke luar dinding, membentuk bingkai sebuah relung tempat
arca. Bagian depan bingkai relung dihiasi dengan pahatan berpola kertas
tempel. Bagian bawah bingkai dihiasi sepasang kepala naga dengan
mulut menganga. Di bagian atas bingkai terdapat hiasan kalamakara
tanpa rahang bawah.

Atap candi berbentuk 3 balok bersusun, makin ke atas


makin mengecil dengan puncak atap runcing. Puncak
atap tersebut saat ini sudah tidak ada. Sekeliling masing-
masing kubus dihiasi dengan pahatan pola kertas
tempel. Di setiap sudut terdapat hiasan berbentuk seperti mahkota bulat
berujung runcing. Sebagian besar hiasan tersebut sudah rusak. Di depan
bangunan candi terdapat bangunan lain yang hanya tersisa fondasi dan
onggokan reruntuhan bangunan yang diperkirakan sebagai candi perwara.

Candi Gedong III

Candi Gedong III terdiri dari tiga bangunan, yaitu dua bangunan yang berjajar menghadap ke
timur dan satu bangunan yang meghadap ke barat. Ketiga bangunan tersebut dapat dikatakan
dalam keadaan utuh.

Kedua bangunan yang menghadap ke timur mirip sepasang


bangunan kembar, namun yang berada di sebelah utara lebih
besar dan lebih tinggi dari yang di selatan. Bangunan yang
lebih besar, yaitu yang di utara, diperlirakan merupakan
candi induk atau candi utama, sedangkan bangunan yang
lebih kecil diperkirakan sebagai candi perwara. Tubuh candi
berdiri di atas batur yang rendah dengan denah dasar
berbentuk persegi.

Atap kedua bangunan tersebut berbentuk 3 persegi bersusun,


makin ke atas makin mengecil dengan puncak atap runcing, mirip atap Candi Gedong II.
Sekeliling kubus dihiasi dengan pahatan pola kertas tempel. Di setiap sudut terdapat hiasan
berbentuk seperti mahkota bulat berujung runcing. Di sekeliling tubuh candi terdapat selasar
sempit dan tanpa pagar.
Pintu masuk ke ruangan sempit dalam tubuh candi dilengkapi dengan bilik penampil yang
menjorok sekitar 1 m keluar tubuh candi. Tepat di depan pintu terdapat tangga naik ke selasar
yang dilengkapi dengan pipi tangga dengan pahatan bunga di pangkalnya. Pada dinding di kiri
dan kanan ambang pintu bangunan utara terdapat relung berisi arca Syiwa dalam posisi berdiri
dengan tangan kanan bertelekan pada sebuah gada panjang.

Kedua bangunan yang menghadap timur tersebut berdiri di atas batur yang rendah dengan
denah dasar berbentuk bujur sangkar. Di pertengahan masing-masing sisi kaki candi terdapat
relung, salah satunya berisi arca gajah.

Pada dinding di sisi barat, utara dan selatan masing-masing bangunan terdapat relung tempat
meletakkan arca. Relung-relung pada dinding bangunan candi perwara saat ini dalam keadaan
kosong. Dalam relung pada dinding selatan candi utama terdapat Arca Ganesha dalam posisi
bersila, sedangkan dalam relung pada dinding selatan terdapat Arca Durga bertangan delapan
dalam posisi berdiri.

Bangunan ketiga di kompleks Candi


Gedong III terletak di depan candi utama
dan candi perwara. Bangunan ini
mempunyai denah dasar persegi panjang
dengan atap mirip 'limasan' melengkung. Di
atas atap berjajar memanjang 3 hiasan
berbentuk seperti menara kecil. Pintu
masuk bangunan yang berhadapan dengan
candi induk terlihat sederhana tanpa bingkai. Di atas ambang ambang pintu tampak bekas
hiasan yang rusak. Tidak terdapat relung pada dinding bangunan yang mirip dengan Candi
Semar di kompleks Candi Dieng. Diduga fungsi bangunan ini sama dengan fungsi Candi
Semar, yaitu sebagai tempat penyimpanan atau gudang.

Candi Gedong IV

Candi Gedong IV terdiri satu bangunan utuh dan sejumlah reruntuhan bangunan lain di
sekelilingnya. Belum diketahui bagaimana bentuk asli dan apa fungsi bangunan-bangunan
yang telah runtuh tersebut, namun ada dugaan bahwa bangunan-bangunan itu merupakan
candi perwara.

Bangunan yang masih utuh tersebut bentuknya mirip dengan


bangunan Candi Gedong II. Tubuh candi berdiri di atas batur
setinggi sekitar 1 m dengan denah dasar persegi panjang.
Pelipit atas batur menjorok ke luar membentuk selasar
selebar 0,5 m mengelilingi tubuh candi.  Tangga naik ke
selasar terdapat di sisi timur, tepat di depan pintu masuk ke
ruangan kecil dalam tubuh candi.

Pintu candi dilengkapi dengan semacam bilik penampil yang


menjorok keluar sekitar 1 m dari tubuh candi. Di atas
ambang pintu dihiasi dengan pahatan Kalamakara tanpa rahang bawah. Di kiri dan kanan
ambang pintu terdapat relung tempat arca yang saat ini dalam keadaan kosong. Di bagian
bawah ambang relung diberi hiasan yang sudah tidak jelas bentuk aslinya.

Pada dinding luar sisi barat, utara dan selatan terdapat relung-relung berisi arca. Salah satu
arca yang masih ada berupa sosok lelaki dalam posisi berdiri. Arca tersebut dalam keadaan
rusak.  Atap Candi Gedong IV berbentuk 3 persegi bersusun, makin ke atas makin mengecil
dengan puncak atap runcing, mirip atap Candi Gedong II. Sekeliling kubus dihiasi dengan
pahatan pola kertas tempel. Di setiap sudut terdapat hiasan berbentuk seperti mahkota bulat
berujung runcing.

Candi Gedong V

Candi Gedong V mirip dengan terdiri satu bangunan utuh dan sejumlah reruntuhan bangunan
lain di sekelilingnya, yang diduga sebagai candi perwara. Bangunan yang masih utuh tersebut
bentuknya mirip dengan bangunan Candi Gedong II dan Candi Gedong IV.

Tubuh candi berdiri di atas batur setinggi sekitar


1 m dengan denah dasar persegi panjang. Pelipit
atas batur menjorok ke luar membentuk selasar
selebar 0,5 m mengelilingi tubuh candi.  Tangga
naik ke selasar terdapat di sisi timur, tepat di
depan pintu masuk ke ruangan kecil dalam tubuh
candi. Pintu candi juga dilengkapi dengan
semacam bilik penampil yang menjorok keluar
sekitar 1 m dari tubuh candi. Di atas ambang
pintu dihiasi dengan pahatan Kalamakara tanpa rahang bawah. Di kiri dan kanan ambang
pintu terdapat relung tempat arca yang saat ini juga dalam keadaan kosong. Di bagian bawah
ambang relung diberi hiasan yang sudah tidak jelas bentuk aslinya.

Pada dinding luar sisi barat, utara dan selatan terdapat relung-relung berisi arca. Salah satu
arca yang masih ada adalah Arca Ganesha dalam posisi bersila di atas bangku dengan kedua
tangan di atas paha. Telapak tangan menumpang di atas paha sedangkan telapak tangan kanan
berada di atas lutut. Arca tersebut alam keadaan rusak.
Candi Kalasan
Candi Kalasan terletak di Desa Kalibening, Tirtamani, Kabupaten
Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, tepatnya sekitar 16 km ke arah
timur dari kota Yogyakarta. Dalam Prasasti Kalasan dikatakan bahwa
candi ini disebut juga Candi Kalibening, sesuai dengan nama desa
tempat candi tersebut berada. Tidak jauh dari Candi Kalasan terdapat
sebuah candi yang bernama  Candi Sari. Kedua candi tersebut
memiliki kemiripan dalam keindahan bangunan serta kehalusan
pahatannya. Ciri khas lain yang hanya ditemui pada kedua candi itu
ialah digunakannya vajralepa (bajralepa) untuk melapisi ornamen-
ornamen dan relief pada dinding luarnya.

Umumnya sebuah candi dibangun oleh raja atau penguasa kerajaan pada masanya untuk
berbagai kepentingan, misalnya untuk tempat ibadah, tempat tinggal bagi biarawan, pusat
kerajaan atau tempat dilangsungkannya kegiatan belajar-mengajar agama. Keterangan
mengenai Candi Kalasan dimuat dalam Prasasti Kalasan yang ditulis pada tahun Saka 700
(778 M). Prasasti tersebut ditulis dalam bahasa Sanskerta menggunakan huruf pranagari.
Dalam Prasasti Kalasan diterangkan bahwa para penasehat keagamaan Wangsa Syailendra
telah menyarankan agar Maharaja Tejapurnama Panangkarana mendirikan bangunan suci
untuk memuja Dewi Tara dan sebuah biara untuk para pendeta Buddha. Menurut prasasti Raja
Balitung (907 M), yang dimaksud dengan Tejapurnama Panangkarana adalah Rakai
Panangkaran,  putra Raja Sanjaya dari Kerajaan Mataram Hindu.

Rakai Panangkaran kemudian menjadi raja Kerajaan Mataram


Hindu yang kedua. Selama kurun waktu 750-850 M kawasan
utara Jawa Tengah dikuasai oleh raja-raja dari Wangsa Sanjaya
yang beragama Hindu dan memuja Syiwa. Hal itu terlihat dari
karakter candi-candi yang dibangun di daerah tersebut. Selama
kurun waktu yang sama Wangsa Syailendra yang beragama
Buddha aliran Mahayana yang sudah condong ke aliran
Tantryana berkuasa di bagian selatan Jawa Tengah. Pembagian
kekuasaan tersebut berpengaruh kepada karakter candi-candi
yang dibangun di wilayah masing-masing pada masa itu.
Kedua Wangsa tersebut akhirnya dipersatukan melalui pernikahan Rakai Pikatan Pikatan (838
- 851 M) dengan Pramodawardhani, Putra Maharaja Samarattungga dari Wangsa Syailendra.

Untuk membangun bangunan suci bagi Dewi Tara, Rakai Panangkaran menganugerahkan
Desa Kalasan dan untuk membangun biara yang diminta para pendeta Buddha. Diperkirakan
bahwa candi yang dibangun untuk memuja Dewi Tara adalah Candi Kalasan, karena di dalam
candi ini semula terdapat patung Dewi Tara, walaupun patung itu sudah tidak berada di
tempatnya. Sementara itu, yang dimaksud dengan biara tempat para pendeta Buddha, menurut
dugaan, adalah Candi Sari yang memang letaknya tidak jauh dari Candi Kalasan. Berdasarkan
tahun penulisan Prasasti Kalasan itulah diperkirakan bahwa tahun 778 Masehi merupakan
tahun didirikannya Candi Kalasan.

Menurut pendapat beberapa ahli purbakala, Candi kalasan ini telah


mengalami tiga kali pemugaran. Sebagai bukti, terlihat adanya 4
sudut kaki candi dengan bagian yang menonjol. Selain itu yang terdapat torehan yang dibuat
untuk keperluan pemugaran pada tahun 1927 sampai dengan 1929 oleh Van Romondt,
seorang arkeolog Belanda. Sampai saat ini Candi Kalasan masih digunakan sebagai tempat
pemujaan bagi penganut ajaran Buddha, terutama aliran Buddha Tantrayana dan pemuja Dewi
Tara.

Bangunan candi diperkirakan berada pada ketinggian sekitar


duapuluh meter diatas permukaan tanah, sehingga tinggi
keseluruhan bangunan candi mencapai 34 m.  Candi Kalasan
berdiri diatas alas berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 45x45
m yang membentuk selasar di sekeliling candi. Di setiap sisi
terdapat tangga naik ke emperan candi yang dihiasi sepasang
kepala naga pada kakinya. Di hadapan anak tangga terbawah
terdapat hamparan lantai dari susunan batu. Di depannya kaki
tangga dipasang lempengan batu yang tipis dan halus dengan
bentuk berlekuk-lekuk.

Bangunan candi secara keseluruhan berbentuk empat persegi panjang berukuran 34x 45 m,
terdiri atas ruang utama yang berbentuk bujur sangkar dan bilik-bilik yang menjorok keluar di
tengah keempat sisinya. Dinding di sekeliling kaki candi dihiasi dengan pahatan bermotif
kumuda, yaitu daun kalpataru yang keluar dari sebuah jambangan bulat.

Candi Kalasan memiliki 4 buah pintu yang terletak di keempat sisi, namun hanya pintu di sisi
timur dan barat yang mempunyai tangga untuk mencapai pintu dan hanya pintu di sisi timur
yang merupakan pintu masuk ke ruang utama di tengah candi. Dilihat dari letak pintu
utamanya tersebut dapat dikatakan bahwa Candi Kalasan menghadap ke timur. Di sepanjang
dinding candi terdapat cekungan-cekungan yang berisis berbagai arca, walaupun tidak semua
arca masih berada di tempatnya. Diatas semua pintu dan cekungan selalu dihiasi dengan
pahatan bermotif Kala. Tepat di atas ambang pintu, di bawah pahatan Kalamakara, terdapat
hiasan kecil berupa wanita bersila memegang benda di kedua belah tangannya. Relung-relung
di sisi kiri dan kanan atas pintu candi dihiasi dengan sosok  dewa dalam posisi berdiri
memegang bunga teratai.

Bagian  atas tubuh candi berbentuk kubus yang melambangkan


puncak Meru, dikelilingi oleh 52 stupa setinggi, rata-rata, 4,60
m.Sepanjang batas antara atap dan tubuh candi dihiasi dengan
deretan makhluk kerdil yang disebut Gana.

Atap candi ini berbentuk segi delapan dan bertingkat


dua. Tingkat pertama dihiasi dengan relung-relung
berisi arca Budha Manusi Budha, sedangkan tingkat
ke dua dihiasi dengan relung-relung berisi arca
Dhayani Budha. Puncak candi sesungguhnya berbentuk stupa, tetapi sampai saat
ini belum berhasil direkonstruksi kembali karena banyak batu asli yang tidak di
temukan. Bila dilihat dari dalam, puncak atap terlihat seperti rongga dari susunan
lingkaran dari batu yang semakin ke atas semakin menyempit.
Ruang utama candi berbentuk bujur sangkar dan mempunyai pintu masuk di sisi timur. Di
dalam ruangan tersebut terdapat susunan batu bertingkat yang dahulu merupakan tempat
meletakkan patung Dewi Tara. Diperkirakan bahwa patung tersebut terbuat dari perunggu
setinggi sekitar enam meter. Menempel pada dinding barat, di belakang susunan batu tersebut
terdapat semacam altar pemujaan.
Candi Lumbung
Candi Lumbung terletak beberapa ratus meter di sebelah Selatan
Candi Sewu. Candi ini sudah masuk dalam wilayah Kabupaten
Klaten, Surakarta. Tidak jelas apakah nama Lumbung memang
merupakan nama candi ini atau nama itu hanya merupakan
sebutan masyarakat di sekitarnya karena bentuknya yang mirip
lumbung (bangunan tempat penyimpanan padi). Bangunan suci
Buddha ini merupakan gugus candi yang terdiri atas 17
bangunan, yaitu satu candi utama yang terletak di pusat,
dikelilingi oleh 16 candi perwara. Halaman komples Candi Lumbung ini ditutup hamparan
batu andesit.

Candi utama, yang sendiri saat ini sudah tinggal reruntuhan,


berbentuk poligon bersisi 20 dengan denah dasar seluas 350
m2. Tubuh candi berdiri di atas batur setinggi sekitar 2,5 m.
Tangga dan pintu masuk terletak di sisi timur. Pintu masuk
dilengkapi bilik penampil dan lorong menuju ruang dalam
tubuh candi. Bagian luar dinding di keempat sisi dihiasi
pahatan-pahatan gambar lelaki dan perempuan dalam ukuran
yang hampir sama dengan kenyataan. Gambar pada dinding
yang mengapit pintu masuk adalah Kuwera dan Hariti.

Pada dinding luar di sisi utara, barat dan selatan terdapat relung
tempat meletakkan arca Dhyani Buddha. Jumlah relung pada
masing-masing sisi adalah 3 buah, sehingga jumlah keseluruhan
adalah 9 buah, Saat ini tak satupun relung yang berisi arca. Atap
candi utama sudah hancur, namun diperkirakan berbentuk stupa
dengan ujung runcing, mirip atap candi perwara. Di sekeliling
halaman candi utama terdapat pagar yang saat ini tinggal
reruntuhan.

Candi perwara yang berjumlah 16 buah


berbaris mengelilingi candi utama. Seluruh
candi perwara menghadap ke arah candi
utama. Masing-masing candi perwara
berdiri di atas batur setinggi sekitar 1 m
dengan denah dasar sekitar 3 m2. Dinding
tubuh candi polos tanpa hiasan. Di sisi
timur, tepat di depan pintu, terdapat tangga
yang dilengkapi dengan pipi tangga. Di atas ambang pintu terdapat Kalamakara tanpa rahang
bawah.

Atap candi perwara berbentuk kubus bersusun dengan puncak stupa. Setiap sudut kubus
dihiasi dengan stupa kecil. Di ruang dalam tubuh candi perwara terdapat batu mirip tatakan
arca yang disusun berjajar.
Candi Mendut
Candi Mendut terletak di Desa Mendut, Kecamatan Mungkid,
Kabupaten Magelang, Jawa barat, sekitar 38 km ke arah barat
laut dari Yogyakarta. Lokasinya hanya sekitar 3 km dari
Candi Borobudur. Candi Buddha ini diperkirakan mempunyai
kaitan erat dengan Candi Pawon dan Candi Mendut. Ketiga
candi tersebut terletak pada satu garis lurus arah utara-selatan.

Belum didapatkan kepastian mengenai kapan Candi Mendut


dibangun, namun J.G. de Casparis menduga bahwa Candi
Mendut dibangun oleh raja pertama dari wangsa Syailendra
pada tahun 824 M. Dugaan tersebut didasarkan pada isi Prasasti Karangtengah (824 M), yang
menyebutkan bahwa Raja Indra telah membuat bangunan suci bernama Wenuwana. Casparis
mengartikan Wenuwana (hutan bambu) sebagai Candi Mendut. Diperkirakan usia candi
Mendut lebih tua daripada usia Candi Borobudur.

Candi ini pertama kali ditemukan kembali pada tahun 1836.


Seluruh bangunan candi Mendut diketemukan, kecuali bagian
atapnya. Pada tahun 1897-1904, pemerintah Hindia Belanda
melakukan uapaya pemugaran yang pertama dengan hasil yang
cukup memuaskan walaupun masih jauh dari sempurna. Kaki
dan tubuh candi telah berhasil direkonstruksi. Pada tahun 1908,
Van Erp memimpin rekonstruksi dan pemugaran kembali Candi
Mendut, yaitu dengan menyempurnakan bentuk atap, memasang
kembali stupa-stupa dan memperbaiki sebagian puncak atap.
Pemugaran sempat terhenti karena ketidaktersediaan dana, namun dilanjutkan kembali  pada
tahun 1925.

Candi Mendut memiliki denah dasar berbentuk segi empat. Tinggi


bangunan seluruhnya 26,40 m. Tubuh candi Buddha ini berdiri di atas
batur setinggi sekitar 2 m. Di permukaan batur terdapat selasar yang
cukup lebar dan dilengkapi dengan langkan. Dinding kaki candi dihiasi
dengan 31 buah panel yang memuat berbagai relief cerita, pahatan bunga
dan sulur-suluran yang indah.

Di beberapa tempat di sepanjang dinding luar langkan terdapat jaladwara


atau saluran untuk membuang air dari selasar. Jaladwara terdapat di
kebanyakan candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta, seperti di Candi
Borobudur, Candi Banyuniba, Candi Prambanan dan di Situs Ratu Baka. Jaladwara di setiap
candi memiliki bentuk yang berbeda-beda.

Tangga menuju selasar terletak di sisi barat, tepat di depan pintu masuk ke ruangan dalam
tubuh candi. Pintu masuk ke ruangan dalam tubuh candi dilengkapi dengan bilik penampil
yang menjorok keluar. Atap bilik penampil sama tinggi dan menyatu dengan atap tubuh candi.
Tidak terdapat gapura atau bingkai pintu pada dinding depan bilik penampil. Bilik itu sendiri
berbentuk lorong dengan langit-langit berbentuk rongga memanjang dengan penampang segi
tiga.
Dinding pipi tangga dihiasi dengan beberapa panil berpahat yang menggambarkan berbagai
cerita yang mengandung ajaran Buddha. Pangkal pipi tangga dihiasi dengan sepasang kepala
naga yang mulutnya sedang menganga lebar, sementara di dalam mulutnya terdapat seekor
binatang yang mirip singa. Di bawah kepala naga terdapat panil begambar makhluk kerdil
mirip Gana.

Atap candi itu terdiri dari tiga kubus yang disusun makin ke atas makin kecil, mirip atap
candi-candi di Komplek Candi Dieng dan Gedongsanga. Di sekeliling kubus-kubus tersebut
dihiasi dengan 48 stupa kecil. Puncak atap sudah tidak tersisa sehingga tidak diketahui lagi
bentuk aslinya.

Dinding dalam bilik penampil dihiasi dengan relief Kuwera atau Avataka dan relief Hariti.
Relief Kuwera terpahat di dinding utara, relief Hariti terpahat di dinding selatan. Kuwera
adalah seorang raksasa pemakan manusia yang bertobat setelah bertemu dengan Buddha. Ia
berubah menjadi dewa kekayaan dan pelindung anak-anak. Kuwera mempunyai seorang istri
bernama Hariti, yang semula adalah juga seorang raksasa pemakan manusia. Sebagaimana
halnya suaminya, Hariti bertobat setelah bertemu Buddha dan kemudian menjadi pelindung
anak-anak. Relief Kuwera dan Hariti terdapat di banyak candi Buddha Tantrayana, seperti di
Candi Sewu, Candi Banyuniba dan Candi Kalasan.

Dalam relief itu digambarkan Kuwera sedang duduk di atas


sebuah bangku. Di sekelilingnya tampak sejumlah anak
sedang bermain-main. Di bawah tempat duduk laki-laki
tersebut terdapat pundi-pundi berisi uang. Pundi-pundi berisi
uang merupakan ciri Kuwera sebagai dewa kekayaan. Relief
Hariti menampilkan suasana yang serupa. Hariti bersimpuh
di atas sebuah bangku sambil memangku seorang anak. Di
sekelilingnya terlihat sejumlah anak sedang bermain.

Dinding tubuh candi dihiasi dengan relief yang berkaitan


dengan kehidupan Buddha. Pada dinding selatan terdapat relief Bodhisattwa Avalokiteswara.
Sang Buddha duduk di atas padmasana (singgasana dari bunga padma) di bawah naungan
pohon kalpataru. Di sebelah kanannya Dewi Tara bersimpuh di atas padmasana dan di sebelah
kirinya seorang wanita lain juga bersimpuh di atas padmasana. Agak ke atas, di kiri dan kanan
tampak seperti dua gumpalan awan. Dalam masing-masing gumpalan tampak sosok seorang
pria sedang membaca kitab. Di tepi kiri dan kanan digambarkan pilar dari batu yang disusun
bertumpuk. Di puncak pilar terlihat Gana dalam posisi berjongkok sambil menyangga sesuatu.
Di hadapan Sang Buddha ada sebuah kolam yang dipenuhi dengan bunga teratai. Air kolam
berasal dari air mata Buddha yang menetes karena kesedihannya memikirkan kesengsaraan
umat manusia di dunia. Tepat di hadapan Buddha, terlihat
dua orang perempuan muncul dari sela-sela teratai di kolam.

Pada dinding timur terpahat relief Bodhisatwa. Dalam relief


ini Sang Buddha yang digambarkan sebagai sosok
bertangan empat sedang berdiri di atas tempat yang
bentuknya mirip lingga. Pakaian yang dikenakan adalah
pakaian kebesaran kerajaan. Di sekeliling kepalanya memancar sinar kedewaan. Tangan kiri
belakang memegang kitab, tangan kanan sebelah belakang memegang tasbih, kedua tangan
depan menggambarkan sikap varamudra, yaitu Buddha bersila dengan sikap tangan memberi
anugrah. Di sebelah kirinya setangkai bunga teratai yang keluar dari dalam bejana.

Pada dinding sisi utara terpahat relief yang menggambarkan Dewi Tara sedang duduk di atas
padmasana, diapit dua orang lelaki. Dalam relief ini Tara digambarakan sebagai dewi
bertangan delapa. Keempat tangan kiri masing-masing memegang tiram, wajra, cakra, dan
tasbih, sedangkan keempat tangan kanan masing-masing memegang sebuah cawan, kapak,
tongkat, dan kitab.

Pada dinding barat (depan), di sebelah


utara pintu masuk, terdapat relief
Sarwaniwaranawiskhambi.
Sarwaniwaranawiskhambi digambarkan
sedang berdiri di bawah sebuah payung.
Busana yang dipakainya adalah busana
kebesaran kerajaan.

Di ruangan yang cukup luas dalam


tubuh Candi Mendut terdapat 3 buah
Arca Buddha. Tepat mengadap pintu terdapat Buddha Sakyamuni, yaitu Buddha sedang
berkhotbah. Buddha digambarkan dalam posisi duduk dengan sikap tangan
dharmacakramudra, yaitu sikap sedang mewejangkan ajaran.

Di sebelah kanan, menghadap ke


selatan, terdapat Arca Bodhisattva
Avalokiteswara, yaitu Buddha sebagai
penolong manusia. Buddha
digambarakan dalam posisi duduk
dengan kaki kiri terlipat dan kaki kanan
menjuntai ke bawah. Telapak kaki
kanan menumpang pada bantalan teratai
kecil. Di sebelah kiri ruangan,
menghadap ke utara, terdapat Arca Maitreya yaitu Bodhisatwa pembebas manusia yang
sedang duduk dengan sikap tangan simhakarnamudra, mirip sikap vitarkamudra namun jari-
jarinya tertutup. Ketiga arca dalam ruangan ini memakai dilengkapi dengan 'prabha" atau
sinar kedewaan di sekeliling kepalanya.

Di sudut selatan, di halaman samping Candi Mendut terdapat batu-batu reruntuhan yang
sedang diidentifikasi dan dicoba untuk direkonstruksi.
Candi Pawon
Candi Pawon terletak di Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur,
Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah. Candi yang mempunyai
nama lain Candi Brajanalan ini lokasinya sekitar 2 km ke arah timur
laut dari Candi Barabudhur dan 1 km ke arah tenggara dari Candi
Mendut. Letak Candi Mendut, Candi Pawon dan Candi Barabudhur
yang berada pada satu garis lurus mendasari dugaan bahwa ketiga candi
Buddha tersebut mempunyai kaitan yang erat. Selain letaknya,
kemiripan motif pahatan di ketiga candi tersebut juga mendasari adanya
keterkaitan di antara ketiganya. Poerbatjaraka, bahkan berpendapat
bahwa candi Pawon merupakan upa angga (bagian dari) Candi
Barabudhur.

Menurut Casparis, Candi Pawon merupakan tempat penimpanan abu jenazah Raja Indra ( 782
- 812 M ), ayah Raja Samarrattungga dari Dinasti Syailendra. Nama "Pawon" sendiri, menurut
sebagian orang, berasal dari kata pawuan  yang berarti tempat menyimpan awu (abu). Dalam
ruangan di tubuh Candi Pawon, diperkirakan semula terdapat Arca Bodhhisatwa, sebagai
bentuk penghormatan kepada Raja Indra yang dianggap telah mencapai tataran Bodhisattva,
maka dalam candi ditempatkan arca Bodhisatwva. Dalam Prasasti
Karang Tengah disebutkan bahwa arca tersebut mengeluarkan wajra
(sinar). Pernyataan tersebut menimbulkan dugaan bahwa arca
Bodhisattwa tersebut dibuat dari perunggu.

Batur candi setinggi sekitar 1,5 m berdenah dasar persegi empat,


namun tepinya dibuat berliku-liku membentuk 20 sudut. Dinding batur
dihiasi pahatan dengan berbagai motif, seperti bunga dan sulur-
suluran. Berbeda dengan candi Buddha pada umumnya, bentuk tubuh
Candi Pawon ramping seperti candi Hindu.

Pintu masuk ke ruangan dalam tubuh candi terletak di sisi barat. Di


atas ambang pintu terdapat hiasan Kalamakara tanpa rahang
bawah.Tangga menuju selasar dilengkapi dengan pipi tangga dengan pahatan pada dinding
luarnya. Hiasan kepala naga di pangkal pipi tangga sudah rusak. Ruangan dalam tubuh candi
saat ini berada dalam keadaan kosong, namun pada lantai terlihat bekas yang menunjukkan
bahwa tadinya terdapat arca di tempat tersebut.

Pada dinding depan candi, di sebelah utara dan selatan pintu masuk,
terdapat relung yang berisi pahatan yang menggambarkan Kuwera
(Dewa Kekayaan) dalam posisi berdiri. Pahatan yang terdapat di selatan
pintu sudah rusak sehingga tidak terlihat lagi wujud aslinya. Pahatan
yang di utara pintu relatif masih utuh, hanya bagian kepala saja yang
sudah hancur.

Pada dinding utara dan selatan candi terdapat relief


yang sama, yaitu yang menggambarkan Kinara dan
Kinari, sepasang burung berkepala manusia, berdiri
mengapit pohon kalpataru yang tumbuh dalam
sebuah jambangan. Di sekeliling pohon terletak
beberapa pundi-pundi uang. Di langit tampak sepasang manusia yang
sedang terbang. Di bagian atas dinding terdapat sepasang jendela kecil yang
berfungsi sebagai ventilasi. Di antara kedua lubang ventilasi tersebut
terdapat pahatan kumuda.
Atap candi berbentuk persegi bersusun dengan hiasan beberapa dagoba (kubah) kecil di
masing-masing sisinya. Puncak atap dihiasi dengan sebuah dagoba yang lebih besar.
Candi Prambanan
Candi Prambanan terletak di lingkungan Taman
Wisata Prambanan, kurang lebih 17 km ke arah timur
dari Yogyakarta, tepatnya di Desa Prambanan
Kecamatan Bokoharjo. Lokasinya hanya sekitar 100
m dari jalan raya Yogya-Solo, sehingga tidak sulit
untuk menemukannya. Sebagian dari kawasan wisata
yang yang terletak pada ketinggian 154 m di atas
permukaan laut ini termasuk dalam wilayah
Kabupaten Sleman. sedangkan sebagian lagi masuk
dalam wilayah Klaten.

Candi Prambanan merupakan candi Hindu yang


terbesar di Indonesia. Sampai saat ini belum dapat dipastikan kapan candi ini dibangun dan
atas perintah siapa, namun kuat dugaan bahwa Candi Prambanan dibangun sekitar
pertengahan abad ke-9 oleh raja dari Wangsa Sanjaya, yaitu Raja Balitung Maha Sambu.
Dugaan tersebut didasarkan pada isi Prasasti Siwagrha yang ditemukan di sekitar Prambanan
dan saat ini tersimpan di Museum Nasional di Jakarta. Prasasti berangka tahun 778 Saka (856
M) ini ditulis pada masa pemerintahan Rakai Pikatan.

Pemugaran Candi Prambanan memakan waktu yang sangat panjang, seakan tak pernah
selesai. Penemuan kembali reruntuhan bangunan yang terbesar, yaitu Candi Syiwa, dilaporkan
oleh C.A. Lons pada tahun 1733. Upaya penggalian dan pencatatan pertama dilaksanakan di
bawah pengawasan Groneman. Penggalian diselesaikan pada tahun 1885, meliputi
pembersihan semak belukar dan pengelompokan batu-batu reruntuhan candi.

Pada tahun 1902, upaya tersebut dilanjutkan kembali oleh van Erp. Pengelompokan dan
identifikasi batu-batu reruntuhan dilaksanakan secara lebih rinci. Pada tahun 1918, pemugaran
terhadap Candi Prambanan dilanjutkan kembali di bawah pengawasan Dinas Purbakala
(Oudheidkundige Dienst) yang dipimpin oleh P.J. Perquin. Melalui upaya ini, sebagian dari
reruntuhan Candi Syiwa dapat direkonstruksi kembali. 
Pada tahun 1926, dibentuk sebuah panitia pemugaran di bawah pimpinan De Haan untuk
melanjutkan upaya yang telah dilaksanakan Perquin. Di bawah pengawasan panitia ini, selain
pembangunan kembali Candi Syiwa semakin disempurnakan hasilnya, dimulai juga persiapan
pembangunan Candi Apit.

Pada tahun 1931, De Haan meninggal dan digantikan oleh V.R. van Romondt. Pada tahun
1932, pemugaran kedua Candi Apit berhasil dirampungkan. Pemugaran terpaksa dihentikan
pada tahun 1942, ketika Jepang mengambil alih pemerintahan di Indonesia.  Setelah melalui
proses panjang dan tersendat-sendat akibat perang dan peralihan pemerintahan, pada tahun
1953 pemugaran Candi Syiwa dan dua Candi Apit
dinyatakan selesai. Sampai saat ini, pemugaran
Candi Prambanan masih terus dilaksanakan secara
bertahap.

Denah asli Candi Prambanan berbentuk persegi


panjang, terdiri atas halaman luar dan tiga pelataran,
yaitu Jaba (pelataran luar), Tengahan (pelataran
tengah) dan Njeron (pelataran dalam). Halaman luar
merupakan areal terbuka yang mengelilingi
pelataran luar. Pelataran luar berbentuk bujur
dengan luas 390 m2. Pelataran ini dahulu dikelilingi
oleh pagar batu yang kini sudah tinggal reruntuhan.
Pelataran luar saat ini hanya merupakan pelataran kosong. Belum diketahui apakah semula
terdapat bangunan atau hiasan lain di pelataran ini.
Di tengah pelataran luar, terdapat pelataran kedua, yaitu pelataran tengah yang berbentuk
persegi panjang seluas 222 m2. Pelataran tengah dahulu juga dikelilingi pagar batu yang saat
ini juga sudah runtuh. Pelataran ini terdiri atas empat teras berundak, makin ke dalam makin
tinggi. Di teras pertama, yaitu teras yang terbawah, terdapat 68 candi kecil yang berderet
berkeliling, terbagi dalam empat baris oleh jalan penghubung antarpintu pelataran. Di teras
kedua terdapat 60 candi, di teras ketiga terdapat 52 candi, dan di teras keempat, atau teras
teratas, terdapat 44 candi. Seluruh candi di pelataran tengah ini mempunyai bentuk dan
ukuran yang sama, yaitu luas denah dasar 6 m2 dan tinggi 14 m.  Hampir semua candi di
pelataran tengah tersebut saat ini dalam keadaan hancur. Yang tersisa hanya reruntuhannya
saja.

Pelataran dalam, merupakan pelataran yang paling tinggi letaknya dan yang dianggap sebagai
tempat yang paling suci. Pelataran ini berdenah persegi empat seluas 110 m2, dengan tinggi
sekitar 1,5 m dari permukaan teras teratas pelataran tengah. Pelataran ini dikelilingi oleh turap
dan pagar batu. Di keempat sisinya terdapat gerbang berbentuk gapura paduraksa. Saat ini
hanya gapura di sisi selatan yang masih utuh. Di depan masing-masing gerbang pelataran
teratas terdapat sepasang candi kecil, berdenah dasar bujur sangkar seluas 1, 5 m2 dengan
tinggi 4 m.

Di pelataran dalam terdapat 2 barisan candi yang membujur arah utara selatan. Di barisan
barat terdapat 3 buah candi yang menghadap ke timur. Candi yang letaknya paling utara
adalah Candi Wisnu, di tengah adalah Candi Syiwa, dan di selatan adalah Candi Brahma. Di
barisan timur juga terdapat 3 buah candi yang menghadap ke barat. Ketiga candi ini disebut
candi wahana (wahana = kendaraan), karena masing-masing candi diberi nama sesuai dengan
binatang yang merupakan tunggangan dewa yang candinya terletak di hadapannya.

Candi yang berhadapan dengan Candi Wisnu adalah Candi Garuda, yang berhadapan dengan
Candi Syiwa adalah Candi Nandi (lembu), dan yang berhadapan dengan Candi Brahma adalah
Candi Angsa. Dengan demikian, keenam candi ini saling berhadapan membentuk lorong.
Candi Wisnu, Brahma, Angsa, Garuda dan Nandi mempunyai bentuk dan ukuran yang sama,
yaitu berdenah dasar bujur sangkar seluas 15 m2 dengan tinggi 25 m. Di ujung utara dan
selatan lorong masing-masing terdapat sebuah candi kecil yang saling berhadapan, yang
disebut Candi Apit.

CANDI SYIWA

Pada saat ditemukan, Candi Syiwa berada dalam kondisi rusak


berat. Pemugarannya memakan waktu yang cukup lama, yaitu
dimulai pada tahun 1918 dan baru selesai pada tahun
1953. Dinamakan Candi Syiwa karena di dalam candi ini terdapat
Arca Syiwa. Candi Syiwa dikenal juga dengan nama Candi Rara
Jonggrang, karena dalam salah satu ruangannya terdapat Arca
Durga Mahisasuramardani, yang sering disebut sebagai Arca Rara
Jonggrang. Tubuh candi berdiri di atas batur setinggi sekitar 2,5
m.  Candi Syiwa, yang terletak di tengah barisan barat, merupakan
candi terbesar. Denah dasarnya berbentuk bujur sangkar seluas 34
m2 dengan tinggi 47 m.
Sepanjang dinding kaki candi dihiasi dengan pahatan dua macam hiasan yang letaknya
berselang-seling. Yang pertama adalah gambar seekor singa yang berdiri di antara dua pohon
kalpataru. Hiasan ini terdapat di semua sisi kaki Candi Syiwa dan kelima candi besar lainnya.

Pada dinding kaki di sisi utara dan selatan Candi Syiwa, hiasan
singa di atas diapit dengan panil yang memuat pahatan sepasang
binatang yang sedang berteduh di bawah sebatang pohon
kalpataru yang tumbuh dalam jambangan. Berbagai binatang
yang digambarkan di sini, di antaranya: kera, merak, kijang,
kelinci, kambing, dan anjing. Di atas setiap pohon bertengger
dua ekor burung.

Pada sisi-sisi lain dinding kaki candi, baik kaki Candi Syiwa
maupun candi besar lainnya, panil bergambar binatang ini diganti
dengan panil ber gambar kinara-kinari, sepasang burung berkepala
manusia, yang juga sedang berteduh di bawah pohon kalpataru.

Tangga untuk naik ke permukaan batur terletak di sisi timur.


Tangga atas ini dilengkapi dengan pipi tangga yang dindingnya dihiasi dengan pahatan sulur-
suluran dan binatang. Pangkal pipi tangga dihiasi pahatan kepala naga yang menganga lebar
dengan sosok dewa dalam mulutnya. Di kiri dan kanan tangga terdapat candi kecil yang
beratap runcing dengan pahatan Arca Syiwa di keempat sisi tubuhnya.

Di puncak tangga terdapat gapura paduraksa menuju lorong di permukaan batur. Di atas
ambang gapura terdapat pahatan Kalamakara yang indah. Di balik gapura terdapat sepasang
candi kecil yang mempunyai relung di tubuhnya. Relung tersebut berisi Arca Mahakala dan
Nandiswara, dewa-dewa penjaga pintu.

Di permukaan batur terdapat selasar selebar sekitar 1 m yang


mengelilingi tubuh candi. Selasar ini dilengkapi dengan
pagar atau langkan, sehingga bentuknya mirip sebuah lorong
tanpa atap. Lorong berlangkan ini berbelok-belok menyudut, membagi dinding candi menjadi
6 bagian.  Sepanjang dinding tubuh candi dihiasi deretan pahatan Arca Lokapala. Lokapala
adalah dewa-dewa penjaga arah mata angin, seperti Bayu, Indra, Baruna, Agni dan Yama.

Sepanjang sisi dalam dinding langkan terpahat relief Ramayana. Cerita Ramayana ini
dipahatkan searah jarum jam, dimulai dari adegan Wisnu yang diminta turun ke bumi oleh
para raja guna mengatasi kekacuan yang diperbuat oleh Rahwana dan diakhiri dengan adegan
selesainya pembangunan jembatan melintas samudera menuju Negara Alengka. Sambungan
cerita Ramayana terdapat dinding dalam langkan Candi Brahma.

Di atas dinding langkan berderet hiasan ratna. Di bawah


ratna, pada sisi luar dinding langkan, terdapat relung kecil
dengan hiasan Kalamakara di atasnya. Dalam relung terdapat
2 motif pahatan yang ditampilkan berselang-seling, yaitu
gambar 3 orang yang berdiri sambil berpegangan tangan dan
3 orang yang sedang memainkan berbagai jenis alat musik.

Pintu masuk ke ruangan-ruangan dalam tubuh


candi terdapat di teras yang lebih tinggi lagi.
Untuk mencapai teras atas, terdapat tangga di depan masing-masing pintu
ruangan. Dalam tubuh candi terdapat empat ruangan yang mengelilingi ruangan
utama  yang terletak di tengah tubuh candi. Jalan masuk ke ruangan utama
adalah melalui ruang yang menghadap ke timur. Ruangan ini ruangan kosong
tanpa arca atau hiasan apapun. Pintu masuk ke ruang utama letaknya segaris
dengan pintu masuk ke ruang timur. Ruang utama ini disebut Ruang Syiwa
karena di tengah ruangan terdapat Arca Syiwa Mahadewa, yaitu Syiwa dalam
posisi berdiri di atas teratai dengan satu tangan terangkat di depan dada dan
tangan lain mendatar di depan perut. Arca Syiwa tersebut terletak di atas umpak
(landasan) setinggi sekitar 60 cm, berbentuk yoni dengan saluran pembuangan
air di sepanjang tepi permukaannya. Konon Arca Syiwa ini menggambarkan
Raja Balitung dari Mataram Hindu (898 - 910 M) yang dipuja sebagai Syiwa.

Tidak terdapat pintu penghubung antara Ruang Syiwa dengan ketiga


ruang di sisi lain. Ruang utara, barat, dan selatan memiliki pintu
sendiri-sendiri yang terletak tepat di depan tangga naik ke teras atas.
Dalam ruang utara terdapat Arca Durga Mahisasuramardini, yaitu
Durga sebagai dewi kematian, yang menggambarkan permaisuri Raja
Balitung. Durga digambarkan sebagai dewi bertangan delapan dalam
posisi berdiri di atas Lembu Nandi menghadap ke Candi Wisnu. Satu
tangan kanannya dalam posisi bertelekan pada sebuah gada,
sedangkan ketiga tangan lainnya masing-masing memegang anak
panah, pedang dan cakram. Satu tangan kirinya memegang kepala
Asura, raksasa kerdil yang berdiri di atas kepala mahisa (lembu),
sedangkan ketiga tangan lainnya memegang busur, perisai dan
bunga. Arca Durga ini oleh masyarakat sekitar disebut juga Arca
Rara Jonggrang, karena arca ini diyakini sebagai penjelmaan Rara Jonggrang. Rara Jonggrang
adalah putri raja dalam legenda setempat, yang dikutuk menjadi arca oleh Bandung
Bandawasa.
Dalam ruang barat terdapat Arca Ganesha dalam posisi bersila di
atas padmasana (singgasana bunga teratai) dengan kedua telapak
kaki saling bertemu. Kedua telapak tangan menumpang di lutut
dalam posisi tengadah, sementara belalainya tertumpang dilengan
kiri. Arca Ganesha ini menggambarkan putra mahkota Raja
Balitung. selempang di bahu menunjukkan bahwa ia juga seorang
panglima perang.

Dalam ruang selatan terdapat Arca


Agastya atau Syiwa Mahaguru. Arca ini
meliliki postur tubuh agak gemuk dan berjenggot. Syiwa Mahaguru
digambarkan dalam posisi berdiri menghadap ke Candi Brahma di
selatan dengan tangan kanan memegang tasbih sdan tangan kiri
memegang sebuah kendi. Di belakangnya, di sebelah kiri terdapat
pengusir lalat dan di sebelah kanan terdapat trisula. Konon Arca
Syiwa Mahaguru ini menggambarkan seorang pendeta penasihat
kerajaan.

CANDI WISNU

Candi Wisnu terdapat di sebelah utara Candi Syiwa. Tubuh


candi berdiri di atas batur yang membentuk selasar
berlangkan. Tangga untuk naik ke permukaan batur terletak
di sisi timur. Di sepanjang dinding tubuh candi berderet panil
dengan pahatan yang menggambarkan Lokapala.

Sepanjang dinding dalam langkan dihiasi seretan panil yang


memuat relief Krisnayana. Krisnayana adalah kisah
kehidupan Krisna sejak ia
dilahirkan sampai ia
berhasil menduduki tahta Kerajaaan Dwaraka.

Di atas dinding langkan berderet hiasan ratna. Di bawah


ratna, pada sisi luar dinding langkan, terdapat relung kecil
dengan hiasan Kalamakara di atasnya. Dalam relung
terdapat pahatan yang menggambarkan Wisnu sebagai
pendeta yang sedang duduk dengan berbagai posisi tangan.

Candi Wisnu hanya mempunyai 1 ruangan dengan satu pintu yang


menghadap ke timur. Dalam ruangan tersebut, terdapat Arca Wisnu
dalam posisi berdiri di atas 'umpak' berbentuk yoni. Wisnu
digambarkan sebagai dewa bertangan 4. Tangan kanan belakang
memegang Cakra (senjata Wisnu) sedangkan tangan kiri
memegang tiram. Tangan kanan depan memegang gada dan tangan kiri memegang setangkai
bunga teratai.

CANDI BRAHMA

Candi Brahma letaknya di sebelah selatan Candi Siwa. Tubuh candi berdiri di atas batur yang
membentuk selasar berlangkan. Di sepanjang dinding tubuh candi berderet panil dengan
pahatan yang menggambarkan Lokapala.

Sepanjang dinding dalam langkan dihiasi seretan panil yang memuat kelanjutan cerita
Ramayana di dinding dalam langkan Candi Syiwa. Penggalan cerita Ramayana di Candi
Brahma ini mengisahkan peperangan Rama dibantu adiknya, Laksmana, dan bala tentara kera
melawan Rahwana sampai pada Sinta pergi mengembara ke hutan setelah diusir oleh Rama
yang meragukan kesuciannya. Sinta melahirkan putranya di hutan di bawah lindungan
seorang pertapa.

Di atas dinding langkan berderet hiasan ratna. Di bawah ratna, menghadap ke luar, terdapat
relung kecil dengan hiasan Kalamakara di atasnya. Dalam relung terdapat pahatan yang
menggambarkan Brahma sebagai pendeta yang sedang duduk dengan berbagai posisi tangan.

Candi Brahma juga hanya mempunyai 1 ruangan dengan satu pintu


yang menghadap ke timur. Dalam ruangan tersebut, terdapat Arca
Brahma dalam posisi berdiri di atas umpak berbentuk yoni. Brahma
digambarkan sebagai dewa yang memiliki empat wajah, masing-
masing menghadap ke arah yang berbeda, dan dua pasang tangan.
Pada dahi di wajah yang menghadap ke depan terdapat mata ketiga
yang disebut 'urna'. Patung Brahma itu sebetulnya sangat indah,
tetapi sekarang sudah rusak. Dinding ruang Brahma polos tanpa
hiasan. Pada dinding di setiap sisi terdapat batu yang menonjol yang
berfungsi sebagai tempat meletakkan lampu minyak.

CANDI WAHANA

Candi Nandi. Candi ini mempunyai satu tangga masuk yang menghadap ke barat, yaitu ke
Candi Syiwa. Nandi adalah lembu suci tunggangan Dewa Syiwa. Jika dibandingkan dengan
Candi Garuda dan Candi Angsa yang berada di sebelah kanan dan kirinya, Candi Nandi
mempunyai bentuk yang sama, hanya ukurannya sedikit lebih besar dan lebih tinggi. Tubuh
candi berdiri di atas batur setinggi sekitar 2 m. Seperti yang terdapat di Candi Syiwa, pada
dinding kaki terdapat dua motif pahatan yang letaknya berselang-seling. Yang pertama
merupakan gambar singa yang berdiri di antara dua pohon kalpataru dan yang kedua
merupakan gambar sepasang binatang yang berteduh di bawah pohon kalpataru. Di atas
pohon bertengger dua ekor burung. Gambar-gambar semacam ini terdapat juga pada candi
wahana lainnya.

Candi Nandi memiliki satu ruangan dalam tubuhnya.


Tangga dan pintu masuk ke ruangan terletak di sisi barat.
Dalam ruangan terdapat Arca Lembu Nandi, kendaraan
Syiwa, dalam posisi berbaring menghadap ke barat. Dalam
ruangan tersebut terdapat juga dua arca, yaitu Arca Surya
(dewa matahari) yang sedang berdiri di atas kereta yang
ditarik oleh tujuh ekor kuda dan Arca Candra (dewa bulan)
yang sedang berdiri di atas kereta yang ditarik oleh sepuluh
ekor kuda. Dinding ruangan tidak dihias dan terdapat
sebuah batu yang menonjol pada tiap sisi dinding yang
berfungsi sebagai tempat meletakkan lampu minyak. Dinding lorong di sekeliling tubuhcandi
juga polos tanpa hiasan pahatan.

Candi Garuda.  Candi ini letaknya di utara Candi Nandi, berhadapan dengan Candi Wisnu.
Garuda merupakan burung tunggangan Wisnu. Bentuk dan hiasan pada kaki dan tangga Candi
Garuda serupa dengan yang terdapat di Candi Nandi. Walaupun dinamakan candi Garuda,
namun tidak terdapat arca garuda di ruangan dalam tubuh candi. Di lantai ruangan terdapat
Arca Syiwa dalam ukuran yang lebih kecil daripada yang terdapat di Candi Syiwa. Arca ini
diketemukan tertanam di bawah candi, dan sesungguhnya tempatnya bukan di dalam ruangan
tersebut.

Candi Angsa.  Candi ini letaknya di selatan Candi Nandi, berhadapan dengan Candi Brahma.
Angsa merupakan burung tunggangan Brahma. Ukuran, bentuk dan hiasan pada kaki dan
tangga Candi Angsa serupa dengan yang terdapat di Candi Garuda. Ruangan di dalam tubuh
candi dalam keadaan kosong. Dinding ruangan juga tidak dihias, hanya terdapat batu yang
menonjol pada dinding di setiap sisi ruangan yang berfungsi sebagai tempat meletakkan
lampu minyak.

CANDI APIT

Candi Apit merupakan sepasang candi yang saling berhadapan.


Letaknya, masing-masing, di ujung selatan dan ujung utara lorong di
antara kedua barisan candi besar. Kedua candi ini berdenah bujur
sangkar seluas 6 m2 dengan ketinggian 16 m.  tubuh candi berdiri di
atas batur setinggi sekitar 2,5 m. Tidak terdapat selasar di permukaan
kaki candi. Masing-masing mempunyai satu tangga menuju satu-
satunya ruangan dalam tubuhnya. Hanya ada hal yang istimewa
tentang candi ini, ialah ketika candi ini sudah selesai di bangun
kembali, kelihatan sangat indah.

CANDI PENJAGA

Selain keenam candi besar dan dua candi apit yang telah diuraikan di atas,
di pelataran atas masih terdapat delapan candi berukuran sangat kecil, yaitu
dengan denah dasar sekitar 1,25 m2. Empat di antaranya terletak di masing-masing sudut
latar, sedangkan empat lainnya ditempatkan di dekat gerbang masuk ke pelataran atas.

Wajah Prambanan sekarang telah terlihat cantik. Di depan


komplek candi, dibangun panggung pentas sendratari
Ramayana dan Taman Wisata Prambanan yang dapat
mempercantik wajah komplek Prambanan.

Legenda Rara Jonggrang

Dahulu kala di P. Jawa bagian tengah terdapat dua kerajaan yang saling bertetangga, yaitu
Kerajaan Pengging, yang diperintah oleh Raja Pengging, dan Kerajaan Prambanan, yang
diperintah oleh Prabu Baka. Prabu Baka berwujud raksasa yang bertubuh besar dan
mempunyai kesaktian luar biasa. Prabu Baka terkenal kejam karena, untuk mempertahankan
kesaktiannya, ia secara rutin melaksanakan upacara persembahan dengan mengurbankan
manusia. Walaupun wujudnya menyeramkan dan hatinya kejam, Prabu Baka mempunyai
seorang putri yang sangat cantik, bernama Rara Jonggrang.

Raja Pengging sudah lama merasa sedih karena rakyatnya sering mendapat gangguan dari
bala tentara Kerajaan Prambanan. Ia ingin sekali menumpas para penguasa Kerajaan
Prambanan, namun mereka terlalu kuat baginya. Untuk mencapai keinginannya, Raja
Pengging kemudian memerintahkan putranya, Raden Bandung, untuk bertapa dan memohon
kekuatan dari para dewa. Raden Bandung berhasil mendapatkan kesaktian berupa jin,
bernama Bandawasa, yang selalu patuh pada perintahnya. Sejak itu namanya diubah menjadi
Raden Bandung Bandawasa. 
Berbekal kesaktiannya itu, Raden Bandung berangkat ke Prambanan bersama bala tentara
Pengging. Setelah mengalami pertempuran yang sengit, Raden Bandung berhasil membunuh
Prabu Baka. Dengan seizin ayahandanya, Raden Bandung bermaksud mendirikan
pemerintahan yang baru di Prambanan. Ketika memasuki istana, ia bertemu dengan Rara
Jonggrang. Tak pelak lagi, Raden Bandung jatuh cinta kepada sang putri dan meminangnya.

Rara Jonggrang tidak ingin diperistri oleh pemuda pembunuh ayahnya, namun ia tidak berani
menolak secara terang-terangan. Secara halus ia mengajukan syarat bahwa, untuk dapat
memperistrinya, Raden Bandung harus sanggup membuatkan 1000 buah candi dalam waktu
semalam. Raden Bandung menyanggupi permintaan Rara Jonggrang. Segera setelah matahari
terbenam, ia pergi ke sebuah tanah lapang yang tidak jauh dari Prambanan. Ia bersemadi
memanggil Bandawasa, jin peliharaannya, dan memerintahkan jin itu untuk membangun 1000
candi seperti yang diminta oleh Rara Jonggrang.

Bandawasa kemudian mengerahkan teman-temannya, para jin, untuk membantunya


membangun candi yang diinginkan majikannya. Lewat tengah, Rara Jonggrang mengendap-
endap mendekati lapangan untuk melihat hasil kerja Raden bandung. Betapa kagetnya sang
putri melihat bahwa pekerjaan tersebut sudah hampir selesai. Secepatnya ia berlari ke desa
terdekat untuk membangunkan para gadis di desa itu. Beramai-ramai mereka memukul-
mukulkan alu (penumbuk padi) ke lesung, seolah-olah sedang menumbuk padi. Mendengar
suara orang menumbuk padi, ayam jantan di desa itu terbangun dan mulai berkokok
bersahutan.

Pada saat itu Bandawasa telah berhasil membuat 999 candi dan sedang menyelesaikan
pembangunan candi yang terakhir. Mendengar suara ayam berkokok, Bandawasa dan kawan-
kawannya segera menghentikan pekerjaannya dan menghilang karena mereka mengira fajar
telah tiba. Raden Bandung yang melihat Bandawasa dan kawan-awannya berlarian langsung
bangkit dari semadinya dan bersiap-siap menyampaikan kegagalannya kepada rara Jonggrang.
Setelah beberapa lama menunggu, Raden Bandung merasa heran karena fajar tak kunjung
tiba. Ia lalu menyelidiki keanehan yang terjadi itu.

Raden Bandung sangat marah setelah mengetahui kecurangan Rara Jonggrang. Ia lalu
mengutuk gadis itu menjadi arca. Sampai saat ini Arca Rara Jonggrang masih dapat ditemui di
Candi Rara Jonggrang yang berada di kompleks Candi Prambanan. Raden Bandung juga
mengutuk para gadis di Prambanan menjadi perawan tua karena tidak seorangpun yang mau
memperistri mereka.
Candi Ratubaka

Candi Baka terletak sekitar 3 km ke arah selatan dari Candi Prambanan atau sekitar 19
km ke arah selatan dari kota Yogyakarta. Kawasan Candi Ratu Baka yang berlokasi di
atas sebuah bukit dengan ketinggian ± 195.97 m diatas permukaan laut, meliputi dua
desa, yaitu Desa Sambirejo dan Desa Dawung.

Situs Ratu Baka sebenarnya bukan merupakan candi, melainkan reruntuhan sebuah
kerajaan. Oleh karena itu, Candi Ratu Baka sering disebut juga Kraton Ratu Baka. 
Disebut Kraton Baka, karena menurut legenda situs tersebut merupakan istana Ratu
Baka, ayah Lara Jonggrang. Kata 'kraton' berasal dari kata Ka-ra-tu-an yang berarti
istana raja. Diperkirakan situs Ratu Baka dibangun pada abad ke-8 oleh Wangsa
Syailendra yang beragama Buddha, namun kemudian diambil alih oleh raja-raja Mataram
Hindu. Peralihan 'pemilik' tersebut menyebabkan bangunan Kraton Baka dipengaruhi oleh
Hinduisme dan Buddhisme.

Kraton Ratu Baka ditemukan pertama kali oleh arkeolog Belanda, HJ De Graaf pada abad
ke-17. Pada tahun 1790 Van Boeckholtz menemukan kembali reruntuhan bangunan kuno
tersebut. Penemuannya dipublikasikan sehingga menarik minat para ilmuwan seperti
Makenzie, Junghun, dan Brumun yang melakukan pencatatan di situs tersebut pada
tahun 1814. Pada awal abad ke-20, situs Ratu Baka diteliti kembali oleh FDK Bosch. Hasil
penelitiannya dilaporkan dalam tulisan berjudul Keraton Van Ratoe Boko.  Ketika
Mackenzie mengadakan penelitian, ia menemukan sebuah patung yang menggambarkan
seorang laki-laki dan perempuan berkepala dewa sedang berpeluk-pelukan. Dan di
antara tumpukan batu juga diketemukan sebuah tiang batu bergambar binatang-
binatang, seperti gajah, kuda dan lain-lain.

Di situs Ratu Baka ditemukan sebuah prasasti berangka tahun 792 M yang dinamakan
Prasasti Abhayagiriwihara. Isi prasasti tersebut mendasari dugaan bahwa Kraton Ratu
Baka dibangun oleh Rakai Panangkaran. Prasasti Abhayagiriwihara ditulis menggunakan
huruh pranagari, yang merupakan salah satu ciri prasasti Buddha. Dalam prasasti itu
disebutkan bahwa Raja Tejapurnama Panangkarana, yang diperkirakan adalah Rakai
Panangkaran, telah memerintahkan pembangunan Abhayagiriwihara. Nama yang sama
juga disebut-sebut dalam Prasasti Kalasan (779 M), Prasati Mantyasih (907 M), dan
Prasasti Wanua Tengah III (908 M). Menurut para pakar, kata abhaya berarti tanpa
hagaya atau damai, giri berarti gunung atau bukit. Dengan demikian, Abhayagiriwihara
berarti biara yang dibangin di sebuah bukit yang penuh kedamaian.  Pada pemerintahan
Rakai Walaing Pu Kombayoni, yaitu tahun 898-908, Abhayagiri Wihara berganti nama
menjadi Kraton Walaing.

Kraton Ratu Baka yang menempati lahan yang cukup luas tersebut terdiri atas beberapa
kelompok bangunan. Sebagian besar di antaranya saat ini hanya berupa reruntuhan.

Gerbang

Gerbang masuk ke kawasan wisata Ratu Baka terletak di sisi barat. Kelompok gerbang ini
terletak di tempat yang cukup tinggi, sehingga dari tempat parkir kendaraan, orang
harus melalui jalan menanjak sejauh sekitar 100 m. Pintu masuk terdiri atas dua
gerbang, yaitu gerbang luar dan gerbang dalam. Gerbang dalam, yang ukurannya lebih
besar merupakan gerbang utama.
Gerbang luar terdiri atas 3 gapura paduraksa yang berjajar arah utara-selatan,
berhimpitan menghadap ke timur. Gapura terbesar, yang merupakan gapura utama,
terletak di antara dua gapura pengapit. Ketiga gapura tersebut terletak di teras yang
tinggi, sehingga untuk sampai ke pelataran teras orang harus menaiki dua tangga  
batu, masing-masing setinggi sekitar 2,5 m. Dinding teras diberi penguat berupa
turap yang terbuat dari susunan batu andesit. Tak satupun dari ketiga gapura tersebut
yang atapnya masih utuh, sehingga tidak diketahui bentuk aslinya.

Sekitar 15 m dari gerbang luar


berdiri gerbang dalam atau
gerbang utama. Gerbang ini
terdiri atas 5 gapura paduraksa
yang bebaris sejajar dengan
gerbang luar. Gapura utama
diapit oleh dua gapura pengapit
di setiap sisi. Walaupun gerbang
dalam ini terdiri atas lima
gapura, namun tangga yang
tersedia hanya tiga. Dua gapura
pengapit yang kecil tidak dihubungkan dengan tangga. Tangga naik dilengkapi dengan
pipi tangga dengan hiasan 'ukel' (gelung) di pangkal dan kepala raksasa di puncak pipi
tangga. Dinding luar pipi tangga juga dihiasi dengan pahatan bermotif bunga dan sulur-
suluran. Atap gapura utama sudah hilang sehingga tidak diketahui bentuk aslinya,
namun atap gapura pengapit yang masih utuh berbentuk limasan dengan puncak
berbentuk ratna.

Candi Batukapur

Sekitar 45 m dari gerbang pertama, ke arah timur laut, terdapat fondasi berukuran 5x5
m2 yang dibangun dari batu kapur. Diperkirakan bahwa dinding dan atap bangunan
aslinya tidak terbuat dari batu, melainkan dari bahan lain yang mudah rusak, seperti
kayu dan sirap atau genteng biasa.

Candi pembakaran

Candi pembakaran berbentuk teras tanah berundak setinggi 3 m. Letaknya sekitar 37 m


ke arah timur laut dari gerbang utama. Bangunan ini berdenah dasar bujur sangkar
dengan luas 26 m2. Teras kedua lebih sempit dari teras pertama, sehingga membentuk
selasar di sekeliling teras kedua. Permukaan teras atas atau teras kedua merupakan
pelataran rumput. Dinding kedua teras berundak tersebut diperkuat dengan turap dari
susunan batu kali. Di sisi barat terdapat tangga batu yang dilengkapi dengan pipi tangga.
Di tengah pelataran teras kedua terdapat semacam sumur
berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 4X4 m2 yang
digunakan sebagai tempat pembakaran mayat.

Di sudut tenggara candi pembakaran terdapat salah satu sumur


tua yang konon merupakan sumber air suci.

Paseban

Paseban merupakan kata dalam bahasa Jawa yang berarti


tempat untuk menghadap raja (seba = menghadap).
Bangunan ini terletak sekitar 45 m ke arah selatan dari
gapur. Paseban merupakan teras yang dibangun dari batu
andesit dengan tinggi 1,5 m, lebar 7 m dan panjang 38
m, membujur arah utara-selatan. Tangga naik ke lantai
paseban terletak di sisi barat. Di berbagai tempat di
permukaan lantai ditemukan 20 umpak fondasi tempat
menancapkan tiang bangunan) dan 4 alur yang
diperkirakan bekas tempat berdirinya dinding pembatas.

Pendapa

Sekitar 20 m dari paseban, arah selatan dari gapura, terdapat dinding batu setinggi 
setinggi 3 m yang memagari sebuah lahan dengan ukuran panjang 40 m dan lebar 30 m.
Di sisi utara, barat dan selatan pagar tersebut terdapat jalan masuk berupa gapura
paduraksa (gapura beratap).

Di beberapa tempat di bagian luar dinding terdapat saluran


pembuangan air, yang disebut jaladwara. Jaladwara ditemukan
juga di candi Banyuniba dan Barabudhur.

Dalam pagar batu tersebut terdapat dua


teras yang dibangun menggunakan batu
susunan andesit. Sepanjang tepi dinding dan di antara dua teras
terdapat gang berlantai batu. Teras pertama disebut pendapa,
berbentuk semacam panggung persegi setinggi 1,46 m, dengan
ukuran luas 20 m2. Dalam bahasa Jawa, pendapa berarti ruang
tamu atau hamparan lantai beratap yang umumnya terletak di
bagian depan rumah. Tangga naik ke pendapa berada di sisi
timurlaut dan baratlaut. Diatas permukaan lantai pendapa terdapat
24 buah umpak batu.

Teras kedua, yang disebut 'pringgitan' terletak di


selatan pendapa. Pringgitan artinya ruang dalam atau
ruang duduk. Pringgitan ini juga berdenah segi empat dengan luas 20 X 6
m. Di permukaan lantai pringgitan ditemukan 12 umpak batu.

Tempat pemujaan
Di luar dinding pendapa, arah tenggara, terdapat sebuah teras batu yang masih utuh. Di
ujungnya terdapat 3 buah candi kecil yang digunakan sebagai tempat pemujaan.
Bangunan yang di tengah, yang berukuran lebih besar dibandingkan dengan kedua candi
pengapitnya, adalah tempat untuk memuja Dewa Wisnu. Kedua candi yang mengapitnya,
masing-masing, merupakan tempat memuja Syiwa dan Brahma.

Keputren

Keputren yang artinya tempat tinggal para putri letaknya


di timur pendapa. Lingkungan keputren seluas 31 X 8 m
dibatasi oleh pagar batu setinggi 2 m, namun sebagian
besar pagar batu tersebut telah runtuh. Pintu masuk,
berupa gapura paduraksa dengan hiasan Kalamakara di
atas ambangnya, terletak di sisi timur
dan barat.

Lingkungan keputren terbagi dua


oleh tembok batu yang memiliki
sebuah pintu penghubung.  Dalam
lingkungan pertama terdapat 3 buah kolam berbentuk persegi. Yang
sebuah berbentuk bujur sangkar, berukuran lebih besar
dibandingkan kedua kolam lainnya. Dua kolam yang lebih panjang
bebentuk persegi panjang membujur arah utara-selatan.

Dalam lingkungan yang bersebelahan dengan tempat ketiga kolam persegi di atas
berada, terdapat 8 kolam berbentuk bundar yang berjajar dalam 3 baris.

Gua

Di lereng bukit tempat kawasan Ratu Baka berada,


terdapat dua buah gua, yang disebut Gua Lanang dan Gua
Wadon (gua lelaki dan gua perempuan). Gua Lanang yang
terletak di timur laut 'paseban' merupakan lorong persegi
dengan tinggi 1,3 m, lebar 3,7 m dan dalam 2,9 m. Di
dalam gua, masing-masing di sisi kiri, kanan dan
belakang, terdapat relung seperti bilik. Pada dinding gua
terdapat pahatan berbentuk semacam pigura persegi
panjang. Mackenzie menemukan
patung di depan Gua Lanang ini.

Gua Wadon yang terletak sekitar 20 m ke arah tenggara dari


'paseban' lebih kecil ukurannya dibandingkan dengan Gua
Lanang, yaitu tinggi 1,3 m, lebar 3 dan dalam 1, 7 m. Di bagian
belakang gua terdapat relung seperti bilik.
Candi Sambisari
Candi Sambisari terletak di Dusun Sambisari, Desa
Purwomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten
Sleman, DI Yogyakarta. Dari pusat kota Yogyakarta,
jaraknya 15 kilometer ke arah timur laut. Candi
Sambisari yang merupakan candi Hindu beraliran
Syiwa ini diperkirakan dibangun pada awal abad ke-9
oleh Rakai Garung, seorang Raja Mataram Hindu
dari Wangsa Syailendra.

Candi Sambisari ditemukan secara tidak sengaja.


Seorang petani yang sedang mencangkul di sawahnya
merasakan cangkulnya menghantam sebuah benda
keras yang, setelah digali dan diamati, ternyata adalah sebuah batu berhiaskan pahatan.
Berdasarkan laporan penemuan tersebut, Balai Arkeologi Yogyakarta melakukan penelitian
dan penggalian seperlunya. Berdasarkan hasil penelitian, pada tahun 1966 ditetapkan bahwa
di lahan tersebut terdapat reruntuhan sebuah candi yang terpendam oleh timbunan pasir dan
batu yang dimuntahkan oleh G. Merapi pada tahun 1906. Rekonstruksi dan pemugaran candi
ini selesai pada tahun 1987.

Candi Sambisari terletak sekitar 6,5 m di bawah permukaan tanah, sehingga candi tersebut
tidak tampak dari kejauhan. Menurut dugaan, dahulu permukaan tanah daerah di sekeliling
candi tidak lebih tinggi dari lahan datar tempat Candi Sambisari berada, namun tanah pasir
dan bebatuan yang terbawa oleh letusan G. Merapi pada tahun 1006 telah menimbun daerah
itu. Akibatnya, Candi Sambisari ikut terbenam dalam timbunan, sehingga saat ini posisinya
menjadi lebih rendah dari permukaan tanah di sekelilingnya. Saat ini lahan di sekeliling candi
telah digali dan ditata, membentuk lapangan persegi dengan tangga di keempat sisinya.

Kompleks Candi sambisari dikelilingi oleh dua lapis pagar.


Halaman luar seluas 50 x 48 m dikelilingi pagar batu
rendah, sedangkan halaman dalam dikelilingi pagar batu
setebal sekitar 50 cm dengan tinggi sekitar 2 m. Di masing-
masing sisi terdapat pintu masuk tanpa gapura atau hiasan
lain. Candi Sambisari terdiri atas satu candi utama dan tiga
candi perwara. Candi utama yang menghadap ke barat
kondisinya relatif utuh, sedang ketiga candi perwara yang
letaknya berhadapan dengan candi utama saat ini hanya
baturnya yang tersisa. Masing-masing candi perwara berdenah dasar bujur sangkar seluas 4,8
m2.

Tinggi candi utama sampai ke puncaknya mencapai 7,5 m.


Tubuh candi berdiri di atas batur yang berdenah dasar bujur
sangkar seluas 13,65 m2 dengan tinggi sekitar 2 m. Tubuh
candi juga berdenah dasar bujur sangkar dengan luas 5 m2.
Selisih luas batur dengan tubuh candi membentuk selasar
yang dilengkapi langkan setinggi sekitar 1,2 m. Tingginya
langkan menyebabkan tubuh candi tidak terlihat dari luar dan
hanya atapnya yang menyembul ke
atas, sehingga menimbulkan kesan
tambun.

Kaki candi polos tanpa hiasan, namun bagian luar dinding langkan
dihiasi seretan pahatan bermotif bunga dan sulur-suluran yang
sangat halus pahatannya.
Tangga menuju ke selasar terletak di depan pintu, yaitu di sisi
barat. Tangga ini dilengkapi dengan pipi yang dihiasi pahatan
sepasang kepala naga dengan mulut menganga. Batu di bawah
masing-masing kepala naga dihiasi pahatan berupa Gana dalam
posisi berjongkok dengan kedua tangan diangkat ke atas, seolah-
olah menyangga kepala naga di atasnya. Gana, atau sering juga
disebut Syiwaduta, adalah makhluk kecil pengiring Syiwa.
Pahatan Gana juga terdapat di pintu masuk candi-candi besar di
kompleks Candi Prambanan.

Di puncak tangga terdapat gerbang paduraksa dengan bingkai


dihiasi pahatan motif kertas tempel. Kaki bingkai dihiasi
pahatan kepala naga menghadap ke luar dengan mulut
menganga. Hiasan yang sama juga terdapat di pintu masuk ke
ruangan dalam, namun di ambang pintu ruangan terdapat
pahatan Kalamakara tanpa rahang bawah.

Pada masing-masing sisi dinding luar tubuh candi terdapat relung berisi arca. Dalam relung di
dinding selatan terdapat Arca Agastya atau Syiwa Mahaguru, di dinding timur terdapat Arca
Ganesha, dan di dinding utara terdapat Arca Durga Mahisasuramardini.

Syiwa yang digambarkan sebagai sosok pria bertangan dua dan


berjenggot sedang berdiri di atas padma. Di sebelah kanannya terdapat
sebuah trisula, tombak bermata tiga yang merupakan senjata Syiwa.
Arca ini mirip dengan Arca Syiwa Mahaguru yang terdapat di relung
selatan Candi Syiwa di Kompleks Candi Prambanan, hanya saja
tubuhnya lebih ramping.

Arca Ganesha yang terdapat dalam relung timur juga mirip


dengan Arca Ganesha yang terdapat di relung timur Candi
Syiwa. Ganesha digambarkan dalam posisi bersila di atas
padmasana (singgasana bunga teratai) dengan kedua telapak
kaki saling bertemu. Perbedaannya ialah telapak tangan
kanan arca ini menumpang di lutut dalam posisi tengadah, sementara telapak
tangan kiri menyangga sebuah mangkok. Ujung belalai seolah menghisap sesuatu
dari dalam mangkok.

Dalam ruang utara terdapat Arca Durga Mahisasuramardini,


yaitu Durga sebagai dewi kematian. Seperti yang terdapat di Candi
Syiwa di Prambanan, Durga juga digambarkan sebagai dewi bertangan
delapan dalam posisi berdiri di atas Lembu Nandi. Satu tangan
kanannya dalam posisi bertelekan pada sebuah gada, sedangkan ketiga
tangan lainnya masing-masing memegang anak panah, pedang dan
cakram. Satu tangan kirinya memegang kepala Asura, sedangkan ketiga
tangan lainnya memegang busur, perisai dan bunga. Berbeda dengan
yang terdapat di Candi Syiwa, Asura, raksasa kerdil pengiring Durga, di
Candi Sambisari digambarkan dalam posisi berlutut. Durga di Candi
Sambisari juga digambarkan lebih sensual, dilihat dari posisi berdirinya,
kain penutup pinggul yang pendek sehingga memperlihatkan pahanya,
payudara yang lebih menonjol, serta senyum yang menghiasi bibirnya.
Di tengah ruangan berukuran sekitar 4,8 m2 dalam tubuh candi terdapat sebuah Lingga
lengkap dengan yoninya. Lingga terbuat dari batu berwarna putih, sedangkan yoni di tengah
lingga terbuat dari batu berwarna hitam yang sangat keras dan mengkilap. Di sepanjang tepi
lingga terdapat alur untuk menampung air persembahan yang dialirkan ke cucuran berhiaskan
kepala ular.
Candi Sari
Candi Sari terletak sekitar 10 Km dari pusat Yogyakarta,
hanya sekitar 3 km dari Candi Kalasan. Tepatnya candi ini
berada di Desa Bendan, Kelurahan Tirtamartani, Kecamatan
Kalasan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Sesuai dengan
nama desa tempatnya berada, Candi ini juga disebut Candi
Bendan.

Menurut perkiraan candi ini dibangun pada abad ke- 8 M,


yaitu pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran,
bersamaan dengan masa pembangunan Candi Kalasan.
Kedua candi tersebut memang memiliki banyak kemiripan, baik dari segi arsitektur maupun
reliefnya. Keterkaitan kedua candi ini diterangkan dalam Prasasti Kalasan (700 Saka / 778
M).  Dalam Prasasti Kalasan diterangkan bahwa para penasehat keagamaan Wangsa
Syailendra telah menyarankan agar Maharaja Tejapurnama Panangkarana, yang diperkirakan
adalah Rakai Panangkaran, mendirikan bangunan suci untuk memuja Dewi Tara dan sebuah
biara untuk para pendeta Buddha. Untuk pemujaan Dewi Tara dibangunlah Candi Kalasan,
sedangkan untuk asrama pendeta Buddha dibangunlah Candi Sari. Fungsinya sebagai asrama
atau tempat tinggal terlihat dari bentuk keseluruhan dan bagian-bagian bangunan dan dari
bagian dalamnya. Bahwa candi ini merupakan bangunan agama Buddha terlihat dari stupa
yang terdapat di puncaknya.

Candi Sari ditemukan kembali pada awal abad ke-20 dalam keadaan rusak berat. Pemugaran
pertama dilaksanakan antara tahun 1929 sampai 1930. Mengenai pemugaran tersebut,
Kempers berpendapat bahwa hasilnya kurang memuaskan, dalam arti pemugaran tersebut
belum berhasil mengembalikan keutuhan bangunan aslinya. Hal ini disebabkan oleh
banyaknya bagian candi yang hilang. Selain itu, ketika pertama kali ditemukan, terdapat
bagian-bagian bangunan yang sudah rusak termakan usia, terutama yang bukan terbuat dari
batu.

Pada abad ke 19, sekitar 130 m dari Candi Kalasan


ditemukan reruntuhan candi, yang menurut perkiraan
sebagai tempat tinggal para pendeta. Candi Sari yang
sekarang, yang letaknya tidak jauh dari Candi Kalasan,
merupakan sebagian saja dari kumpulan candi yang telah
hilang. Diperkirakan, dahulu terdapat pagar batu yang
mengelilingi candi. Pintu masuk candi dijaga oleh sepasang
Arca Dwarapala yang memegang gada dan ular, seperti
yang terdapat di depan Wihara Plaosan.

Candi Sari berbentuk persegi panjang, dengan ukuran 17,30 x 10 m, walaupun konon denah
dasar aslinya lebih panjang dan lebih lebar, karena kaki yang asli menjorok keluar sekitar 1,60
m. Tinggi keseluruhan candi dari permukaan tanah sampai puncak stupa adalah 17 - 18 meter.
Gerbang candi, yang lebarnya kira-kira sepertiga lebar dinding depan dan tingginya separuh
dari tinggi dinding candi, sudah tak ada lagi. Yang tersisa hanya bekas tempat bertemunya
dinding pintu gerbang dengan dinding depan.

Menurut Kempers, Candi Sari ini aslinya memang merupakan bangunan bertingkat dua atau
bahkan tiga. Lantai atas dulunya digunakan untuk menyimpan barang-barang untuk
kepentingan keagamaan, sedangkan lantai bawah dipergunakan untuk kegiatan keagamaan,
seperti belajar-mengajar, berdiskusi, dsb. Tembok candi ini juga dilapisi dengan vajralepa
(brajalepa), lapisan pelindung yang juga didapati di dinding-dinding Candi Kalasan. Dari luar
telah terlihat bahwa tubuh candi terbagi menjadi dua tingkat, yaitu dengan adanya dinding
yang menonjol melintang seperti "sabuk" mengelilingi bagian tengah tubuh candi. Pembagian
tersebut diperjelas dengan adanya tiang-tiang rata di sepanjang dinding tingkat bawah dan
relung-relung bertiang di sepanjang dinding tingkat atas.
Relung-relung di sepanjang dinding luar candi, baik di
tingkat bawah maupun atas, saat ini dalam keadaan kosong.
Diperkirakan, relung-relung tersebut tadinya dihiasi dengan
arca-arca Buddha.

Dinding luar tubuh dipenuhi pahatan arca dan hiasan lain


yang sangat indah. Ambang pintu dan jendela masing-masing
diapit oleh sepasang arca lelaki dan wanita dalam posisi
berdiri memegang teratai. Jumlah arca secara keseluruhan
adalah 36 buah, terdiri dari 8 arca di dinding depan (timur), 8
arca di dinding utara, 8 di dinding selatan, dan 12 di dinding barat (belakang). Ukuran arca-
arca itu sama dengan ukuran tubuh manusia pada umumnya.

Pada bagian lain dinding dipenuhi dengan pahatan berbagai


bentuk, seperti Kinara Kinari (manusia burung), suluran,
dan kumuda (daun dan bunga yang menjulur keluar dari
sebuah jambangan bulat). Di atas ambang jendela dan
relung-relung dihiasi dengan Kalamakara tanpa rahang
bawah dalam bentuk yang sangat dekoratif dan jauh dari
kesan seram. Sebagaimana dengan yang terdapat pada
dinding Candi Kalasan, dinding Candi Sari juga dilapisi
oleh lapisan Vajralepa, yang berfungsi memberikan warna
cerah dan mengawetkan batu.

Tangga naik ke permukaan kaki candi telah hancur. Di sisi tangga terdapat sebuah umpak
batu. Tidak jelas apakah umpak batu itu memang berada di tempatnya semula, namun
tampaknya bagian bawah umpak tadinya terbenam dalam
tanah.

Pintu masuk berada di tengah sisi yang panjang di sebelah


Timur. Aslinya, ambang pintu di dinding candi tersebut
terletak dalam bilik penampil yang menjorok keluar. Saat
ini bilik penampil tersebut sudah tidak bersisa, sehingga
pintu masuk ke ruang dalam candi dapat langsung terlihat.
Hiasan di bingkai dan Kalamakara di atas ambang pintu
sangat sederhana, karena hiasan yang indah terletak di
dinding luar bilik pintu.

Di dalam candi terdapat tiga


ruangan berjajar yang
masing-masing berukuran
3,48 m x 5,80 m. Kamar
tengah dan kedua kamar
lainnya dihubungkan oleh
pintu dan jendela. Bilik-
bilik ini aslinya dibangun
sebagai bilik bertingkat.
Tinggi dindingnya dibagi
dua dengan lantai kayu yang disangga oleh empat belas balok kayu yang melintang, sehingga
dalam candi ini seluruhnya terdapat 6 ruangan. Dinding bagian dalam kamar polos tanpa
hiasan. Pada dinding belakang masing-masing kamar terdapat semacam rak yang letaknya
agak tinggi yang dahulu dipergunakan sebagai tempat upacara agama dan menempatkan arca.
Di lantai bawah terdapat beberapa tatakan arca dan relung bekas tempat meletakkan arca. Tak
satupun dari arca-arca tersebut yang masih tersisa saat ini. Pada dinding kamar utara dan
kamar selatan terdapat relung untuk menempatkan penerangan.

Lantai dan bagian bangunan yang terbuat dari kayu sekarang sudah tidak ada, tetapi pada
dinding masih terlihat lubang-lubang bekas tempat menancapkan balok penyangga. Di
dinding bilik yang paling selatan didapati batu-batu yang dipahat menyerong, yang berfungsi
sebagai penyangga ujung tangga yang terbuat dari kayu.

Atap candi berbentuk persegi datar dengan hiasan 3 buah relung di masing-masing sisi.
Bingkai relung juga dihiasi dengan pahatan sulur-suluran dan di atas ambang relung juga
dihiasi dengan Kalamakara. Puncak candi berupa deretan stupa, yang terdiri atas sebuah stupa
di setiap sudut dan sebuah di pertengahan sisi atap. Pada saat pemiotretan dilakukan, yaitu
pada bulan Maret 2003, Candi Sari sedang menjalani pemugaran.
Candi Sewu
Candi Sewu terletak di Dukuh Bener, Desa Bugisan,
Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Propinsi
Jawa Tengah. Dari kota Yogyakarta jaraknya sekitar
17 km ke arah Solo. Candi Sewu merupakan gugus
candi yang letaknya berdekatan dengan Candi
Prambanan, yaitu kurang lebih 800 meter di sebelah
selatan arca Rara Jongrang.

Candi ini diperkirakan dibangun pada abad ke-8, atas


perintah penguasa Kerajaan Mataram pada masa
itu, yaitu Rakai Panangkaran (746-784 M) dan Rakai
Pikatan yang beragama Hindu. Walaupun rajanya
beragama Hindu, Kerajaan Mataram pada masa mendapat pengaruh kuat dari Wangsa
Syailendra yang beragama Buddha. Para ahli menduga bahwa Candi Sewu merupakan pusat
kegiatan keagamaan masyarakat beragama Buddha. Dugaan tersebut didasarkan pada isi
prasasti batu andesit yang ditemukan di salah satu candi perwara. Prasasti yang ditulis dalam
bahasa Melayu Kuno dan berangka tahun 792 Saka tersebut dikenal dengan nama Prasasti
Manjusrigrta. Dalam prasasti tersebut diceritakan tentang kegiatan penyempurnaan prasada
yang bernama Wajrasana Manjusrigrha pada tahun 714 Saka (792 Masehi). Nama Manjusri
juga disebut dalam Prasasti Kelurak tahun 782 Masehi yang ditemukan di dekat Candi
Lumbung.

Candi Sewu terletak berdampingan dengan Candi Prambanan, sehingga saat ini Candi Sewu
termasuk dalam kawasan wisata Candi Prambanan. Di lingkungan kawasan wisata tersebut
juga terdapat Candi Lumbung dan Candi Bubrah. Tidak jauh dari kawasan tersebut terdapat
juga beberapa candi lain, yaitu: Candi Gana, sekitar 300 m di sebelah timur, Candi Kulon
sekitar 300 m di sebelah barat, dan Candi Lor sekitar 200 m di sebelah utara. Letak candi
Sewu, candi Buddha terbesar setelah candi Borobudur, dengan candi Prambanan, yang
merupakan candi Hindu, menunjukan bahwa pada masa itu masyarakat beragama Hindu dan
masyarakat beragama Buddha hidup berdampingan secara harmonis.

Nama Sewu, yang dalam bahasa Jawa berarti seribu, menunjukkan bahwa candi yang
tergabung dalam gugusan Candi Sewu tersebut jumlahnya cukup besar, walaupun
sesungguhnya tidak mencapai 1000 buah. Tepatnya, gugusan Candi Sewu terdiri atas 249
buah candi, terdiri atas 1 candi utama, 8 candi pengapit atau candi antara, dan 240 candi
perwara. Candi utama terletak di tengah, di ke empat sisinya dikelilingi oleh candi pengapit
dan candi perwara dalam susunan yang simetris.

Candi Sewu mempunyai 4 pintu gerbang menuju pelataran luar, yaitu di sisi timur, utara,
barat, dan selatan, yang masing-masing dijaga oleh sepasang arca Dwarapala yang saling
berhadapan. Dari pelataran luar ke pelataran dalam juga terdapat 4 pintu masuk yang dijaga
oleh sepasang arca Dwarapala, serupa dengan yang terdapat di gerbang luar.
Arca Dwarapala yang terbuat dari batu utuh tersebut ditempatkan di atas lapik persegi setinggi
sekitar 1,2 m dalam posisi satu kaki berlutut, kaki lainnya ditekuk, dan satu tangan memegang
gada. Tinggi arca Dwarapala ini mencapai sekitar 2,3 m.

Candi utama atau candi induk terletak di pelataran persegi seluas 40 m2, yang dikelilingi
pagar dari susunan batu setinggi 0,85 m. Bangunan candi berbentuk poligon bersudut 20
dengan diameter 29 m. Tinggi bangunan mencapai 30 m dengan 9 atap yang masing-masing
mempunyai stupa di puncaknya.

Tubuh candi berdiri di atas batur setinggi sekitar 2,5 m. Kaki candi dihiasi pahatan bermotif
bunga dalam jambangan. Untuk mencapai permukaan batur yang membentuk selasar, terdapat
tangga selebar sekitar 2 m yang dilengkapi dengan pipi tangga. Pangkal pipi tangga dihiasi
makara, kepala naga dengan mulut menganga lebar, dengan arca Buddha di dalamnya.
Dinding luar pipi tangga dihiasi pahatan berwujud raksasa Kalpawreksa.

Di atas ambang pintu tidak terdapat Kalamakara, namun dinding di kiri dan kanan ambang
pintu dihiasi pahatan kepala naga dengan mulut menganga. Berbeda dari yang terdapat di
pangkal pipi tangga, bukan Buddha yang terdapat dalam mulut naga, melainkan seekor singa.

Candi utama yang dibangun dari batu andesit ini mempunyai pintu utama di sebelah timur,
sehingga dapat dikatakan bahwa candi utama ini menghadap ke timur. Selain pintu utama,
terdapat 3 pintu lain, yaitu yang menghadap ke utara, barat dan selatan. Semua pintu masuk
dilengkapi dengan bilik penampil. Ruang dalam tubuh candi berbentuk kubus dengan dinding
terbuat dari susunan bata merah. Di dalam ruangan ini terdapat sebuah 'asana'. Pada dinding
luar tubuh dan kaki atap candi terdapat relung-relung berisi arca Buddha dalam berbagai
posisi.
Candi perwara dan candi apit seluruhnya terletak di pelataran luar. Di setiap sisi terdapat
sepasang candi apit yang berada di antara candi utama dengan deretan dalam candi perwara.
Setiap pasangan candi apit berhadapan mengapit jalan yang membelah halaman menuju ke
candi utama.

Candi apit berdiri di atas batur setinggi sekitar 1 m, dilengkapi dengan tangga selebar sekitar 1
m menuju ke selasar di permukaan kaki candi. Di atas ambang pintu bukan dihiasi pahatan
Kalamakara, melainkan beberapa panil relief. Atap candi berbentuk stupa dengan deretan
stupa kecil menghiasi pangkalnya. Dinding tubuh candi apit dihiasi dengan sosok-sosok pria
berbusana kebesaran, nampak seperti dewa, dalam posisi berdiri memegang setangaki teratai
di tangannya.

Candi perwara dibangun masing-masing dalam empat deret di sisi terluar mengelilingi candi
utama dan candi apit. Pada deret terdalam terdapat 28 bangunan, deretan kedua terdapat 44
bangunan, deretan ketiga terdapat 80 bangunan, dan deretan ke empat 88 bangunan. Semua
candi perwara, kecuali yang berada dalam deretan ketiga, menghadap ke luar atau
membelakangi candi utama. Hanya yang berada dalam deretan ketiga yang menghadap ke
dalam. Sebagian besar candi perwara dalam keadan rusak, tinggal berupa onggokan batu.
Candi Sukuh

Candi Sukuh terletak di lereng barat G. Lawu, tepatnya di Dusun Sukuh, Desa Berjo,
Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi Candi
Sukuh berada pada ketinggian + 910 merer di atas permukaan laut. Candi Sukuh
ditemukan kembali dalam keadaan runtuh pada tahun 1815 oleh Johnson, Residen
Surakarta pada masa pemerintahan Raffles. Selanjutnya Candi Sukuh diteliti oleh Van
der Vlis pada tahun 1842. Hasil penelitian tersebut dilaporkan dalam buku Van der Vlis
yang berjudul Prove Eener Beschrijten op Soekoeh en Tjeto. Penelitian terhadap candi
tersebut kemudian dilanjutkan oleh Hoepermans pada tahun 1864-1867 dan dilaporkan
dalam bukunya yang berjudul Hindoe Oudheiden van Java. Pada tahun 1889, Verbeek
mengadakan inventarisasi terhadap candi Sukuh, yang dilanjutkan dengan penelitian
oleh Knebel dan WF. Stutterheim pada tahun 1910.

Candi Sukuh berlatar belakang agama Hindu dan diperkirakan dibangun didirikan pada
akhir abad ke-15 M. Berbeda dengan umumnya candi Hindu di Jawa Tengah, arsitektur
Candi Sukuh dinilai menyimpang dari ketentuan dalam kitab pedoman pembuatan
bangunan suci Hindu, Wastu Widya. Menurut ketentuan, sebuah candi harus berdenah
dasar bujur sangkar dengan tempat yang paling suci terletak di tengah. Adanya
penyimpangan tersebut diduga karena Candi Sukuh dibangun pada masa memudarnya
pengaruh Hinduisme di Jawa. Memudarnya pengaruh Hinduisme di Jawa rupanya
menghidupkan kembali unsur-unsur budaya setempat dari zaman Megalitikum. Pengaruh
zaman prasejarah terlihat dari bentuk bangunan Candi Sukuh yang merupakan teras
berundak. Bentuk semacam itu mirip dengan bangunan punden berundak yang
merupakan ciri khas bangunan suci pada masa pra-Hindu. Ciri khas lain bangunan suci
dari masa pra-Hindu adalah tempat yang paling suci terletak di bagian paling tinggi dan
paling belakang.

Menurut dugaan para ahli, Candi Sukuh dibangun untuk tujuan pengruwatan, yaitu
menangkal atau melepaskan kekuatan buruk yang mempengaruhi kehidupan seseorang
akibat ciri-ciri tertentu yang dimilikinya. Dugaan tersebut didasarkan pada relief-relief
yang memuat cerita-cerita pengruwatan, seperti Sudamala dan Garudheya, dan pada
arca kura-kura dan garuda yang terdapat di Candi Sukuh.

Kompleks Candi Sukuh menempati areal seluas + 5.500


m2, terdiri dari terdiri atas tiga teras bersusun. Sepintas
lalu candi ini terlihat seperti bangunan pemujaan Suku
Maya di Mexico. Gerbang utama, gerbang lain menuju ke
setiap teras dan bangunan utama menghadap ke arah
barat, berbeda dengan candi-candi di Jawa tengah yang
umumnya menghadap ke timur. Ketiga teras tersebut
terbelah dua tepat di tengahnya oleh batu yang ditata
membentuk jalan menuju ke gerbang teras berikutnya.

Gapura menuju teras pertama merupakan gapura


paduraksa, yaitu gapura yang dilengkapi dengan atap.
Ambang pintu gapura dihiasi pahatan kala berjanggut panjang. Pada dinding sayap utara
gapura terdapat relief yang menggambarkan seorang yang sedang berlari sambil
menggigit ekor ular yang sedang melingkar. Menurut K.C. Cruq, pahatan tersebut
merupakan sebuah sengkalan (sandi angka tahun) yang dibaca gapura buta anahut
buntut (gapura raksasa menggigit ekor ular). Sengkalan tersebut ditafsirkan sebagai
tahun 1359 Saka atau tahun 1437 M, yang diyakini sebagai tahun selesainya
pembangunan candi ini. Di atas sosok tersebut terdapat pahatan yang menggambarkan
makhluk mirip manusia yang sedang melayang serta seekor binatang melata.

Pada sayap selatan gapura terdapat relief seorang tokoh yang ditelan raksasa. Pahatan
tersebut juga merupakan sengkalan yang dibaca gapura buta mangan wong, yang
artinya gapura raksasa memakan manusia. Sengkalan tersebut ditafsirkan sebagai angka
tahun 1359 Saka atau 1437 M, sama dengan sengkalan pada dinding sayap utara
gapura. Pada dinding luar gapura juga terdapat pahatan yang menggambarkan sepasang
burung yang sedang hinggap di atas pohon, sementara di bawahnya terdapat seekor
anjing, dan garuda dengan sayap terbentang sedang mencengkeram seekor ular. Di
halaman depan, di luar gapura, terdapat sekumpulan batu dalam aneka bentuk. Di
antaranya ada yang berlubang di atasnya, mirip sebuah lingga, dan ada yang
menyerupai tempayan.

Di ruang dalam gapura, terhampar di lantai, terdapat pahatan


yang menggambarkan phallus dan vagina dalam bentuk yang
nyata yang hampir bersentuhan satu sama lain. Pahatan tersebut
merupakan penggambaran bersatunya lingga (kelamin
perempuan) dan yoni (kelamin laki-laki) yang merupakan lambang
kesuburan. Saat ini sekeliling pahatan tersebut diberi pagar,
sehingga gapura tersebut sulit untuk dilalui. Untuk naik ke teras
pertama, umumnya pengunjung meggunakan tangga di sisi
gapura. Ada keyakinan bahwa pahatan tersebut berfungsi sebagai
'suwuk' (mantra atau obat) untuk 'ngruwat' (menyembuhkan atau
menghilangkan) segala kotoran yang melekat di hati. Itulah
sebabnya relief tersebut dipahatkan di lantai pintu masuk,
sehingga orang yang masuk ketempat suci ini akan
melangkahinya. Dengan demikian segala kekotoran yang melekat di tubuhnya akan
sirna.

Di atas ambang pintu gapura, menghadap ke pelataran teras pertama, terdapat hiasan
Kalamakara yang saat ini telah rusak berat. Pada dinding sayap utara dan selatan
terdapat pahatan lelaki dalam posisi berjongkok sambil memegang senjata.

Pelataran teras pertama yang tidak terlalu luas terbelah batu-batu yang disusun
membentuk jalan menuju gapura menuju teras kedua. Di sisi utara pelataran teras
pertama ini terdapat 3 panel batu yang diletakkan berjajar. Panel pertama memuat
gambar seorang lelaki sedang berkuda diiringi oleh pasukan bersenjata tombak. Di
samping kuda seorang lelaki berjalan sambil memayunginya. Panel kedua memuatan
gambar sepasang lembu dan panel ketiga memuat gambar seorang lelaki menunggang
gajah. Di sisi selatan terdapat kumpulan batu berbagai bentuk dan beberapa buah lingga.

Di sisi timurlaut atau bagian belakang pelataran teras kedua terdapat gerbang berupa
gapura bentar yang mengapit tangga menuju ke pelataran teras kedua. Tidak terdapat
pahatan atau hiasan pada dinding gapura ini. Di pelataran teras kedua yang tidak terlalu
luas juga tidak terdapat arca ataupun relief.

Di sisi utara timur atau bagian belakang pelataran teras kedua terdapat gerbang berupa
gapura bentar yang mengapit tangga menuju ke pelataran teras ketiga. Gapura ini dalam
keadaan rusak berat. Di depan gapura terdapat sepasang Arca Dwarapala yang saat ini
dalam keadaan telah aus. Pahatan kedua arca penjaga pintu ini kasar dan kaku dan
wajahnya sama sekali tidak menyeramkan, bahkan terkesan lucu.

Teras ketiga yang letaknya paling


tinggi merupakan tempat yang paling
suci. Pelataran teras ketiga terbagi dua
sisi, utara dan selatan, oleh jalan batu
menuju ke bangunan suci di bagian
belakang. Di pelataran halaman ketiga
ini terdapat banyak sekali arca dan
panel batu bergambar. Di bagian
depan pelataran sisi utara terdapat 3
arca manusia bersayap dan berkepala
garuda dalam posisi berdiri dengan
sayap membentang. Hanya satu dari
ketiga arca ini yang masih utuh. Dua
arca lainnya sudah tidak berkepala lagi. Pada salah satu arca garuda terdapat prasasti
berangka tahun 1363 Saka atau 1441 M dan 1364 Saka atau 1442 M. Di sisi utara
terdapat panel-panel batu yang diletakkan berjajar, masing-masing dihiasi pahatan
gambar gajah dan sapi.

Di depan bangunan utama agak


ke selatan, terdapat tiang batu
yang berisi pahatan cuplikan
kisah Garudheya. Pada sudut
kiri atas terdapat parsasti
dalam huruf dan bahasa Kawi
berbunyi “Padamel rikang buku
tirta sunya” atau sama dengan
1361 Saka. Garudheya adalah
nama seekor Garuda, putra
angkat Dewi Winata. Sang dewi
mempunyai saudara yang juga
menjadi madunya, yang bernama Dewi Kadru. Dewi Kadru mempunyai beberapa anak
angkat yang berwujud ular. Dalam sebuah pertaruhan Dewi Winata dikalahkan oleh Dewi
Kadru, sehingga ia harus menjalani kehidupan sebagai budak Dewi Kadru dan anak-
anaknya. Garudheya mendapatkan Tirta Amerta yang menjadi syarat peruwatan atau
pembebasan ibunya dari perbudakan Dewi Kadru dan anak-anaknya. Relief kisah
Garudheya ini juga terdapat di Candi Kidal di Jawa Timur yang dibangun atas perintah
Anusapati untuk meruwat ibunya, Ken Dedes.
Di bagian selatan pelataran teras ketiga ini terdapat panel-panel batu yang ditata
berjajar. Panel-panel batu ini memuat relief dengan tema cerita yang diambil dari Kidung
Sudamala.

Cerita Sudamala mengisahkan tentang Sadhewa, salah satu dari satria kembar di antara
kelima satria Pandawa, yang berhasil meruwat (menghilangkan kutukan) dalam diri Dewi
Uma, istri Bathara Guru. Dewi Uma dikutuk oleh suaminya karena tidak dapat menahan
kemarahannya terhadap suaminya yang minta untuk dilayani pada saat yang
menurutnya kurang layak. Karena menunjukkan kemarahan yang meluap-luap, Sang
Dewi dikutuk dan berubah wujud menjadi seorang raksasa bernama Bathari Durga.
Bathari Durga yang menyamar sebagai Dewi Kunthi, ibu para Pandawa, mendatangi
Sadewa dan meminta satria itu untuk meruwat dirinya. Kisah tersebut dituangkan dalam
lima panel relief.

Relief pertama menggambarkan Dewi Kunti palsu yang merupakan penyamaran Bathari
Durga yang mendatangi Sadewa dan meminta satria itu 'meruwat' (menghilangkan
kutukan) dirinya. Relief kedua menggambarkan ketika Bima, kakak Sadewa, berperang
dengan seorang raksasa. Tangan kiri Bima mengangkat tubuh raksasa, sedangkan
tangan kanannya menancapkan kuku Pancanaka (senjata pusaka Bima) ke perut
lawannya.

Relief ketiga menggambarkan Sadewa, yang menolak untuk 'meruwat' Bathari Durga,
diikatkan ke sebuah pohon. Di hadapannya berdiri Bathari Durga yang mengancamnya
dengan menggunakan sebilah pedang. Relief keempat menggambarkan pernikahan
Sadewa dengan Dewi Pradhapa yang dianugerahkan kepadanya karena berhasil
'meruwat' Bathari Durga. Relief kelima menggambarkan Sadewa beserta pengiringnya
menghadap Dewi Uma yang telah berhasil diruwat.

Di pelataran sebelah selatan jalan batu ada terdapat candi kecil, dan di dalamnya
terdapat arca dengan ukuran yang kecil pula. Menurut mitologi setempat, candi kecil itu
merupakan kediaman Kyai Sukuh sang penguasa kompleks Candi Sukuh.
Di depan bangunan utama terdapat tiga arca bulus kura-kura berukuran besar. Kura-
kura yang melambangkan dunia bawah, yakni dasar gunung Mahameru, juga terdapat di
Candi Cetha.

Bangunan utama berbentuk trapesium berdenah dasar 15 m2 dan tinggi mencapai 6 m.


Di pertengahan sisi barat bangunan terdapat tangga yang sempit dan curam menuju ke
atas atap. Diduga bangunan yang ada saat ini adalah batur atau kaki candi, sedangkan
bangunan candinya sendiri kemungkinan terbuat dari kayu. Dugaan tersebut didasarkan
pada adanya beberapa umpak (kaki tiang bangunan) batu di pelataran atap. Di tengah
pelataran atap terdapat sebuah lingga. Konon yoni yang merupakan pasangan lingga
tersebut saat ini disimpan di Museum Nasional di Jakarta.

Upaya pelestarian Candi Sukuh telah dilakukan sejak jaman Belanda. Pemugaran
pertama dilakukan oleh Dinas Purbakala pada tahun 1917. Pada akhir tahun 1970-an
Candi Sukuh mengalami pemugaran kembali oleh Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
 
Candi Batujaya
Situs purbakala Batujaya merupakan
kompleks candi yang menempati areal seluas
40 ha, meliputi dua desa, yaitu Segaran dan
Telagajaya di Kecamatan Batujaya,
Kabupaten Karawang. Dari kota Karawang,
kompleks candi tersebut berjarak 39
kilometer ke arah barat Kota Karawang,
sekitar 6 km dari garis pantai utara.

Saat ini, kompleks Candi Batujaya merupakan areal persawahan dan pemukiman
penduduk. Sebagian besar bangunan purbakala di lokasi tersebut masih tertimbun dalam 'unur'
atau 'lemah duwur' (tanah darat menyembul diantara pesawahan). Sampai dengan pertengahan
tahun 2004 ini, penggalian dan penelitian di kompleks percandian di Batujaya masih terus
berlangsung di bawah pengawasan Tim Peneliti Situs Batujaya dari Universitas Indonesia. 

Sejauh ini belum dapat dipastikan kapan dan oleh siapa candi-candi di Batujaya ini
dibangun, karena data yang telah didapatkan mengenai situs purbakala ini sangat sedikit.
Rekonstruksi bangunanan candi juga sulit dilakukan karena candi-candi Batujaya terbuat dari
batu bata. Upaya para arkeolog untuk menemukan jawaban atas pertanyaan itu terhambat oleh
ketidaktersediaan dana. Bantuan dana yang pernah didapat untuk penelitian dan penggalian
kompleks Batujaya ialah dari PT Ford Motor Indonesia, yang diberikan pada tahun 2003.

Walaupun belum didapatkan data mengenai kapan dan oleh siapa candi-candi di
Batujaya dibangun, namun para pakar arkeologi menduga bahwa candi-candi tersebut
merupakan yang tertua di Jawa, yang dibangun pada masa Kerajaan Tarumanegara (Abad ke-
5 sampai ke-6 M). Sampai tahun 1997 sudah 24 situs candi yang ditemukan di Batujaya dan
baru 6 di antaranya, umumnya merupakan hanya sisa bangunan, yang sudah diteliti. Tidak
tertutup kemungkinan bahwa masih ada lagi candi-candi lain di Batujaya yang belum
ditemukan. Yang menarik, semua bangunan candi menghadap ke arah yang sama, yaitu 50
derajat dari arah utara.

Di antara situs yang sudah selesai


digali dan diteliti oleh para ahli purbakala
adalah situs Candi Jiwa dan Situs Candi
Blandongan yang jaraknya tidak terlalu
berjauhan. Data yang didapat mengenai
Candi Blandongan adalah bahwa
panjangnya 21,6 m dan bahwa bangunan
itu menghadap barat laut. Bentuk bentuk
dan strukturnya belum diketahui. Fungsi
Candi Blandongan juga belum dapat
dipastikan, walaupun dalam bahasa
setempat, kata 'blandongan' berarti pendapa
atau bangunan besar untuk pertemuan atau
menerima tamu.
Berdasarkan bentuk bangunan stupa yang ditemukan di desa Segaran Telagajaya,
diduga kompleks percandian Batujaya berlatar belakang agama Buddha.
Candi Bojongmenje

Candi Bojongmenje terletak di Kampung Bojongmenje, Desa Cangkuang, Kecamatan


Rancaekek, Kabupaten Bandung. Situs purbakala ini lama ditemukan pada 18 Agustus 2002.
Penemuan benda tersebut berawal dari upaya warga setempat untuk mencari tanah penguruk
gang di dekat lokasi candi. Di lahan milik salah seorang penduduk, yang bernama Anen,
mereka melihat sekerumunan semut. Para penduduk kemudian mencoba menggali tanah di
sekitar lokasi kerumunan semut tersebut. Sampai pada kedalaman setengah meter, mereka
menjumpai tanah berongga yang di sekelilingnya terdapat tumpukan batu yang tertata rapi.
Penggalian terus dilakukan sampai formasi batu-batu itu terlihat. Ketika mencapai kedalaman
sekitar 80 cm, penggalian pun dihentikan dan temuan tersebut dilaporkan kepada yang
berwajib.

Sampai saat ini belum ditemukan sumber tertulis yang menjelaskan hubungan Candi
Bojongmenje dengan kerajaan tertentu yang pernah ada di Jawa Barat namun, berdasarkan
temuan-temuan arkeologi di situs Bojongmenje, diperkirakan bahwa candi tersebut dibangun
pada abad ke-7 dan ke-8. Dengan demikian, usia Candi Bojongmenje lebih tua dibandingkan
dengan usia candi-candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur atau setidaknya setara dengan Candi
Dieng di Jawa Tengah.

Candi Bojongmenje dibangun dari batu andesit, berdenah dasar bujur sangkar dengan
sisi sepanjang 6 m. Bentuk bangunan candi sangat sederhana dan dindingnya hanya terdiri
satu lapis tanpa hiasan relief. Kesederhanaan tersebut menjadi petunjuk bahwa peradaban
manusia yang membuatnya masih lebih sederhana dibandingkan dengan peradaban pada masa
pembangunan Candi Prambanan dan Candi Barabudhur. Di lingkungan candi ditemukan yoni
yang menunjukkan bahwa Candi Bojongmenje berlatar belakang agama Hindu Syiwa.
Candi Cangkuang
Candi Cangkuang terletak di Desa
Cangkuang, Kecamatan Leles Kabupaten
Garut. Lokasi candi berada sekitar 40 km ke
arah tenggara dari kota Bandung. Dari jalan
raya Leles menuju Garut, candi ini hanya
berjarak sekitar 3 km. Candi Cangkuang ini
berdiri di seberang 'Situ' (danau) Cangkuang.
Nama Candi Cangkuang diambil dari nama
desa tempat candi ini berada. Kata '
Cangkuang' sendiri adalah nama sejenis
pohon yang banyak terdapat di Desa
Cangkuang. 

Candi Cangkuang berdebah dasar bujur sangkar dengan ukuran 4,5 m2. Tinggi
bangunan candi yang terbuat dari batu andesit ini mencapai 8,5 m. Candi ini ditemukan
kembali pada tanggal 9 Desember 1966 oleh Uka Tjandrasamita, seorang ahli purbakala, ketia
ia meneliti keberadaan makam kuno yang dan arca yang disebutkan dalam tulisan Vorderman
(1893), seorang sejarawan Belanda. Makam kuno yang dimaksud adalah makam Arief
Muhammad. Vorderman sendiri tidak menyebutkan keberadaan sebuah candi di daerah
tersebut.

Tim peneliti yang dipimpin Tjandrasamita merasa yakin bahwa di sekitar ini terdapat
candi karena banyak ditemukan batu-batu andesit berbentuk balok yang kerap kali oleh
masyarakat di sana digunakan sebagai batu nisan. Di dekat kuburan Arief Muhammad peneliti
menemukan fondasi candi berkuran 4,5 x 4,5 meter dan batu-batu candi lainnya yang
berserakan. Setelah pondasi dan batu-batu candi ditemukan, pemugaran pun dilakukan pada
tahun 1974/1976. Akan tetapi, kendala utama rekonstruksi candi adalah batuan candi yang
ditemukan hanya sekitar 40% dari aslinya. Sebagian batu candi sudah lapuk dan sebagian lagi
tidak utuh sehingga bangunan Candi Cangkuang sekarang sebagian besar bukan batu asli.

Hingga saat ini belum


diketahui kapan dan oleh siapa
candi tersebut dibangun, karena
belum ditemukan prasasti atau
cerita rakyat tentang keberadaan
Candi Cangkuang. Meskipun
demikian, berdasarkan aspek
kelapukan batu, relief, serta Arca
Syiwa di candi tersebut, para ahli
menduga para ahli purbakala
berkeyakinan bahwa Candi
Cangkuang didirikan pada abad
ke-8 dan memiliki latar belakang
Hindu.
Candi Cibuaya

Candi Cibuaya terletak di Kecamatan Cibuaya, Kabupaten Karawang, tidak jauh dari lokasi
Candi Batujaya. Reruntuhan candi di Cibuaya ini pertama kali diketahui Dinas Purbakala
pada tahun 1952, di antaranya berupa dua buah 'unur' (gundukan tanah di antara persawahan). 

Pada mulanya kedua reruntuhan bangunan purbakala itu dianggap reruntuhan benteng
Belanda, namun pendapat tersebut berubah setelah ditemukan arca Wisnu di dekat situs
tersebut. Lima tahun kemudian (1957) ditemukan Arca Wisnu kedua. Arca-arca tersebut saat
ini disimpan di Museum Nasional di Jakarta dengan sebutan Arca Wisnu I dan Arca Wisnu
II. 

Pada tahun 1975, ketika Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional melakukan penggalian
penelitian, ditemukan Arca Wisnu Cibuaya III. Sampai saat ini, reruntuhan kedua candi yang
dinamakan Candi Lanang dan Candi Wadon tersebut masih belum dapat direkonstruksi. 
Candi Ronggeng

Candi Ronggeng yang di kalangan arkeolog dikenal sebagai Candi Pamarican, terletak
di Kampung Sukawening, Desa Sukajaya. Disebut Candi Pamarican karena lokasi candi
tersebut terletak di Kecamatan Pamarican, Kabupaten Ciamis. Candi Ronggeng dibangun di
dataran subur lembah Kali Ciseel, salah satu anak Sungai Citanduy.

Sebutan Candi Ronggeng mempunyai kaitan erat dengan legenda setempat tentang
kesenian ronggeng gunung yang merupakan kesenian rakyat daerah selatan Ciamis. Konon
Dewi Siti Samboja yang ingin membalaskan kematian kekasihnya, Raden Angga Larang yang
gugur di medan perang, menyamar menjadi penari ronggeng. Bersama para pengikutnya yang
menyamar menjadi penabuh gamelan (alat musik pengiring) sering menggelar pertunjukan
Ronggeng Gunung dalam upaya mencari pembunuh kekasihnya. Menurut masyarakat
setempat, di lokasi candi, terutama pada hari-hari tertentu, sering terdengar suara gamelan
yang terdengar seperti musik pengiring pertunjukan ronggeng.

Reruntuhan candi pertama kali ditemukan pada tahun 1977 melalui survai yang
dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas). Reruntuhan yang
ditemukan berupa Arca Nandi dan batu berbentuk kenong (gong kecil, instrumen musik
tradisional Sunda). Salah satu keunikan Candi Ronggeng adalah bahwa Nandi, kendaraan
Syiwa, bukan digambarkan dalam bentuk arca sapi jantan melainkan arca sapi betina. Adanya
Arca Nandi ini menunjukkan bahwa Candi Ronggeng berlatar belakang agama Hindu,
sehingga diperkirakan mempunyai kaitan dengan Kerajaan Galuh (abad ke-7 sampai abad ke-
16 M). Pusat Kerajaan Galuh diyakini terletak di Kawali, kota kecamatan yang letaknya
sekitar 10 km arah utara kota Ciamis. 

Anda mungkin juga menyukai